2
Bagi Thalia, jatuh cinta kepada Bryan Crawford itu sangat menyedihkan. Dua tahun Thalia memendam rasa sakitnya seorang diri dan berpura-pura bahwa dirinya baik-baik saja. Padahal ia tahu, ia sama sekali tidak baik-baik saja.
Dunia itu lucu, karena ketika kita menginginkan sesuatu, kita malah tidak bisa mendapatkannya. Karena hal yang kita inginkan berubah menjadi sesuatu yang tidak dapat kita gapai.
Thalia mendesah karena sakit kepala yang menyerangnya akibat lima gelas tequila yang diteguknya semalam. Ia mendesah pelan dan mendapati dirinya ditabrak dengan kasar hingga sample urine yang seharusnya digunakan untuk keperluan lab malah memberikan setitik noda di jas putihnya.
Wanita yang menabraknya terlihat tidak bersalah dan malah berkata,"Kalau saja kau memakai mata-mu, sample urine ini tidak akan terjatuh!" lalu wanita itu memungut sample urine tersebut dan kembali berbisik. "Ini-lah akibatnya kalau bekerja dengan wanita yang menggunakan pengaruh keluarganya untuk bekerja. How's disqusting!"
Tentu saja Thalia mendengar hal tersebut dengan sangat jelas. Tapi Thalia bukanlah Avelyn yang akan membalas perkataan wanita itu. Dengan cepat Thalia melangkahkan kakinya menjauh dari lorong tersebut, meninggalkan wanita itu dengan ucapan kasarnya. Ia kesal dan juga marah. Andai saja dirinya adalah Avelyn, ia akan bergerak mendekati wanita itu, menamparnya dan bahkan menyiram wanita jahat itu dengan sample urine.
Tapi Thalia bukan Avelyn. Dan tidak akan pernah bisa menjadi sahabatnya itu.
Masih dalam pikiran bodohnya, mendadak tubuhnya di tutupi oleh jas Baby Blue besar dan tubuhnya di gendong dengan mudah. Belum sempat otaknya bereaksi terhadap situasi yang tengah terjadi, seseorang berbisik kepadanya, "Aku tidak tahu kenapa kau selalu mendapatkan hadiah tak terduga dari penggemarmu, Ms. Tjandrawinata."
"Bryan?" bisik Thalia pelan.
"Who's else?"
"Apa yang kau lakukan di sini?"
Bryan merasa itu adalah pertanyaan terkonyol yang pernah diucapkan oleh Thalia. Ia mengangkat sebelah alisnya dan menjawab, "Thalia, ini rumah sakit. Untuk apa lagi aku berada di sini kalau tidak ada urusannya dengan kesehatan?"
"Kau sakit?" Tanya Thalia terkejut namun berusaha menetralkan suaranya.
"Tidak. Aku hanya menemani Adrian melakukan check up," jawab Bryan sambil melangkahkan kaki ke lorong yang tidak terlalu ramai.
Bryan mendudukkan Thalia di salah satu kursi tunggu pasien yang terdapat di lorong. Perlahan ia berlutut di hadapan Thalia, mengeluarkan sapu tangan dan berusaha menghapus noda kuning yang terdapat pada salah satu sisi jas putih yang dikenakan oleh wanita itu. Ia mengernyit tidak suka ketika berkata, "Tidak bisa hilang." Namun jemarinya masih berusaha menghapus noda tersebut.
"It's okay Bry. Aku bisa mencucinya di apartemen. Lagipula jadwalku sudah selesai hari ini, jadi aku tidak memerlukan jas ini lagi."
"Aku suka melihatmu mengenakan jas putih ini."
Ucapan Bryan memancing senyum di bibirnya. "Aku juga menyukainya. Aku terlihat keren dengan jas ini, bukan begitu?"
"Terlihat keren dengan noda urine di jas-mu? Yeah, aku akui ini terlihat sedikit artistik di banding jas lainnya, bahkan jas-ku tidak ada apa-apanya dengan—" Jawaban seenaknya yang diucapkan oleh Bryan mendapatkan pukulan ringan di pundak Bryan dan pria itu hanya tersenyum lebar saat merasakan tangan mungil Thalia memukulnya, "Kalau kau mau menyakitiku, kau harus berusaha lebih keras lagi mengeluarkan tenagamu, pumpkin."
