16. Seperti Hujan di Perpustakaan

Vivian, Shinta, Tino, dan Andre saling tatap ketika Garnish mengumpulkan keempatnya dalam satu lingkaran di kelas karena para penghuninya yang sudah pulang. Di meja masing-masing tersaji stoples kecil berisi kukis warna-warni.

"Ini tanda terima kasih karena kalian sudah bantuin aku, terutama teman-teman kelompok satu, makasih ya udah maafin aku."

"Santai aja kali, Nish." Tino yang lebih dulu meraih stoples itu dengan tampang riang.

"Wah, lumayan nih, kebetulan lagi tanggal tua," sahut Andre tak kalah girang.

Shinta yang melihat hal itu jadi tak segan untuk turut menyimpan stoples miliknya. "Makasih, oh iya, gue duluan, mau buru-buru ada rapat organisasi."

"Kami juga mau pergi," sahut Vivian. "Duluan ya, Tino, Andre."

Gadis itu meraih tangan Garnish yang kemudian melepaskannya pelan.

"Ada satu hal lagi yang harus gue lakuin, Vi. Lo duluan aja."

"Mau apa? Gue temenin, deh."

"Jangan." Garnish mencoba mencari alasan, ia tak mau bilang begitu saja bahwa ingin bertemu dengan Gavin. Bisa-bisa suasananya jadi canggung jika Vivian bertemu Gavin. "Gue lagi nunggu klien, dia lagi ada urusan, jadi pasti lama."

"Gitu, ya?" Wajah Vivian tak tampak tak keberatan membuat Garnish diam-diam menghela napas lega. "Oke deh, gue duluan, jangan lama-lama loh di kampus."

Gadis itu melampai seraya melangkah menjauh, ia tak merasa khawatir meninggalkan Garnish karena kampus memang tak pernah sepi, sehingga ia yakin bahwa sahabatnya itu akan aman.

Sepeninggal Vivian, Garnish mengirimkan pesan pada Gavin untuk menemuinya di gazebo taman. Gadis itu duduk dengan gelisah, bosan perlahan menggerogoti kepercayaan dirinya untuk menunggu sendirian. Ia beralih meraih notes dan pena dalam tas, mencoba mencoret-coret asal, membunuh sepi. Hingga sebuah intuisi mengantarkannya untuk menulis jadwal sehari-hari. Garnish benar-benar tak mau mengulang kesalahannya kemarin. Jadi gadis itu berniat memanajemen waktunya sebaik mungkin.

Saat tengah asik menulis berbagai kegiatan, ponselnya tiba-tiba berbunyi, menampilkan nama Gavin sebagai orang sedang menelepon.

"Gue udah nunggu lama, nih. Lo di mana?"

"Gue baru aja lihat chat lo, udah sampe perpustakaan, nih "

"Ya udah ke sini aja, taman sama perpus kan deket."

"Bukan, bukan perpus kampus, gue di perpustakaan kota." Terdengar decakan dari sambungan telepon sebelum Gavin kembali melanjutkan, "Lo ke sini deh, kan searah juga sama rumah lo. Buruan, langitnya mendung, nih, takutnya kehujanan."

"Iya, iya, gue ke sana sekarang."

Tanpa melakukan apa-apa lagi, Garnish segera berdiri. Berjalan dengan terburu-buru di bawah awan-awan mendung yang mengiringi kepergiannya.

Untungnya hujan baru benar-benar turun saat Garnish telah memasuki pintu kaca perpustakaan kota itu. Ia mendapati Gavin yang sedang serius menyalin sesuatu dari buku ke laptop. Air langit yang turun dari balik jendela kaca besar yang berada tepat di samping Gavin makin membuat suasana jadi dramatis. Garnish berdeham sekali untuk menarik perhatian pemuda itu, sebelum akhirnya duduk tepat di hadapannya.

"Nugas lo?"

Tanpa menyambut kedatangan gadis itu, Gavin hanya melirik sekilas. "Bukan, belajar aja."

"Idih, baru tahu gue kalo lo rajin belajar."

"Bentar lagikan final." Kali ini Gavin menutup bukunya dan menatap balik ke arah Garnish dengan mata berbinar. "Ini karena orang tua gue izinin gue buat alat lukis kalo IPK gue semester ini naik."

"Oh ya? Selamat!" Garnish benar-benar ikut senang. Ia tahu bahwa Gavin punya impian jadi pelukis. Perasaan senasib antara dirinya dan pemuda itu membuat Garnish turut bahagia jika Gavin bisa mendapatkan apa yang dia inginkan.

"Satu lagi, Nish, kalo gue dapat IPK sempurna, nanti gue dikasih tiket ke pameran seni!" serunya menggebu-gebu. "Lo gue ajak, deh."

"Emang lo dapat dua tiket?"

"Enggak sih, lo beli sendiri dong," kata Gavin seraya menyengir. "tapi ya gak seru aja gitu nonton sendiri."

"Enggak mau, ah, mending uangnya gue beliin oven baru."

"Eh, lo mau ketemu gue kenapa? Katanya ada yang mau diomongin."

"Ya ampun hampir aja gue lupa, jadi gini, Vin, gue mau bilang kalau ...." Garnish terdiam, sengaja menggantung kata-katanya untuk melihat reaksi pemuda itu.

