5
Sejak kejadian di mana Ivy melihat Thalia menangis, Ia tidak membiarkan Thalia berdiam diri. Ini sudah kedua kalinya ia memaksa puterinya itu untuk menemaninya ke acara sosialita yang jelas-jelas tidak disukai oleh Thalia. Tentu saja sebagai seorang ibu, Ivy tahu kalau Thalia tidak menyukai acara sosialita yang di adakannya. Anak itu lebih menyukai kegiatan membacanya di pinggir ruangan, menghabiskan margarita dan menjauh dari lautan manusia.
Ivy tahu bahwa hari ini Bryan akan datang ke acara sosialita ini. Dan ia pun kerap memaksa Thalia untuk mengenakan gaun biru terang yang senada dengan bola mata Bryan Crawford. Tentu saja Ivy juga tahu kalau Thalia tidak mengetahui alasan di balik pemaksaannya ini.
Sebagai seorang ibu, Ivy ingin marah dan memaki Bryan Crawford karena pria itu sudah membuat puterinya menangis. Tapi ia juga sadar, bukan itu yang diinginkan oleh puterinya. Karena itu Ivy memutuskan untuk mengurungkan niatnya. "Jangan bersungut-sungut seperti itu, Thalia. Kau hanya akan membuat teman sosialita mama kabur ketakutan."
"Aku tidak suka di sini, Ma dan kau adalah orang yang paling mengetahuinya!"
"Kali ini aku tidak tahu," jawab Ivy seenaknya. Ivy menatap Thalia sambal mendesah lelah, "Li, mama sudah cukup melihatmu berkutat dengan pekerjaanmu selama dua hari ini dan mama tidak menyukai kebiasaanmu meminum kopi instant sebagai pengganti makan."
"Ma—"
"Dan Mama tidak suka kau membantah mama." Ivy menaikkan alisnya dan tersenyum miring. "Dan kalau mama menyuruhmu untuk menemani mama, maka kau akan melakukannya, Thalia Tjandrawinata."
"Aku sudah melakukannya!"
"Dengan senyuman, tentu saja," lanjut Ivy dan Thalia menjawabnya dengan dengusan kencang. Namun setelah itu Thalia memberikan senyum pura-puranya dengan sebaik mungkin. "Nah, begitu lebih baik. Wajah jelekmu tidak terlihat jelek jika tersenyum," ledek Ivy sambal terkekeh saat melihat Thalia mendengus kesal kearahnya.
⃰
Thalia tidak ingin terlihat stunning di depan Bryan atau semua orang yang hadir di hotel ini. Karena Thalia tahu bahwa sekeras apapun usahanya, Bryan tidak akan pernah melihat kearahnya. Pria itu tidak akan pernah meluangkan waktu untuk meliriknya dan Thalia juga tahu, pria itu tidak akan mengedipkan matanya dua kali hanya untuk melihatnya.
Sekecil itulah dirinya bagi pria itu.
Jadi, walaupun sekarang Thalia mengenakan gaun berwarna biru terang, Thalia yakin pria itu tidak akan pernah meliriknya. Dan saat Thalia tidak sengaja melihat jendela yang memantulkan bayangannya, ia menyesali keputusannya untuk mengikuti perkataan ibunya dengan mengenakan gaun biru terang ini.
Bukan karena ia tidak terlihat stunning, tapi warna biru terang selalu mengingatkannya kepada sepasang mata Bryan yang sejak lima tahun yang lalu telah mendiami hatinya.
"Hentikan itu, Thalia Tjandrawinata..." bisiknya pelan. Ia menggeleng pelan hingga rambutnya yang di ikal berayun lembut mengikuti gerakan kepalanya. "Jangan menjadi wanita bodoh lagi..."
Ivy mendengar ucapan Thalia namun mengabaikannya. Ia mengelus punggung Thalia lembut dan berkata, "Segalanya akan baik-baik saja, Li."
"Semuanya tidak baik, Ma. Aku tahu... kalau tidak semuanya akan menjadi baik seperti yang mama katakan. Kali ini, perasaanku tidak baik, Ma..."bisik Thalia pelan seolah memohon kepada Ibunya untuk membiarkannya pulang. "Ma, kalau dia datang... Dia hanya akan sekali lagi—"
"Menatapnya dari kejauhan tidak akan menghancurkanmu bukan, Thalia Tjandrawinata? Bukankah kau yang mengatakan kalau Bryan Crawford hanyalah pria yang menarik, bahwa kau ingin menyetir hatimu sendiri?" Ivy menatap tegas kearah Thalia, ia mengelus bahu telanjang Thalia dengan gerakan keibuan. "Kalau begitu lakukan, Li. Angkat wajahmu, jangan pernah palingkan wajahmu atau menundukkan wajahmu. Melangkahkah dengan percaya diri seolah-olah kau adalah ratu malam ini."
