Part 9 - Come with me and I show you the meaning of happiness
Update kedua hari ini 🤗
Sampai jumpa Senin yah.
Happy reading 💜
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Luke menatap Chizuru yang sedang menyeruput ocha panasnya dengan susah payah, sambil menopang dagu. Dia mengurungkan niatnya untuk mengantar pulang, dengan mengajak Chizuru berjalan-jalan di pusat kota, lalu mampir di sebuah kedai ramen langganannya.
Sudah dua hari, dia tidak bertemu dengan Chizuru. Ada sedikit urusan. Yeah. Urusan yang membuatnya harus menggeram kesal karena istri sang Alfa, yang sedang mengandung anak ketiga, menginginkan biskuit Tokyo Milk Cheese Factory yang harus dibeli langsung pada toko oleh-oleh di Jepang.
Luke kesal karena harus menjadi korban yang berada di tempat lokasi kejadian, yaitu di Tokyo. Dia sempat memberikan aksi protesnya kepada Joel, bahwa tidak mungkin kalau tidak ada yang menjual di Jakarta. Jaman sekarang sudah pasti ada online shop yang menjual barang-barang import, dengan hanya satu klik saja.
"Beli saja di Tokyo, Luke! Aku hanya mendapat 5 pack jika beli di sini, sedangkan bisa mendapatkan 10 pack di sana!" desis Alena, si jalang yang membuat Luke kesal setengah mati.
Apakah dia tidak bisa menghitung untung ruginya? Dia hanya menghemat sepuluh ribu yen, dan tidak menghitung harga tiket pesawat pulang pergi untuk mengantar biskuit ke Jakarta. Katakanlah Luke memang bisa menjalankan jet pribadi, tapi apakah tidak membuang waktu, bahan bakar, dan menyusahkan orang lain?
Akhirnya, dia membeli 10 pack biskuit sialan itu, untuk dibawanya ke Jakarta. Sungguh. Dia merasa sudah membuang waktu dengan percuma. Karena itulah, selama dua hari ini, Luke tidak berada di Tokyo dan baru mendarat sekitar dua jam yang lalu.
Dia merindukan Chizuru. Apalagi kebodohannya dan ketidakpekaan dalam mengartikan ucapan Luke yang penuh perasaan. Dia benci dengan orang bodoh. Sungguh. Tapi herannya, dia tetap saja menyukai Chizuru. Entah ada magnet apa yang dimiliki Chizuru, sehingga Luke terus merasa tertarik padanya.
"Kenapa pipimu merona?" tanya Luke heran.
Chizuru melirik ke arahnya dengan ekspresi cemberut dan alis berkerut. "Tidak apa-apa."
Luke masih memperhatikan Chizuru dengan seksama. Wanita itu terlihat tidak nyaman dan gelisah. Setelah mereka berciuman, keduanya terdiam selama perjalanan dan baru duduk bersama di kedai.
Tak lama, pemilik kedai datang dengan membawakan pesanan mereka dan menyajikan di meja. Luke pun segera meraih sumpit dan sendok untuk menikmati makanannya. Chizuru pun begitu.
"Apa kau bisa membuat ramen seenak ini, Chizuru?" tanya Luke kemudian.
Chizuru terkesiap mendengar namanya dipanggil dan menoleh ke arah Luke dengan cemas. "Kenapa kau tidak memanggilku Sensei?"
Luke mengangkat bahu. "Aku sudah bilang tidak akan memanggilmu Sensei lagi. Kurasa kau tidak cocok mendapat panggilan seperti itu, dan masih perlu banyak belajar."
"Belajar tentang apa?"
"Tentang menerimaku dan memahami setiap kode yang kulemparkan padamu, Chizu."
Dalam hati, Luke sudah menggeram dengan kesal. Mereka sudah melakukan ciuman dua kali, tapi wanita itu masih saja bodoh. Tidak bisakah dia mengira bahwa Luke menyukainya? Bukan dengan pikiran bahwa Luke hanya iseng. Damn!
"Jangan iseng," ucap Chizuru dengan ekspresi merengut cemberut.
See? Luke semakin bertambah kesal karena kata sialan itu, yang selalu menjadi anggapan Chizuru terhadap semua yang sudah dilakukannya.
