19

"Anda seharusnya tidak melakukan hal itu," ucap Garry sambil mendorong kursi roda Karesh ke dalam ruangannya. "Anda telah mengucapkan hal yang jelas-jelas akan anda sesali nanti, Sir."

"Hanya kau yang mampu mengatakan hal itu, Garry," jawab Karesh menghela nafas lelah. "Seseorang harus mengatakannya, seseorang harus bersikap menjadi antagonis, Garry."

"Anda bisa mengatakan hal yang sebenarnya."

Karesh menggeleng. "Kau pikir dengan mengatakan hal yang sebenarnya, dia bisa menjadi kuat dan melindungi wanita itu?"

Baik Karesh maupun Garry, sama-sama mengetahui jawaban dari pertanyaan tersebut. Karena itulah Garry tidak menjawab apapun ketika membantu Karesh kembali duduk di tempat tidur, dan mengetahui Garry tidak lagi mengeluarkan suara, Karesh melanjutkan ucapannya, "Pria yang kuat adalah pria yang telah di tempa oleh kehidupan yang keras, Garry. Dengan menjadi antagonis, anak bodoh itu akan berubah menjadi lebih kuat untuk mengalahkan si antagonis."

Lalu Karesh menoleh kearah Garry dengan wajah datar.

"Apa menurutmu ada yang lebih baik selain menjadi peran antagonis?"

"Tidak Sir."

°

Lima belas menit setelah kepergian ayahnya, Bryan duduk di samping Thalia dengan memegang helaian rambut pirang wanita itu. Nafasnya tersentak-sentak ketika ia melihat Thalia mengernyitkan alisnya beberapa kali seolah kesulitan bernafas. "Kau bukan Pauline, karena bagiku Pauline sudah meninggal."

"Dan aku tidak membutuhkanmu berada di sisiku, Sugar..." bisik Bryan pelan. Ia mengucapkan hal itu untuk mendorong dirinya sendiri agar pergi dari tempat itu. "Aku tidak butuh menjadi lemah dan aku tidak membutuhkanmu."

Bryan menutup matanya, menelan saliva-nya dan kembali berkata kepada dirinya sendiri. "Adrian lebih baik dan dia adalah satu-satunya orang yang boleh berada di sisiku. So—"

Dan Bryan tidak bisa melanjutkan ucapannya lagi. Ia tidak sanggup mengucapkan kebohongan semenyakitkan itu kepada dirinya sendiri dan di depan Thalia, walaupun benak pintarnya mengatakan bahwa ia memang harus melakukannya. Bryan harus kerap mengatakan hal itu agar ia tidak melewati batas, agar ia selalu ingat kalau mendekati Thalia atau berusaha selangkah lebih dekat dengan wanita itu adalah kehilangan.

Tidak boleh ada satu senti lebih dekat.

Tidak boleh ada Thalia dalam rencana kehidupannya.

Itulah yang telah di putuskan oleh Bryan sejak kehilangan Pauline dulu. Karena kehilangan Thalia akan menjadi satu-satunya alasan baginya untuk menjadi tegar. Dengan pemikiran seperti itu, Bryan mengepalkan tangannya dan berkata tegas, "Menjauhlah."

"Kalau begitu jangan khawatirkan aku."

Ucapan itu membuat Bryan membuka matanya kembali dan melihat Thalia tengah menatapnya dengan wajah sendu. Tanpa di ketahui wanita itu, Bryan sangat membenci saat Thalia memperlihatkan wajah itu kepadanya karena Bryan akan menghabiskan malam dengan mengutuk dirinya sendiri. Bryan akan menyalahkan dirinya sendiri sepanjang malam.

"Kalau kau menginginkanku untuk menjauh, maka menjauhlah dan jangan mendekat." Setetes air mata mengalir dari pelupuk Thalia. "Jangan biarkan aku mendekat. Jangan biarkan aku mengambil langkah satu senti kearahmu. Jika aku melakukannya, maka kau harus menjauh."

"Jangan lakukan itu, Thalia..." bisik Bryan pelan.

"Kau menginginkan aku menjauh dan aku mengijinkanmu untuk menjauhimu. Tapi Bry, jangan pernah memintaku untuk menjauh. Kau tahu kenapa?"

Bryan menggeleng, berusaha mengatakan bahwa ia tidak ingin mengetahui apapun karena semakin Thalia memperlihatkan air matanya, Bryan akan mati. Bryan akan kehilangan kewarasan dan ketegarannya.

"Karena aku tidak bisa melakukannya, Bry. Karena aku tahu, jatuh cinta dan menjauhimu seperti dua kutub yang berlawanan dan pada akhirnya aku akan kembali jatuh cinta kepadamu. Dan...aku sudah lelah menjauhimu lalu kembali mencintaimu, Bryan Crawford."

"Aku tidak bisa melakukan hal itu."

