Bab 1
Dering smartphone di atas nakas kanan tempat tidur memecah keheningan dan kesunyian dalam kamar apartemen yang tidak terlalu besar, tetapi juga tidak dapat dikatakan kecil. Mengusik sosok yang bergelung di atas tempat tidur dengan selimut menutup seluruh tubuh. Menyisakan kedua mata yang tertutup rapat dan bagian atas kepala yang menampilkan keindahan surai dark golden brown yang tampak halus.
Benda itu terus berbunyi tanpa henti hingga membuat sang empunya akhirnya memaksakan diri untuk bangun. Kedua matanya menyipit merasakan silau saat menatap layar ponsel yang menampilkan nomor tanpa nama. Dia diam memandangi layar ponsel hingga panggilan telepon itu berhenti, dan langsung muncul kembali.
Mengikuti insting, dia pun menggeser tombol hijau lalu menempelkan benda itu ke telinga kiri. "Halo?" Kata itu lolos dari bibirnya dengan suara serak.
"Cassie? Kumohon ... aku tidak mau mati. Maafkan aku. Aku tidak pernah bermaksud menyakitimu. Aku menyesal ...."
Kesadaran Cassandra Leia Moore—Cassie, panggilan akrabnya—langsung merasuk penuh mendengar lirihan wanita melalui panggilan telepon itu. Dia langsung beranjak duduk dan menyalakan table lamp di atas nakas. Suara wanita itu terus bergema menggetarkan gendang telinganya mengucapkan kata maaf.
"Ini siapa?" Pertanyaan itulah yang akhirnya lolos dari bibir Cassie.
"Maafkan aku, Cassie. Aku benar-benar menyesali semuanya .... Tolong aku, Cassie. Kumohon ...."
"Ini siapa? Apa maksudmu u—" Ucapan Cassie terhenti saat panggilan telepon diputus secara sepihak.
Cassie menarik ponsel dari telinga lalu mengutak-atik benda itu. Dia membaca nomor dari penelepon misteriusnya barusan. Dengan menggunakan keahliannya, dia berhasil melacak lokasi pemilik nomor itu, tetapi tidak dengan identitas karena nomor itu tidak tercatat.
Lokasinya tidak jauh dari sini, batinnya sambil mempelajari lokasi yang terpampang di peta di layar.
Rasa penasaran dan panik—karena belum benar-benar tersadar—membuat Cassie memutuskan untuk pergi memeriksa. Dia tidak memikirkan risiko besok—pagi nanti—akan kena marah rekan kerja dan atasannya karena bertindak tanpa berpikir. Akan tetapi, dia masih bisa berpikir untuk berjaga-jaga.
Hanya dengan menggunakan piama dan jubah hangat, dia pergi keluar setelah menyelipkan senjata kesayangannya hadiah dari bos pertamanya saat masih di Washington DC, sebuah pistol kaliber .380 ACP dari SIG Sauer P238 dengan ganggang berlapis emas, ke saku bagian dalam jubah kanan, sementara ponsel ke sisi kiri.
Audi RS7 dengan dua penumpang membelah jalanan Kota New York yang lengang karena memang masih pukul dua dini hari. Merah bagaikan darah warna sedan mewah itu berkilau terkena cahaya lampu jalan yang menyala memberikan penerangan.
Perjalanan yang biasanya memakan waktu tiga puluh menit, malam itu dapat ditempuh oleh Cassie dalam waktu kurang dari lima belas menit. Dia langsung memarkirkan mobilnya di guess area depan sebuah gedung apartemen yang terkenal karena kemewahannya di Manhattan. Tidak mau menunggu lama, dia keluar dan langsung berjalan cepat memasuki area lobi.
Sunyi dan sepi, tetapi seorang wanita paruh baya menyambutnya dengan ramah dari balik meja resepsionis. Dahi Cassie berkerut saat sebuah kunci langsung disodorkan padanya, bahkan sebelum sempat bibirnya terbuka mengeluarkan suara.
"Anda bisa menggunakan elevator utama, Miss. Elevator kanan dan kiri tidak bisa mencapai lantai yang Anda tuju." Resepsionis itu memberikan arahan sambil membuat gerakan tangan.
"Aku tidak ... bagaimana bisa ...." Cassie menghentikan suaranya. "Baiklah, terima kasih," ucapnya membatalkan pertanyaan yang hendak terlontar dari bibirnya.
Cassie merasakan jantungnya seperti menggedor dada seiring langkahnya ke elevator. Rasa sesak muncul saat dirinya merasakan elevator bergerak dengan kecepatan konstan membawanya ke lantai 21, tempat lokasi ponsel penelepon misteriusnya tadi berada.
Di depan pintu dengan papan bertuliskan angka 2110, dia berdiri diam dengan perasaan tidak karuan. Untuk sejenak, dia menyesali kebodohannya. Dia seperti benar-benar sadar dan bangun seiring rasa panik yang mulai sirna. Ada kesempatan untuknya menghubungi rekan kerjanya sebelum dia masuk ke apartemen itu, tetapi keraguan merasuk.
Cassie menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tidak beraturan. Pikirannya berkecamuk, antara dorongan untuk segera masuk ke dalam apartemen itu dan pertimbangan untuk berhati-hati. Akan tetapi, naluri investigatifnya—yang sering menyelamatkannya di masa lalu—mengatakan bahwa dia tidak boleh mundur dan tidak perlu takut. Instingnya dengan kuat mengatakan kalau tidak ada siapa-siapa di dalam, tetapi dia harus masuk.
