5. GIFT FOR HELENA

Sejak hari itu, Hugo tidak sadarkan diri selama dua hari. Ia berhasil ditemukan Vash tak lama kemudian setelah ada panggilan dari Sarulus. Mengetahui keponakannya tidak sadarkan diri membuat Sarulus bertanya-tanya perihal penyebabnya. Beberapa alasan Sarulus tangkap, mungkin Hugo kelelahan setelah bertarung atau mungkin dia sempat terkena serangan Tsillah—sehingga mengurangi banyak energinya.

"Kelelahan?" Sarulus tertawa hambar setelah mendengar diagnosa tabib. "Sejak dia menjalani pendidikan yang kuberikan, tidak pernah sekali pun Hugo pingsan atau mengaku kelelahan—sedikit pun." Kedua alis Sarulus menukik tajam, kakinya berjalan pelan ke sana kemari di hadapan Hugo yang masih terbaring.

Para tabib, penasihat kerajaan, dan sang ksatria pun menunduk dalam, seakan-akan mereka tahu bagaimana suasana hati sang raja sedang tidak baik-baik saja.

Dalam ruangan lembap, kesunyian menelusuri tiap bagian. Tak hanya ada kaum Onyx, tetapi raja kaum Tsillah pun ikut menjenguk. Makhluk berpostur lebih tinggi dan lebih besar dari Sarulus itu memandangi lama seseorang yang terbaring di sana. Mata besar penuh hitam legam tersebut memperhatikan bagian-bagian kecil yang tidak terlihat. Luka dan goresan sekecil apa pun bisa terlihat olehnya,

"Terlalu banyak bekas luka dan luka baru yang dia terima. Mungkin saja benar apa kata tabib, Hugo kelelahan." Agrog Zorgon—pemimpin wilayah Merikh—lantas mendekati Sarulus dan memberikan beberapa kali tepukan pada punggung teman dekatnya. Siapa tahu hal tersebut dapat menurunkan emosi Sarulus. "Biarkan saja dia beristirahat, kami akan merawatnya. Tenang saja, aku tidak akan memberikan kalian makanan seperti kami," katanya sambil tertawa, bermaksud membuat Sarulus tertawa.
Sarulus mengambil napas panjang, mengusap wajahnya kasar, lalu mengangguk. "Baiklah, akan kubiarkan dia istirahat."

Benar saja, kini kedua kawan itu bertukar tawa sebelum akhirnya meninggalkan ruangan—disusul orang-orang mereka yang setia mengikuti. Di dalam ruangan ini, tersisa Vash seorang. Matanya masih memandangi pintu yang dilalui orang-orang tadi dengan sengit. Kepalanya menggeleng, tidak habis pikir dengan sikap Sarulus. Bagaimana bisa ia marah di saat keponakannya sendiri jatuh pingsan?

Astaga. Jika Vash menjadi Hugo, Vash akan kabur.

Waktu seperti berlalu begitu cepat, tetapi tidak untuk beberapa orang yang menjalani harinya dengan berat. Empat tahun berlalu, baik Turgon dan Merikh makin berkembang. Mereka melakukan banyak kerja sama di beberapa bidang. Meskipun begitu, kesejahteraan rakyat sama sekali tidak ada kemajuan.

Saat musim dingin tiba, gagal panen melanda beberapa wilayah, menyebabkan kekurangan bahan makanan. Dahulu, dalam situasi seperti ini, bantuan akan datang dari Ivor. Namun, kini bantuan berasal dari Merikh. Rakyat sempat bersukacita mendengar kabar itu, tetapi harapan mereka pupus setelah mengetahui bahwa makanan yang dikirim tidak layak konsumsi.

Empat tahun berlalu. Hugo kini lebih mengerti tentang hal-hal yang terjadi di luar sana. Apa yang dilakukan sang paman memang tidak benar, tetapi Hugo tidak bisa apa-apa. Semua kekuasaan, Sarulus yang memegang kendali. Semuanya mengalami perubahan yang signifikan, bahkan untuk Hugo sendiri.

