14

Selama sebulan, Thalia memfosir dirinya sendiri untuk bekerja. Ia memilih untuk bekerja di departemen Unit Gawat Darurat di saat seluruh dokter berharap tidak terpilih. Karena jika kita bekerja di departemen UGD, hampir seluruh jam akan kita habiskan dengan kecelakaan dan pemeriksaan darurat pasien yang tidak ada habisnya.

Mereka akan menghabiskan sebagian waktunya di dalam ruang ICU, bangsal perawatan dan tempat pemeriksaan lainnya.

Tapi Thalia Tjandrawinata memilih departemen ini.

"Mobil ambulance datang!" teriak salah satu staff medis yang sudah berlari di lorong sambil mendorong brankar ke lobby rumah sakit.

Beberapa staff medis sudah membuka mobil ambulance, mengeluarkan pasien dan menjelaskannya dengan cepat sambil melakukan pekerjaannya. "Kecelakaan di North Booklyn. Ledakan terjadi di salah satu ruang server perusahaan Tech. Ada tiga puluh empat orang yang terluka!"

"Bagaimana kondisinya?"

Staff medis di unit gawat darurat telah melakukan tugasnya secepat yang dapat di lakukannya. Beberapa memeriksa luka yang di alami pasien, beberapa dari mereka mengobati pasien yang lukanya tidak terlalu parah.

Tidak lama kemudian Thalia berlari dengan sepatu sketnya menuju departemen unit gawat darurat. Rambut pirangnya telah di ikat pada puncak kepala, stetoskopnya telah berada di tangan dan siap memeriksa satu persatu pasien yang terbaring di brankar. Langkahnya terhenti ketika melihat salah satu wanita terbaring dengan lengan terbakar sangat parah hingga tulangnya terlihat.

Demi Tuhan, ini pemandangan yang sangat mengerikan baginya. Bagaimana mungkin rumah sakit penuh dengan pasien yang mengalami kecelakaan?

"Bawa pasien ini ke ruang operasi!" Thalia menoleh kearah salah satu staff yang tengah memberikan antibiotik kepada salah satu pasien, "George! Panggil dokter Adenna sekarang juga. Minta bantuan dari beberapa departemen surgery. Kita membutuhkan banyak bantuan di sini!"

Beberapa staff melakukan apa yang baru saja di perintahkan oleh Thalia. Sementara Thalia bersiap mendorong brankar salah satu pasien yang tidak sadarkan diri akibat pecahan besi menusuk kakinya.

Namun seseorang menahan tangannya hingga Thalia terdiam. Ia menoleh dan mengernyit, "Ada apa?"

"Anda tidak bisa melakukan hal itu, dokter Tjandrawinata. Ada pasien yang hendak menjalani operasi."

"Dan separah apa luka pasien tersebut?"

"Usus buntu," jawab staff tersebut.

"Dan apakah sudah terjadi komplikasi?" tanya Thalia tenang.

Staff tersebut terdiam, mengernyit dan kemudian berkata, "Sepengetahuan saya, pasien tersebut belum—"

"Dan apakah kau bisa melihat kalau pasien ini bisa bertahan sampai besok kalau tidak di operasi sekarang?"

"Tapi, dok, menurut prosedur rumah sakit—"

"Prosedur my ass!" teriak Thalia keras hingga seluruh staff medis berhenti melakukan pekerjaannya. Thalia menunjuk ke sembarang arah yang memperlihatkan tiga puluh empat pasien yang merintih kesakitan dan beberapa di antara mereka sudah tidak sadarkan diri. "Pikirkan kembali sumpah jabatanmu ketika memutuskan untuk menjadi seorang dokter. Apakah prosedur rumah sakit sebegitu berharganya di bandingkan keselamatan mereka?! Pikirkan kembali alasanmu berada di departemen ini. Untuk menjalankan prosedur sialan itu, ataukah untuk menyelamatkan mereka dari maut?!"

Lalu Thalia menunjuk kearah salah satu dokter intern dengan galak.

"Kalau kau mengerti apa yang kukatakan, segera angkat kakimu dari sini dan temukan dokter bedah yang bisa kita pinjam dari departemen surgery!"

Satu bulan yang lalu Thalia kehilangan seluruh alasannya untuk hidup akibat di tolak oleh Bryan. Ia merasa hidupnya sama sekali tidak berarti, tapi ia salah. Setidaknya di sini kehidupannya masih sangat berarti, karena di sini ia masih bisa menyelamatkan hidup pasiennya. Sejak itu Thalia memutuskan untuk pindah ke departemen ini untuk melakukan hal lebih untuk pasiennya.

