2. GOODBYE, FATHER
5 Tahun Kemudian ....
Burung-burung berkicau saling bersahutan, terik matahari tepat di penghujung sore hari. Terlihat beberapa rakyat tengah sibuk mengangkat barang-barang dagangan mereka, bersiap menutup toko. Beberapa lainnya baru saja pulang dari ladang dan suatu tempat lain. Pada masing-masing rumah telah diletakkan tiga buat lilin dan satu pin berukir kepala singa di depan rumah sebagai bentuk peringatan kematian Raja Magnus III lima tahun silam, itu artinya, tahun ini merupakan tahun terakhir untuk memperingati hari kematian pemimpin sebelumnya. Tiga lilin menandakan bahwa Athelor merupakan pemimpin ketiga Turgon dan pin kepala singa sebab itulah barang kesimbolan dirinya.
Di sisi lain dalam salah satu koridor istana kediaman keluarga Kerajaan, seorang laki-laki berumur 12 tahun berjalan cepat melewati pilar demi pilar. Tak ada ekspresi, matanya fokus memandang ke arah depan. Di tangan kirinya masih tergenggam sebuah busur kayu. Tujuannya saat ini adalah ruang pertemuan, Sarulus meminta kepada Hugo dan adik-adiknya untuk berkumpul dan membicarakan sesuatu. Entah apa itu, Hugo tidak tahu, tetapi Hugo tetap penasaran.
Saat dua pintu besar terbuka menampilkan seisi ruangan, Hugo melangkah masuk dan membungkuk memberi hormat. Di sana sudah ada keempat adiknya. Henry kini berumur sembilan tahun, Jacob dan Julius berumur delapan tahun, dan si paling kecil Helena di umur lima tahun. Gadis mungil itu menyambut kedatangan Hugo dengan heboh dengan berlari menghampiri Hugo dan memeluk kakinya erat.
"Kakak!"
"Helena ...."
Hugo sedikit terperanjat, matanya yang tak sengaja bertemu tatapan tajam Sarulus lantas segera menggenggam tangan Helena dan membawanya kembali ke tempat. Dari pada mempersilakan keponakannya duduk, Sarulus memilih untuk tetap berdiri. Jika Sarulus telah memanggil, maka akan ada kabar serius.
"Aku memanggil kalian karena ada yang harus kuubah," ujar Sarulus, lelaki berkulit gelap dan netra biru itu menatap satu per satu keponakannya. "Mulai hari ini, ruangan kalian tidak akan satu lantai lagi. Henry akan di tidur di lantai tiga, Jacob dan Julius di lantai dua, Helena juga Hugo di lantai satu."
Sontak, Henry, Jacob dan Julius membesarkan mata, Hugo mengerutkan dahi.
"Apa? Kenapa kamar kami harus berjauhan seperti itu?" protes Henry. "Apakah kami mengganggu?"
Sarulus mengangguk, kaki pria itu mulai membawanya berjalan-jalan kecil dengan kedua tangan tersimpan di belakang. "Benar. Dari pengamatanku, kalian tidak akan pernah berkembang jika terlalu dekat satu sama lain. Saat bersama, sering kali kalian melupakan jadwal penting yang telah ada, padahal itu sangat penting. Lagi pula, aku ingin masing-masing dari kalian andal dalam bidang tertentu."
Penjelasan Sarulus mengundang Hugo beserta adik-adiknya menatap satu sama lain. Si sulung itu lantas diam sejenak, memikirkan segala hal perihal ucapan Raja Magnus IV. Kemudian, pandangannya beralih sekilas ke arah Helena sebelum kembali kepada Sarulus.
"Aku tidak masalah dengan keputusanmu, Yang Mulia. Tapi, tolong jangan pisahkan aku dengan Helena terlalu jauh, dia masih terlalu muda."
"Astaga, aku suka dengan jawabanmu, Hugo. Tenang saja, oleh karena itu kau dan Helena berada di lantai yang sama, jarak kamar kalian hanya dipisahkan oleh tiga ruangan saja." Sarulus berbalik, tersenyum.
Tiga ruangan saja katanya, tetapi itu jauh sekali, Hugo khawatir dengan Helena yang tidak bisa tidur nantinya jika sendiri. Sementara itu, Jacob dan Julius ikut protes sebab jarak kamar yang jauh sekali, mereka tidak ingin jauh-jauh dari Henry dan Hugo. Di saat perdebatan muncul dari Henry, Jacob, dan Julius, Hugo menutup mulut. Ada banyak penolakan yang muncul dari dalam dirinya, tetapi mengingat keputusan Sarulus bukanlah suatu keputusan yang tidak bisa dibantah, ia memilih untuk menurut.
Tiga puluh menit terlewat, mau seberisik apa pun dari Henry, Jacob, dan Julius, pendapat dan penolakan mereka tetap tidak diterima. Helena yang masih tidak mengerti pun hanya bisa diam saja sambil sesekali berlarian ke sana – kemari.