"Entah kenapa aku merasa marah, jika semakin lama berbicara denganmu," gumam Luke sambil meraih sumpit dan mulai mengaduk Ramen.
Chizuru mencengkeram sumpitnya sambil menatap Luke lirih. "Jadi, kau tidak mau berbicara denganku lagi?"
Luke memutar bola mata dengan jengah. "Jika kau tidak menyebalkan, tentu saja aku mau. Tapi sekarang, makanlah. Aku lapar."
Chizuru tidak membalas. Mereka pun menikmati ramen dalam hening. Suasana kedai pun cukup ramai di jam makan malam. Seperti biasa, Luke akan menghabiskan semangkuk ramen dalam waktu singkat. Dia pun segera menambah jumlah porsi makan, termasuk menghabiskan beberapa hidangan pelengkap.
Luke melirik ke arah Chizuru yang tampak kesusahan menikmati ramen-nya. Dia kembali menopang dagu sambil melihat Chizuru yang sedari dulu tidak pandai dalam menikmati ramen. Wanita itu akan meniup uap panas ramen dengan tergesa, lalu menggigit ramen dan bukan menarik masuk ke dalam mulut. Alhasil, bentuk ramennya sudah berantakan dan Luke tidak berminat untuk melihat kondisi mangkuk yang mengenaskan itu.
Mangkuk ketiga sudah tiba dan Luke segera melahapnya. Dia menekuni makan malamnya seperti orang kelaparan. Cara Luke dan Chizuru menghabiskan makanan tampak begitu kontras. Luke yang tampak begitu mudah dalam menghabiskan porsi makanan, sedangkan Chizuru yang tampak kesusahan.
Sepuluh menit kemudian, Luke sudah menyelesaikan mangkuk ketiga ramen, beserta dengan hidangan pelengkap. Dia meneguk ocha sambil melirik ke arah Chizuru yang masih berkutat dengan ramennya. Ya Lord, masih ada setengah porsi ramen yang belum diselesaikan. Luke tidak mengerti apa yang dilakukan wanita itu, yang sudah menghabiskan waktu selama empat puluh menit dalam menikmati seporsi kecil ramen itu.
Tanpa perlu berkomentar, Luke kembali menopang dagu untuk menatap Chizuru. Dia melirik jam tangan dan mulai menghitung dalam hati. Satu menit. Lima menit. Sepuluh menit. Dua puluh menit. Tiga puluh menit. Astaga! Luke hampir mengantuk.
Chizuru memasukkan suapan terakhir di menit ketiga puluh lima. Dia mengunyah dengan tekun, lalu mengangkat mangkuk untuk menghirup kuah kaldu hingga tak bersisa. Luke bisa melihat mangkuk ramen Chizuru tampak kosong dan bersih. Heck! Meskipun Chizuru butuh waktu lama untuk menghabiskan makanan, namun dia selalu berhasil menandaskan semua yang ada di dalam mangkuknya.
"Ah, terima kasih," gumam Chizuru lega sambil membungkuk dan mengusap bibirnya. Dia akan mengucap syukur setiap kali menghabiskan makanannya.
Kemudian, dia menoleh ke arah Luke dengan ekspresi ceria, tampak begitu bangga karena sudah berhasil menghabiskan semangkuk ramennya. Tapi begitu dia melihat tumpukan mangkuk ramen yang ada di depan Luke, serta piring-piring kecil yang kosong, ekspresinya berubah.
"K-Kau... memakan semua itu?" tanya Chizuru kaget.
Luke mengangguk sambil menunjuk gelas ocha yang masih ada sisa setengah. "Minumlah."
"Kau lapar sekali atau belum makan sama sekali?" tanya Chizuru sambil mengangkat gelas lalu meneguknya.
"Dua-duanya," jawab Luke langsung.
"Memangnya kau kemana saja selama dua hari ini?"
"Apa aku harus menjawab?"
"Tentu saja."
"Jika aku tidak mau memberitahumu, apakah kau akan marah?"
Chizuru terdiam. Dia tampak berpikir sambil menaruh gelasnya. Sorot matanya menyiratkan ada kesedihan dan kecemasan. Membuat Luke merasa penasaran.