"Bry...tidak bisakah kau memberikanku satu kesempatan?" tanya Thalia pelan. Perlahan tangan Thalia terulur dan mengelus rahang Bryan."Biarkan aku menjadi Pauline. Aku tidak masalah kalau—"

Bryan menyentak tangan Thalia keras dan ia langsung bangkit berdiri. Ucapan Thalia membuat kewarasan Bryan kembali, ucapan itu membuat Bryan kembali menjadi dirinya yang tegar dan keras. Sambil mundur, Bryan memasukkan tangan ke dalam saku dan mata birunya berkilat. "Kau tidak bisa menjadi Pauline dan tidak akan pernah bisa."

"Kalau aku memberikanku kesempatan—"

"Adrian adalah satu-satunya kekasih yang kuberikan kesempatan untuk menjadi Pauline." Bryan bisa merasakan nafas wanita itu tersentak, dan Bryan terus menahan dorongan untuk tidak menjadi lemah sekarang. "Aku juga sudah mengatakan kepadamu, bahwa aku tidak mencintaimu."

"Apa kau harus terus menamparku dengan kenyataan pahit itu?" tanya Thalia pelan.

"Aku tidak dan tidak akan pernah mencintaimu, Thalia Tjandrawinata." Bryan mengepalkan tangan di dalam saku. "Dan memberikanmu kesempatan adalah satu-satunya hal tersulit yang bisa kulakukan."

"Kalau begitu..."

"Kau benar, kalau aku memang ingin menjauhimu maka aku harus mengambil tindakan. Aku harus membuat diriku jauh dari gapaianmu. Aku harus menggaris sebuah batas di mana kau tidak akan pernah masuk, karena seharusnya aku lah yang menjauhimu bukannya kau."

Thalia menggigit bibir bawahnya dan menarik nafas berulang kali. Sampai akhirnya Thalia memutuskan untuk menutup mata seolah menolak ucapan yang hendak di sampaikan Bryan selanjutnya. Karena ia tahu, apapun itu akan sama menyakitkan baginya.

"Aku akan segera menikahi Adrian, dengan begitu pembatas di antara kita akan jelas terlihat, bukan?"

"Stop Bry... Please Stop it..." bisik Thalia dengan isak kecil.

Kemudian Bryan membalikkan tubuh dan hendak keluar dari ruangan, namun sebelum ia sempat menutup pintu Thalia berbisik pelan. Satu bisikan yang begitu menggetarkan namun terasa indah di telinganya. "Aku mencintaimu Bry, sudah lama. Apakah... hal itu tidak berarti apa-apa untukmu?"

Aku juga... Hanya tekad kuat yang bisa membuat Bryan tidak mengucapkan hal itu. Alih-alih mengucapkan apa yang diinginkannya, Bryan malah berkata, "Iya. Hal itu tidak berarti apapun untukku."

Lalu pintu tertutup, meninggalkan isak Thalia yang teredam oleh selimut dan pintu. Sementara di balik pintu, Bryan menutup matanya serta menahan agar air matanya tidak jatuh. Bryan berusaha agar tubuhnya tetap bertahan di sana dan tidak membuka pintu kembali atau mencium wanita itu serta menarik seluruh ucapan yang baru saja di lontarkannya.

°

Setelah dirinya kembali seperti semula, Bryan berjalan menelusuri koridor dan melihat Avelyn serta Adrian berdebat. Tidak dengan nada tinggi, namun yang mereka lakukan adalah berdebat. Dan Bryan berjalan pelan kearah mereka.

"Yang di cintai Bryan adalah Thalia, walaupun memilikinya adalah hal yang mustahil tapi Bryan masih bisa mencintainya. Dia akan terus memilih Thalia di banding dirimu, Dri!" Avelyn menutup wajahnya, berusaha menahan tangis dan kembali berkata, "Kau tidak bisa mengatur perasaan seseorang sesuai dengan kehendakmu!"

"Siapapun boleh memiliki Bryan kecuali Thalia," ucap Adrian.

"Adrian Stockholm!"

"Karena mereka tidak boleh bersama!" teriak Adrian. Ia menujuk Avelyn dengan marah dan nafas menggebu-gebu. "Kau tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya kehilangan adik yang kau sayangi. Kalau yang bisa mendapatkan Bryan adalah Pauline, maka aku tidak mengijinkan Thalia menjadi penggantinya! You know why?!"

Avelyn terdiam.

"Because I do love him!" Adrian menarik nafas kembali, sebelum kembali berkata, "Karena hanya aku satu-satunya yang diijinkan Bryan untuk bertahan di sisi pria itu! Lagi dan lagi, pria itu akan terus memilihku bukannya Thalia Tjandrawinata!"

Ketika Bryan sudah berada dekat di antara mereka, ia bisa melihat Avelyn menahan emosinya yang menggebu-gebu sementara Adrian tengah menahan tangisnya.

"Itu benar, Lyn,"ucap Bryan.

Baik Avelyn maupun Adrian sama-sama menoleh kearah Bryan dengan wajah terkejut. Sebelum Avelyn sempat mengucapkan apapun, Bryan telah berkata, "Aku akan terus memilih Adrian di bandingkan Thalia. Over and over again in this life."

