1. TURGON & IVOR
Para tetua pernah berkata, jika temanmu bisa menjadi saudara sendiri. Namun, mereka terkadang lupa mengatakan, jika yang kau anggap seperti saudara sendiri itu bisa menjadi musuh dalam seketika, seperti dua kaum yang tinggal di dua negeri berbeda ini.
Negeri Turgon dihuni oleh kaum Onyx, kaum dengan orang-orang pelari cepat dan kuku panjang tajam yang mampu mencabik sesamanya, bahkan hewan sekali pun jika bisa mengendalikan kemampuannya dengan baik. Kilat dan netra biru tua menjadi satu hal paling mencolok yang dimiliki kaum ini dalam sekali lihat. Pada bahu kanan mereka terdapat sebuah tanda lahir dengan simbol menyerupai goresan dari seeokor Binatang buas berjumlah 3 baris.
Tepat di seberang negeri Turgon, terdapat negeri Ivor dengan kaum yang menyebut diri mereka sebagai Lunaris. Berbeda dengan Onyx, Lunaris dikenal dengan makhluk bersayap putih. Tidak semua kaum Lunaris memiliki sayap bawaan dari lahir, hanya segelintir orang yang dianggap sebagai pilihan dari yang Maha Kuasa. Netra merah tua menjadi yang paling mencolok dari ciri-ciri kaum ini.
Jika dibandingkan, terlalu banyak perbedaan yang mereka miliki, tetapi itu tidak menjadi masalah selagi keduanya saling melengkapi satu sama lain.
Athelor Wentworth Magnus, seorang pria berusia 30-an itu berjalan dengan gagah menelusuri lorong panjang istana. Jubah kebesarannya terombang-ambing ke sana-kemari beriringan dengan langkah kaki besarnya. Sebuah senyuman lebar terpampang nyata di wajah sembari tak sabar untuk menyambut seseorang yang sudah lama tak ia temui. Begitu sampai pada ruang pertemuan, pintu terbuka lebar, menampakkan seorang laki-laki lain berkumis hitam.
"Astaga, Kieran! Lama tidak bertemu!" seruan Athelor menggema ke seluruh ruangan, menyambut pelukan pria bernama Kieran dengan hangat.
Kieran pun membalas pelukan Athelor, sebab ia juga merindukan teman lamanya. Seusai pelukan keduanya terurai, Athelor memandangnya penuh senyum.
"Aku tidak menyangka tamu yang dimaksud adalah kau. Duduklah, kau pasti lelah di perjalanan," ucap Athelor mempersilakan.
Di ruangan megah penuh ukiran berwarna perak ini tentu saja isinya bukan hanya Athelor dan Kieran. Pandangan laki-laki bertubuh besar itu lalu beralih pada orang-orang yang Raja Mallory III bawa, khususnya kepada salah seorang anak kecil perempuan, ia tengah berdiri di belakang Kieran, memandang ngeri sosok asing di depan sana.
Athelor lantas mendengus, mengekeh setelahnya.
"Ah, perkenalkan, anak bungsuku. Lethia Eythora."
Mendengarnya, Athelor mengernyit, ia tak mendengar nama akhir Kieran di sana.
"Dia bukan anak kandungku, seorang Baron adalah ayah kandungnya"
"Baiklah, kurasa kau bisa membaca pikiranku," kata Athelor tertawa.
Pria itu mempersilakan tamunya duduk kembali, hingga tak lama, pintu kembali terbuka sembari menampilkan seorang anak kecil berusia tujuh tahun tengah berjalan mendekat. Sontak, hal itu membuat Athelor beranjak berdiri lagi, lalu merendahkan tubuhnya setinggi anak itu.
"Apa itu Hugo?"
Athelor menoleh ke belakang sekilas, membenarkan perkataan Kieran. Tak lama, anak kecil bermata besar tersebut menunduk memberi hormat sebelum mengembalikan pandangan kepada sang ayah.