Dan hal itu berhasil membuat Gavin berdecak tak sabar. "Jangan bikin penasaran, deh." Tak tanggung-tanggung, pemuda itu meletakkan buku tebal yang ia genggam, juga menutup layar laptop. Menghilangkan penghalang antara ia dan Garnish. Tapi ekspresi Gavin yang menyipitkan mata penuh selidik membuat Garnish merasa was-was. "Jangan-jangan ... lo mau ngungkapin perasaan ke gue?"

Garnish tak tahu semereh apa wajahnya, yang jelas gadis itu benar-benar merasakan panas yang menjalar. Ia tak mau melakukan hal seperti yang Gavin tuduhkan, hanya saja perkataan pemuda itu tak sepenuhnya salah, Garnish takut kalau ternyata perasaannya yang belum jelas bisa dinamakan suka atau tidak itu malah ketahuan dengan begitu mudahnya. Tapi tawa pemuda itu membuat suasana canggung jadi mencair begitu saja.

"Nish, lo marahnya santai aja, dong, mukanya sampe merah gitu. sorry, deh, sorry"

Mendengar persepsi Gavin yang menyangka wajahnya merah karena marah membuat Garnish segera mendapatkan pencerahan, ia merubah ekspresi semeyakinkan mungkin seolah sedang benar-benar kesal.

"Gue mau ngomong serius, nih."

"Iya, nih gue dengerin."

"Kayak yang lo bilang, bentar lagi kita final test, jadi ya gue harus belajar juga buat persiapan."

"Terus?"

"Jadi gue kayaknya gak bisa ke indekos lo lagi, deh, tiap minggunya." Helaan napas lolos di sela-sela ucapannya. "Soalnya gue ngerasa akhir-akhir ini sibuk banget, sampe gak ada waktu buat istirahat." Garnish memilin bibir ke dalam, melirik Gavin yang kini mengangguk-anggukan kepala pelan. "Padahal semester ini lagi sibuk-sibuknya, tapi gue juga harus bikin kue buat kantin, ngurus orderan bekal, juga bantuin pesanan kue ibu gue," lanjutnya tanpa sadar mencurahkan isi hati. "Jadi gue pikir gue bakal kurangin beberapa kegiatan aja."

Gavin terdiam sejenak. "Yah, mau gimana lagi."

"Lo enggak masalah?"

"Ya enggak lah, itu kan hak lo, lagi pula pilihan lo tepat, kok. Gue juga enggk bisa selamanya bergantung sama lo."

Garnish tanpa sadar mengangkat tangan, mengacak puncak kepala Gavin. "Lo harus rajin bersih-bersih sendiri, ya, kamar lo jadi lebih nyaman, kan, sekarang."

"Apaan, sih? Gue bukan anak kecil!" seru Gavin buru-buru menghalau tangan Garnish, ia buru-buru mengalihkan pandangan keluar, melihat hujan yang belum juga reda. "Kapan selesainya?"

"Mau buru-buru pulang?"

"Iya, mau ketemu orang."

"Spesial banget kayaknya," sindir Garnish.

"Lo ingat yang waktu gue bilang ada orang yang selalu tuker kado sama gue tiap ulang tahun? Itu dia, dia baru pulang hari ini."

"Oh," respon Garnish singkat.

"Gue enggak sabar lagi ketemu dia," ucap Gavin tertawa sendiri. "Enggak nyangka gue bisa sekangen ini sama tuh anak."

Rasa kecewa lagi-lagi melingkupi hati Garnish. Ia bahkan tak tahu orang seperti apa yang pernah singgah di hati pemuda itu. Bisa jadi yang secantik Vivian, maka Garnish tak punya kesempatan sama sekali untuk bersaing. Kesal juga, ia rasanya ingin bangkit dan mengamuk, tapi Garnish masih punya akal sehat yang mencegahnya melakukan itu.

Karena tak mau terlihat gundah, Garnish mencoba mencari aktivitas untuk mengalihkan pikirannya.
Ia membuka tas dan meraih sesuatu di sana, hingga gadis itu mengernyit karena merasa ada sesuatu yang kurang.

"Yah, notes gue mana?" tanya pada diri sendiri.

"Kenapa? Ada yang ketinggalan?"

"Ah, iya, jangan-jangan di gazebo tadi!" Gadis itu mengacak-acak rambutnya sendiri, merasa kesal. "Gara-gara lo, sih!" tuduhnya menyalahkan Gavin.

"Kok, gue?"

"Tadi gue buru-buru mau nyusul lo ke sini!"

"Santai aja kali, Nish, cuma notes doang."

"Cuma notes doang? Lo enggak ngerti sih kalo notes itu penting! Bukan sekedar notes biasa!"

"Nanti gue ganti."

"Enggak bisa, bukan masalah notesnya aja tapi isi tulisannya."

"Oke, tapi jangan teriak-teriak di perpustakaan."

"Biarin!" Garnish melampiaskan kekesalannya. Menyisakan ketegangan antara keduanya, Gavin yang tak merasa melakukan kesalahan jadi menggelatukkan gigi, menahan amarah. Suasana hatinya yang tadi berbunga mendadak menduplikat langit hari ini yang meriah dengan petir menyambar.

"Ya udah, serah lo," kata Gavin yang kemudian pergi lebih dulu menerobos hujan. Meninggalkan Garnish yang mematung di tempatnya.

[To Be Continue]

A/N

Sejauh ini ternyata banyak typo ya, itu karena aku ngejar deadline 😂 Jadi terima kasih yang udah bantu nandain. Jangan segan-segan komen kalo nemu, ya, biar nanti gampang aku revisinya. Makasih banyak 💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top