Hugo mendapatkan segala bentuk pendidikan. Sarulus benar-benar membentuknya menjadi perisai sekaligus pedang. Seolah ia menciptakan ulang diri Hugo. Kesibukan Hugo membatasi interaksinya dengan saudara-saudaranya—atau lebih tepatnya, Sarulus yang membatasinya. Henry, Jacob, Julius, dan Helena pun disibukkan dengan hal serupa.

Henry diharuskan menguasai beberapa senjata, Jacob diarahkan menjadi ahli pemanah, Julius mempelajari ilmu pedang sejak dini, sedangkan Helena dituntut untuk menjadi tabib kerajaan. Tidak peduli mereka andal dalam bidang tersebut atau tidak—perintah adalah perintah. Tidak seperti hubungan persaudaraan lain yang makin erat, justru Hugo perlahan kehilangan komunikasi dengan keempat adiknya.

Hari ini, Sarulus kedatangan tamu yang dianggapnya hina ke dalam ruang takhta, seorang pencuri yang menjadi buronan beberapa bulan ini akhirnya ditangkap. Begitu pintu terbuka, dua prajurit memegangi kedua lengan seorang laki-laki tersebut. Pakaiannya kumuh, rambut dan janggut itu dibiarkan memanjang—entah sudah berapa lama ia tidak membersihkan diri.

Tubuhnya dilempar begitu sampai di hadapan raja. William—sang ksatria setia Sarulus—menyusul di belakang, lalu memberi hormat.

"Ah, William! Kau akhirnya datang." Sarulus memosisikan duduknya di kursi kebanggaan itu. Wajahnya berseri, menunjukkan senyum setelah melihat hasil tangkapan ksatrianya.

"Yang Mulia, sesuai perintah Anda, saya berhasil menangkap pencuri yang telah menjadi buronan beberapa bulan terakhir," kata William melaporkan.

"Bagus, kau cepat sekali melakukannya."
Pria itu beranjak bangun dari kursinya, berjalan mendekati si pelaku, lalu merendahkan tubuhnya untuk melihat lebih dekat. Kepalanya menggeleng, kala melihat tampilan pria tersebut. Kumuh, kusut, serta mata yang menatap penuh kebencian ke arah Sarulus.

"Katakan dengan jelas, kenapa kau mencuri bantuan makanan untuk rakyat?"

Hening. Pria yang kini dalam posisi bersimpuh itu perlahan tersenyum, lalu tertawa, merasa lucu dengan pertanyaan Sarulus.

"Makanan? Kau bilang itu makanan?" Tawa dan senyum itu berangsur lenyap, hanya ada tatapan kebencian di sana. "Bantuan makanan yang kau beri itu bahkan lebih baik disebut makanan hewan. Kau sengaja melakukannya, bukan? Yang Mulia Raja Sarulus?" tanyanya dengan penekanan di akhir kalimat.

"Apa maksudmu? Aku tidak pernah mengerti ucapan makhluk rendahan sepertimu."

Tawa hambar menusuk telinga untuk kedua kalinya, ekspresi Sarulus masih sama, datar. Setiap katanya mengandung ancaman, pria itu bahkan tidak peduli ia sudah melanggar berapa kali peraturan perihal bersikap terhadap pemimpin kerajaan ini.

Pria itu berdesis, keningnya berkerut, kedua tangannya yang terikat mengepal kuat. Jika saja ia masih punya cukup tenaga, mungkin pukulan kuat akan melayang tepat ke wajah Sarulus.

"Kau bertanya mengapa aku mencuri makanan itu, bukan? Biar kujawab. Aku bukan mencurinya, lebih tepatnya, aku menukar makanan tidak layak itu dengan makanan yang pantas untuk diterima perut makhluk rendahan seperti kami."

