Bab 2

Cassie tersentak saat mendengar dering ponsel yang sangat keras. Dahinya berkerut merasakan pusing saat bergerak memutar tubuh ke kanan. Seolah tersadar karena sesuatu, dia langsung menyibak selimut dan duduk. Rintihan pelan lolos dari bibirnya merasakan nyeri di kepala.

Aku di ... kamar? Bagaimana bisa? Siapa yang membawaku ke sini? Pertanyaan itu berputar dalam kepala Cassie tanpa jawaban.

Gendang telinganya yang mulai terganggu dengan bunyi ponsel, membuat tangan Cassie terulur dan meraih smartphone di atas nakas dengan jari-jemari lentiknya. Dahinya berkerut melihat nama yang sudah sangat dia kenal terpampang di layar.

"Ada apa, Justin? Untuk apa kamu meneleponku pagi buta seperti ini?" Bibir pucat Cassie melontarkan pertanyaan begitu benda itu menempel di telinga kiri.

"Pagi buta katamu, Cass? Lihat jam! Sekarang sudah pukul sepuluh lewat. Aku sudah menghubungimu sejak satu jam yang lalu. Kamu ini tidur atau koma, sih?" Omelan panjang dari suara bariton laki-laki terdengar.

Cassie melirik jam yang terpasang di dinding di atas televisi tepat di depan tempat tidur. Kedua matanya pun melebar saat mengetahui kalau rekan kerjanya—Justin Reeds—tidak berbohong. Jarum jam di dinding menunjukkan pukul 10.12 pagi waktu New York City.

"Murray Hill Apartment. Aku menunggumu di sini dan sebaiknya kamu bergegas karena kita berada dalam masalah yang ... cukup besar."

Murray Hill? Dahi Cassie berkerut mendengar nama apartemen itu—tempat yang didatanginya semalam. "Ada apa—ugh!" Dengkusan kesal lolos sambil menarik ponsel dari telinga saat panggilan telepon diputus sepihak.

Rasa kesal sekaligus penasaran membuat Cassie melemparkan ponsel lalu beranjak dari ranjang. Dia bersiap dengan cepan—dengan celana hitam panjang yang membuat kedua kakinya terlihat jenjang, kemeja merah marun dengan dua kancing teratas dibiarkan terbuka dan lengannya diliphat hingga di bawah siku, serta sebuah sabuk dengan warna senada kemeja yang membuat pinggangnya terlihat ramping.

Dia memoleskan make-up yang tipis, tetapi membuat wajahnya tegas dan menonjolkan kedua matanya. Dia membiarkan rambutnya tergerai bebas tanpa tatanan dan hiasa. Setelah memastikan penampilannya sempurna, dia meraih stiletto setinggi tiga setengah inci yang terpasang pas di kedua kakinya. Dia keluar dari walk-in closet setelah meraih sebuat jaket hitam tebal di atas sofa dan sebuah satchel bag hitam kecil.

Mengikuti insting, dia pergi ke nakas kanan tempat tidur dan membuka laci paling atas. Dia diam termangu melihat kedua pistol kesayangannya utuh berada di sana. Siapa pun sosok yang mengantarkannya pulang, tidak melupakan semua barang-barang yang dibawanya semalam.

Dia buru-buru meraih satu pistolnya saat mendengar ponselnya kembali berdering. Dengan sedikit terburu-buru, dia meraih benda persegi panjang dengan cover case merah tua dari tempat tidur dan menjawab panggilan telepon yang masuk sambil berjalan keluar kamar. Akan tetapi, panggilan itu terputus saat dia menempelkan ponsel ke telinga.

Tidak mau ambil pusing, dia keluar dari apartemen dan tidak lupa mengunci pintu serta mengaktifkan biometric lock. Dia berjalan ke kanan sambil menunduk dan berpapasan dengan seseorang yang berjalan ke arah berlawanan. Kepalanya langsung tegak dan langkahnya terhenti lalu menoleh. Kedua matanya menatap punggung lelaki yang berjalan menjauh darinya.

Kepalanya menggeleng pelan dan mengembuskan napas pelan. No, dia sudah mati. Jangan berpikiran macam-macam, Cass! Ayo, fokus pada hidupmu sekarang!

