1. Prolog dari Sang Kriminal
[Shariel POV]
Pagi itu dimulai lebih mulus dari perkiraanku, atau setidaknya itu yang kupikirkan ketika aku dan butler pribadiku jatuh bebas dari langit menuju pekarangan rumahku.
Tidak, aku tidak bercanda. Selera humorku ikut terbunuh gerombolan Penelan Sukma yang membunuh 127 penduduk kotaku di hari kelima aku menjabat sebagai Marquis menggantikan mendiang Ayah. Aku benar-benar jatuh bebas setelah dilempar portal menuju masa lalu. Hei, tapi sisi baiknya, pemandangan dari sini jauh lebih indah dari apa yang aku ingat. Aku bisa melihat alun-alun tempatku nongkrong dulu dari sini. Sepertinya bagus bila aku menjelaskan kejadian ini pada orang lain di depan Tresnalic; Kejadian ini bisa terdengar konyol tanpa konteks sehingga aku tidak perlu mendengar sindiran soal umurku dan wajahku.
'Umurmu baru dua puluh empat' katanya. 'Kamu masih harus banyak tertawa', ujar Tresnalic, yang tidak pernah tersenyum lagi sejak kematian saudaranya.
Ironis. Mungkin aku pada masa ini akan tertawa mendengar Tresnalic menasihatiku begitu, tapi dia ada benarnya juga.
"Ngomong-omong," Tresnalic, yang ikut Time Travel denganku untuk menyelamatkan dunia, memecah pikirku dengan nada setenang genangan air di musim panas, "kita jatuh tinggi juga ya."
Aku menatap matanya yang sama lelah karena bertarung setiap hari, sebelum menatap ke bawah; mencoba menghitung waktu kapan kita akan mendarat. Pipiku sedingin es, telingaku kebas sampai aku yakin benar kalau Tresnalic tidak menggunakan sihir komunikasi, mungkin aku tidak bisa mendengar apapun. Tubuh kami masih sangat jauh, dan kami punya waktu lebih dari cukup untuk memperlambat kecepatan jatuh, atau terbang, atau teleport jarak dekat kalau ingin norak. Hanya saja, aku memutuskan untuk berbicara.
Aku membuka mulut, tapi lelucon di kepalaku terhembus pergi. Yang keluar dari mulutku malah jawaban asal; "Lima menit lagi sampai tanah, mungkin?" disusul dengan tawa bohong yang tanpa sengaja kulatih.
Tresnalic menghela napas panjang; pundaknya turun rileks setelah sekian lama mengawalku. Mungkin jawaban tadi berasal dari alam bawah sadarku yang berharap dia bisa beristirahat setidaknya lima menit. Lima menit setelah pertarungan panjang kita berdua. Lima menit untuk Tresnalic tidak perlu tertidur berdiri menjagaku. Aku baru saja akan ikut menutup mata saat getaran arcane aura membentuk tombak es di ujung jari Tresnalic.
"Tuan." Dia mengulurkan tangannya.
Satu kata darinya dan aku tersentak.
Kita dikepung.
Tresnalic menarik tanganku dengan rantai sihirnya. Hembusan api nyaris menyambar punggungku; dan detik berikutnya tangan dingin Tresnalic mendinginkan sensasi itu. Aku membuka mata deteksi sihirku dan
"Pegangan."
"Kau memelukku, Tresnalic. Apa maksudmu berpegang--"
Suara retak keras merobek udara, pecahan es muncul dari kehampaan. Dengan satu hentak, Tresnalic melintasi langit, kabur dengan pecahan es sebagai pijakan larinya. Tujuh; delapan orang mengikuti -- dua mulai merapal di depan mataku, satu siap melempar serangan pelumpuh.
Kutarik revolver sihir dari pocket dimension pribadiku dan mulai membidik.
Suara Tresnalic bergetar sampai telingaku; "Apapun yang terjadi padaku--"
"Jangan ngomong seakan kau akan mati, goblok."
"--jangan bunuh mereka."
Oh.
Kualihkan bidikanku ke kaki dan tangan mereka setelah aku menyadari seragam para penyerang. Hanya serang balik - jangan memulai dan jangan menambah daftar pelanggaran hukum. Fokus -- bertahan dengan menghancurkan rapalan mantra mereka.
Ah, sial. Seandainya aku lebih terbiasa melawan penyihir lain dan bukan monster pemakan timeline.
Tiba-tiba, Tresnalic menyeretku jatuh -- percikan serangan membuntuti di belakang kami. Desir angin yang tadinya dingin sekarang membekukan - tanda sihir Tresnalic yang mengganti suhu angin untuk mengurangi serangan elemen. Aku terus membidik dengan tangan menahan dingin -- bersiap menembak apa yang tidak bisa ia hindari.
"Tembak ke atas."
Sedetik, namun aku melihatnya - batu berapi melesat layak komet. Refleks, aku merapal sihir cepat dan melebur peluruku -- tak ada waktu untuk membidik.