"Ayah bilang hari ini mau bermain denganku. Jadi, aku ke sini."
Suara kecil itu menusuk pendengaran Athelor, diam-diam menyesali janji asalnya.
"Ayah minta maaf, Hugo. Hari ini ada tamu istimewa untuk Ayah, Hugo bisa bermain dengan Ibu, bukan?"
"Tapi, Ayah sudah janji...."
"Bermainlah dulu dengan Ibu atau adik-adikmu."
Sebelum Hugo menyelesaikan ucapannya, sosok besar itu telah berdiri kembali, memerintahkan sesuatu kepada pengasuh yang selalu mengikuti ke mana pun anak pertamanya pergi. Pengasuh perempuan meraih salah satu lengan Hugo pelan, lalu mengajak sang Pangeran untuk keluar ruangan.
"Oh, tunggu!"
Langkah Hugo berhenti.
Seseorang yang amat ia kenali di sana terlihat mendekat ke arahnya, tetapi tidak sendiri, melainkan dengan seseorang perempuan di belakang, berambut cokelat, dan ... malu.
"Kurasa ada yang ingin bergabung dengan Hugo juga, apa boleh?" Athelor memandang ke bawah, tepatnya ke arah Lethia. "Namanya Lethia, dia satu tahun lebih muda darimu. Bolehkah Lethia ikut?"
Hugo tak langsung menjawab, matanya beberapa saat memandang Lethia, saling bertukar pandang sebelum akhirnya mengangguk tanpa ekspresi. Jawaban tersebut langsung menimbulkan senyuman Kieran. Meskipun malu-malu, pada akhirnya Lethia mengikuti Hugo dan pengasuhnya, meninggalkan ruangan.
Kepergian dua anak kecil membawa kelegaan untuk pertemuan hari ini, sebab ada topik pembahasan dengan durasi panjang sekaligus topik berat lainnya. Dari mulai kerjasama perdagangan, impor, ekspor, sampai topik yang tidak penting sekaligus. Satu-satunya topik yang membuat perhatian Athelor teralihkan adalah keputusan Kieran untuk mengeksekusi mati seorang kriminal yang akhir-akhir ini meresahkan keluarga Kerajaan dan rakyat.
Kabarnya, orang itu telah membunuh seorang bangsawan penting di Ivor. Oleh karenanya, akan ada pengeksekusian yang diadakan secara terbuka, guna memberikan jera kepada mereka yang mungkin punya niat yang sama.
"Seorang pembunuh? Siapa dia?"
Menunggu jawaban Kieran tak selama yang ia pikirkan. Namun, Athelor tidak menyangka dengan nama yang kawannya itu sebutkan. Mata Athelor sontak membesar, tubuhnya membeku di tempat, pikirannya tertuju pada seseorang yang kehadirannya tidak ada di sini. Bagaimana bisa? Kenapa dia melakukan hal kriminal seperti itu? Astaga, bahkan Athelor tidak bisa hanya untuk sekadar merespons dengan baik sesuai ekspektasi Kieran.
Jadi, Athelor memilih untuk memendam reaksinya dalam-dalam.
"Membunuh bangsawan, apa ada alasan di baliknya?"
Kieran mengangguk mantap.
"Tentu! Dia hanya tidak terima dengan kalimat yang bangsawan itu berikan kepadanya. Sakit hati? Ya, mungkin kata itu yang bisa menjelaskannya."
Mendengar hal ini, Athelor mengangguk paham. Bibirnya mengulum, arah netra Athelor bergerak ke sana-kemari kala Kieran berbicara, pikirannya berkecamuk dalam diam.
Di sisi lain istana, Hugo si anak tujuh tahun masih bersama Lethia di sampingnya. Tujuan pertama mereka untuk pergi berkunjung ke Ibu telah dilakukan. Kini, mereka dalam perjalanan menuju lokasi di mana para tetua di tempatkan. Merekalah orang-orang yang paling dihormati sebab bisa memperkirakan sesuatu di masa depan, meski tidak terlalu jelas.