Thalia tahu di sini, ia bisa mempelajari banyak hal, termasuk bagaimana bergerak cepat ketika puluhan pasien datang dalam sekali waktu.

Dan di sini Thalia tidak akan memiliki cukup waktu untuk mengingat Bryan Crawford, kecuali pada malam hari.

°

Lima jam kemudian, Thalia keluar dari ruang operasi. Ia melepas maskernya dan berkata kepada Adenna yang berjalan kearahnya. "Bagaimana operasinya?"

"It's suck." Adenna menghela nafas. "Tapi setidaknya pasien itu masih selamat."

"Jadi, berhasil?"

"Memangnya kau pikir aku pernah membiarkan pasienku mati di atas meja operasi?" Adenna tersenyum miring. Lalu raut wajahnya berubah menjadi serius ketika melihat raut wajah lelah Thalia. "Istirahat, Li. Wajahmu terlihat seperti orang yang mau pingsan."

"Ada tujuh pasien lagi. Aku tidak bisa istirahat sekarang."

"Badanmu tidak akan kuat jika memaksa untuk melakukan operasi tujuh pasien, Li." Adenna menggeleng kepalanya. "Kalau patah hati, jangan jadi gila. Hanya karena pria itu, kau mau merusak tubuhmu sendiri?" ejek Adenna seenaknya.

Thalia hanya tersenyum miring menjawab ejekkan Adenna. Lalu pria itu menyodorkan segelas gelas kopi instan kearahnya. "Minum dulu, sebelum bertarung."

"Thanks," jawab Thalia sambil mengambil gelas kopi tersebut.

Sejenak Thalia menyandarkan punggungnya pada tembok di belakangnya. Tatapannya teralihkan pada sosok staff medis yang berlari-lari di lorong sambil membawa beberapa peralatan medis lainnya ke dalam ruangan pasien. Thalia memperhatikan gerakan orang-orang di sekitarnya sambil meneguk cairan kental ke dalam tenggorokannya.

"Oh ya, Li, kau tahu kalau ambulance terus berdatangan dari North Brooklyn?" tanya Adenna yang berdiri di sampingnya. "Selama lima jam ini, sudah lima mobil berdatangan."

"Hm..." jawab Thalia mengangguk.

"Kau tahu di mana kejadiannya?"

Thalia menggeleng. Tentu saja ia mendengar begitu banyak informasi selama ia melakukan operasi. Dan informasi paling akurat yang bisa di tangkapnya adalah bahwa kecelakaan itu terjadi akibat ledakan di salah satu ruangan server pada perusahaan teknologi ternama. Tapi Thalia tidak mendengar perusahaan mana yang terkait.

"Katanya dari salah satu perusahaan teknologi,"ucap Thalia.

"Memang. Tapi ini sudah di siarkan berita, kau tidak melihatnya?"

Dengan tersinggung Thalia menjawab, "memangnya kau pikir aku sempat melihat berita televisi di dalam ruang operasi?"

"Ikut aku." Adenna menarik tangan Thalia yang di tahan oleh wanita itu. "Kau harus melihat beritanya sendiri, Li. Lagipula operasi belum di mulai."

°

Akhirnya Thalia membiarkan Adenna menariknya hingga ke Lobby rumah sakit. Adenna meminta kepada resepsionis untuk mengganti siaran televisi dan setelahnya ia menatap Thalia dengan tegas, "Lebih baik kau duduk, karena aku merasa berita ini akan membuatmu shok."

"Apa ini berkaitan dengan Warren?"

"Tidak. Kakakmu baik-baik saja," jawab Adenna cepat.

"Lalu apa?" Thalia mengabaikan ucapan Adenna yang menyuruhnya untuk duduk di salah kursi tunggu dengan tenang. Bagaimana bisa ia tenang sementara pria itu memperlihatkan gelagat yang aneh? Bagaimana bisa ia duduk dengan tenang ketika pria itu justru sudah menunjukkan bahwa telah terjadi hal buruk? "Katakan sekarang kepadaku, Adenna Hawkes sebelum aku memotongmu menjadi beberapa bagian!"

Tapi pria yang diajaknya bicara sama sekali tidak mengeluarkan statement apapun. Pria itu hanya menyuruh Thalia untuk melihat kearah berita televisi.

"Pukul 11.00 A.M telah terjadi ledakan besar pada salah satu ruang server pada perusahaan Crawford Tech yang berada di North Brooklyn. Kecelakaan yang belum di ketahui sebabnya itu membuat tiga puluh empat pasien terluka parah dan tujuh puluh tiga pekerja luka ringan.

