3. THE TSILLAH
Waktu berlalu cepat, tiga tahun lainnya terlewati. Bagi Henry, Jacob, Julius, dan Helena, waktu tidak pernah berlalu cepat saat masa pelatihan datang. Helena telah menginjak usia 8 tahun, tahun di mana pelatihannya telah dimulai. Dalam tiga tahun terakhir, kelima saudara itu jadi jarang punya waktu untuk bersama, bahkan untuk sekadar bertemu pun mereka tidak bisa lama-lama. Sementara itu, Hugo, Henry, Jacob dan Julius makin andal dalam bidang yang sebelumnya tidak mereka kuasai.
Meski waktu bersama menjadi sangat terbatas, Helena selalu berusaha mengatur momen untuk bermain dengan keempat kakaknya di waktu-waktu tertentu, terutama saat Sarulus sedang sibuk dengan pekerjaannya.
Bagi Helena, waktu bersama itu tidak perlu rumit—sekadar berkumpul di satu tempat untuk saling berbincang atau piknik sederhana pun sudah cukup membuat si bungsu kelewat senang. Namun, sayangnya, ajakan bermainnya tidak pernah dihadiri oleh semua kakaknya secara bersamaan.
Kali ini, Helena mempunyai rencana untuk menghabiskan waktu bersama dengan berjalan-jalan di desa dan mengunjungi festival yang sedang berlangsung. Lalu apakah semua kakaknya menerima? Jawabannya, tidak. Jadwalnya bentrok dengan jadwal pelatihan Henry. Sementara itu, Jacob sangat ingin menemani Helena. Rencana si bungsu pasti akan menyenangkan, tetapi seribu sayang, hari ini kemampuannya akan diuji setelah empat minggu lalu ada evaluasi.
Kemudian, Julius ....
"Tidak, aku tidak bisa. Ada hal yang lebih penting."
"Oh, ayolah, Kak ...," ucap Helena merengek, mengikuti langkah Julius dari belakang.
"Tidak bisa, Helena."
"Kak—"
"Helena!"
Langkah Julius dan Helena langsung berhenti saat suara familier terdengar. Tidak jauh dari mereka, seseorang bermata tajam dengan ekspresi datarnya berdiri di anak tangga paling atas, sementara Julius dan Helena berada di area rerumputan. Kedua sudut bibir Helena langsung turun begitu saja setelah menangkap Sarulus berdiri di atas sana. Helena dan Julius membungkuk hormat, sedikit kikuk sebab tingkahnya tadi.
"Berhenti mengganggu kakakmu, kembalilah," kata Sarulus.
"Baik, Yang Mulia."
Tidak ada penolakan, Helena langsung pergi begitu saja setelah berpamitan. Sejujurnya, Julius tidak tega melihat adik bungsunya diperlakukan seperti itu, tetapi tidak ada yang bisa ia lakukan.
Setelah memastikan jaraknya dengan Sarulus terlampau jauh, kekesalan yang tertahan di mulut akhirnya Helena keluarkan. Sekarang ia mengerti mengapa banyak rakyat tidak menyukai pemimpin mereka sendiri. Lantas jika ketiga kakaknya tidak bisa, tujuan Helena berikutnya adalah Hugo.
Belum sampai menyapa Hugo, dari kejauhan tempat di mana biasa dilakukan pelatihan pedang, Helena terpaksa menghentikan kakinya. Di sana, tampak Hugo dengan seorang kesatria tengah berduel. Kedua tangan Helena sontak menutup mulut saat kakaknya tersungkur, gagal mendapati posisi terbaik untuk pertahanan. Situasi sedikit mencengkam sebab kondisi Hugo terlihat sangat lemah. Helena sempat mengkhawatirkan sang kakak, tetapi satu menit kemudian, Hugo berhasil membalikkan keadaan hingga akhirnya dia memenangkan duel.
Senyuman kemenangan terpampang nyata di wajah pemuda 15 tahun itu, Helena ikut merasakan kesenangannya. Ditambah, baru kali ini ia melihat Hugo tersenyum lebar seperti itu sejak sekian lama. Sebelumnya, Helena ingin menghampiri Hugo untuk mengajaknya bermain, tetapi ia urungkan niat setelah seorang kesatria menghampiri Hugo. Percakapan lain terdengar, menyatakan jika Hugo akan ikut ekspedisi ke sebuah tempat yang selama ini menjadi tempat terlarang untuk dikunjungi, yaitu pedalaman Hutan Merikh—tempat di mana kaum Tsillah tinggal.
