6. Kisah di Balik Garnish
Meski gorden jendela telah tersibak dan sinar matahari turut merebak, kamar Garnish tetap diliput cahaya muram yang berasal dari wajahnya. Hari Minggu tak cukup membuatnya merasa semangat. Gadis itu memilih menenggelamkan diri di balik selimut tebal di atas ranjangnya.
Segenap tenaga ia berusaha melupakan kejadian semalam, tapi pikirannya selalu tertuju pada sosok pemuda itu. Garnish teringat lagi bagaimana ia lari terbirit-birit meninggalkan Gavin, yang untungnya tak berhasil mengejarnya sampai rumah. Membayangkannya saja sudah membuat tubuhnya merinding.
Tapi beberapa menit lalu, ibunya kembali mengusik pagi Garnish dengan mengatakan bahwa mereka dapat pesanan kue lagi dari indekos Bu Fani, dan kali ini pemesannya adalah pemuda yang ia tinggalkan tadi malam. Padahal kemarin, sebelum tidur Garnish sudah menyusun banyak rencana agar bisa menghindari Gavin saat di kampus nanti. Semuanya hancur lebur. Pemuda itu pintar rupanya.
Tahu bahwa berdiam diri dan merutuk tidak akan membuat keadaan berubah, Garnish memilih untuk berani menghadapinya. Berjalan malas menuju tempat yang seolah neraka itu.
Kali ini matanya menyipit dan tubuhnya miring, berusaha mengintip dari balik gerbang indekos yang pagi ini masih tertutup. Garnish mencoba mencari kesempatan, berharap ada orang lain yang bisa ia mintai tolong untuk mengantarkan kue-kue itu pada Gavin tanpa harus membuatnya bertemu langsung. Namun, harapannya tak jua terwujud. Garnish harusnya tahu karena ini hari Minggu, tak akan ada yang bersedia bangun pagi dan keluyuran di teras indekos.
Gadis itu rasanya ingin menangis kesal, tapi air matanya menolak keluar, sebab pada dasarnya ia memang bukan sosok yang melankolis. Setelah mengambil napas dan membuangnya perlahan, berulang kali, Garnish akhirnya menggerakkan tangan. Meraih pengait pagar, membukanya, dan masuk ke dalam seraya mengucap salam.
Garnish cukup sering ke indekos itu, sehingga ia kenal dengan kebiasaan Bu Fani yang selalu menaruh nama tiap penghuni kamar di pintu, sehingga ia tak perlu repot-repot bertanya di mana kamar Gavin. Sekarang hanya tinggal mengetukkan pintu dan kayu persegi yang ada di hadapannya akan terbuka, berganti dengan wajah Gavin yang sebenarnya tak mau Garnish lihat lagi.
Baru saja gadis itu hendak mengangkat tangan, pintu kayu itu terbuka dengan sendirinya. Membuat Garnish hampir terjengkang dan melemparkan kuenya. Mata Gavin mengunci manik mata hitam milik Garnish dalam satu titik yang sama, menimbulkan jeda tanpa suara di antara mereka yang sama-sama tak siap bertemu dengan jarak sedekat itu. Hanya ada beberapa senti jarak antar wajah keduanya. Hingga salah satunya tersadar, Gavin mundur lebih dulu.
"Nih, kue lo." Garnish berusaha menutupi kegugupannya dengan menyodorkan plastik berisi berbagai macam kue.
"Iya, gu-gue ambil uang dulu," balas Gavin tergagap.
Saat pemuda itu berpaling, pintu kamarnya masih terbuka. Mata Garnish ikut menjelajah masuk kamar itu. Menemukan beberapa pakaian yang berserakan, juga plastik sampah yang telah penuh. Tak lupa kasur dengan sprei tak rapi. Benar-benar seperti kapal pecah. Tanpa sadar, gadis itu berdecak, tepat ketika Gavin menyodorkan uang padanya.
"Kamar lo kotor banget, sih," katanya tak kuat untuk tidak memberi komentar.
Saat Gavin hendak menjawab, suara notifikasi dari ponsel Garnish mencegahnya. Gadis itu merogoh saku cardigan dan mengeluarkan ponsel dari sana. Ada pesan dari Vivian, sebuah ajakan untuk pergi ke restoran korea yang katanya baru buka, lengkap dengan fotonya.
Satu klik dari jarinya, mampu membuat hari itu jadi tambah buruk saat Garnish mendapati restoran yang dimaksud oleh sahabatnya itu tak lain merupakan gedung yang dulunya adalah toko kue favoritnya. Beberapa bulan lalu Garnish memang sempat dibuat sendu karena toko itu tutup dengan menambahkan papan penanda sedang dijual, sekarang sudah laku rupanya. Tak ada lagi yang bisa Garnish lakukan selain pasrah, padahal saat kecil, ia memupuk mimpinya di toko itu. Berharap kelak bisa membuat kue-kue yang cantik seperti yang sering ia lihat dipajang di sana.
Gavin memandang Garnish dan kamarnya bergantian. Pemuda itu sadar pada perubahan wajah gadis itu. Ia lantas keluar dari ruangan pribadinya itu lalu mengajak Garnish menuju ruang tamu indekos yang berada tak jauh dari sana. Pemuda itu menaruh plastiknya di meja, lalu mencomot salah satu kue. Brownies cokelat jadi pilihan pertamanya.
Sembari mengunyah, ia bertanya, "Lo kenapa?"
Delikan seperti biasa ia lontarkan pada pemuda itu. "Enggak apa-apa."
Gavin mengangguk-angguk. Seolah masih belum puas, ia kembali melontarkan pertanyaan.
"Terus, kenapa lo lari tadi malam?"