Sihirku bertubrukan, lalu meledak. Dorongan angin merobek angkasa, memisahkan kami dan sebagian pengejar. Potongan es dan bebatuan jatuh. Jika bukan karena aura es Tresnalic, mungkin dia akan terluka karenaku. Kuganti pistolku dengan senapan - setidaknya aku tahu peluru sihir di dalam senjata ini jauh lebih lemah daripada yang lain.
Aku menggertakkan gigi. "Apa rencanamu?"
"Menyerahkan diri atas pelanggaran hukum sihir untuk pergi ke masa lalu."
Napasku terhenti sejenak berusaha mencerna kalimat tadi. "Kepalamu terpukul apa?"
Hening sejenak, sebelum dia menjawab ketus; "Recoil tongkat sialanmu."
"Aku serius."
"Aku juga serius."
Kurasakan kami melambat -- begitu juga para pengejar. Jadi aku mengalihkan pandanganku ke depan, dimana seorang penyihir berambut putih menunggu kami dengan tongkat teracung. Aku mengenal sosok itu -- terlalu mengenalnya, mungkin. Aku tahu betapa berat jubahnya. Aku tahu seragam dinas itu punya lima rune pelindungan yang istrinya rajut sendiri. Aku tahu rasanya dipeluk baju itu, dan aku tahu dia langsung mengenaliku dari jauh.
"Kalian berdua--"
"Kami dilempar Penyihir Penjaga Waktu untuk memperingati kehancuran dunia!!" Tresnalic berteriak, memotong kalimat penyihir itu. "Saya tidak akan kabur. Tolong dengarkan kami sebelum menjatuhkan hukuman--"
Aku menggeplak kepalanya. "Kau sinting--"
"Kita langsung dikepung, Shariel! Kamu kira saat dunia kiamat tidak ada orang-orang lain yang mengorbankan nyawa orang lain untuk kabur?! Kita bukan orang pertama yang melakukan ini!" Tresnalic membentak. "Setidaknya kita dilempar dengan izin Penjaga Waktu; kita benar dua orang terakhir di timeline kita, dan kita berdua punya cukup informasi untuk setidaknya mencoba menghentikan akhir waktu. Dan, kalaupun kita tidak bisa meyakinkan kounsil sihir, kita bisa mencoba meyakinkan ayahmu."
Penyihir berambut putih itu mengangkat tangannya, memerintah. Para pasukan khusus kounsil sihir itu berhenti; masih dengan tongkat dan senjata teracung, namun mereka mendengarkan. Mendengarkan Tresnalic yang meringis.
"Lagipula," Tresnalic menambahkan; "Aku lelah bertarung."
Aku ikut menghela bersamanya. "Aku juga lelah bertarung."
Tresnalic menurunkanku setelah aku menciptakan platform cahaya untuk berpijak. Kutatap ayahku - betapa tinggi dia dulu, sekarang mungkin kami sepantaran. Kapan terakhir kali dia menatapku kecewa seperti itu? Saat aku memukul Tresnalic? Saat aku melempar pembully di sekolah? Aku lebih ingin mengingat kapan itu terjadi, tetapi sayangnya aku malah mengingat saat pasukan kembali ke rumahku membawa tubuh Ayah ke kediaman Silvermist.
Saat itu langit berwarna biru cerah, tanpa awan. Umurku baru delapan belas; dua hari lagi, adalah ulang tahunku. Pemakaman, pergantian kepala keluarga, mengurus bagian negara, tidak ada waktu untuk memproses apa yang kurasakan. Hanya di sela-sela waktu diamku, aku sadar betapa berat posisi seorang Marquis
Tanpa sadar, air mataku menitik.
"Nak." dia selalu memanggil semua anak muda dengan sebutan itu, tapi entah aku yang lelah, atau memang aku berharap bisa mendengar dia menyapaku lagi.
Dia bertanya padaku apa aku sadar aku telah melanggar hukum, tapi rasa bersalah mencekik leherku sampai aku tak dapat berkata sepatah katapun. Tresnalic menjawabnya untukku -- kami memang tidak punya pilihan lagi. Hanya ada tiga orang tersisa di dunia, dan salah satunya adalah Sang Penjaga Waktu yang tidak bisa menikah, tidak bisa memiliki anak.
Hening menyapu di antara kami; lama sekali Ayah mencerna kalimat Tresnalic, dan yang menemani heningku adalah suara jantungku sendiri.
"Apa yang terjadi?"
Aku ingin mengeluhkan keputusan Raja menjadikanku komandan. Aku ingin bertanya bagaimana ia mengatur segalanya dan masih punya waktu makan malam denganku. Aku ingin dia memarahiku; aku yang gagal melindungi penduduk di daerahku. Aku ingin ia mendengarkan semuanya; kesalahanku, rinduku, luka-lukaku--
"Maaf."
Hanya itu yang keluar.
"Ayah, maafkan aku."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top