Tak sampai di situ, Pria berambut ikal itu menoleh ke arah kanannya, menatap penuh atensi kepada pemuda 19 tahun yang berdiri tak jauh dari posisi Sarulus. Ia tahu pemuda itu, tidak pernah sekali pun lupa akan keberadaanya.

"Hei, Anda Yang Mulia Pangeran Hugo, bukan?" Pria itu merendahkan tubuh, memberi hormat. "Kau lebih pantas menerima penghormatan. Yah, meskipun pada akhirnya ... kau akan membunuhku, kan?"

Tepat kalimat pria di sana selesai, Sarulus menggerakkan salah satu tangannya, memberi isyarat untuk sebuah perintah, sebuah perintah yang hanya dimengerti oleh seseorang di dalam sana. Hugo menangkap isyarat itu, lalu berjalan mendekat seraya memegang erat bilah tajam di sisi tubuhnya. Benda itu berderit, mengeluarkan cahaya perak silau.

Dalam ruangan megah itu, hanya terdengar langkah kaki Hugo yang makin mendekati si pencuri. Pencuri itu reflek bersimpuh, menundukkan kepala, lalu menarik napas panjang. Tidak seperti buronan lainnya yang akan memohon ampunan, pria ini berbeda, ia seakan menerimanya dengan lapang dada.

Dalam satu ayunan, bilah tajam turun ke bawah mengenai leher si pencuri, membuatnya lemah, hingga akhirnya terjerembab di atas karpet merah. Kesadarannya telah hilang. Darah dengan cepat menyebar, mengotori lantai.

"Tidak akan ada ruang untuk mereka yang menentang." Sarulus mendudukkan diri kembali di atas singgasana. "Bersihkan dia."

"Baik, Yang Mulia."

Tetesan cairan merah pun mengotori pedang Hugo, sedikit cipratannya mengenai wajahnya. Setelah jasad pencuri tersebut dibersihkan, bilah tajam kembali ke sarungnya. Sorot mata pemuda itu tidak ragu sedikit pun saat pedang diayunkan. Jika dulu Hugo akan gemetar, bahkan bersalah saat menghabisi nyawa kaum Tsillah di duel pertamanya, maka sekarnag tidak lagi. Di masa pertumbuhannya, terlalu banyak titah yang Sarulus berikan kepada Hugo untuk menghukum mati orang-orang yang bersalah menurutnya.

"Bagus, kau boleh pergi, Hugo."

Hugo menunduk, lalu mengundurkan diri setelah memberi hormat. Sesaat setelah keluar ruangan, terlihat dari jauh sosok yang ia kenali. Seorang Ksatria tengah berlari ke arahnya dengan tergesa-gesa. Vash berhenti tepat di depan Hugo dengan napas tersengal, mencoba memberi tahu sesuatu.

"Normalkan dulu pernapasanmu, baru bicara."

Vash menurut, setidaknya satu menit untuk Vash menormalkan pernapasannya, meski masih sedikit tersengal.

"Berita baik atau buruk?"

"Keduanya," jawab Vash cepat. "Jangan terkejut, ini tentang salah satu adikmu."

Kening Hugo mengerut, sepertinya ia tahu siapa yang dimaksud. "Jacob ...," katanya seraya mengembuskan napas berat. "Jelaskan secara lengkap."

"Baik, tapi kali ini kau harus ke tempat Jacob."

Hugo menegang. "Apa maksudmu?"

"Oh, ayolah, kau tahu bagaimana repotnya mengurus dia, kan?"

Jawaban Vash sontak membuat keduanya saling tatap dalam keheningan, lalu tak lama, Hugo langsung melesat pergi. Jacob lagi dan Jacob terus, tak jarang adiknya yang satu itu membuat masalah. Dari mulai berurusan dengan bandit, ibu-ibu, beberapa bangsawan, bahkan kaum Tsillah sekali pun. Di antara adik-adiknya yang lain, Jacob lah yang paling Hugo temui. Pertemuan mereka bukan karena alasan baik, tetapi selalu karena 'masalah' yang Jacob perbuat.

