Part 8 - Unpleasant Confusion
Akhir-akhir ini, aku lagi males nulis.
Lagi gak mood 🤣
Pengen cepet2 liburan. Butuh piknik.
Ada yang pernah ngerasa males banget kayak aku gitu, gak sih?
Gimana caranya supaya kemalasan kamu teralihkan? Selain nonton dan baca.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Chizuru tersenyum ketika harus berhadapan dengan Mariko Yoshizawa, seorang nenek tua yang tinggal tidak jauh dari rumahnya. Wanita tua itu sangat dihormati di lingkungan sekitar, bahkan semua orang akan tunduk hormat padanya. Termasuk Chizuru.
Selama Chizuru tinggal sendirian di rumah peninggalan orangtuanya, Mariko yang membantunya untuk melewati hari-hari tersulit. Dari Mariko, Chizuru banyak belajar mengenai hal apa saja. Dia memiliki tetangga yang begitu baik hati, seperti Mariko, juga Naomi. Mereka sudah seperti ibu dan nenek yang menjaganya seperti keluarga sendiri.
"Kulihat kau lebih ceria, apakah ada yang membuatmu senang?" tanya Mariko sumringah.
Chizuru mengerjap dan mengangguk. "Bertemu denganmu, sudah membuatku senang, Obaa-San."
Meski sudah berumur hampir 90 tahun, tapi Mariko masih begitu sehat dan bugar. Dia selalu tersenyum dan menjadi sosok yang paling dihormati, di keluarga besarnya. Setiap kali Mariko merayakan ulang tahun, seluruh keluarga besarnya dari Amerika, akan berkumpul untuk merayakan. Dari cucu sampai cicit pun turut hadir.
"Bukan soal diriku, Anak Muda. Tapi kau yang tampak lebih ceria dari biasanya. Apa ada yang membuatmu senang?" balas Mariko mengoreksi.
Chizuru mengerutkan alis menatap senyum yang tidak biasa dari Mariko. Dia seperti menebak dan terlihat geli dengan pemikirannya sendiri.
"Memangnya kapan aku murung? Aku selalu senang," sahut Chizuru heran.
Mariko tertawa. "Setelah sekian lama, aku baru bisa melihatmu begitu sumringah. Apakah kepulangan Shinichi membuatmu senang?"
Deg! Chizuru mengerjap gugup, ketika Mariko menyebut nama Shinichi secara terang-terangan. Entah kenapa degup jantung Chizuru merasa tidak tenang, setiap kali berhadapan dengan Luke. Dan degupan itu semakin tidak tenang, ketika tidak melihat sosok pria iseng itu selama dua hari ini.
"Di... dia tidak suka dipanggil Shinichi lagi," jawab Chizuru pelan.
Mariko tersenyum. "Dia sudah terlalu lama tinggal di Amerika. Sama seperti Ally dan anak-anaknya yang tidak pernah mau memakai nama Jepang yang kuberikan. Itu menyebalkan."
"Tapi mereka tetap mengasihimu dan mau mengunjungimu setiap kali ada perayaan, Obaa-San," balas Chizuru senang.
Mariko mengangguk tanda setuju. "Bagaimana denganmu, Chizuru? Sudah lama sekali, kau tidak mengunjungi nenek keras kepalamu di Fukuoka,"
Ekspresi wajah Chizuru langsung meredup ketika Mariko mengingatkannya pada nenek kandung yang membencinya sejak dulu. Kanako Hasegawa adalah ibu kandung dari ayahnya yang bernama Kenzo Hasegawa.
Keluarga ayahnya adalah keluarga bangsawan yang masih memiliki relasi keluarga dari kekaisaran negeri itu. Chizuru tidak mengetahui detail tentang hubungan keluarga ayahnya, karena seingatnya, orangtuanya sudah tinggal di sebuah rumah sederhana yang ditempatinya saat ini.
Kanako sangat menyayangi Kenzo, dan tidak ada yang mengalahkan kasih sayang seorang ibu yang dimiliki Kanako atas Kenzo. Namun hubungan ibu dan anak itu retak, ketika Kenzo jatuh cinta kepada Ayaka Suzuki, gadis dari kalangan biasa yang tidak disetujui oleh keluarga besar Kenzo.
Karena itulah, sejak Chizuru dilahirkan sampai sekarang, Kanoko membenci ibu dan dirinya. Kunjungan yang kerap kali dilakukan mereka, sama sekali tidak diindahkan oleh Kanako. Sampai akhirnya, kecelakaan yang dialami Chizuru bersama orangtuanya saat perjalanan kembali ke Tokyo, menewaskan kedua orangtuanya, dan hanya Chizuru yang selamat.
Chizuru yang saat itu masih berumur 15 tahun, menjadi sebatang kara dan menolak semua tawaran adopsi dari keluarganya. Dia memilih untuk tinggal di rumah keluarganya sendirian.
