2. Ajaib!
Hujan menghentikan langkahnya di teras toko berwarna merah muda dengan etalase besar berhiaskan kue tart yang manis. Garnish terpana, tak dihiraukannya percikan air yang menerpa sebagian tubuhnya. Suara-suara kodok bahkan terdengar seperti harmoni yang melengkapi keberangkatannya pagi itu. Perlahan tangan gadis itu terangkat, membiarkan ujung jarinya menyentuh kaca dengan lembut. Seolah menekan sebuah tombol, yang bereaksi menimbulkan segores senyuman di wajahnya.
Antara ia dan kue tart di hadapannya, hanya ada sejengkal jarak namun, terhalang kaca. Hal yang kemudian melemparkan ingatan gadis itu pada memori beberapa tahun silam. Saat Garnish baru saja melepaskan seragam putih abu-abunya, kelabu semendung hari ini datang menguasai hidupnya. Bibir Garnish melengkung ke bawah, teringat getir ketika tangannya menggenggam kenop pintu rumah bertingkat yang mengurung kenangan semenjak kelahirannya untuk kali terakhir sebelum disita oleh bank, karena perusahaan ayahnya yang rugi besar. Peristiwa yang kemudian menuntun Garnish pada hidup yang tak mudah.
Ia melepaskan impian untuk melanjutkan sekolah, kemudian memupuk harapan baru dengan mendaftarkan diri pada lembaga kursus kue gratis yang diadakan di kota kecil tempatnya pindah. Hanya saja di antara sepuluh orang yang diterima dari ratusan pendaftar, nama Garnish tak tertulis sebagai pihak yang lolos. Lagi-lagi mimpinya tersepai.
Tapi tak ada gelap malam yang tak berakhir, selalu ada hari esok di mana pagi bertandang. Tiba-tiba, ibunya datang dengan senyum mengembang, beserta formulir pendaftaran di tangan. Dengan bangga mengambil raport-raport Garnish yang didominasi tiga besar tiap semesternya, lalu menunjukkan brosur beasiswa yang baru ia dapatkan dari para mahasiswa KKN di desa sebelah. Garnish yang saat itu tak punya mimpi lagi, menyerahkan pilihan jurusan pada ibu dan ayahnya yang dengan semangatnya berdiskusi. Hingga kemudian membuat Garnish menjadi mahasiswa jurusan pendidikan seperti saat ini, dengan setengah hati. Meski begitu, rasa tanggung jawabnya membuat gadis itu tak menyerah.
Garnish merapikan anak rambutnya yang lolos dari gelungan ke belakang telinga. Mengeratkan pelukannya pada wadah kue bolu yang ia bawa. Gadis itu menghela napas saat rintikan hujan tak lagi deras, maka itu berarti sudah saatnya untuk melanjutkan perjalanan. Satu belokan lagi sebelum gerbang universitas menyambutnya. Setelah bertahun-tahun, Garnish masih tetap merasakan hawa berbeda tiap kakinya menjejak tanah di balik gerbang. Tempat yang selama ini seolah menguarkan daya magis yang tak terjelaskan. Mungkin karena sebelumnya gedung-gedung itu tak pernah bisa Garnish bayangkan akan jadi tempat yang akan ia datangi sehari-hari.
"Makin mirip kodok aja, deh, si Gavin," celetuk seorang pemuda yang membuat Garnish menengok spontan.
"A-apaan, sih?" jawab pemuda lain diiringi cegukan. "G-gue lagi kena musibah, nih, malah diejek."
Mata Garnish melebar saat melihat gerombolan pemuda di bawah pohon, tepat di samping pagar yang baru saja ia lewati. Salah satu pemuda di sana adalah orang yang kemarin ia sangka monster. Kini tengah menampilkan ekspresi kesal yang membuat wajahnya kian menyeramkan. Garnish memukul dahinya agak keras, merutuki diri sendiri. Berusaha memutar otak agar bisa melewati tempat itu tanpa ketahuan.
"Kita tunggu aja, dia pasti lewat sini."
Salah satu di antara mereka mengedarkan pandangan. Tanpa sengaja pandangannya bertubrukan dengan manik mata hitam milik Garnish, membuat gadis itu terkesiap dan hampir terjengkang ke belakang. Tanpa berpikir lagi, Garnish berbalik, berlari tanpa tujuan.
"Eh, ciri-ciri cewek yang lo cari kayak gimana emang?"
"Item, dekil, kriwil."
"Loh, yang itu, bukan?" tunjukknya pada punggung Garnish yang masih terlihat melewati arah berbeda.