Akibat Athelor mengingkari janjinya hari ini, sang Ratu sekaligus ibu dari Hugo harus menemani jadwal Hugo untuk menemui tetua. Tentu saja, kali ini ada tamu baru dari Ivor, yaitu Lethia, juga ada Henry, Jacob, dan Julius. Tiga anak laki-laki inilah adik-adik dari Hugo Athelor Magnus dengan karakter jauh berbeda dengan Hugo. Lokasinya tidak begitu jauh, hanya dengan menyebrangi danau di belakang istana, sudah terlihat bangunan kokoh di mana para tetua tinggal.
"Ibu, kita mau main?" Henry, si anak empat tahun bertanya.
"Tepat sekali! Namun, sebelum bermain, kita harus memastikan kondisi tubuh kalian dulu, mengerti?"
Baik Henry, Jacob dan Julius mengangguk semangat, tidak dengan Hugo. Anak laki-laki itu telah berjalan beberapa langkah di depan daripada yang lainnya. Memasuki bangunan berwarna kelam ini lagi, Hugo melangkah dengan percaya diri, seakan telah terbiasa dengan situasi bangunan yang menurut adik-adiknya menyeramkan.
Melewati berbagai ukiran berbentuk aneh, beberapa ramuan terlihat mematikan, dan dua pajangan kepala beruang terpajang di dinding masuk. Tak ada kata atau pun ekspresi, Hugo tidak memedulikan sekitar, bahkan ia tidak terlalu peduli kepada Lethia yang tiba-tiba menggenggam erat lengan Calia.
"Kalian datang tepat waktu."
Suara serak dari seorang lelaki tua mampu buat Hugo menghentikan langkahnya duluan, disusul Calia dan anak-anak lainnya. Kemudian, dari balik kursi kayu goyang di depan perapian, lelaki tua itu beranjak. Para tetua yang dimaksud tentu saja bukan hanya satu orang, melainkan beberapa orang.
Satu per satu, tetua lainnya bermunculan dari ruangan yang berbeda. Total tetua, yakni tiga, terdiri dari lelaki tua, dan satu lainnya perempuan. Banyak kerutan pada wajah mereka, pakaiannya pun sama, hanya berbeda dari segi warna.
"Hugo, duduklah," kata seorang tetua laki-laki, rambutnya putih sempurna dengan garis mata tajam. "Henry, Jacob, dan Julius, duduk di kursi kalian masing-masing. Dan ... kau, Lethia. Duduk di samping Hugo."
Lethia menurut. Dirinya masih merasa tidak nyaman berada di bangunan ini, bahkan Calia sampai harus tetap berada di sisinya. Bukan hanya luar bangunan yang kelam, tetapi juga dalamnya pun demikian, bahkan lebih kelam dan gelap.
Dengan dibantu dua tetua lainnya, masing-masing baju lengan panjang anak-anak tersebut digulung sampai siku, tapatnya pada bagian lengan kanan, termasuk Lethia. Gadis kecil itu meneguk salivanya, menundukkan kepala kala kulit kasar milik seorang tetua bersentuhan dengannya. Jantungnya berdegup kencang, ia ingin pulang. Menoleh ke arah Hugo untuk melihat kondisinya pun, sudah mampu membuat Lethia terkejut.
Hugo terlihat tenang, tidak dengan dua adiknya.
Detik demi detik berlalu, mulai terdengar bisik-bisik lantunan kalimat yang familier di telinga Hugo. Kalau kata ibu, merupakan mantra ajaib yang bisa mengetahui sekaligus memprediksi nasib orang-orang Turgon. Proses baca mantra tidak memakan waktu lama, tepat setelah selesai, terlihat secercah cahaya jingga muncul pada lengan kanan anak-anak tersebut. Lantas, para tetua segera menyentuh pergelangan mereka dengan mata tertutup.