Kabarnya, setelah pelatihan, Jacob mengaku ingin berjalan-jalan sendiri sebentar di sekitar akademi. Hugo telah memerintahkan agar pengawasan terhadap Jacob tidak lepas, tetapi anak berumur 14 tahun itu sungguh membuat pusing kepala. Ada saja celah yang bisa digunakan untuk kabur dari pengawasan pengawal.

Kemudian, entah ada alasan apa di baliknya, Jacob mulai memanah beberapa ternak seorang warga. Anak panahnya melesat hingga ternak tersebut kehilangan nyawa dan memicu amarah beberapa rakyat sekitar.

Noctis, adalah tempat di mana Jacob berada sekarang. Daerah yang berada di kaki gunung Nogra. Ia dibawa ke dalam rumah salah satu kaum Onyx, dikelilingi oleh orang-orang penuh amarah, meminta pertanggung jawaban. Daerah ini cukup terpencil, jarang melihat rupa orang-orang dari keluarga istana. Selain itu, kesibukan para pangeran dan putri menyita sebagian besar waktu mereka. Jadi, bisa terhitung jari kapan saja mereka pernah berinteraksi dengan rakyat.

"Lima ternak mati?"

Hugo membeku begitu sampai di tempat. Mereka bergegas menuju Noctis dengan tunggangan kuda masing-masing, tanpa orang-orang dari kerajaan lainnya.

"Ya, kau lihat di sana." Vash menunjuk lima hewan yang tergeletak di tanah, ada beberapa anak panah yang masih tertancap di sana. "Tiga domba dan dua sapi, kau harus menggantinya. Tapi, yang paling utama adalah, tenangkan orang-orang itu dulu. Mereka tampak ingin membakar adikmu."

Tuhan ... terkadang Hugo bertanya, kenapa ia mempunya adik dengan karakteristik seperti ini. Setelah dirinya turun dari kuda, langkah Hugo berjalan cepat menuju kerumunan. Suhu dingin di sini terasa dua kali lipat menusuk kulit, Hugo mengeratkan mantelnya. Sementara itu, lelaki dengan rambut berantakan itu menegakkan posisi tubuhnya kala menangkap seseorang yang sedari tadi ia harapkan kedatangannya.

Jacob tidak peduli dengan amarah orang-orang di sini, perhatiannya kini tertuju penuh kepada Hugo yang makin mendekat. Terlihat sekali kedua alis yang menukik tajam itu.

"Oh, dia datang!"

Teriakan Jacob sontak membuat perhatian orang-orang beralih, lalu dengan cepat, Vash mengambil alih. Dia mulai menenangkan dan menjelaskan kepada mereka perihal Jacob yang tiba-tiba menghabisi nyawa ternak, bahkan Vsah mewakili Jacob untuk meminta maaf.

"Jadi, apakah kau yang akan mengganti ternaknya?"

"Bukan saya, tapi orang di sana yang akan mengganti. Bukan hanya itu, dia akan memberikan kalian sejumlah koin Haira!"

Haira, mata uang Turgon. Hugo menjanjikan beberapa keping koin agar ada perdamaian. Mereka yang mendengar terlihat senang, padahal yang dirugikan hanya satu orang. Sementara Vash sibuk mengurusi mereka, begitu datang tadi, Hugo langsung menarik lengan Jacob kasar. Dia menyeretnya ke tempat yang lebih sepi, lalu menghempaskan genggamannya.

"Akh! Tidak bisakah kau lebih lembut kepada adikmu?" protes Jacob seraya meraba pergelangan tangannya. "Omong-omong aku senang kau di sini, bagaimana kabarmu, Kak?"

Tepat kepala Jacob menengadah, tubuhnya tiba-tiba terdorong ke belakang, hingga akhirnya membentur tembok. Hugo menahan bahu Jacob, membuatnya tidak bisa bergerak, sementara tangan satunya telah mengarahkan bilah tajam pisau tepat di depan leher Jacob. Bohong jika Jacob terkejut, tetapi dirinya malah tertawa melihat pemandangan ini. Hugo sendiri sudah mencapai ambang batas sabarnya. Rahangnya mengeras, bola mata itu tampak penuh kobaran api.