"Shut up, Bry!" gerutu Thalia.
"Oh come on, kau tidak bisa berkata seperti itu kepada orang yang sudah menolongmu. 'Thanks Bry, karena sudah menolongku. Aku harap ciumanku dapat membayar apa yang sudah kau lakukan untukku.'" Bryan tertawa ketika mendapatkan pukulan berikutnya dari Thalia. "Kalau kau memang wanita normal, seharusnya kau berkata seperti itu kepadaku, Thalia."
"Dan Adrian akan langsung membunuhku!"
"Dia tidak akan melakukan hal itu, dia hanya akan marah dan menyuruhku tidur di lantai selama beberapa minggu. Kalau aku beruntung, aku bisa merayunya agar dia menghukumku selama satu minggu saja."
"Dan kalau kau tidak beruntung?"
"Aku akan tidur di lantai selama empat minggu atau lebih," jawab Bryan seenaknya sambil terkekeh. Sedetik kemudian, wajahnya terlihat serius daripada sebelumnya dan ia menggenggam jas Thalia erat seraya bertanya, "Wanita itu... apa sering melakukan hal ini?"
Thalia mulai menyadari kemana arah pembicaraan ini, dengan wajah santai ia menjawab, "Ini hanya kecelakaan, Bry."
"Aku sangat yakin apa yang dilakukan wanita itu tidak bisa dikategorikan sebagai kecelakaan. Dan apa yang wanita itu katakan saat di lorong tadi—" Bryan menghela nafas dan kembali berkata, "Apa kau sering mengalaminya?" Ketika Thalia tidak menjawab Bryan mendesah keras, dan mau tidak mau menjawab untuk dirinya sendiri. "Baiklah kalau kau tidak mau membicarakannya."
"Terima kasih atas pengertianmu, Bry."
Thalia memang tidak ingin membahas apapun mengenai kejadian ini. Karena Thalia tidak mau terlihat lemah, terutama di depan Bryan. Lagipula hal ini tidak memiliki pengaruh apapun terhadapnya.
Satu-satunya hal yang bisa membuatnya terpengaruh adalah ketika Bryan Crawford berdiri di depannya, seperti sekarang ini. Karena keberadaan Bryan mampu membuatnya bodoh, tidak hanya itu, seluruh organ tubuhnya juga menjadi bodoh. Lihat saja sekarang, Jantungnya berdebar dan bekerja tidak normal, suhu tubuhnya mendadak naik dan ia mulai merasakan nafasnya mulai tidak teratur. Dan satu lagi, ia tidak suka dengan sikap Bryan yang tidak terlalu banyak bicara namun memperhatikannya dengan bola mata birunya yang begitu intens.
Walaupun ia tahu bahwa Bryan memperhatikannya tidak karena dirinya. Tapi tetap saja...
"Kata-mu Adrian melakukan Check up, apakah dia sakit?" Tanya Thalia berusaha memecah keheningan di antara mereka.
Bryan mengangguk namun mata birunya masih berkilat. "Iya, dia sedang flu dan aku memaksanya untuk melakukan check up."
"Di mana—"
Belum selesai Thalia mengucapkan apa yang hendak dikatakannya, mereka berdua mendengar suara Adrian yang memanggil nama Bryan dari arah belakang mereka. Adrian membawa kantong yang sepertinya berisi obat-obatan. Thalia langsung bangkit dari tempat duduknya, bersamaan dengan Bryan dan tidak butuh waktu lama bagi pria itu untuk segera menghampiri Adrian.
Thalia melihat bagaimana pria itu mengusap kening Adrian yang berkeringat dengan lembut. Ia langsung merasa iri dengan Adrian saat itu juga, bagaimanapun sudah lama Thalia bermimpi bahwa tangan besar Bryan menyapu puncak kepalanya dan mengelusnya lembut seperti apa yang dilakukan pria itu sekarang.
Diam-diam Thalia meremas kedua tangan di balik tubuhnya ketika Bryan mengambil kantong obat dari tangan Adrian dan menggenggam jemari pria itu dengan lembut.
Jangan bermimpi, Thalia Tjandrawinata. Mereka sudah bertunangan. Lupa?