"Namun, setengah jam yang lalu kebakaran sudah meluas dan pemilik Crawford Tech yaitu Bryan Crawford, yang seharusnya di jadwalkan berada di dalam gedung ini belum terlihat sama sekali. Padahal seharusnya menurut jadwal yang di terima, Bryan Crawford akan menghadiri sebuah rapat penting dengan petinggi Jian Shang dari Cina.

"Sekarang beberapa penyelamat telah memasuki gedung untuk mencari keberadaan Bryan Crawford. Apakah satu-satunya pewaris dari Crawford tech masih hidup dan berada di kantor cabang Crawford Tech yang lain, ataukah beliau benar-benar berada di dalam gedung ini? Quennessa dari Daily Times Brooklyn melaporkan."

Bagi Thalia, di benci Bryan adalah satu-satunya hal yang menyakiti hatinya. Tapi ketika ia mendengar bahwa ada kemungkin Bryan masih berada di dalam gedung yang di penuhi dengan api. Thalia tahu ia telah salah. Sepenuhnya salah...

Di benci pria itu tidaklah sebegitu menyakitkannya di banding kehilangan pria itu selamanya. Mengetahui ada kemungkinan Bryan meninggal, waktu di sekitar Thalia seolah berhenti begitu saja. Suara di sekitarnya seolah bergema dan Thalia tidak bisa mendengarnya dengan baik. Ruang bernafasnya menyempit... dan rasanya seluruh oksigen yang di hirupnya berubah menjadi racun yang menyebar dengan begitu lambat di dalam tubuhnya.

Thalia tidak bisa merasakan getaran pada ujung jemarinya. Ada rasa takut yang menyebar begitu cepat. Pria itu tidak mungkin meninggal, itulah yang dipikirkan oleh Thalia untuk menyelamatkannya dari ketakutan.

Bagaimana jika masih berada di dalam?

Bagaimana kalau...Bryan masih berada di ruang kerjanya?

Sebulan ini ia menghindari seluruh berita mengenai pria itu. Ia ingin membuktikan bahwa ia seharusnya menjauh dari jangkauan pria itu, sehingga ia masih bisa bertahan. Warren pun tidak ingin ia membahas apapun mengenai Bryan, karena katanya orang waras tidak boleh membahas hal yang menyakitinya.

Yang ia tahu Bryan kembali pada Adrian.

Pernah sekali Thalia bertemu dengan Bryan di dalam salah satu pusat perbelanjaan, namun pria itu bersikap seolah-olah tidak mengenalnya. Dan bagi Thalia itu sudah lebih dari cukup.

'Ketika pagi tiba, kau boleh bersikap seolah-olah aku tidak ada di dalam kehidupanmu.' Ia adalah orang yang mengatakan hal itu. Tapi sialnya, setiap malam tiba...Thalia memakai pakaian Bryan hanya untuk merasakan sisa-sisa kehangatan pria itu. Bagaimana ia bisa memiliki pakaian Bryan? Karena bertepatan saat ia meninggalkan apartemen pria itu, ia membawa salah satu pakaian yang ada di Walk in Closet.

Aneh?

Iya, Thalia juga sudah tahu. Tapi hanya inilah cara agar ia bisa tidur, dengan menghirup aroma yang di miliki oleh pria itu.

"It's impossible..." bisik Thalia pelan. Ia menoleh kearah Adenna dengan air mata yang sudah menggantung di pelupuknya. "Ini tidak benar-benar terjadi. Iya kan, Na?"

"Dia belum mati, Thalia," ucap Adenna mencengkram erat lengan atas Thalia. "Pria brengsek itu masih hidup. Karena Li, manusia brengsek seperti dia sangat sulit mati."

Thalia menggeleng.

"Bodyguard yang dimiliki pria itu setara dengan yang dimiliki oleh kerajaan—"

Sayangnya, sebelum Adenna menyelesaikan ucapannya Thalia tidak lagi mendengar. Thalia merasa seluruh suara di sekitarnya berubah menjadi degungan di telinganya. Lalu ia seakan mendengar pertanyaan Karesh. Apakah hanya sekecil itu saja perasaanmu padanya?

Tidak.

Jawabannya bukankah sudah jelas? If he lives without loving me, Then I can still life with my own feel. But If he's died...So I am. Seharusnya saat itu Thalia tahu kalau lebih baik di benci oleh Bryan namun ia masih bisa melihat pria itu setiap hari, di setiap saat ia membuka mata.

Dan jawaban yang barusan terlintas itulah yang membuat tubuh Thalia bergerak. Ia keluar dengan mengenakan jas dokternya. Dan mengabaikan teriakan dari Adenna dan terus berlari hingga masuk ke dalam mobil menuju Crawford tech Building.

TBC | Republish 05 Mei 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top