Bab 5

Bunyi nyaring bel menggema di seluruh penjuru apartemen diikuti ketokan—tidak, gedoran lebih tepatnya, membuat Cassie sontak terbangun. Dia duduk sambil mengerjap-ngerjapkan mata dan mengumpulkan kesadaran. Begitu sudah bisa berpikir jernih, dia langsung menyingkap selimut dan turun dari tempat tidur.

Dia meraih ponsel di atas meja rias dan jubah di sandaran kursi lalu memakainya sambil berjalan keluar kamar dengan tergesa-gesa. Nyaris saja dia jatuh saat memakai sandal. Ketukan dan gedoran yang terus terdengar mengganggu gendang telinganya. Membuat dia mengerutkan dahi dengan ekspresi kesal.

"WHAT?" Dia sedikit membentak pada pengganggu paginya yang tenang begitu pintu terbuka.

"Ma—maaf mengganggu Anda, Miss Moore." Denise berujar dengan terbata-bata dan ekspresi takut.

"Ada apa, Denise? Apakah ada hal yang sangat darurat sampai kamu dan Noel menggedor pintuku seperti tadi?" Cassie memelankan suaranya dengan nada lebih ramah saat melihat Denise dan Noel—salah satu security—memasang ekspresi takut.

"Kami menemukan Miss Chloe Bennet bersimbah darah di kamarnya, Miss." Dengan suara pelan dan bergetar, Denise memberikan laporan.

"Show me her apartment!" Cassie menutup pintu lalu berjalan mendahului. "Apakah kalian sudah memberi tahu supervisor hari ini?" tanyanya saat Denise dan Noel menyusul di samping kanan-kiri.

"Belum, Miss. Kami langsung pergi ke apartemen Anda," jawab Noel.

Cassie mengangguk dan tidak bertanya apa-apa lagi. Dia masuk lebih dulu ke elevator dan melihat Denise menekan tombol lantai 14. Setelah memasukkan ponsel ke saku jubah, dia membetulkan posisi benda itu. Mengikatkan sabuk agar tidak terbuka karena dia hanya memakai celana pendek dan tank top.

Dia menunggu Denise membuka pintu tanpa bertanya apa-apa. Di dalam, matanya mengedar ke seluruh penjuru ruangan sambil berjalan mengikuti Noel. Dia berdiri diam di pintu kamar yang terbuka lebar. Aroma tajam besi menusuk indra penciumannya dengan sangat kuat.

"Kami belum memeriksa ke dalam, Miss." Noel memberikan laporan. "Setelah melihat situasi kamar ini, kami langsung keluar menuju ke apartemen Anda."

Cassie mengangguk lalu memberi isyarat agar Denise dan Noel menunggu di pintu. Dengan langkah pelan, dia masuk dan mendekat ke tempat tidur. Kedua matanya menyapu dengan teliti tempat tidur dan sosok tubuh tanpa nyawa seorang wanita cantik yang ada di situ—yang dari informasi Denise bernama Chloe Bennet.

Kedua matanya berhenti di dada Chloe. Sebuah pisau yang pernah dia lihat tertancap di sana, memakukan sebuah kertas persegi panjang kecil. Dia membungkuk untuk mendekatkan pandangan. Kartu itu tertutup oleh darah, tetapi dia berhasil melihat gambar serta tulisan yang ada di situ.

The Magician, batin Cassie sambil menegakkan tubuh.

Cassie mengambil tiga langkah mundur sambil meraih ponsel. Dengan tangan bergetar, dia membuka WhatsApp lalu masuk ke calls log. Dia langsung menekan sombil telepon pada nama Justin. Sambil mengepalkan tangan kanan di samping tubuh, dia menempelkan benda itu ke telinga kiri.

"Cass? Ada apa kamu menghubungiku pagi-pagi buta seperti ini?" Setelah tiga kali panggilan, barulah Justin menerima.

"The Magician, he's here," ucap Cassie dengan suara bergetar dan pelan nyaris seperti berbisik.

"Bisakah kamu lebih jelas lagi? Siapa yang ada di situ? Di situ di mana? Kamu di mana?" Rentetan pertanyaan itu terdengar dari Justin dengan suara khawatir.

Cassie menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. "Kita dapat kasus The Magician. Nama korban Chloe Bennet dan kebetulan tinggai di gedung apartemenku, lantai 14 nomor 1428. Denise dan Noel yang pertama kali menemukan mayatnya."

"Don't move or do anything unnecessary, okay? I'll be there in ten."

"Okay." Cassie menarik ponselnya dari telinga dan langsung menyimpan kembali di saku jubah. Dia menoleh pada Denise dan Noel yang mengawasi dari pintu. "Denise, aku butuh sarung tangan lateks dan beberapa zip lock plastic bag. Noel, aku mau kamu menghubungi supervisor yang bertugas hari ini. Kalian berdua, jangan membuat keributan. Oke?"

Cassie melihat Denise dan Noel mengangguk, kemudian pergi dari situ dengan tergesa-gesa. Dia kembali melakukan eksaminasi di kamar yang menjadi crime scene dengan kedua mata. Ada perasaan enggan dalam dirinya untuk bergerak. Atau lebih tepatnya, rasa tidak tenang yang tidak jelas hingga membuat kakinya seolah terpaku di tempat.

Sampai akhirnya dia berhenti dengan posisi kembali menghadap pada tempat tidur. Di sini, dia menemukan satu hal yang terlewat dari pengamatannya di crime scene milik Olivia Johnson tiga minggu lalu. Hal yang mengusik pikirannya dan mau tidak mau membuatnya harus berpikir keras.