"Kau sadar dengan tingkahmu ini, Jacob? Jika mereka tahu statusmu, nama baik keluarga kerajaan akan menjadi buruk!"

Hugo mengeratkan genggamannya, napasnya naik-turun dengan cepat. Sementara Jacob hanya terkekeh.

"Astaga ... apa ini? Menjadi tangan kanan Raja membuatmu tidak punya hati?" Jacob memandang Hugo penuh senyum. "Ayo, kalau kau bisa. Aku yakin kau tidak akan berani. Meski hubunganmu dengan adik-adikmu ini tidak seperti adik-kakak yang lain, kau masih menganggapku adikmu, kan?"

Tangan Hugo gemetar, napasnya memburu. Detik selanjutnya, pisau itu kembali ke tempatnya dan Hugo melepaskan kasar cengkramannya pada Jacob. Melihat itu, tawa Jacob makin mengeras, merasa konyol dengan situasinya saat ini.

"Tenanglah, bahkan jika aku mati pun, aku tidak akan menggunakan nama belakangku selama paman masih memimpin," celetuknya. "Bukankah seharusya salah satu dari kita yang menggantikan Paman?"

"Berhenti membahas itu, aku tidak akan ragu memakai pisauku."

Keduanya keluar halaman belakang salah satu rumah setelah Hugo melihat isyarat Vash untuk keluar. Jacob reflek merangkul Hugo, tetapi langsung ditepis begitu saja. Hal itu justru membuatnya terkekeh, lalu tetap melanjutkan perjalanan. Langkah mereka beriringan, tampak seperti kakak dan adik selayaknya.

"Kau tidak lupa besok hari apa, bukan?"
Hugo berpikir sejenak tanpa menoleh ke arah Jacob. "Kurasa tidak ada hari spesial."

"Benarkah?" Jacob mendengkus. "Adik kembarmu ini akan berulang tahun, besok aku dan Julius secara resmi berusia 15 tahun."

Memangnya Jacob berharap apa dari seorang Hugo? Ucapan? Tidak, ya agaknya ada sedikit harapan itu. Namun, nyatanya Hugo tidak memberikan ucapan apa pun. Jacob pikir, tidak ada hadiah apa pun dari Hugo, kakaknya itu pasti terlalu sibuk menjadi tangan kanan Sarulus.

Keheningan terjadi selama beberapa detik, hingga Hugo berkata, "Besok segera temui para tetua, sihir penyamaranmu akan memudar. Pergilah bersama yang lain."

"Bagaimana denganmu? Kau juga ikut bersama kami?"

Hugo diam, berharap menjawab pertanyaan Jacob. Jacob pun mengerti, diam artinya tidak. Ah, sejujurnya ia kecewa, sangat kecewa. Namun, setidaknya hari ini ia telah bertemu dengan Hugo, hal itu sedikit mengurangi rasa kecewanya.

"Ke mana tujuan kita selanjutnya? Mengunjungi festival? Kudengar ada festival yang sedang berlangsung di dekat sini."

Sebuah sentilan mendarat di pelipis Jacob, ia meringis pelan.

"Jangan gila, tujuanmu selanjutnya adalah kamarmu sendiri." Hugo mempercepat langkah. "Cepatlah, kita akan mencari kuda untukmu dulu."

Jacob tidak protes apa pun, ia sudah tahu konsekuensinya. Di masalah sebelumnya, ia mendapat hukuman rotan, kakinya dipukul 50 kali. Tidak masalah, Jacob tidak mempedulikan hukumannya, asal Hugo yang memberikan hukuman itu. Setelah percakapan itu, Hugo tidak berinteraksi dengan Jacob, mulutnya tertutup rapat, tatapannya fokus memandang ke arah depan.