"Hu-Hugo ... apa yang mereka lakukan?" Lethia bertanya lirih.
Hugo menoleh perlahan, lalu tersenyum. "Mereka memastikan kondisi tubuh kita, tidak perlu takut."
"Aku takut."
"Aku di sini," balas Hugo. "Adik-adikku juga di sini, tenanglah."
Ketika mata para tetua kembali terbuka, dua tetua lainnya mengangguk seperti biasa, mengatakan jika kondisi Henry, Jacob, dan Julius sangat baik. Namun, tetua yang menangani Hugo dan Lethia tidak langsung memberikan jawaban. Pria itu langsung memberikan isyarat untuk bicara di agak jauhan dari anak-anak kepada Calia yang tengah hamil.
Segera, Calia menurut sembari sesekali mengelus perutnya yang membesar. Dari jauh, Hugo memperhatikan. Penasaran dengan apa yang mereka bicarakan, tetapi terhalang oleh peraturan. Jadi, ia tetap duduk di tempatnya sampai Calia dan tetua tersebut selesai berbicara. Hugo kira, Calia akan mengatakan sesuatu perihal hasil pemeriksaannya tadi, nyatanya tidak demikian.
Setelah selesai dengan satu kegiatan ini, mereka bergegas kembali ke istana kediaman, bahkan saat Hugo kembali bertanya, Calia akan mengalihkan pembicaraan. Jadi, Hugo tidak berani menanyakan lagi sejak saat itu. Biarlah rasa penasaran anak kecil ini terkubur dalam-dalam.
***
Beberapa hari berlalu sejak Kieran datang ke istana kediaman keluarga Kerajaan Magnus. Dia telah kembali ke Ivor setelah menyelesaikan beberapa urusannya dengan Athelor. Meski kaum Lunaris itu telah pergi, beberapa kalimat masih membekas di benak Athelor, sampai membuat ia beberapa hari ini tidak fokus.
Di ruangan dengan meja panjang dan beberapa benda penting di atasnya, pikiran Athelor berkelana. Beberapa kemungkinan di masa depan yang bahkan belum tentu terjadi pun ia pikirkan. Matanya kosong sembari mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya, teringat percakapan dengan Kieran beberapa hari lalu.
"Seorang pembunuh? Siapa dia?"
Raut wajah Kieran seketika berubah, alis tebalnya menukik tajam. Ada rasa khawatir juga kesal yang yang terpendam.
"Kau mengenalnya, Athelor. Dia berhubungan erat dengan salah satu keluargamu, tetapi kesalahan tetaplah kesahalan, ada hukuman yang harus dia terima." Kieran menatap Athelor serius. "Sarulus telah mengetahui kabar ini."
"Lalu, bagaimana responsnya?"
Hening beberapa saat, Kieran membenarkan posisi duduknya sembari menyeruput secangkir the dari gelas keramik.
"Awalnya, dia memang tidak terima, meminta penjelasan. Mau tidak mau, kami berikan apa yang dia inginkan beserta buktinya. Setelah melihat itu semua, barulah dia mulai menerima. Kau tidak perlu khawatir."
Penjelasan Kieran sedikit membawa kelegaan bagi Athelor, tetapi tetap saja ada yang masih mengganggu perihal keputusan berat ini. Athelor pikir, Kieran telah membuat keputusan yang fatal. Namun, di sisi lain Athelor akan mencoba menganggap jika keputusan ini adalah yang terbaik.
"Sebentar lagi bunga Lily of the Valley akan siap digunakan. Segera setelah Ivor memperkuat pelindung dari bunga itu, aku akan membaginya kepadamu, Athelor," kata Kieran seraya tersenyum bangga. "Ah, jangan lupa untuk memberikan ramuan Rogan padaku juga."