Cassie memejamkan mata sejenak dan sekali lagi mengembuskan napas sebelum berlalu dari situ. Elevator yang sepi membuatnya bisa dengan nyaman bersandar di dinding kaca yang berhadapan dengan pintu. Kedua matanya terpejam, tetapi langsung terbuka saat bayangan semalam merasuk.

Dia melangkah cepat keluar elevator begitu pintu terbuka di lantai yang dituju. Tidak dia pedulikan tatapan orang-orang yang berpapasan—penghuni apartemen lantai dasar. Langkahnya terhenti di tengah lobi saat petugas resepsionis memanggil namanya.

"Ini kunci mobil Anda, Miss Moore."

Dahi Cassie berkerut sambil menerima kunci mobil yang diletakkan di meja. "Bagaimana bisa kunci mobilku di sini?" tanyanya.

"Seorang laki-laki menitipkannya di sini setelah mengantarkan Anda pulang semalam." Wanita berambut pirang dan menggunakan name tag Denise Brooks menjelaskan sambil tersenyum ramah.

Laki-laki? Cassie termenung mendengar ucapan Denise. "Ya, sudah. Terima kasih. Aku harus pergi sekarang," ucapnya sambil meraih benda itu.

"Semoga hari Anda menyenangkan, Miss Moore," ucap Denise sambil mengangguk.

Cassie keluar dan kembali terkejut karena mobilnya sudah terpakir di depan pintu lobi. Security yang hari itu bertugas menyapa dengan ramah lalu membukakan pintu mobil untuknya. Dia pun mengucapkan terima kasih sambil masuk ke mobil. Setelah duduk nyaman dan seatbelt terpasang, dia pun menekan pedal gas melajukan mobil pergi dari depan lobi apartemen.

Dalam waktu empat puluh menit setelah menerima telepon dari Justin, Cassie akhirnya bertemu muka dengan pria itu. Dia mengangkat satu alis melihat kekesalan dan tatapan tajam Justin saat menyambut kedatangannya. Tidak mau ambil pusing, dia mengulurkan tangan meminta clipboard yang ada pada seorang petugas FBI.

"Olivia Johnson, putri bungsu Logan Johnson, newcomer actress yang terkenal dengan film yang baru saja tayang, dua puluh lima tahun, single." Cassie membaca informasi yang ada di situ.

"Orang yang menemukannya adalah cleaning service apartemen yang memang datang setiap Rabu dan Jumat untuk bersih-bersih. Dia ditemukan dalam kondisi bersimbah darah—"

"Di kamarnya di lantai dua apartemen," sambung Cassie memotong ucapan Justin.

"Yeah ...." Justin mengangguk pelan dengan dahi berkerut. "Bagaimana kamu tahu soal itu?"

"Just a hunch." Cassie mengangkat kedua bahunya sambil menatap Justin.

"For your information ...," Justin menahan lengan Cassandra yang hendak masuk ke apartemen dan menatap dengan ekspresi serius, "aku tidak pernah berencana untuk meneleponmu kalau bukan karena ... sesuatu yang ditinggalkan pada tubuh korban."

"What?" Cassie menautkan alisnya dengan ekspresi tanya.

Alis Cassie makin menyatu saat Justin melepaskan tangan, seolah menyuruhnya untuk melihat sendiri. Dia pun melangkah masuk ke apartemen dan mengulas senyum membalas sapaan petugas yang sudah lebih dulu di situ. Seorang polisi FBI wanita mengikutinya berjalan ke lantai dua.

Di depan pintu kamar yang terbuka lebar, dia berhenti sambil memegang erat clipboard di tangan kiri. Dia mengembuskan napas pelan lalu memantapkan hati melangkah masuk ke ruangan. Deja vu. Dia berusaha tidak sampai panik saat berjalan mendekat ke tempat tidur.

Kedua matanya langsung terpaku pada dada korban. Di sana, sebilah pisau belati seperti pedang kecil tertancap, menancapkan sebuah benda persegi pipih. Kartu. Dia hendak mundur kalau tidak merasakan sebuah tangan menahan punggungnya. Dia menoleh dan menatap wajah tampan Justin yang menatap pada korbann.