Perjalanan mereka membutuhkan waktu hampir tiga jam. setibanya di istana, Jacob tidak langsung kembali ke kamar, ia menghampiri Hugo sejenak untuk mengatakan sesuatu.

"Aku akan mengajak Helena berburu besok."

Seketika, langkah Hugo berhenti. Suara derap kaki yang sebelumnya memenuhi lorong, kini kembali sunyi, ia menatap Jacob. Lagi dan lagi, tatapan tajam itu Jacob dapatkan.

"Aku akan menghabisimu jika Helena ikut. Jangan lupakan hukumanmu."

"Ayolah, tidak akan lama."

Kali ini, Hugo mengambil langkah besar mendekati Jacob, tatapannya mengintimidasi, reflek membuat Jacob meneguk salivanya.

"Tetap, di kamarmu, Jacob," titah Hugo ketus, lalu dengan cepat meninggalkan Jacob sendirian.

Jacob tahu dirinya salah dan harus mendapat hukuman. Namun, besok adalah hari ulang tahunnya yang ke-15, tidak seru jika hanya menghabiskan waktu di dalam istana, terlebih kamar sendiri. Jadi, Jacob tetaplah Jacob yang tidak akan membiarkan keinginannya dihalangi, ia tetap pergi ke hutan yang biasa dijadikan tempat untuk berburu. Tentu saja bersama Julius dan Helena si gadis yang kini beranjak 12 tahun.

Keesokan harinya, Jacob, Julius, dan Helena menyelinap keluar pagi-pagi sekali. Mereka harus bergegas, walaupun berburu akan berlangsung singkat karena hari ini Julius dan Helena masih ada pelatihan, Jacob tetap senang. Angin di pagi hari lebih terasa dinginnya, mereka lantas mengeratkan mantel masing-masing. Langit tampak berwarna biru kelabu, batang-batang pepohonan menjulang tinggi tanpa dedaunan.

Beberapa helai rambutnya beterbangan, Jacob merendahkan tubuhnya, memfokuskan pandangan pada seekor kancil di depan sana. Gemerisik dedaunan terkadang membuat si kancil gelisah. Namun, pada saat itulah, Jacob mulai menarik anak panahnya, mengarahkannya penuh ke arah kancil.

Dalam satu gerakan, anak panah itu terlepas.

"Kena!" seru Helena dalam keadaan berbisik.

Mata gadis itu berbinar, kedua tangannya reflek menutupi mulutnya yang terbuka lebar. Di setiap harinya, Helena selalu kagum dengan kemampuan kakaknya yang makin keren
"Lihat! Kemampuanku makin berkembang, bukan?"

"Ya, ya, aku tahu. Sombong sekali, kau makin mirip dengan Henry."

Julius berdecak sebal, lelaki berkulit putih pucat itu segera menjejalkan kaki menuju kancil yang telah tergeletak di atas tanah dingin. Sebelum membawanya, Julius, Helena, dan Jacob menundukan kepala sejenak, mendoakan hewan buruan mereka sebelum akhrinya membawa hewan tersebut ke tempat tertentu.

Melihat buruannya, membuat Jacob tersenyum tanpa henti. Tidak sampai di situ, kini giliran Julius yang melakukannya. Mereka kembali ke dalam semak-semak, bersembunyi di dalam dengan segala kefokusan dan taktik sederhana.

"Kau akan menjadi ahli pedang, bukankah ini mudah bagimu?" tanya Jacob.

"Diamlah, kau membuatku tidak fokus!"

Tidak banyak respons yang Jacob berikan, karena di depan sana terlihat ada seekor rusa tengah berjalan sendirian. Helena berseru dalam bisikan.
"Wow ..., rusanya besar sekali. Ayo, dapatkan dia Julius!"

Timbul senyum tipis di wajah masam Julius saat mendengarnya. Tak lama, ia mengeratkan genggaman pada tombak putihnya, menariknya, lalu mendorongnya dengan kuat hingga berhasil mengenai salah satu bagian rusa tersebut.