Mata Garnish menutup, tanpa sadar gadis itu menggigit bibir bawahnya.
"Karena gue enggak mau," lirihnya.
"Apa susahnya, sih, bantuin temen?"
"Lo bukan temen gue."
"Ya, bantuin sesama manusia."
Seolah hendak melampiaskan kekesalannya, Gavin mengambil dua kue lemper sekaligus dan memasukkannya ke dalam mulut secara bersamaan.
"Tapi, gak etis, lah"
"Di mana-mana tolong menolong itu tindakan terpuji tahu!"
"Ya masa gue harus cium lo?"
Gavin membelalakkan mata tak percaya dengan jalan pikiran gadis di hadapannya. Ia tersedak. Garnish yang panik ikut membantu pemuda itu dengan mengambilkan air putih dari galon yang tersedia di sudut ruangan. Selesai minum, badan Gavin bergidik seketika. Merinding seraya menatap Garnish dengan pandangan seram seolah melihat kuntilanak.
"Enggak lah! Ogah gue!" elak Gavin dengan ekspresi berlebihan seolah hendak muntah.
"Te-terus gimana?"
"Pakai kue lo! Bukannya gue udah jelas, ya, ngasih tahunya?" Gavin menggeleng-geleng tak percaya. "Wah, parah sih. Ini nih, ini. Cewek-cewek selalu bilang kalo cowok itu enggak peka, tahunya kaum kalian juga gitu." Di sela omelannya, Gavin menggeram.
"Gue tegasin, ya, udah berapa kali coba gue tanya soal kue lo dan nyembuhin muka gue? Dan lo masih mikir soal ...." Pemuda itu mengelatukkan gigi, tak sanggup melanjutkan kata-katanya.
Wajah Garnish memerah tak keruan. Ia telah salah sangka. Gadis itu tak pernah merasa semalu ini sebelumnya.
"Gue mau pulang aja!" putusnya kemudian.
"Eh, tunggu, urusan kita belum selesai."
"Apa, sih? Gue capek! Gue mau coba wujudin mimpi gue aja! Tapi kenapa semuanya seolah susah!"
Gadis itu melampiaskan semuanya pada Gavin. Semua hal yang terjadi padanya seolah hanya hal buruk, sudah bertahun-tahun Garnish tak pernah lagi merasa beruntung. Saat tak mendapat sahutan apa pun dari Gavin, Garnish jadi terdiam.
"Maaf, gue salah. Jadi marah-marah sama lo."
"Emang impian lo apa?"
Helaan napas lolos dari mulutnya, gadis itu melemas saat duduk di kursi depan Gavin.
"Lo tau kenapa nama gue Garnish?"
"Garnish artinya hiasan, di makanan, kan?"
"Iya, itu karena dulu saat gue lahir ambulannya telat datang dan terpaksa gue dilahirkan di depan salah satu toko kue, mungkin karena itu gue jadi punya ikatan sama pastri, meski orang tua gue gak punya keahlian itu sama sekali, bahkan ibu gue sering gagal bikin adonan." Senyum getir terbit di wajahnya. "Gue mau ke toko kue itu lagi. Tapi sekarang tempat itu sudah berubah, jangankan masuk ke sana, beli makanan yang ada di sana aja gue kayaknya enggak sanggup." Garnish tersentak sendiri karena tak menyangka dia bisa bercerita selepas itu pada orang yang baru dikenal, seolah merasa nyaman, ia malah kembali melanjutkan, "Gue ... mau deh bikin kue-kue yang pernah gue lihat di tempat itu dulu, tapo sayangnya gue gak bisa karena gak ada dana."
Pemuda itu mengangguk-angguk pelan. Tangannya batal meraih kue selanjutnya. "Kadang, kita harus bisa mengikhlaskan, enggak semua hal bisa kita raih. Ibaratnya, buat menuju lantai atas, kita enggak cuma bisa naik lift, ada eskalator, juga anak tangga."
Mulut Garnish terbuka sedikit, tak menyangka bahwa kata-kata seperti itu bisa keluar dari mulut pemuda menyebalkan itu.
"Bukannya lo bisa jualan kue seperti sekarang juga bagian dari mimpi lo itu?"
Garnish menggeleng lemah. "Tapi bukan gini yang gue mau, gue mau sekolah pastri, biar punya keahlian yang lebih baik."
"Nabung, dong!" Nada suara Gavin berubah, tak lagi sesendu tadi. Seolah ingin menularkan rasa positif pada gadis itu.
"Uang dari hasil kue cuma cukup buat fotocopy tugas."
"Lo mau kerjaan tambahan?"
"Apaan?"
Gavin melirik kamar kosnya spontan. Yang akhirnya membuat Garnish melayangkan pukulan.
"Jijik!"
"Apa salah gue?"
"Lo buaya!"
"Ih, baru denger gue kalo orang nawarin kerja buat bersihin kamar kos dibilang buaya."
"Eh? Apa lo bilang?"
"Kebiasaan deh, nih cewek overthingking."
"S-sorry."
"Sebagaimana yang lo bilang tadi, kamar kos gue kotor. Gue males bersihinnya. Jadi, gimana kalo mulai sekarang lo yang gue tugasin buat itu?" tanya Gavin menawarkan, tak ingin Garnish jadi salah paham, Gavin kembali melanjutkan, "Dan yah, jelas kalau pas lo bersihin, gue bakal keluar dari kamar dan enggak akan ganggu."
Gadis itu masih terdiam, menimbang-nimbang dalam pikirannya.
"Cukup seminggu sekali," kata Gavin diikuti dengan nominal angka sebagai upah.
"Deal!"
[To Be Continue]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top