Thalia berdehem hingga kedua pria itu menoleh kearahnya. Ia tersenyum dan mendekati Adrian. Sebelah tangannya terangkat untuk memeriksa suhu tubuh Adrian, "Suhumu lebih tinggi, setelah pulang jangan lupa meminum obatmu dan istirahat. Jangan terlalu lelah, okay?"
"I know, Li," jawab Adrian dengan senyum lebar.
Sambil memaksakan dirinya, ia mengepalkan tangan di samping tubuhnya dan menatap Bryan yang ternyata masih menatapnya dari tadi. "Jangan melakukan hal mesum ketika kekasihmu sedang sakit, Bry. Jangan sampai aku memanggilmu dengan sebutan penjahat kelamin."
"Kau belum tahu bagaimana bagusnya performa-ku, Pumpkin."
Bryan mengatakannya dengan bercanda, Thalia tahu, tapi hal itu juga membuat Thalia mengerti betapa dekat mereka berdua dan hal itu juga yang membuatnya sedih. Dan untuk menutupi perasaannya, Thalia memutar bola matanya dan mendengus, "Syukurlah, aku tidak tahu."
Saat Thalia melihat kedua pria di hadapannya saling menggenggam tangan satu sama lain, Ia tidak bisa menahan perasaannya lebih lama lagi. "baiklah love bird. Kalau begitu aku pamit dulu, ada schedule yang harus kuambil." Sebelum Thalia pergi, ia berdehem dan berkata, "Cepat sembuh, Dri."
"Thanks Li, have a nice day."
Setelah membalas ucapan itu dengan senyuman, Thalia langsung membalikkan tubuh dan berusaha untuk tidak menatap Bryan. Ia berusaha tidak berjalan cukup cepat agar tidak dicurigai oleh kedua pria itu.
Ketika ia merasa telah berjalan cukup jauh, Thalia bisa merasakan cairan hangat mengalir di pipinya. Dengan cepat ia menghapus cairan tersebut dan menghirup aroma tidak sedap akibat cipratan urine di jas-nya. Mau tak mau hal itu membuat Thalia tersenyum miris kearah lantai keramik dibawah kakinya.
"Kau sangat menyedihkan Thalia Tjandrawinata, setidaknya kau masih menyadari hal itu," bisiknya pelan.
⃰
Untuk keempat kalinya dalam hidup, Thalia mengatakan kepada dirinya sendiri untuk melupakan pria itu. Pertama, ketika ia bertemu dengan pria itu di depan pintu apartemen Avelyn. Kedua, ketika ia berusaha mengembalikan akal sehat Warren. Ketiga, ketika ia tahu Bryan memilih Adrian sebagai pendamping hidup dan keempat adalah sekarang ini.
Sialannya, Thalia selalu gagal melakukannya. Seolah-olah dunia ini di setting agar ia tidak bisa melupakan pria itu. Ketika ia memutuskan untuk pergi ke tempat Avelyn, ia akan bertemu dengan Bryan di sana. Dan ketika ia berangkat kerja, Thalia akan mendengar berita mengenai Bryan di seluruh siaran.
Thalia benci Bryan. Ia juga membenci Adrian dan kalau ia sanggup menambahkan daftar kebenciannya lagi. Ia akan memasukkan semua mantan Bryan ke dalam daftar hitamnya.
Di tengah pergulatannya dengan pikiran bodohnya, Thalia mendengar seseorang memanggil namanya dan menepuk pundaknya. Ia menoleh dan mengutuk dirinya karena melakukan hal tersebut. Ini lebih sialan di bandingkan saat tersiram sample urine!
"Aku tidak tahu kalau akan bertemu denganmu di sini," sapa pria tinggi dengan mata berwarna hijau yang berkilat dengan rambut hitam keritingnya. "Bagaimana kabarmu, Li?"
"Aku juga tidak tahu kalau akan bertemu denganmu di sini," Thalia diam-diam menambahkan, kalau aku tahu akan bertemu denganmu, aku akan memilih untuk tetap berada di rumah sakit dengan jas bercampur sample urine!
"Kau berubah." Ucapan itu membuat Thalia menaikkan alisnya tinggi-tinggi dan pria di hadapannnya langsung tersenyum, "Maksudku bukan dalam artian negative. Dulu kau juga sama cantiknya, hanya saja sekarang kau lebih mempesona."