"Merikh?"
"Ya, Yang Mulia Raja Sarulus juga akan ikut ekspedisi ini," balas si kesatria.
Hugo mengerjapkan mata beberapa kali, sedikit tidak percaya dengan apa yang ia dengar. "Bukankah tempat itu berbahaya? Lagi pula akan ada banyak Tsillah di sana."
Tawa hambar kesatria itu dihadirkan. "Tenang saja, mereka tidak akan berani menyerang kaum Onyx selagi Raja Magnus IV ada di sisi kita. Lagi pula Yang Mulia telah beberapa kali mengunjungi Hutan Merikh dalam tiga tahun terakhir."
Hutan Merikh, hutan dengan banyak rumor buruk di dalamnya, juga hutan di mana ada banyak Tsillah berkeliaran. Makhluk siluman itu sering kali menjadi bahan perbincangan sebab perilaku tamak dan kejam mereka. Terakhir kali dikabarkan jika ada tiga Tsillah merampok rumah. Tentu saja, mereka melakukan hal tersebut hanya untuk bersenang-senang.
Mengetahui Sarulus telah memerintahkannya untuk ikut ekspedisi, tidak mungkin ia bisa menolak. Bohong jika Hugo tidak takut dengan tempat itu. Namun, mau tak mau, perintah adalah perintah.
"Bagaimana jika aku menolak?"
"Sebenarnya hanya ada satu jawaban terkait ajakan ini. Kau tahu itu, bukan? Sudahlah, jangan bertanya tentang hal lain. Siapkan dirimu, karena kau adalah perwakilan Turgon."
Penjelasan si kesatria di bagian akhir kalimat sontak membuat Hugo terperangah. Keningnya mengerut, bertanya-tanya mengenai arti dari "perwakilan" tersebut. Namun, untuk hari ini ia tidak ingin mengambil pusing, esok hari ia bisa tanyakan maksudnya kepada Sarulus langsung.
Saat hendak melangkah keluar arena, Hugo langsung menarik kembali kakinya, terdiam begitu tidak sengaja melihat kehadiran seseorang yang ia kenal baru saja pergi begitu mata mereka bertemu. Gadis berambut pirang itu segera melarikan diri dari balik pilar, tidak peduli meski tahu jika Hugo bisa mengejarnya.
Sepeninggal Helena, Hugo hanya bisa mengembuskan napas berat. Bisa saja ia mengejar Helena dan berbicara dengan si bungsu. Namun, mengingat besok adalah hari keberangkatannya untuk ikut ekspedisi, Hugo mengurungkan niat. Lagi pula, ia yakin Helena butuh waktu untuk mencerna apa yang didengarnya tadi. Ya, Hugo akan membiarkannya lebih dahulu, karena ia merasa paham tentang perasaan Helena.
***
Kala tengah malam tiba dan gemintang biru bermunculan di langit Turgon, terlihat seorang anak laki-laki berumur 12 tahun pergi menyelinap keluar dari kamar melalui jalan tikus yang hanya ia dan saudara-saudaranya yang tahu. Henry menarik tubuhnya begitu terdengar suara langkah mendekat, lalu kembali melanjutkan perjalanan saat situasi aman kembali.
Tidak ada niat jahat yang ingin ia lakukan, di waktu seperti ini, Henry hanya ingin bertemu dengan adik-adiknya di suatu tempat. Tempat yang hampir tidak terinjak oleh orang-orang Sarulus, juga tempat aman bagi makhluk terkutuk seperti mereka, yaitu kastil bawah tanah—tempat di mana para tetua yang tersisa tinggal.
"Akhirnya! Perjalanan mulus lainnya," kata Henry setelah jauh dari lingkungan istana dengan pengawasan yang ketat. Dia menelusuri bagian dalam kastil itu. "Hei! Kalian sudah sampai?"