"Kau pernah bilang padaku, kalau kau tidak akan meninggalkanku," gumam Chizuru akhirnya.
"Aku memang tidak akan meninggalkanmu," balas Luke langsung.
Chizuru mengerutkan alis tanda tidak setuju. "Buktinya kau pergi dan tidak ada kabar selama dua hari ini!"
"Apakah aku memiliki kewajiban untuk memberitahumu?" tanya Luke dengan alis terangkat setengah.
Chizuru mengangguk. "Karena aku takut kau akan pergi seperti dulu."
Luke tersenyum sambil beranjak dari kursi. Dia mengeluarkan uang beberapa lembar dan membayar pemilik kedai, lalu mengajak Chizuru untuk segera menyingkir dari situ.
"Bagaimana kalau kita berjalan sebentar di taman? Sekarang masih jam setengah sembilan malam," ajak Luke.
Chizuru mendengus pelan. "Kau menghindar dari pertanyaanku, yah?"
"Menghindar?" tanya Luke heran.
Keduanya berjalan berdampingan untuk menuju pada taman kota yang tampak lengang, dengan bangku-bangku kayu yang ada di sisi jalan.
"Kau tidak mau memberitahu kemana kau pergi selama dua hari ini," jawab Chizuru kemudian.
"Kenapa aku harus memberitahumu, Chizu?" balas Luke dengan senyuman hangat.
"Aku sudah bilang aku takut kau akan pergi seperti dulu."
"Apakah kepergianku memberikan pengaruh untukmu?"
"Sangat."
Chizuru menghentikan langkah dan menarik Luke agar menatap padanya. Ekspresinya semakin cemas dengan mata mengerjap panik. Dia tampak seperti apa yang diucapkannya. Hal itu membuat perasaan Luke menghangat.
"Lain kali, beritahu aku jika kau akan pergi," ujar Chizuru sambil mengeluarkan ponsel dari dalam tas, lalu menyodorkan pada Luke. "Namun yang terpenting, berikan aku nomor teleponmu."
Alis Luke terangkat. "Sejak kapan kau menyimpan nomor telepon orang lain dalam ponsel?"
"Sejak Obaa-San mengingatkanku untuk menghubungimu, jika sewaktu-waktu kau tidak ada," jawab Chizuru pelan. "Supaya aku tenang jika kau tidak pergi meninggalkanku."
Luke terdiam dan menatap Chizuru dengan dalam. Sorot mata wanita itu masih terlihat cemas dan Luke bisa merasakan ketakutan dalam dirinya. Luke mengetahui tentang apapun yang berhubungan dengan Chizuru. Dimana dirinya dilahirkan, siapa keluarganya, bagaimana kehidupan yang dijalaninya, berapa penghasilannya, semuanya. Dan Luke sangat mengerti bahwa wanita itu tidak bahagia. Sampai detik ini.
Menjadi yatim piatu di usianya yang masih remaja, mengalami penolakan dari keluarga besar ayahnya, kehilangan pria brengsek yang menikahinya dan tidak kembali, dan menjalani hidupnya sebatang kara dengan terus menunggu. Chizuru menolak untuk kembali kehilangan, dan dia masih berharap jika suami sialannya masih ada.
Kini, harapan Chizuru hanya pada Luke. Meskipun wanita itu bersikap bodoh dan seringkali tidak memahami dirinya, namun Luke tahu jika Chizuru menyayanginya. Wanita itu memiliki hati yang lembut, selalu memberi tanpa pamrih, bahkan selalu tersenyum di setiap waktu, dan bersyukur dalam kesukarannya.
"Apa kau mau ikut denganku, jika aku harus kembali bekerja?" tanya Luke sambil mengetik nomornya pada ponsel Chizuru.
Chizuru melebarkan matanya dengan kaget. "Mana bisa? Kau bekerja, untuk apa aku ikut denganmu? Lagi pula, aku memiliki pekerjaan dan...,"
"Tinggalkan pekerjaanmu," sela Luke dengan tegas. "Tinggalkan semua kesedihanmu yang ada di sini, Chizu. Aku akan membawamu ke kehidupan yang baru dengan lingkungan yang jauh lebih baik."