Athelor mendengkus mendengarnya. "Tenanglah, aku tidak akan lupa. Para tetua sudah menyiapkannya."
"Benar, aku percayakan padamu dan apa pun untuk teman lama, kecuali mencuri."
Tepat setelah kalimat Kieran terlontar, tawa keduanya menggema ke seluruh sudut ruangan.
Lamunan Athelor terbuyarkan begitu namanya di panggil. Matanya mengerjap beberapa kali, menemukan seseorang yang sempat ia khawatirkan dengan dua anak kecil di sampingnya.
"Sarulus?"
Segera pria itu mengontrol raut wajahnya. Sarulus Magnus, adik lelaki satu-satunya Athelor. Dinilai cukup setia dan teladan selama menjalankan tugasnya. Saat ini, ia menyandang gelar Prince of Donomir dan sedang menjalankan pelatihan militernya. Rahang tegas itu terangkat angkuh dengan senyuman.
"Kenapa? Kau terlihat terkejut. Apa yang sedang kau lakukan sampai tengah malam?"
"Sebelum menjawab pertanyaanmu, tolong jelaskan kenapa mereka ada di sini bersamamu?"
Langkah kaki Athelor berjalan mendekat bersamaan dengan dua anak kembarnya, Jacob dan Julius yang masih berumur tiga tahun mulai melepas genggaman tangan mereka dengan sang paman. Detik berikutnya, kedua anak itu mulai berlarian ke sana – kemari, tertawa lepas saat menemukan beberapa barang yang dianggapnya mainan di ruang kerja ini. Athelor hanya bisa mengembuskan napas berat seraya menggelengkan kepala dan memijat pangkal hidungnya.
Menyaksikan itu, mengundang tawa Sarulus. "Aku menemukan mereka tengah bermain di taman belakang dengan para pengasuh. Kau tahu, para pengasuh itu terlihat pusing sekali dengan Jacob dan Julius. Jadi, aku membawa mereka. Mungkin kau seharusnya meluangkan waktu untuk si kembar, kudengar tadi Jacob sempat mengatakan sesuatu tentangmu. Dia yakin sekali bisa bermain denganmu lagi."
Athelor mendengkus, lalu beranjak duduk di sofa panjang tak jauh dari ambang pintu. Sarulus menyusul di belakang, duduk di seberangnya.
"Aku tak punya banyak waktu untuk mereka, ada hal penting lainnya yang harus kuselesaikan."
Menanggapi Athelor, Sarulus hanya diam dan mengangguk. Kakaknya itu selalu punya alasan untuk menghindar dari anak-anaknya. Padahal, di waktu inilah seharusnya Athelor sebagai ayah meluangkan lebih banyak waktu untuk anak-anaknya. Di sisi lain, Athelor berkali-kali meneguk ludah dan menggenggam kedua tangan tak tenang. Sarulus menangkap pergerakan tidak nyaman itu.
"Kak, apa ada yang ingin kau sampaikan?"
Athelor terperangah, menatap Sarulus dengan mata bulatnya, lalu mengangguk. "Ya, mungkin kau sudah mendengarnya dari Yang Mulia Raja Kieran. Kau tahu maksudku, Sarulus."
Lengang. Senyum Sarulus perlahan pudar berganti dengan seringai dan terkekeh. Ia paham betul apa yang Athelor ingin katakan.
"Ah, tentang Ibuku yang membunuh?" Sarulus mengangguk, ada getaran samar dalam nada bicaranya. "Aku sudah dengar, dia akan dieksekusi seminggu lagi."
"Maafkan aku, Sarulus. Sudah kucoba untuk Kieran meringankan hukuman Ibumu, tapi peraturan di Ivor tetap tidak bisa ditawar. Nyawa diganti nyawa, itulah aturan itu. Aku pun tidak ingin ada konflik dengan Kieran. Kau tahu betul seberapa butuh negeri ini dengan bunga yang mereka miliki untuk pelindung dari kaum-kaum terkutuk itu," ucap Athelor pelan, kedua netra hitamnya fokus menatap sang adik tiri.