"Eh? Iya, itu. Ayo kejar!"
Pengejaran berlangsung cukup lama. Cukup membuat jantung Garnish meronta di dalam sana. Gadis itu berlutut saat kakinya tak lagi mampu melaju, di samping gedung baru yang belum dikunjungi banyak orang. Ia memegangi dada, mengatur napas sembari merapal doa dalam hati agar tak ada yang menemukannya di sana.
Namun, seperti doa-doanya yang sudah-sudah, harapan Garnish tak terkabul juga kali ini.
"Lo!" seru seorang pemuda yang wajahnya begitu Garnish kenali.
Garnish yang tak punya kekuatan lagi menyerah, duduk di tanah sambil menyesali diri sendiri karena tidak sarapan tadi pagi sehingga tak punya banyak energi. Ia pasrah, merelakan blazer hijau yang ia kenakan tersentuh debu. Tapi matanya tetap menatap tajam, penuh tantangan ketika teringat rentetan kejadian yang menuntunnya hingga hari ini.
Pemuda itu juga bersalah, ialah yang lebih dahulu membuat kekacauan dengan mengintai Vivian. Jadi, Garnish merasa punya kartu as yang bisa ia gunakan.
"Lo yang kemaren, kan?" tanyanya lagi meyakinkan. Ia berlutut, mendekat agar bisa melihat lebih jelas wajah Garnish."Gue Gavin."
Garnish mengernyitkan dahi, tak mengerti mengapa pemuda itu sampai merasa perlu memperkenalkan diri. Pemuda itu pun tampak tersentak sendiri dengan spontanitas yang ia lakukan. Ia cegukan beberapa kali, terdengar lucu di telinga Garnish, menghapus kesan seram yang membayanginya begitu saja.
"M-maksud gue, lo bener cewek kurang ajar yang kemaren racunin gue pakai kue itu, kan?"
"A-apa?" Entah kenapa Garnish ikut tergagap mendengar kata racun yang Gavin ucapkan.
"Iya." Jeda sebentar diselingi cegukan Gavin. "Gara-gara itu, gue cegukan sampai hari ini. Sampai dibilang mirip kodok!"
Kali ini tawa Garnish pecah, baginya bahkan tanpa cegukan saja Gavin memang sudah terlihat seperti hewan amfibi yang bernapas dengan kulit itu.
"Eh, lo malah ketawa! Ini cegukan enggak berhenti dari ke-kemarin," ungkap Gavin kesal. "Gue udah minum, makan, dikejutin temen-temen gue, tetap aja enggak ada yang berhasil."
"Ma-maaf, tapi ... gue juga punya alasan."
"Alah! Udah salah masih berani beralasan."
"Lo juga ngapain di perpus kemarin? Terus ngikutin gue dan Vivian ke kantin?"
Kali ini Gavin yang terdiam. Ia tak menyangka bahwa Garnish bisa mengutarakan hal itu di saat terdesak. Tiba-tiba cegukannya berbunyi lebih sering. Garnish kembali mengernyit, curiga bahwa cegukan kali ini dibuat-buat untuk menghindari pertanyaannya barusan. Jelas sekali Gavin terlihat panik, ia kemudian berdiri dan memberi tanda seolah kewalahan dengan cegukannnya. Pamit pergi tanpa menyelesaikan obrolan mereka.
"Tunggu!" pinta Garnish yang kini ikut bangkit, membersihkan sisa-sisa tanah yang menempel di bajunya.
Ia menyamakan langkah dengan Gavin. Seraya merogoh salah satu bolu di wadah yang ia bawa dan menyodorkannya pada Gavin. Lantas berlalu tanpa suara. Gavin menghentikan langkahnya, melihat kepergian gadis itu dari belakang. Ia mengendikkan bahu dan membuka plastik pembungkus, lantas melahapnya karena memang sedang lapar sehabis berlari-lari tadi.
Entah kenapa, Gavin tersenyum ketika air yang terasa manis keluar dari kue itu. Mengaliri tenggorokannya dan terasa sampai ke hati. Mengusir keki yang tadi menguasai. Gavin menelannya hingga tak bersisa, bahkan menjilat ujung-ujung jarinya, seolah tak rela bila kue itu tak habis semua. Perlahan, ia kembali melanjutkan langkah hingga kakinya kembali terhenti saat menyadari sesuatu. Cegukan pemuda itu berhenti.
"Ajaib!" pekiknya sendiri.
[To Be Continue]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top