Hening. Mungkin, Henry harus memanggil lebih keras lagi dan tentu saja tidak dalam jarak jauh seperti ini. Oleh karena itu, ia melangkah lebih dalam. Bagian luar kastil ini remang-remang, hanya ada dua lentera di sisi kanan dan kiri, menempel pada dua tiang berlumut hijau. Para tetua pasti sudah tidur, pikirnya. Tak lama, dari kejauhan, ia menangkap tiga orang adiknya telah duduk di masing-masing kursi. Kursi kayu yang sengaja disediakan oleh para tetua.
Henry tersenyum lebar melihat ketiga adiknya. "Astaga, kenapa kalian diam saja? Kukira kalian tidak datang—"
Pergerakannya terhenti seketika saat menangkap satu figur yang sudah lama tak ia jumpai meski mereka masih tinggal di lingkungan yang sama. "Kak Hugo? Sedang apa Kakak di sini?"
"Bukankah aku yang harus bertanya kepada kalian?" Hugo beranjak berdiri setelah bangkit dari kursinya. Dia menatap keempat adiknya. "Kalian sering berkumpul seperti ini?"
"Ya, sering!" ujar Jacob yang langsung disenggol oleh Julius.
"Diam!" bisiknya
Mendengar itu, mata Hugo memejam sejenak. Ia memijat pangkal hidungnya, lalu mengembalikan pandangan lagi. Sebelumnya, Hugo berniat mengunjungi para tetua, berniat memperbarui sihir penyamaran sebelum ia berangkat besok pagi. Namun, alih-alih penyempurnaan sihir, ia malah bertemu Julius, Jacob, Helena, dan Henry di sini.
"Astaga. Cepat kembali ke kamar masing-masing sebelum mereka menyadari kalian tidak ada di tempat."
"Tidak mau! Kakak sendiri kenapa di sini? Bukankah Kakak harus tidur cepat? Besok Kakak akan pergi, kan?"
Bukan tiga saudara laki-lakinya yang berbicara, melainkan si bungsu. Helena mengucapkannya penuh lantang dengan getaran sedikit di penghujung kalimat. Mata adik kecilnya itu berkaca-kaca, kedua tangannya ia genggam di depan. Di sisi lain, bola mata Henry, Jacob, dan Julius seakan-akan ingin keluar mengetahuinya.
"Pergi? Kak Hugo akan pergi lagi?" tanya Jacob.
"Tolong biarkan kami ikut!" sambung Julius.
"Lagi? Mengapa kau harus menuruti semua perintah Sarulus? Dia bahkan bukan garis suksesi takhta sebenarnya. Kau tahu itu!"
Begitu kalimat tersebut terlontar, Hugo menatap sengit Henry. Henry pun membalas dengan tatapan yang sama.
Lantas pemuda 15 tahun itu beranjak mendekati Henry, mengangkat satu telunjuknya ke depan wajah sang adik. "Jaga ucapanmu, Henry. Kau tidak tahu hal-hal buruk apa yang menanti jika pemimpinnya bukan Sarulus."
Lengang sejenak. Hugo berkata penuh dengan penekanan sembari menatap tajam Henry, hingga tak sadar membuat Helena refleks mengumpat di balik tubuh Henry. Tentu saja ia melihat pemandangan tersebut, mengakibatkan munculnya perasaan bersalah. Namun, alih-alih minta maaf, Hugo memilih untuk melangkahkan kaki, melanjutkan niat utama untuk bertemu tetua dan meninggalkan adik-adiknya di sana.
Jacob dan Julius meratapi kepergian Hugo, sementara Henry beralih memeluk Helena.
"Sepertinya aku rindu Kak Hugo yang dulu." Jacob menghela napas.
Julius mengangguk setuju. "Memangnya kenapa dia harus selalu bersama Paman Sarulus? Kenapa Paman tidak membiarkan kita bermain bersama?"
"Sebab Kak Hugo adalah tangan kanan Paman. Dia akan terus bersama Paman Sarulus dan melayaninya hingga sisa akhir hidupnya," kata Henry ketus.
Tidak, sejujurnya Henry pun merindukan kehadiran Hugo di sisi mereka. Namun, entah mengapa ia merasa di setiap harinya, Hugo seakan-akan membangun tembok lebih tinggi dan kokoh. Tidak ada lagi waktu berkunjung ke para tetua bersama, mereka melakukannya di waktu yang berbeda.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top