"Tidak semudah itu," balas Chizuru cepat.
Luke mengangguk setuju. "Memang benar. Tapi jika kau tidak memutuskan untuk berbahagia, selamanya kau akan terus seperti ini."
Chizuru mengerjap sedih. "Aku memiliki kehidupan yang baik. Sebentar lagi, Hideaki-Kun akan pulang dan...,"
"Sudah 10 tahun, Chizu!" sela Luke dengan ekspresi dingin. "Dia sudah pergi 10 tahun dan tidak kembali! Tidak bisakah kau menerima kenyataan bahwa bajingan itu sudah mati atau berkhianat padamu?"
Mata Chizuru melebar kaget. "Tidak sepantasnya kau berbicara seperti itu."
"Lalu, kau pikir kau pantas berbicara padaku seperti tadi? Kau tidak ingin aku meninggalkanmu, tapi kau masih menunggu orang mati! Katakanlah jika dia masih hidup dan kembali padamu, apakah kau akan meninggalkanku dan mengabaikanku?" balas Luke sengit.
"Tidak! Kau tidak akan pernah ku...,"
"Omong kosong!" sela Luke tajam. "Kau yang menolakku dan mengabaikanku! Kau tidak pernah melihatku selama ini, dan dengan mudahnya kau mengumumkan pernikahanmu di depanku! Apakah itu yang kau bilang tidak akan pernah meninggalkanku?"
"Kau adalah muridku, Luke," ucap Chizuru dengan suara tercekat.
"Apakah sekarang aku masih menjadi muridmu? Apakah aku masih terlihat seperti bocah ingusan yang tersenyum senang, jika kau menjanjikanku permen loli?" sahut Luke.
"Tidak," jawab Chizuru sedih. "Kau sudah cukup dewasa dan aku semakin ngeri karena hal itu."
Alis Luke semakin berkerut. "Kenapa kau ngeri padaku?"
"Karena kau sudah berani berlaku kurang ajar padaku dengan menciumku," jawab Chizuru.
Luke tercengang. Dia sudah tidak memiliki perkataan apapun untuk menggambarkan perasaan kesalnya saat ini. Fix! Ini adalah karma untuk dirinya karena sudah menjadi brengsek pada semua orang yang ada di sekelilingnya.
"Ini ponselmu," ucap Luke sambil menyodorkan ponsel Chizuru, lalu kembali melanjutkan langkah untuk menyusuri taman kota.
"Luke! Tunggu!" seru Chizuru dari jauh.
Luke melangkah dengan cepat tanpa mengindahkan seruan Chizuru karena kesal. Dia membutuhkan udara segar untuk meluapkan kekesalannya saat ini. Dengan berteriak atau protes padanya, tidak akan menyelesaikan masalah. Luke hanya perlu menelan kekesalannya seorang diri, seperti sekarang.
Luke menghentikan langkah ketika tidak mendengar ada derap langkah yang mengikuti dari belakang, lalu menoleh untuk melihat posisi Chizuru. Shit! Wanita itu pasti kembali berlari dengan tangan dan kaki yang sama, sehingga dia terjatuh sambil terisak pelan di ujung sana. Orang-orang yang berlalu lalang, melihat Chizuru dengan tatapan menilai dan melewatinya begitu saja.
Sambil menghela napas, Luke segera menghampiri Chizuru dan melihat posisi wanita itu yang terisak pelan. Dia jatuh dengan posisi tersungkur, kedua lutut menumpu dan kedua tangan yang menahan tubuh. Sungguh. Inikah yang dinamakan wanita dewasa? Batin Luke.
Luke segera mengangkat tubuh Chizuru dan menggendongnya. Wanita itu tampak tergugu dan mencengkeram erat sisi jaket Luke.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Luke sambil menunduk untuk menatap Chizuru.
"Kau... meninggalkanku lagi," jawab Chizuru serak.
"Sekarang sudah tidak," ujar Luke sambil melangkah untuk menuju mobilnya. "Ayo kita pulang."
Chizuru menunduk dengan wajah sedih sambil mengeratkan cengkeramannya. "Apakah kau akan meninggalkanku, jika sudah mengantarku sampai ke rumah?"