Thalia terdiam, tidak menanggapi ucapan pria di hadapannya. Cantik? Thalia bisa mengingat dengan jelas bagaimana pria di hadapannya meninggalkannya tepat di hari pertunangan mereka dengan alasan bahwa secara fisik, Thalia telah mempermalukannya. Dan jelas kata cantik yang baru saja di ucapkan oleh pria itu tidak mampu membuat Thalia merasa senang.
Rasa malu yang di alaminya saat itu, mampu mengubah rasa malu menjadi rasa marah. Tapi sialnya, seluruh teman-teman sekolahnya akan terus menghinanya selama satu dekade kedepan karena kejadian ini.
Sebelum Thalia memutuskan untuk memukul pria di hadapannya, pria itu sudah berkata, "Aku ingin meminta maaf atas apa yang sudah kulakukan padamu, Li. Aku—"
"Berhentilah bersikap seolah-olah kau mengenalku dengan baik, Hugh! Namaku adalah Thalia Tjandrawinata dan aku tidak merasa bahwa kita sangat dekat sehingga kau bisa memanggilku dengan nama kecilku Mr. Thompson."
"Baiklah kalau begitu. Thalia. Boleh aku memanggilmu dengan sebutan itu?"
Thalia tidak menjawab, langsung saja Hugh memegang lengan atas Thalia dan menggenggamnya lembut. "Aku sungguh-sungguh minta maaf padamu, Thalia. Saat itu aku tidak bisa berpikir jernih sehingga aku mengeluarkan alasan yang sangat tidak masuk akal, sampai-sampai ucapanku menyakitimu." Ketika Thalia tidak menjawab, Hugh kembali melanjutkan. "Tidak bisakah kita mengulanginya dari awal?"
"Begitu saja? Kau pikir hanya dengan maaf segalanya akan kembali normal seolah-olah tidak ada hati yang terluka. Iya, Hugh?"
"Kau bisa menyuruhku melakukan apapun dan aku akan berusaha melakukannya selama aku bisa mendapat maaf—"
"Tidak ada yang perlu kau lakukan, Hugh Thompson karena tidak ada yang perlu di maafkan!" Thalia menepis tangannya dari Hugh dengan kasar. "Aku tidak menginginkan apapun. Kalaupun ada yang bisa kau lakukan untukku, hal itu adalah menjauh dariku! Aku tidak ingin memiliki satupun urusan denganmu atau dengan keluargamu!"
Thalia memang tidak ingin bertemu dengan Hugh lagi, baginya pria itu adalah masa lalu yang telah di kubur dalam-dalam. Entah bagaimana, Thalia sadar bahwa ia selalu mendapatkan Mr. Wrong dan bukannya Mr. Right. Dan anehnya, walaupun Bryan Crawford termasuk Mr. Wrong dan merupakan pria yang harus di hilangkan dari list-calon-pemilihan-suami, Thalia tetap menginginkan pria itu.
Berhentilah memikirkan pria yang tidak menginginkanmu, wanita dungu!
Ketika Hugh masih berusaha untuk memberikan ratusan alasan masuk akal untuk membuat Thalia mengubah pendiriannya, mendadak seseorang menghentak cengkraman Hugh dan berkata dengan nada dingin. "Pergi dari sini sebelum aku menancapkan ujung sepatuku di wajahmu yang tampan, anak muda."
Thalia mmenoleh dan terkejut saat mendapati mama-nya berdiri di sampingnya dengan wajah memerah karena menahan amarah. Dan bodohnya, Hugh malah berdehem dan kembali menatap Ivy. "Selamat siang, Mrs. Tjandrawinata."
Ivy mengangkat alisnya tinggi-tinggi.
"Kau masih ada muka untuk menyapaku, anak muda?" kemudian Ivy mendengus kasar. "Bukankah sudah kukatakan dengan sangat jelas kepada kedua orangtuamu, kalau sampai aku melihatmu di jalan baik secara sengaja ataupun tidak, maka aku tidak akan segan-segan mengulitimu hidup-hidup dan menjadikan orang tubuhmu sebagai umpan ikan untuk kegiatan memancing suamiku."