"Astaga, aku heran padamu, mengapa tidak memakai anak panah saja?"

"Terlalu biasa."

Baiklah, Jacob mengakui kehebatan saudara kembarnya itu. Ia dituntut mempelajari berbagai macam senjata, maka Julius tahu mana yang terbaik, pikir Jacob begitu. Tidak ada perlawanan pada rusa itu, ia langsung menghembuskan napas terakhirnya begitu tombak Julius mengenai jantungnya. Setelah tombak itu berhasil ditarik kembali, ketiganya kembali mendoakan hewan tersebut.

Berikutnya, Jacob berniat membawa hasil buruan Julius ke tempat di mana mereka mennyimpan hasil buruan sebelumnya, tetapi sebuah anak panah melesat begitu cepat mengenai bagian lain dari rusa, membuat ketiganya reflek mundur, lalu membeku di tempat. Mata Julius membulat sempurna, sementara Jacob langsung mendekap Helena erat. Jantung keduanya berdegup kencang, atensi seluruhnya beralih ke sekitar.

Ketika mereka menoleh, mereka mendapati seseorang dengan beberapa orang lainnya datang mendekat, Mengenali seragamnya, setidaknya mereka bisa bernapas lega, tetapi melihat kedatangan orang-orang ini merupakan tanda jika situasi untuk si kembar akan 'tidak baik-baik saja'
Hugo dengan pakaian hijau tuanya itu berjalan mendekat dengan langkah besar, matanya menatap tajam tiga orang di sana, lebih tepatnya mengarah pada Julius dan Jacob. Rahangnya mengeras, mungkin sebentar lagi akan ada emosi yang meledak.

"Hugo! Kakak datang juga?"

Suara Helena menginterupsi, menyadari Hugo bahwa ada si bungsu di sana yang ikut kegiatan si kembar. Ia pikir, Jacob hanya bergurau perihal membawa Helena bersamanya, ternyata memang benar. Gadis berambut ikal panjang itu langsung berlari menuju Hugo, membuka lebar-lebar kedua tangannya, lalu memeluk tubuh Hugo yang lebih besar darinya.

"Kupikir kau tidak akan datang, ternyata apa yang dibilang Jacob benar!"

"Jacob?" tanya Hugo, ia melirik sekilas orang yang dimaksud, lalu perlahan melepaskan pelukan Helena dan menatapnya. "Helena, bukankah kau masih ada pelatihan hari ini?"

Helena mengangguk. "Tapi, aku bisa menetap di sini sebentar lagi, mereka tidak akan menyadari ketidakhadiranku untuk sementara."

"Jika yang kau maksud adalah para pelatihmu, mungkin iya. Namun, jika itu Yang Mulia Raja, maka tidak. Ketidakhadiranmu begitu penting, maka kau harus datang tepat waktu, mengerti?" Hugo menjelaskan dengan cepat, tegas, dan ... cukup membuat Helena terdiam hingga akhirnya menundukkan kepala sejenak.

Melihat respons Helena, justru membuat Hugo mendengkus kasar. Tatapan tajam itu sekilaa menghujani si kembar sebelum akhirnya kembali fokus pada Helena.

"Jika mereka mengajakmu untuk bolos atau kabur diam-diam, tolong tolak ajakan mereka, mengerti?"

"Tapi, aku tidak suka dengan sihir dan obat-obatan. Apa aku tidak bisa memilih?" Kedua tangan Helena saling mengeratkan satu sama lain, berharap mendengar jawaban yang ia mau.
Hugo menggeleng. "Kau tidak bisa mendapatkan apa yang kau mau jika terus melanggar aturan."

Detik berikutnya, Hugo memberikan isyarat pada Vash untuk segera membawa Helena kembali ke istana sebelum mereka mengantarnya ke akademi. Vash menangkap perintah dengan baik, lalu dengan cepat membawa Helena ke tunggangan kudanya.