Sudah sampai di sini, tidak bisa mundur lagi, batinnya memantapkan hati untuk masuk.
Tangannya terulur memasukkan kunci—yang tadi diberikan resepsionis—ke lubang kunci. Setelah kunci berputar terbuka, ada jeda beberapa detik sebelum dia mendorong pintu hingga terbuka. Gelap. Hanya ada sedikit cahaya lampu dari luar yang menembus melalui tirai jendela besar di ruang tamu—yang korden tebalnya dibiarkan terbuka.
Dia melangkah masuk dengan hati-hati setelah menutup pintu. Tangan kanannya secara refleks meraba ke dalam saku jubah. Dia meraba sejenak merasakan dinginnya logam pistol yang terselip di sana lalu menggenggam erat ganggang benda itu. Jantungnya berdetak kembali berdetak cepat.
Ini bisa jadi jebakan, Cassie! Sebuah suara kecil seolah berbisik mengingatkannya untuk tidak melonggarkan kewaspadaan. "Hallo? Ada orang?" Suaranya terdengar tegas dan mantap menggema dalam ruang tamu yang kosong.
Cassie mengulurkan tangan dan menekan sakelar untuk menyalakan lampu. Akan tetapi, listrik di apartemen itu tampaknya sudah diputus—dengan sengaja. Dia mengedarkan pandangan sambil menunggu waktu kedua matanya terbiasa dengan kegelapan yang melingkupi.
Sebuah suara kecil—sangat kecil, seperti bunyi pintu yang ditutup—terdengar dari lantai dua. Kepala Cassie langsung bergerak mendongak. Dengan langkah pelan dan ringan, dia mendekati lalu menaiki anak tangga dengan hati-hati dan penuh kewaspadaan.
Sampai di lantai dua, dia langsung menuju ke satu-satunya pintu yang ada di situ. Pintu yang dia kira tertutup, ternyata terbuka sedikit. Dia menempelkan tubuh ke diding sambil mengintip dengan satu mata ke dalam. Sayangnya, kegelapan benar-benar membatasi pandangannya. Akan tetapi, hidungnya yang tajam mencium aroma yang tidak asing. Besi.
Darah?
Rasa tidak nyaman yang muncul di perut membuatnya mendorong pintu terbuka lebar sambil tangan kiri meraih ponsel. Dia menyalakan flashlight lalu menggerakkan cahaya dari benda itu ke seluruh penjuru ruangan. Cahaya berhenti di tempat tidur. Dia sudah siap untuk melihat sosok tubuh di situ karena pekatnya aroma darah.
Namun, tidak ada apa-apa di ranjang. Hanya noda merah yang memenuhi ranjang—seprai, selimut, bantal. Dia mendekat lalu mengulurkan tangan. Dengan keberanian penuh, dia mengusap cairan merah itu lalu mendekatkan jarinya ke hidung.
Benar, darah. Hal itu membuatnya langsung meraih pistol dan mengedarkan pandangan dengan kewaspadaan penuh.
Telinganya yang tajam tidak menangkap adanya suara di tempat itu. Merasa berada di lokasi pembunuhan, dia memutuskan memeriksa tubuh—siapa pun—pemilik darah. Akan tetapi, dia tidak menemukan keberadaan mayat di tempat itu. Tidak di kamar mandi, lemari, ataupun walk-in closet.
Keluar dari walk-in closet—yang cukup luas dan membutuhkan waktu memeriksa di antara pakaian yang banyak, Cassie diam membeku saat kamar tidak lagi dalam kondisi gelap. Lampu menyala terang menampilkan pemandangan yang bagi orang biasa akan terkesan menakutkan. Darah berada di mana-mana: tempat tidur, nakas, tembok, lantai.
Kedua manik dark emerald green Cassie tertuju pada satu titik. Di atas tempat tidur, sebuah benda berkilau terkena cahaya lampu. Dengan langkah pelan, dia berjalan mendekat dan berhenti di samping kiri ranjang. Tangannya terulur meraih benda itu—sebuah kartu tarot. The Star.
Seketika itu juga, dia menjatuhkan benda itu sambil melangkah mundur. Napasnya terengah bersama detak jantungnya yang berdegup tidak karuan. Berbagai bayangan merasuk ke dalam kepalanya seolah terputar seperti kaset yang rusak. Kedua matanya memanas saat dia berjalan dengan cepat, tetapi sedikit gontai, keluar dari kamar itu.
Buk! Baru saja tangannya terulur memegang ganggang pintu, dia merasakan pukulan benda keras di belakang kepala. Membuat pandangannya berputar dan tubuhnya ambruk perlahan. Akan tetapi, dia sanggup mempertahankan kesadaran dengan kedua mata yang nyaris terpejam.
Cassie merasakan seseorang menangkap tubuhnya lalu membaringkannya perlahan di lantai yang dingin. Tangannya terasa lemas untuk menahan dua tangan yang meraba ke leher lalu melepaskan kalungnya. Setelah itu, dia mendengar suara langkap menjauh di belakang bersama kedua matanya perlahan menutup sempurna bersama kesadarannya yang menghilang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top