"Kau berkata ingin masing-masing dari kami andal dalam bidang masing-masing, apa maksud dari ucapanmu, Yang Mulia?" tanya Hugo sesaat setelah Sarulus membabat habis penolakan ketiga adiknya.
Dalam kondisi ini pun, Hugo berusaha mengendalikan gejolak emosi dan ekspresinya. Keputusan Sarulus benar-benar membuatnya ingin memberontak, tetapi lagi-lagi Hugo memikirkan konsekuensi dan tujuannya.
"Perihal itu, aku akan memfokuskan kalian di bidang tertentu." Sarulus menunjuk Jacob dan Julius. "Jacob, kudengar kau tidak mahir dalam panahan."
Jacob mengangguk. "Benar, Yang Mulia."
"Oleh karena itu, kau akan menjadi pemanah yang luar biasa nantinya. Kemudian, Julius, kau tidak menyukai ilmu pedang sebab kau selalu kalah, bukan?"
Julius meneguk ludahnya diam-diam, lalu memposisikan tubuhnya bersikap tegap, sedikit tidak suka dengan pertanyaan yang benar adanya itu. Lalu, ia mengangguk. "Benar, Yang Mulia."
"Maka dari itu, kau akan menekuni bidang tersebut. Jadilah ahli pedang untukku."
Anak berumur delapan yang seharusnya masih bermain, diwajibkan untuk belajar ilmu pedang dan panahan. Jika Athelor masih ada, mungkin si kembar baru akan belajar di umur 12 tahun. Julius sempat ingin melayangkan protes lagi, tetapi saat matanya tidak sengaja bertemu dengan Hugo dan mengisyaratkan dirinya untuk diam, Julius menurut.
Beralih kepada ponakan nomor dua, Sarulus telah berdiri tepat di hadapannya. "Kelak kau akan menjadi ahli senjata. Diam-diam kau suka menyusup ke ruangan senjata, bukan?"
Jacob menunduk, lalu mengangguk samar. Di sampingnya, Hugo terkejut dalam diam, tidak menyangka anak umur sembilan tahun itu akan berkelana sampai ke ruang terlarang. Meski merasa bersalah, tidak dapat dipungkiri jika Henry juga senang sebab ia akhirnya bisa menggunakan senjata-senjata itu nantinya.
Beralih ke Helena, salah satu tangan Sarulus mengusap pelan pucuk kepala si bungsu dengan senyuman, senyuman dengan banyak rencana aneh lainnya yang Hugo yakini. Berjalannya waktu, entah mengapa Hugo makin merasa tidak nyaman di dalam ruangan ini.
"Saat umurmu delapan tahun, mulailah belajar menjadi tabib dan penunggang kuda yang hebat. Kau akan sangat dibutuhkan."
Helena yang mendengar itu hanya bisa diam, tidak tahu harus merespons apa sebab tidak mengerti apa maksudnya. Detik berikutnya, kini Sarulus telah ada di hadapan Hugo, salah satu keponakan kesukaannya. Lantas, ia memandang Hugo angkuh, bersiap melontarkan kalimat. Namun, belum sempat Sarulus berkata, Hugo lebih dulu memotong.
"Aku akan menjadi orang kepercayaanmu, Yang Mulia."
***
Sejak Sarulus memerintah, terlalu banyak perubahan di Turgon yang signifikan. Hukuman bagi mereka yang melakukan kejahatan kecil menjadi lebih berat, hubungan perdagangan dengan beberapa Kerajaan pun tidak berjalan dengan baik. Lebih buruknya, beberapa kaum Tsillah telah diperbolehkan untuk memasuki negeri Turgon. Dengan banyaknya hal -hal yang hancur dan beberapa kaum Onyx yang tewas akibat ulah Tsillah pun, Sarulus tidak begitu memedulikannya.
Banyak rumor tidak baik mengenai Sarulus, banyak rakyat yang tidak menyukai masa pemerintahan ini. Lebih buruknya, kaum Lozart, kaum hasil persilangan antara kaum Onyx dengan Lunaris dibabat habis oleh Sarulus. Pada tahun kedua masa pemerintahannya, kaum Lozart diusir paksa untuk keluar dari Turgon. Jika memborantak, maka detik itu akan dieksekusi, termasuk kaum Lunaris.
Dari situ, Hugo menyimpulkan jika pamannya tidak menyukai dengan keberadaan kaum Lozart dan Lunaris. Tidak ada alasan jelas di balik kebenciannya. Namun, dengan ini Hugo beserta adik-adiknya harus menyembunyikan rapat-rapat perihal identitas mereka sebagai Lozart. Hanya para tetua yang mengetahuinya dan beruntung sekali, para tetua ikut berusaha menyembunyikan identitas kelima Lozart dengan ramuan buatan dengan sihir.