"Aku—"
Sekali lagi, Ivy menyipitkan matanya dan menunjuk kearah yang berlawanan dari tempat Hugh berdiri. Dan sekali lagi dengan nada perintah ia berkata, "Pergi dan jangan kembali, Hugh. Aku mungkin tidak serius ketika berkata bahwa aku akan membunuhmu. Tapi kalau sampai kau berani mengganggu puteriku setelah apa yang kau lakukan padanya, jangan salahkan aku kalau ancamanku berubah menjadi kenyataan."
"Lima tahun yang lalu kau pergi meninggalkannya, jadi sekarang jangan pernah kembali. Kalaupun puteriku tidak memiliki akal sehat sampai menerimamu kembali, jangan harap aku dan suamiku akan menerimamu."
Thalia bergeser dan mengguncang pundak Ivy pelan, "Ma..." lalu ia mencengkram Long Coat milik mama-nya.
Detik kemudian Hugh langsung pergi dari hadapan mereka berdua. Thalia tahu kalau ibunya memang tidak terkalahkan. Dan kalaupun di dunia ini ada manusia yang tidak dapat diguncang, orang itu adalah mama-nya sendiri. Lagipula Thalia sadar bahwa ia tidak mungkin mengalahkan ibunya, karena ibunya selalu benar...
Setelah Hugh menghilang, Ivy menoleh kearahnya dan bersidekap. "Apakah ada penjelasan mengenai kedekatan kalian?" Sebelum Thalia mengatakan sesuatu, Ivy langsung berkata lagi, "Atau aku harus mengatakan kepada papa dan juga Warren mengenai kelakukanmu hari ini, Thalia Tjandrawinata?"
Thalia meringis. "Kelakukan apanya? Dia yang tiba-tiba menyapaku di saat aku sedang menikmati udara siang!"
"Bagaimana bisa kalian mendadak bertemu? Dan dari apa yang mama lihat barusan, kalian saling bergenggaman tangan!" Ivy mendesah keras dan berkacak pinggang. "Dia sudah menyakitimu, mempermalukanmu sampai kau mau mati dan bahkan dia menginjak-injak perasaanmu! Dan sekarang apa? Kalian mendadak bertemu dan saling bergenggaman tangan, begitu?"
"Aku tidak melakukan hal bodoh itu, Ma! Kami tidak sengaja bertemu. Lagipula aku tidak sebodoh itu untuk mencintai dia lagi! Memangnya mama pikir aku sebodoh apa?!"
"Dan mama harus percaya denganmu begitu saja?"
"Terserah!" Kali ini giliran Thalia yang berkacak pinggang. "Aku tidak menyukai Hugh Thompson, Ma. Orang yang aku sukai hanyalah satu dan tidak pernah berubah semenjak tiga tahun yang lalu. Dan sialnya hanya Tuhan yang tahu kenapa aku memilih pria yang menyebalkan seperti dia!"
"Jadi, kau mau bilang kalau kau mencintai orang lain sehingga tidak mungkin kembali dengan Hugh?"
"Tentu saja!" jawab Thalia berapi-api.
"Kalau begitu siapa orangnya, Li? Mama kenal ya?" Ivy memasang wajah datar seolah-olah terkejut dengan pengakuan puterinya. "Jangan bilang orang yang kau sukai itu lebih jelek atau malah kelakuannya lebih parah daripada Hugh?!"
Thalia yang tidak sadar bahwa dirinya tengah di pancing oleh ibunya sendiri, mendadak merasa kesal karena mendengar ejekan 'lebih jelek' dari mama-nya. Ia menghentakkan kaki dan berkata dengan suara lantang. "Bryan Crawford lebih tampan dan lebih menarik daripada Hugh Thompson, mama! Kalau saja mama mengenal Bryan, mama juga akan bilang kalau—"
Untuk sejenak, Thalia terdiam dan baru saja sadar kalau ia telah terkena umpan yang diberikan oleh Ivy. Dasar mulut sialan...!
Thalia meringis, sementara Ivy tersenyum lebar sambil mengangkat alisnya tinggi-tinggi. Mata birunya memancarkan aura kemenangan yang selalu dikeluarkannya ketika berhasil memancing anak-anaknya. "Bryan Crawford tampan ya, Li?"
1 Maret 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top