Helaan napas lolos dari bibir Cassie yang terpoles lipbalm merah saat merasakan elusan pelan. Dia bisa merasakan kalau Justin berusaha menenangkannya. Kedua tangannya yang kini bebas—karena polisi wanita FBI mengambil clipboard di tangannya, tekepal kuat. Setelah merasa lebih relaks, dia kembali mendekat ke tempat tidur dan mengamati kondisi korban.

"Kamu mengenali pisau itu, Cass?" tanya Justin yang berdiri di kiri Cassie.

Cassie membungkuk untuk meneliti pisau yang terlihat berkilau terkena cahaya. "Tidak, ini pisau yang berbeda," ucapnya sambil menggeleng pelan.

"Hanya saja ... mirip, kan?" Justin menunjuk ukiran tiga bintang di gagang pisau.

Cassie mengangguk mendengar ucapan Justin. Adrenaline yang terpacu menghapus rasa takut meskipun mengingat kasus pembunuhan yang pernah terjadi tiga tahun lalu. Dia menatap kartu yang dilapisi darah. Akan tetapi, dia berhasil melihat gambar yang ada di kartu dan dua kata yang tertulis di bagian bawah gambar.

"The Magician," baca Cassie.

"Tarot card?" tanya Justin sambil menatap Cassie dengan alis terangkat.

"Yep." Cassie menghembuskan napas dengan tubuh yang kini benar-benar relaks. "A copy-cat."

Cassie meminta sarung tangan plastik dari petugas laki-laki yang ada di dekatnya. Tanpa sedikit pun keraguan, dia memegang gagang pisau lalu mencabutnya pelahan. Puncak hidungnya berkerut saat aroma besi menguar kuat dari benda itu. Dia menyerahkan pisau itu berikut dengan kartu tarot pada petugas laki-laki yang siap sedia di kiri.

"Kirimkan semua barang bukti yang bisa kalian bertiga temukan ke kantor Mister Turner. Kami akan lebih dulu menemuinya," ucap Justin memberikan arahan pada ketiga polisi FBI yang sibuk melakukan penyelidikan.

"Baik, Sir." Salah satu dari mereka menyahut dengan nada mantap.

Cassie menurut saat diajak oleh Justin untuk pergi ke kantor menemui bos mereka. Di pintu, dia membuang sarung tangan plastik yang kini dihiasi noda darah pada kantung plastik hitam yang selalu disediakan di crime scene. Sambil menuruni anak tangga, dia memperhatikan manajer apartemen mendampingi petugas cleaning service memberikan keterangan pada petugas.

"Kenapa mereka meneleponmu, Justin?" Pertanyaan itu terlontar tanpa sadar dari bibir Cassie.

"Manajer itu mengatakan kalau ada seseorang yang menghubungi mereka lewat telepon di kamar. Orang itu—laki-laki, kata manajer yang mengangkat—memberikan nomor ponselku dan mengatakan untuk menghubungiku, bukan polisi," jawab Justin dengan nada santai.

Cassie langsung berhenti dan memutar tubuh mengatap Justin. "Nomor ponselmu? Nomor yang hanya diketahui oleh keluarga dan rekan kerjamu?"

"Y-yeah ...." Justin mengangguk dengan dahi berkerut dan ekspresi langsung berubah. "Oh, God ...."

"Let's go!" Cassie memberi isyarat dengan gerakan kepala dan melangkah mendahului kebali menuruni tangga dengan cepat.

Cassie keluar lebih dulu dari apartemen dan langsung berbelok ke kanan. Deja vu. Dia berpapasan dengan seorang laki-laki berpakain serba hitam. Membuat langkahnya terhenti dan dia diam terpaku. Dia berbalik tanpa memedulikan Justin yang melangkah mendekat dengan tatapan tanya. Kedua matanya terpaku pada punggung sosok lelaki yang melangkah menjauh. Suara-suara di telinganya seolah melambat saat napasnya terengah dengan jantung berdetak tidak karuan.

"Cassie?" Justin memegang kedua lengan dan menggoyang tubuh Cassie pelan. "What is it?" Kedua mata birunya memancarkan kekhawatiran saat memperhatikan wajah Cassie.

Cassie menggeleng pelan dan berujar lirih, "Nothing." Dia melepaskan tangan Justin lalu kembali berjalan memimpin. Tenang ... tenang .... Dia sudah mati, batinnya sambil mengepalkan kedua tangan kuat-kuat di samping tubuh.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top