Mengetahui salah satu orang tuanya melakukan tindak kriminal yang sudah masuk ke kategori tinggi, tentu membuat Sarulus kecewa. Ditambah saat mengetahui hukuman yang dijatuhkan kepada sang ibu begitu berat, tidak ada yang bisa Sarulus lakukan. Athelor benar, peraturan di Ivor tidak bisa ditawar, nyawa diganti nyawa. Meski Ibunya telah melakukan kejahatan, Sarulus tetap menyayangi wanita itu lebih dari apa pun.
Sarulus menarik senyum. "Terima kasih atas usahamu, Kak. Sebaiknya kita tidak membahas hal ini, ada Jacob dan Julius di sini."
Tepat setelah berkata demikian, dua anak kecil si pemilik nama berlari mendekati Athelor, menempel erat sebisa mungkin setelah lama tidak bertemu. Athelor kira, akan ada amarah besar dari Sarulus, sebab wanita yang ia sebut ibu itu sangat berarti baginya. Ternyata, Sarulus lebih bijak dari yang Athelor kira, lega mendengarnya.
Hari-hari berikutnya di Turgon berjalan seperti biasa, bahkan saat tiba hari di mana ibu Sarulus di eksekusi, lelaki itu memillih untuk tidak menyaksikannya sebab tak tega. Namun, di beberapa hari setelahnya berjalan, peristiwa besar terjadi di Ivor. Musim di mana bunga Lily of the Valley siap digunakan sebagai bahan utama kekuatan pelindung negeri Ivor dikabarkan hilang setengahnya. Tentu saja, kabar itu menggemparkan seluruh istana, bahkan kaum Onyx pun ramai membicarakannya, menebak-nebak siapa dalang di balik pencurian.
Kieran mengerahkan sebagian prajurit militernya untuk menemukan barang bukti atau apa pun yang asing di sekitar area bunga Lily of the Valley tumbuh. Pada hari pertama dan kedua, tidak ada satu pun kemajuan dalam menemukan pelaku, hingga di hari kelima, sebuah barang bukti ditemukan. Barang berupa pin yang amat familier di mata Kieran itu mampu membuat Kieran tak menyangka.
***
Dalam ruangan pertemuan di istana keluarga Kerajaan, dua orang pemimpin Kerajaan saling berhadapan dengan sebuah meja sebagai penghalang. Gelora semangat yang biasa Kieran tunjukkan setiap kali berkunjung ke kediaman teman dekatnya ini tak lagi dia hadirkan, membuat Athelor bertanya-tanya. Di musim semi ini, biasanya aka nada banyak jadwal kegiatan bersama, tetapi kali ini terpaksa ditunda sebelum masalah besar di Ivor terselesaikan.
"Katakan tujuanmu kemari, Kieran."
Tak ada kata yang keluar. Salah satu tangan Kieran terangkat ke atas, meminta sesuatu dari Kesatrianya hingga sebuah bungkus kain kecil berwarna putih ia genggam dan di letakkan di atas meja.
"Untukmu," kata Kieran, nadanya terlampau datar.
Lantas, Athelor segera membuka bungkus kain tersebut, menemukan sebuah pin berukir kepala singa terbuat dari emas asli. Mata Athelor membulat sempurna akibatnya, lalu dia memandang Kieran, meminta penjelasan kala wajah yang sebelumnya penuh senyum, kini perlahan pudar, menyadari ekspresi tak biasa dari sang sahabat.
"Bukankah pin ini milikku? Aku mencarinya ke mana-mana, di mana kau menemukannya?"
Hening, Kieran tak menjawab selama beberapa detik, lalu ia mengembuskan napas berat. Tiba-tiba teringat momen di mana seorang prajurit menyerahkan benda ini kepadanya.