Hm, aku masih harus membuktikan pemikiranku ini dan sebaiknya aku menunggu sampai Justin datang untuk menggeldah kamar dan apartemen Chloe, batin Cassie dengan alis tertaut.

Setelah Denise kembali membawa dua benda yang diminta, Cassie pun langsung mencabut dengan hati-hati pisau yang tertancap di dada Chloe. Dia meneliti sejenak untuk memastikan bentuk benda itu. Setelah yakin, dia memasukkan pisau itu ke dalam plastik dan langsung menutupnya. Dia membuka plastik baru dan menggunakannya untuk mengamankan kartu tarot The Magician.

Di sepanjang Cassie melakukan eksaminasi, Denise dan Noel yang telah bersama Adnan—supervisi hari itu—berdiri diam di pintu mengamati dengan ekspresi masing-masing. Tidak seorang pun berani membuka suara atau mengganggu Cassie. Mereka sama-sama memasang eskpresi ngeri melihat kondisi tubuh Chloe. Akan tetapi, mereka lebih takut membuat Cassie marah apabila mengganggu.

"Cassie?"

Cassie menoleh mendengar panggilan itu dan menatap Adnan yang mempersilakan sang empunya suara—yang baru saja memanggil namanya—untuk masuk. "You said ten, but it's almost twenty," ucapnya menyambut kedatangan Justin.

"Sorry, got to do something first." Justin berhenti di kanan Cassie lalu menatap ke tempat tidur. "Kamu sudah mencabut pisau dan mengamankannya?" tanyanya.

"I did." Cassie menunjuk dua bungkusan plastik di atas nakas samping tempat tidur—di kirinya. "You need to call Charles," ucapnya sambil menyerahkan sepasang sarung tangan lateks pada Justin. "Aku mau berkeliling memeriksa kamar ini dan walk-in closet."

Tanpa menunggu tanggapan Justin, Cassie pergi setelah sarung tangan itu diterima. Dia berjalan pelan menuju ke walk-in closet dan memeriksa dengan teliti ruangan itu. Setelah memastikan ruangan itu bersih, dia kembali ke kamar dan langsung pergi ke pintu balkon.

Wlalk-in closet dan balkon kenar-benar bersih, hanya kamar yang terkontaminasi darah. Itu artinya, crime scene utama memang kamar, batin Cassie sambil menatap ke sekeliling kamar dengan dahi berkerut. "Noel, kemarilah!" Dia memanggil Noel yang masih mengintip di pintu.

"Ada yang bisa kubantu, Miss Moore?" Noel bertanya setelah berada di dekat Cassie.

"Pintu apartemen dan kamar, bagaimana kondisinya saat kamu dan Denise masuk pertama kali?" tanya Cassie tanpa basa-basi.

"Terkunci rapat. Kunci pintu utama terlepas dan tergeletak bersama kunci mobil di meja ruang tamu, tetapi digital lock aktif. Pintu kamar juga tertutup rapat. Kedua pintu bersih dari bekas masuk secara paksa," jawab Noel memberikan penjelasan.

"Okay. Kamu boleh pergi," sahut Cassie dengan anggukan paham.

Cassie menatap Justin dengan sedang mengambil dokumentasi dengan ponsel. Mesin-mesin dalam otaknya saat ini sedang bekerja dengan sangat keras. Dia harus bertanya pada Justin soal kondisi kamar Olivia saat pertama kali ditemukan. Dengan itu, dia bisa mencoba mencari analisis dengan kasus kedua.

"Di you find another card, Cass?" tanya Justin tanpa melihat pada Cassie.

"Nope. Hanya kartu itu yang kudapatkan." Cassie berjalan mendekat ke tempat Justin. "Kartu lain seperti apa yang kamu maksud?" tanyanya.

"Never mind." Justin menatap Cassie dengan senyum kecil. "You need to change your clothes," ucapnya sambil memperhatikan penampilan Cassie.

Cassie mengerutkan dahinya samar dan menatap Justin sejenak, kemudian memutar kedua bola mata. "Don't blame me. Aku tidak sempat berganti pakaian karena gedoran pintu yang membangunkanku tadi."

"Bersihkan dirimu dan gantilah pakaianmu. Aku akan di sini memeriksa dan mengumpulkan barang bukti sambil menunggu kedatangan Charles." Justin membungkuk dan mengambil beberapa helai rambut Chloe di atas bantal.

Cassie menghela napas lalu berjalan ke pintu sambil melepaskan sarung tangan lateksnya. Dengan santai, dia melemparkan benda itu ke lantai dekat pintu dan melangkah keluar kamar. Dia tidak mau repot-repot mengusir keberadaan tiga orang yang terlihat menyiagakan diri kalau dirinya atau Justin membuhkan bantuan. Dengan isyarat kepala, dia meminta agar Denise ikut dengannya ke ruang depan.

"Apakah ada yang Anda butuhkan, Miss?" tanya Denise begitu sampai di ruang tamu.

"Bantu aku untuk mengawasi Justin. Nanti, sampaikan padaku apa saja yang dilakukannya selama aku tidak ada," ucap Cassie dengan suara pelan.

"Baik, Miss." Denise menggangguk, kemudian kembali ke pintu kamar setelah diberi isyarat oleh Cassie.

Cassie diam memandang keluar jendela yang—sepertinya—tirainya baru saja dibuka oleh Denise. Saat dia datang, kondisi tirai tertutup. Dia berbalik dan melangkah keluar dari apartemen itu. Selain fakta crime scene yang tertutup rapat tanpa ada tanda-tanda pemaksaan, ucapan Justin tadi mengganggu pikirannya.

"Another card, hm ...," gumam Cassie dengan sorot mata menerawang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top