Di sisi lain, Jacob dan Julius masih menunggu di tempatnya. Hanya berselang beberapa detik, sebuah pukulan mendarat sempurna pada wajah Jacob. Tubuhnya terhuyung bebera langkah, meninggalkan luka di tulang pipi hingga mengeluarkan sedikit cairan merah.

"Kau pantas mendapatkannya. Apa yang kukatakan perihal berburu kemarin?"

Jacob menyeka darahnya, lalu terkekeh. "Sudah kubilang, hari ini ulang tahunku dan Julius, kami tidak hanya ingin diam di istana."

"Hanya kau yang diam di istana, Jacob. Jadwalmu dibiarkan kosong untuk hukumanmu, tidak dengan Julius yang masih harus ke akademi."

"Astaga, kenapa juga masih harus menjalankan akademi? Kudengar di kerajaan lain, para Pangeran dan Putri akan mengosongkan pendidikan mereka untuk merayakan ulang tahun, mengapa kami tidak boleh mendapatkannya?" sanggah Julius, meminta protes. Ia menatap sengit Hugo. "Tidakkah kau tahu bagaimana mengerikannya kondisi di akademi untuk kami, para Pangeran dan Putri Turgon? Sangat menyeramkan ...."

"Omong-omong, senang bertemu denganmu lagi, Kak Hugo. I thought you had become a loyal servant of Uncle Sarulus, it's true,” timpal Julius miris.

Hugo diam, tidak merespons. Melihat hal itu, Julius tertawa hambar. Ia pikir sudah tidak ada hal lagi yang ia ingin dengar dari Hugo. Kemudian, dirinya dan Jacob segera beranjak menuju tunggangan masing-masing yang telah dibawa. Tersirat tatapan tidak suka yang ditangkap melalui mata Julius dan kekecewaan lain terhadap sang kakak tertua dari Jacob. Begitu semua di tempatnya, tunggangan mereka perlahan menghilang dari pandangan, meninggalkan Hugo dengan beberapa orang lainnya.

Hugo masih memilih tidak berkata apa pun sembari berjalan menuju dua tempat di mana hasil berburu Jacob dan Julius diletakkan. Ia memandangi kedua hewan tersebut untuk beberapa saat. Pikirannya berkecamuk, tetapi hatinya menghangat mengetahui kedua adiknya telah tumbuh dengan kemampuan yang meningkat. Namun, saat ini Hugo hanya bisa diam dengan wajah datar, tidak ada kata apresiasi atau senyuman merekah atas pencapaian ini.

“Bersihkan ini semua, bawa hewan - hewan ini ke istana.”

“Baik, Tuan Muda.”

Hugo berjalan mendekati  Chion---kuda berbulu hitam dengan jenis Thoroughbred miliknya. Cukup sampai sini ia berkomunikasi dengan saudara-saudaranya, tidak boleh melewati batas, tidak boleh terlalu intens.

"Tidakkah kau tahu bagaimana mengerikannya kondisi di akademi untuk kami, para Pangeran dan Putri Turgon? Sangat menyeramkan ...."

Untuk sejenak, ucapan Julius terngiang-ngiang di benaknya. Bukannya tidak mau menjawab, Hugo hanya bisa menyimpan jawabannya sendiri.

“I know, Julius. It hurts.”

Hugo berbohong perihal Julius yang masih harus pergi ke akademi, karena nyatanya, Hugo telah meminta waktu dua hari kepada Sarulus dengan alasan untuk menghukum Julius dan Jacob karena telah melakukan kesalahan. Padahal, waktu itu ia gunakan agar si kembar punya waktu pemulihan kala kekuatan inti mereka muncul hari ini.

Pada sore hari, Hugo mendapat kabar keduanya jatuh pingsan, ia mengancam siapa pun yang menyebarkan berita ini pada Sarulus, maka nyawanya akan ia habisi saat itu juga, termasuk anak atau saudara mereka. Begitu kekuatan inti mereka muncul sepenuhnya, maka harus ada cara lain untuk menyembunyikan dan mengendalikannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top