"Kau menyakiti dirimu sendiri, bodoh," bisik Avelyn.

"Aku akan menikahi Adrian secepatnya." Bryan mengucapannya dengan wajah datar dan ia bisa melihat betapa terkejut Avelyn namun Bryan tidak memberikan sahabatnya itu waktu untuk membuatnya merubah pikirannya. "Aku seharusnya menggambar sebuah garis di mana Thalia tidak akan mendekat, dengan pernikahan dia akan sadar bahwa tidak pernah ada kami."

Avelyn tidak mengucapkan sepatah katapun. Ia meletakkan kedua tangannya di bahu Avelyn, meremasnya pelan. "Kau ingin aku bahagia bukan Lyn?" tanya Bryan dan Avelyn mengangguk. "Kalau begitu jaga dia."

"Apa mencintainya harus dengan menyiksa dirimu sendiri?" bisik Avelyn pelan.

"Mencintainya adalah sebuah pilihan, Lyn." Bryan memandang Avelyn dengan wajah nanar, "namun memilikinya adalah sebuah harapan. Dan sebuah harapan kosong tidak boleh di biarkan berlarut, Lyn, karena aku membutuhkannya tersenyum dan terbangun di setiap hari hingga lima puluh tahun kedepan."

Semuanya adalah awal dan segala awal merupakan akhir. Bagi Bryan segalanya hanya akan kembali keawal di mana ia jatuh cinta dengan senyum dan pipi merah Thalia namun segalanya harus berakhir. Ia tidak akan pernah mengikuti ucapan ayahnya karena Bryan sama sekali tidak perduli dengan harta ataupun kekuasaan yang dimiliki oleh Tjandrawinata.

Bryan hanya ingin Thalia selamat. Bryan hanya ingin wanita itu tetap bernafas.

°

Di dalam ruangan, Thalia menangis.

Mengutuk kebodohannya karena mengucapkan kata cinta dan berakhir di tolak. Tidak... bahkan Thalia bisa menjamin kalau pria itu seolah-olah tidak ingin mendengar kata cinta darinya. Thalia tidak tahu kalau pernyataan cinta bisa seburuk ini.

Tapi satu hal yang pasti, Thalia tidak ingin kehilangan Bryan. Ia tidak mau membiarkan Bryan mendorong dirinya menjauh lalu meninggalkannya dalam keterpurukkan. Kalau ia memang harus terpuruk, maka Thalia ingin mengecap manis.

Perlahan Thalia mengulurkan tangan kearah nakas dan mengambil ponselnya. Ia menghubungi Karesh setelah pertarungan dengan dirinya selama tujuh menit. Setelah sambungan telepon terangkat dan Thalia mendengar suara Karesh, ia langsung bertanya, "Apapun rencana yang sedang kau pikirkan aku sama sekali tidak perduli."

"Aku hanya menginginkannya, dan aku akan membantumu Karesh Crawford." Thalia menarik nafas, sambil menelan saliva-nya ia bertanya, "Tapi aku mau tahu apa yang di hadapi oleh Bryan dan kenapa harus aku?"

"Tentu, kau pantas mendapatkan jawabannya," ucap Karesh pelan. "Tapi biar ku ingatkan, bahwa mencintai dan memilikinya memiliki satu syarat, yaitu kematian."

"Aku sudah mati sejak lama, Sir. Karena jatuh cinta kepada putera anda telah membunuh sebagian diriku setiap harinya. Jadi apa bedanya dengan kematian yang anda maksudkan?"

"Kalau mencintainya hanyalah luka untukmu, bukanlah lebih baik untuk menghentikannya?"

"Jika semudah itu, maka segalanya akan lebih baik."

Iya, Thalia merasa sedikit demi sedikit dirinya sudah mati sejak ia jatuh cinta pada Bryan Crawford. Berulang kali ia melihat pria itu berhubungan dengan wanita seperti mengganti baju, namun Thalia tetap tidak bisa mengenyahkan pandangannya dari pria itu. Padahal ia tahu, semakin ia mendekat, pria itu semakin menyakitinya. Pria itu selalu mendorongnya menjauh hingga satu senti yang dipikir Thalia telah tercapai malah berubah menjadi garis awal.

Tapi walaupun luka di hatinya telah menganga, Thalia tahu bahwa mengabaikan Bryan merupakan pelarian, bukan jawaban. Sejak mengetahui tentang Pauline, Thalia terus merasa gelisah. Ia terus merasa takut kalau-kalau wanita bernama Pauline ini akan datang dan merebut Bryan serta menghancurkan satu senti-nya.

Awalnya Thalia tidak ingin bertanya, namun akhirnya rasa penasaran dan cemburunya membakar dirinya sehingga Thalia dengan pelan berucap, "Siapa Pauline?"

TBC | 19 Mei 2018

More Info :

Ig :Margarethnataliaf

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top