Dua hari berikutnya setelah pertemuan, Sarulus menepati perkataanya mengenai pembagian keahlian bidang kepada masing-masing keponakannya. Bersama satu orang kepercayaan Sarulus, Henry mulai diajak mengenali macam-macam senjata sekaligus mencobanya. Senyum sumringah terpancar pada wajah anak itu kala ia berhasil menggunakan senjata dengan benar dan mengenai target. Pujian membuatnya makin menumbuhkan kepercayaan dirinya.
Di tempat yang berbeda, tangan kanan Jacob telah gemetar hebat saat menarik string dari busur panah. Ini salah satu alasan Jacob sangat menghindari dan tidak andal di panahan, menarik string lebih sulit dari apa pun.
"Posisikan tanganmu dengan benar!"
Seruan dari sang ahli menusuk telinga, Jacob segera menurut, meski tidak banyak yang berubah dari posisi awal.
"Angkat kepalamu, Nak. Berhenti gemetar, itu akan membuat anak panahnya tidak seimbang."
"Ak-aku tidak bisa! String ini terlalu kuat!"
"Berhenti mengeluh!"
Jacob mengulum bibirnya, menahan rasa pegal di kedua lengannya. Sungguh, ia tidak pernah menyangka akan berada di posisi menyakitkan ini.
"Lepaskan anak panahnya!"
Jacob menurut. Namun, sayang sekali, anak panah tidak mencapai targetnya, tarikan yang Jacob hasilkan masih kurang. Hasilnya lebih buruk dari perkiraan, menimbulkan tawa remeh dari beberapa prajurit. Kepercayaan diri Jacob menurun begitu saja, kepala bocah itu refleks menunduk bersamaan dengan turunnya busur yang ia pegang. Tak berlangsung lama, dirasakannya dorongan kuat dari seseorang, membuat Jacob terperangah, menangkap sang pelatih menyuruhnya untuk mengambil anak panah yang jatuh.
"Tidak perlu dipedulikan, ambil panahmu kembali."
Jika sebelumnya saat Jacob merajuk ia akan pergi ke tempat lain, kali ini ia menetap di tempatnya sembari mengumpulkan kembali rasa percaya diri. Berkali-kali pikirian negatif tentang dirinya yang tidak bisa melakukan hal ini ia tepis.
Sementara itu, selama beberapa hari pelatihan berjalan, beberapa lebam, goresan kecil di beberapa tubuh Julius telah terlihat. Berlatih ilmu pedang tidak semudah kelihatannya. Dalam menghindari serangan, Julius selalu kalah, mengakibatkan luka baru di tubuhnya karena beberapa kali terkena ujung tajam beda metal tersebut.
Ilmu pedang ini sejujurnya lebih baik dari pada harus menghadapi pelatih yang sering kali melontarkan kalimat-kalimat yang tidak Julius sukai.
"Ternyata benar apa yang Yang Mulia Raja katakana perihal dirimu, Pangeran. Kau selalu kalah."
"Kemampuan bertarungmu sangat lambat."
"Aku curiga, kau tidak akan pernah bisa menjadi apa yang Raja inginkan."
"Jangan terlalu berharap ada orang yang akan menolongmu dari situasi buruk ini."
Setiap kali Julius tersungkur di atas tanah dengan napas yang tak beraturan, kalimat itu selalu diingatnya guna membangkitkan semangatnya kembali. Julius tidak pernah suka jika ada orang lain yang meremehkan kemampuannya. Oleh karena itu, ia akan berusaha lebih keras.
Apa yang Julius rasakan tidaklah sama dengan Hugo. Pelatihan Hugo lebih ketat, bahkan Sarulus menyempatkan mengawasi dan mengajari Hugo. Terlalu banyak yang harus Hugo pelajari, salah satunya adalah bela diri.k Pukulan di bagian wajah, dagu, bibir, dan perut tak jarang Hugo dapatkan. Rasa nyeri kala usai berlatih pun sering kali muncul. Jika momen tersebut muncul, Hugo akan mencari tempat untuk sendiri dan memejamkan matanya kuat-kuat. Rintihan sakit sesekali keluar dari bibirnya, seperti saat ini misalnya.
Anak 12 tahun berlari sekuat tenaga ke bagian taman paling sepi, mendudukkan diri di sana sembari memegangi bagian lengan yang terasa nyeri. Ada di waktu tertentu di mana Hugo ingin sekali menumpahkan segalanya dengan menangis, tetapi menangis tidak pernah terjadi kepada Hugo sejak tahun kedua Sarulus memerintah. Namun, ada sebuah kalimat yang selalu keluar dari bibirnya dikala dunia seakan menekannya.
"Aku lelah, Ayah .... Ibu tolong aku, aku tidak sekuat itu ...."
Hanya kalimat penenang, setidaknya mampu buat Hugo tidak ingin menyerah. Di dalam genggaman tangan penuh luka itu juga terdapat kepingan koin perak lusuh dari seseorang yang sangat berarti baginya, Hugo selalu membawa kepingan koin tersebut untuk selalu mengingatkan tujuannya. Pada masa ini, Hugo selalu berharap jika ia bersama adik-adiknya bisa melalui masa menyiksakan ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top