"Aku tidak bisa melakukannya, Ma..."
"Berikan dirimu kesempatan, Thalia. Bertahan ketika kau masih berada di tengah ombak, dan menangislah ketika kau sudah berada di apartemen mungilmu." Ivy menggenggam tangan Thalia erat seolah memberikan kekuatan. "Kau ingin menyetir hatimu? Kalau begitu kau bisa memulainya dengan menerima bahwa Bryan tidak akan pernah menjadi milikmu. Sekarang Mama tanya sekali lagi, Thalia Tjandrawinata, apakah kau sanggup melakukannya?"
Sebelum Thalia sempat menjawab apapun, tatapannya tertuju pada pintu masuk Ballroom di mana Bryan Crawford tengah berjalan masuk dengan setelah tuxedo-nya. Pria itu terlihat rapi dan tampan, terlebih lagi pria itu terlihat sangat stunning hingga membuat nafasnya tersendat.
Tapi semua itu tidak ada apa-apanya di banding saat ia melihat Bryan berjalan bersama Adrian. Mereka berdua memakai pakaian senada yang membuat mereka terlihat bagaikan pasangan.
Untuk lima detik awal, Thalia merasa tertampar oleh kenyataan saat Bryan merapatkan tubuhnya di samping Adrian dan berjalan dengan santai-nya. Kedua pria itu terlihat begitu... mabuk cinta.
Kalah sebelum berperang, Thalia membuang wajahnya kearah lain. Ia memilih melihat jendela yang memantulkan bayangan Bryan. Dan pria itu terlihat begitu bahagia dengan memamerkan sederetan gigi putihnya serta sesekali melontarkan beberapa lelucon pada pasangan yang ditemuinya. Sementara kedua pria itu bersenang-senang, Thalia harus menggigit bibirnya dan merusak tatanan lipstik-nya.
Thalia kalah... ia memang selalu kalah. Apalagi yang sebenarnya di harapkannya?
Lalu ia merasakan elusan di punggungnya yang telanjang. "Hanya menatapnya, Thalia. Kau masih belum boleh menangis di sini, kau hanya di ijinkan kalah dengan perasaanmu sendiri ketika tidak ada satupun orang yang menyadarinya. Kau, Thalia Tjandrawinata adalah puteri yang kubesarkan dengan penuh kebanggaan dan aku tidak mengijinkan kau membiarkan orang lain menyadari kelemahanmu. Kau mengerti?"
"Aku tidak akan pingsan di Ballroom dan aku tidak akan pernah kalah, Ma."
"I believe in you, Li. Always."
⃰
Sambil menggenggam tangan Thalia, Ivy membawa puteri-nya ke tengah Ballroom dan menemui sepasang pria yang tengah bercengkrama dengan kenalannya. Dan Ivy sadar kalau Bryan Crawford sengaja menghindari kontak mata dengan puteri-nya. Di situasi biasa mungkin Ivy akan membiarkan hal kecil itu, tapi tidak dengan hari ini. Ia menginginkan tatapan memuja dari Bryan Crawford. "Tadinya aku mengira kau akan datang sendiri, Bry."
"Ivy."
Bryan menyapa sambil mengecup sopan kedua pipi wanita itu lalu ia tersenyum miring seperti biasanya. "Tentu saja aku tidak akan melewatkan acara-mu ini, Ivy."
"Dan aku tidak mengira kalau Adrian akan datang juga." Saat Ivy melihat Bryan menaikkan alisnya, Ivy langsung tertawa."No Offense, Child. Aku berkata seperti itu karena aku jarang melihat Adrian datang ke acara seperti ini."
"Aku datang untuk menemani-nya saja, Ivy," jawab Adrian sambil tersenyum lebar.
Sementara itu, Thalia belum berani mengucapkan sepatah katapun bahkan tidak juga dengan sapaan ringan. Demi Tuhan, hal ini sangat sulit di banding melakukan satu operasi besar di rumah sakit. Tanpa Thalia sadari ia menggenggam kedua tangannya dengan terlalu keras hingga kulit putihnya berubah menjadi memerah.