"Ya, aku akan pulang ke rumahku," jawab Luke.
"Apa kau marah padaku?"
"Sangat."
"Apakah aku boleh minta tolong padamu?"
"Silakan."
"Bisakah kau bersabar sebentar lagi untuk menungguku?"
Deg! Langkah Luke terhenti dan kembali menunduk untuk menatap Chizuru dengan heran. "Apa maksudmu?"
"Kehilangan sudah menjadi hal yang biasa namun sangat membekas untukku. Hal itu membuatku ragu untuk membuka hati, karena rasa takut akan kehilangan selalu datang padaku. Karena itu, maukah kau bersabar selagi aku menenangkan hatiku?" tanya Chizuru dengan sorot mata penuh arti.
Luke menatap dengan tatapan tidak percaya. Apakah dia sudah boleh senang jika wanita itu mengerti apa yang dia rasakan untuknya?
"Apa kau tahu apa yang sedang kau tanyakan dan apa yang kau minta dariku?" tanya Luke kemudian.
Chizuru mengangguk sambil menaruh satu tangan di dadanya. "Jantungku berdegup kencang sekarang, dan aku merasa tidak tenang saat bersamamu. Bukan karena aku takut, tapi aku menjadi seperti tidak terkendali dengan keinginan untuk terus melihatmu."
Demi apapun yang ada di dunia ini, Luke tidak mampu mengeluarkan satu kata pun saat ini. Dia terkejut dengan ekspresi serius yang ditampilkan Chizuru padanya. Namun kemudian, dia tersenyum lembut sambil melanjutkan langkah menuju ke mobilnya.
"Tidak usah meminta, Chizu. Sampai kapanpun, aku akan selalu menunggumu," ucap Luke lembut.
Alis Chizuru terangkat. "Benarkah?"
Luke mengangguk. "Benar."
Dia menurunkan Chizuru dari gendongannya, merogoh kunci mobil dari saku celana dan membuka pintu mobil. Dengan sangat hati-hati, dia mengarahkan Chizuru untuk duduk di kursi depan.
"Tapi kenapa kau meninggalkanku dan berjalan sangat cepat? Aku kesusahan dalam mengejarmu," keluh Chizuru ketika Luke sudah duduk di kursi kemudi.
Luke menoleh sambil menyalakan kemudi. Dia meraih kotak obat yang ada di kursi belakang, dan bekerja untuk membersihkan luka lecet yang ada di kedua lutut Chizuru dengan apik.
"Aku hanya perlu sedikit waktu untuk meredam kemarahanku. Setelahnya, aku akan kembali seperti semula dan bersikap seperti biasa," ujar Luke santai. "Lagi pula, kau tidak usah mengejarku, karena aku sudah melakukannya. Yang harus kau lakukan adalah diam di tempatmu."
Luke mengangkat wajahnya untuk menatap Chizuru dengan tajam. Mereka berdua saling bertatapan di sana. Tak lama kemudian, Chizuru pun tersenyum dengan hangat sambil menyentuh pipi Luke dengan lembut.
"Aku selalu berada di sini dan tidak kemana pun. Jika sewaktu-waktu kau ingin mencariku, kau sudah tahu dimana aku berada," ujar Chizuru dengan pelan.
Luke mengangguk sambil menyentuh dadanya sendiri. "Aku tidak perlu mencari, karena kau selalu berada di sini. Di hatiku. Kuharap kau mengerti maksudku kali ini."
"Terima kasih, Luke," balas Chizuru. "Aku percaya padamu, bahwa kau tidak akan pernah meninggalkanku."
"Oleh karena itu, maukah kau ikut bersamaku? Sebab aku akan menunjukkan dunia kepadamu dan memberikan arti kebahagiaan yang sebenarnya."
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Katakanlah aku lagi baper karena suami lagi ngedate sama anak perempuan kesayangannya.
Nonton Pikachu, genks.
Trus aku stuck di rumah sama si kecil.
Sedih ye? Nggak dong.
Karena anak perempuan memang harus dekat dengan ayahnya, supaya dia bisa menjadi kuat dan teguh.
Biar punya prinsip dan nggak menye2 🤣
10.05.19 (20.30 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top