"Pin kesimbolan itu ditemukan saat prajuritku tengah patroli di area tempat bunga Lily of the Valley tumbuh. Mereka patrol untuk menemukan bukti yang mungkin saja tertinggal di sana, kau tahu apa yang menimpaku dan orang-orang di Ivor."
Athelor mengangguk, masih tak mengerti ke mana arah pembicaraan Kieran tertuju.
"Lalu, mereka menemukan barang ini di atas tanah ... tertutupi butiran pasir dan debu." Mata Kieran menatap sekilas pin tersebut. "Dan, sepengetahuanku, pin kesimbolan ini hanya dirimu yang memilikinya, Athelor."
Detik itu, Athelor membeku, pikirannya seakan hilang sesaat.
"Maksudmu?"
Kieran tahu, Athelor terkejut mendengarnya, tetapi hanya bukti ini yang ia temukan di area bunga itu di tanam. Lagi pula, bangsawan mana lagi yang memiliki pin dengan ukiran kepala singa selain pemimpin Turgon. Lantas, Kieran mendengkus kasar, tak tahan lagi jika harus mengatakannya secara pelan-pelan. Pada akhirnya, ia mengatakan sesuatu hal yang dapat membuat Athelor diam tak bergeming lagi.
Lidahnnya terasa kelu. Ingin membela pun, rasanya tidak sanggup. Usai perbincangan yang tidak lama itu, Kieran segera meninggalkan Turgon dengan kekesalan, kecewa, juga sedih. Hari itu, kerjasama antara Turgon dan Ivor, resmi berakhir.
Di sisi lain, seorang wanita berambut abu-abu dengan gaun putih tengah berdiri di ujung lorong seraya menggenggam tangan kecil milik anak pertamanya, Hugo. Mereka melihat bagaimana seorang pemimpin Turgon itu keluar dari ruangan dengan tangan terkepal dan mengeluarkan beberapa tetes cairan merah. Tampaknya, sesuatu yang ia genggam telah melukainya.
"Ayah!"
Suara teriakan Hugo menggema, membuat sang pemilik panggilan menoleh, lalu berbalik. Ia berjalan perlahan mendekati istri dan anaknnya, lalu berhenti tepat di depan mereka tanpa ekspresi apa pun. Meski begitu, Calia tahu bahwa ada sesuatu hal yang tidak beres hingga membuat netra Athelor tidak seperti biasanya.
Kepala Hugo menengadah ke atas, memandang manusia besar dan berjanggut tipis di sana dengan mata bulatnya.
"Ayah, apa hari ini Ayah sibuk?"
Dari pada respons kalimat yang Hugo terima, Athelor memilih langsung membawa tubuh mungil si sulung ke dalam dekapannya, menggenggam seerat mungkin, dan mengusap belakang kepala Hugo penuh kelembutan.
"Athelor."
"Saat ini aku sedang tidak ingin membahas apa pun yang terjadi di dalam sana, biarkan aku bermain dengan Hugo untuk sisa hari ini," kata Athelor memotong pembicaraan, lalu pergi membawa Hugo dalam pelukannya.
Makin jauh tubuh itu, makin lepas tawa Hugo kala bersenda gurau dengan ayahnya. Tak dapat dipungkiri jika Calia senang melihat Athelor akhirnya memiliki waktu untuk bermain dengan Hugo setelah sering kali mengacuhkan permintaannya. Namun, perasaan lain pun juga muncul, gelisah tak bisa dihindarkan saat tahu bahwa ada hal yang tidak baik-baik saja dengan Athelor.
Hari itu, Athelor benar-benar menghabiskan waktu dengan Hugo, Hendery, Jacob, dan Julius untuk bermain bersama. Bohong jika Hugo kecil tidak senang, ia bahkan berharap kepada Sang Pencipta agar ada hari-hari lebih banyak untuk dirinya dan adik-adik untuk bermain dengan ayah.