Ia terus melakukannya hingga Thalia merasakan seseorang meremas tangannya lembut. "Li, Kau sedang memikirkan sesuatu?"
Thalia mendongak.
"Aku..." Tatapan Thalia bertemu dengan Bryan untuk sejenak namun ia langsung memutuskan kontak mata itu dengan menatap kearah Adrian. "...aku hanya haus dan juga kelaparan."
"Kau tegang dengan pesta sekecil ini, Li?" canda Adrian sambil mengusap tangan Thalia yang memerah. "Seriously, kau pernah mengadakan pesta yang lebih meriah dari ini. Dan pesta sekecil ini sudah membuatmu menjadi tegang?"
"Aku sudah bilang Dri. Aku hanya—"
"Iya, Lapar dan haus. Alasan klasik tapi lumayan," jawab Adrian memotong ucapan Thalia. Ia lalu menggandeng tangan Thalia dan berkata dengan suara cukup keras, "Bry, bagaimana menurutmu penampilan Thalia malam ini?"
Seperti biasanya, Bryan menoleh dengan wajah datar sambil mengangkat alisnya. Sebelah tangannya memegang gelas sampanye dengan santai. Untuk sejenak ia tidak mengucapkan apapun dan hanya meneguk sampanye-nya. "Kau ingin aku menjawab apa, Dri?" tanya Bryan.
"Tentu saja aku ingin kau memuji penampilannya!" ucap Adrian.
"Lumayan." Bryan mengatakannya dengan wajah datar dan dengan segera menoleh kearah Waitress yang lewat. Ia menjentikkan jari hingga waitress tersebut mendatanginya, lalu memberikan gelas sampanye-nya yang kosong kepada waitress tersebut. Setelah selesai, Bryan menghela nafas dan tersenyum malas kearah Adrian. "Thalia selalu terlihat bagus dengan pakaian apapun, Dri. Itukah yang ingin kau dengar?"
Senyum Adrian merekah. Pria itu langsung memeluk Thalia dan berkata, "See? Sudah kubilang padamu kalau kau selalu terlihat stunning dengan pakaian apapun. Bahkan Bryan yang flat itupun sudah mengakuinya."
Adrian menoleh kearah Ivy yang tersenyum. Lalu ia berkata, "Puterimu selalu terlihat cantik, Ivy, sama sepertimu."
"Tentu saja." Ivy mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Thalia. Dengan santai Ivy berkata, "Dia adalah permata yang kubesarkan dengan penuh kebanggaan. Tidak pernah ada satu haripun yang kulalui dengan menganggap dia adalah permata yang tidak berharga. Thalia adalah puteri-ku satu-satunya yang mampu tersenyum di saat sulit seperti apapun."
"Bukan begitu, sayang?"
Ucapan ibu-nya membuat Thalia ingin menangis tapi ia tahu kalau ia tidak bisa melakukannya di sini. Dari segala hal yang terjadi dalam hidupnya, Ivy adalah salah satu alasan baginya untuk berterima kasih kepada Tuhan karena seberat apapun masalah yang dihadapinya, Ibu-nya akan selalu berdiri di depannya dan memberikannya segenap alasan untuk bertahan.
For Thalia, She's the bestest Mom in the world.
"Oh sudahlah, aku merasa seperti anak muda yang baru saja melahirkan seorang puteri," ucap Ivy sambil tertawa. Dan ketika seseorang memanggilnya, ia tersenyum lebar kearah orang itu sambil melambaikan tangannya. "Bryan, Adrian, kalian bisa 'kan menjaga Thalia untukku sebentar? Tidak baik terlalu lama membiarkan tamu-ku menunggu lama."
"Take your time, Ivy," ucap Adrian.
Lima menit kepergian Ivy terasa seperti ratusan menit bagi Thalia. Bagaimana ia tidak merasa seperti itu kalau yang dilakukan Bryan adalah mengabaikannya? Walaupun pria itu tidak terang-terangan menunjukkannya tapi Thalia tahu kalau Bryan tersinggung dengan ucapannya beberapa hari yang lalu.
Diam-diam Thalia melirik kearah Bryan yang menatap dan bercengkrama dengan beberapa kolega bisnisnya, sementara Adrian berbincang dengan bartender yang ada di ujung ruangan. Ketika Thalia menyadari Bryan menyandarkan punggung di pilar yang ada di sampingnya... Jantung Thalia berdegup dengan kencang.
Ia mencengkram tangan dengan erat, sebelum akhirnya berkata," Aku minta maaf atas apa yang sudah kukatakan beberapa hari yang lalu."
Bryan terdiam tapi tidak menoleh kearahnya sehingga Thalia sedikit bersyukur. Ia kemudian melanjutkan ucapannya. "Saat itu, Pikiranku sedang kacau..." Thalia menelan saliva-nya dan mengambil udara sebanyak yang dapat di lakukannya. "Aku... bahkan tidak tahu kenapa aku mengatakan hal itu kepadamu, Bry. Tapi aku tidak benar-benar bermaksud seperti itu..." bisiknya pelan.
"Maafkan aku..." bisik Thalia sekali lagi saat pria itu tidak memberikan respon apapun.
Untuk waktu yang lama Thalia tidak mendengar jawaban pria itu dan ia menganggap bahwa apa yang sudah diperbuatnya mungkin tidak akan mampu mengembalikan hubungan pertemanan mereka. Thalia hampir saja menangis kalau saja ia tidak mengingat apa yang sudah diucapkan oleh Ibu-nya mengenai tangisan.
Ketika Thalia akhirnya memutuskan untuk pergi dari tempat itu, akhirnya ia mendengar suara lirih yang berkata, "Aku tidak marah."
Thalia dengan cepat membalikkan tubuhnya dan menatap Bryan yang kini melihat kearahnya. Pria itu menghela nafas dengan satu tangan masuk kedalam saku celananya. "Aku tidak marah dengan apa yang kau katakan, Thalia. Aku hanya kecewa karena kau melihatku serendah itu."
"Aku..."
"Aku tidak pernah mengaitkanmu dengan Avelyn, The first time is yes, tapi tidak berarti aku tidak pernah menganggapmu penting, Li." Bryan menegakkan punggungnya dan berjalan satu langkah mendekat kearah Thalia lalu mengulurkan tangannya untuk mengelus puncak kepalanya. "Avelyn memang berarti bagiku karena dia adalah segala yang kumiliki setelah Adrian. Tapi kau juga memiliki porsi di dalam kehidupanku Thalia. Aku hanya ingin kau mengetahui hal itu."
Thalia ingin sekali saja berharap, dan apakah kata-kata Bryan mengindikasikan bahwa pria itu... Belum sempat Thalia menurunkan angan-angannya, Bryan langsung saja mengatakan hal yang selama ini menamparnya. "Karena kau adalah sahabat Avelyn, kau adalah adik suami dari sahabatku yang berarti kau adalah adik yang kusayangi, Li."
Dan lagi-lagi Thalia hancur.
Namun kali ini ia tidak bisa mengatakan apapun. Ia bahkan belum sempat menata hatinya, pelan dan lirih Thalia berbisik, "Seperti itu arti diriku bagimu ya, Bry?"
Dasar bodoh!
Air mata Thalia sudah menggenang di pelupuk matanya dan ia membenci dirinya yang lemah karena pria itu. Persetan dengan Bryan Crawford! Apa yang harus di lakukan Thalia adalah pergi dari Ballroom ini sekarang juga atau ia akan kembali mempertontonkan dirinya yang bodoh di hadapan Bryan.
"I've gotta go..." ucap Thalia. Dengan lembut ia menepis tangan Bryan yang masih berada di puncak kepalanya. Ia menoleh kearah kiri dan kanan sambil tertawa serak, "Ibu-ku pasti akan bingung kalau menyadari aku tidak ada di sini. Aku titip pesan untuknya, Bry..."
"Thalia, kau tidak bisa pulang sendiri malam-malam begini," sanggah Bryan.
Thalia menggelengkan kepalanya sambil mengerjapkan mata. "Tidak. Aku harus pergi sekarang, Bry. Kau...Kau bisa membantuku dengan memberitahu Ibuku."
Sebelum Thalia sempat melangkahkan kakinya, mendadak Bryan mencengkram lengan atasnya dan berkata dengan nada khawatir. "Kau mau kemana? Aku bisa mengantarmu."
Tidak... Bryan tidak boleh mengantarnya pulang. Kepanikan di dalam hati Thalia seolah melompat keluar. Ia tidak mungkin membiarkan Bryan mengantarnya pulang dan membiarkan pria itu melihat tampang menangisnya yang seperti orang bodoh. Thalia terus menggelengkan kepalanya hingga ia mendengar suara berat yang dikenalnya.
"Thalia?"
⃰
12 Maret 2018.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top