Yah ... harapan hanyalah harapan, terkadang tidak semua harapan tidak terkabul. Pada kenyataannya, di beberapa hari berikutnya, tidak ada interaksi lebih intens antara Athelor dengan anak-anak. Pria itu makin sibuk sebab harus mengurusi hewan penjaga negeri ini yang mulai lemah karena tidak ada pasokan bunga Lily of the Valley. Athelor memerintahkan ahli sihir untuk bisa membuat hal baru agar hewan penjaga Turgon tetap bisa menjaga negeri ini. Beberapa kali percobaan, beberapa kali pula gagal. Sampai akhirnya, tak benar-benar ditemukan pengganti yang pas untuk bunga tersebut.
Ramuan Rogan menjadi satu-satunya yang mereka miliki untuk memperkuat pertahanan di tanah. Ramuan ini diperuntukan untuk perlindungan, mencegah Tsillah masuk dari bawah. Walaupun pertahanan di bawah kuat, di luar tidak demikian. Para tetua mengatakan, jika hewan penjaga akan kehilangan tenaganya di setiap tahun, menjadikan pertahanan makin tipis, dan memungkinkan Tsillah akan segera bisa memasuki Turgon.
Siapa sangka, banyaknya hal dan masalah baru yang bermunculan akan membuat Athelor sakit berkepanjangan, bahkan saat Hugo menginjak usia tujuh tahun, penyakit Athelor makin parah hingga memengaruhi kejiwaannya. Pria itu hanya bisa terbaring di atas ranjang denga pelayan, tabib, dan istri di sampingnya. Emosi Athelor sering tidak terkendali saat dirinya tiba-tiba teringat akan masalanya dengan Kieran.
"Bukan aku pelakunya."
"Aku tidak pernah berani melakukan itu!"
Setidaknya, dua kalimat itu yang paling sering Hugo dengar, membuat anak tujuh tahun itu merinding sekujur tubuh sebab tidak biasa mendengar bentakan. Kala hari berlalu, Hugo kira aka nada hari lain di mana ia bisa mengajak ayah bermain lagi, tetapi nihil. Nyatanya, Athelor makin lemah terbaring di atas ranjang dengan tubuh yang kurus bagaikan ranting yang rapuh. Pikiran pemimpin itu terus memikirkan beberapa hal yang membuat kondisinya makin terganggu. Salah satunya adalah perihal masalahnya dengan Kieran.
Baik Hugo, Henry, Jacob, Julius, atau pun Helena, si bungsu yang tak merasakan peran ayah, tidak bisa dan berani mendekati Athelor. Hugo yang melarangnya diam-diam saat tidak bersama ibu dan pengasuh, sebab terakhir kali anak kecil itu menjenguk ayahnya, berakhir tidak baik. Athelor seakan memandang Hugo sebagai seorang musuh.
Musim dan tahun berganti, seminggu sebelum Hugo beranjak ke umur delapan tahun, kabar buruk terdengar. Kabar buruk dari yang terburuk, hingga mampu membuat kehebohan di negeri ini. Para Onyx dan Lozart sibuk membicarakan, sementara Calia tak bisa menahan rasa sesak yang timbul di hatinya.
Setelah berjuang melawan penyakitnya dan melewati beberapa hal berat, pemimpin negeri Turgon sekaligus kaum Onyx dan Lozart, Raja Athelor Wentworth Magnus dinyatakan meninggal dunia. Itu artinya, aka nada segera pemimpin baru. Dalam garis suksesi tahta, Hugo seharusnya yang menjadi Raja, tetapi anak itu masih terlalu kecil, sangat melanggar aturan Kerajaan. Oleh karena itu, dewan Kerajaan sepakat menunjuk Sarulus Magnus sebagai penerus Athelor Wentworth Magnus sementara. Setidaknya sebelum Hugo cukup siap untuk menerima gelar ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top