"Sudah kubilang kalau kau dan ibumu adalah pembawa sial! Gara-gara kalian, aku kehilangan putraku! Jangan muncul di hadapanku lagi! Karena aku tahu kau berniat untuk mengeruk kekayaan dari kami, dan kau tidak akan masuk dalam daftar ahli waris di keluarga Hasegawa!" teriak Kanako pada Chizuru, tepat di hari pemakaman orangtuanya.
Ucapan itu masih terngiang di telinga Chizuru, dan spontan dia menangis. Jika memang uang bisa mengembalikan nyawa kedua orangtuanya, tentu Chizuru akan berlari ke Fukuoka untuk menuntut uang kepada neneknya.
Meski sebulan setelah kematian orangtua, Chizuru kedatangan seorang kuasa hukum dari keluarga ayahnya, untuk membicarakan soal warisan, dia menolak dengan keras. Dia tidak mau menerima uang sepeser pun dari nenek yang sudah menghinanya. Chizuru lebih memilih bekerja sedari muda, dengan menjadi guru bimbel dan penjual bibit bunga, itu saja sudah cukup untuk membiayai sekolah dan hidupnya.
"Jangan bersedih, Chizuru. Aku bertanya padamu, hanya ingin kau tahu bahwa nenekmu sudah semakin tua. Sama sepertiku. Dia memang keras kepala, tapi terkadang dia menanyakanmu," ucap Mariko sambil mengusap pipi Chizuru yang basah.
"Dia membenciku, Obaa-San," ujar Chizuru dengan suara tercekat.
"Itu sudah lama sekali," sahut Mariko lembut. "Setiap orang bisa merasa menyesal. Hidup mati seseorang tidak ada yang bisa mengendalikan, kecuali Tuhan. Emosi sesaat membuat seseorang menjadi labil dan tidak bisa menerima kenyataan."
Mata Chizuru melebar dan sorot matanya semakin sedih.
"Nenekmu sudah menerima kenyataan bahwa ayahmu sudah tiada dan sempat menanyakanmu padaku," ujar Mariko kemudian.
"Itu tidak mungkin," balas Chizuru tidak percaya.
"Kenapa tidak mungkin? Kau memiliki wajah yang mirip sekali dengan Kenzo," tukas Mariko hangat.
"Kapan kau bertemu dengan Kanako Obaa-San?" tanya Chizuru heran.
Mariko terkekeh pelan. "Siapa yang tidak kenal dengan Kanako Hasegawa? Dia adalah seorang yang terkenal dan kebetulan kami sempat bertemu."
"Kapan?"
"Dulu. Sebelum kau lahir."
Chizuru terdiam sambil mengerutkan alis menatap kekehan Mariko yang terlihat mencurigakan. Namun dia tidak ingin menanyakan lebih lanjut, karena tidak ada gunanya menanyakan hal itu. Dia hanyalah orang biasa yang akan mempermalukan keluarga ayahnya. Bukan Chizuru bersikap kurang ajar, tapi dia tahu diri. Itu saja.
"Lalu, bagaimana dengan kehidupanmu, Chizuru?" tanya Mariko lagi.
Chizuru mengerjap pelan. "Aku baik."
"Sepertinya kau tidak baik seperti yang kau katakan," komentar Mariko dengan telak.
"Obaa-San, aku...,"
"Apa kau masih mempertahankan kesendirian dan menunggu seseorang yang tidak akan pernah pulang?" sela Mariko.
Chizuru menggigit bibir bawahnya dan terlihat gugup ketika mendengar pertanyaan Mariko.
"Dia akan pulang," jawab Chizuru lemah.
"Bagaimana kalau tidak?" tanya Mariko lagi.
"Dia pasti akan pulang!" balas Chizuru bersikeras.
"Tapi dia tidak pernah kembali," sahut Mariko.
Mata Chizuru sudah berkaca-kaca dengan perasaan yang begitu sedih. "Dia sudah berjanji padaku untuk segera pulang."
Sedetik kemudian, Chizuru menangis terisak seperti anak kecil yang kehilangan balonnya. Dia tidak peduli jika dianggap tidak dewasa, tapi kesedihan Chizuru seperti tidak ada habisnya.
Ketika dia kehilangan orangtuanya, disitulah dia bertemu dengan Hideaki, tepat di depan gerbang sekolahnya. Kala itu, Chizuru terjatuh karena sudah terlambat masuk sekolah. Lututnya berdarah dan tidak ada yang membantunya, semua melewatinya begitu saja. Namun ada satu pemuda yang datang menghampiri, lalu mengulurkan tangan ke arahnya. Itulah pertemuan pertamanya dengan Hideaki.
Chizuru yang canggung dan tidak mudah bersosialisasi, tampak tidak nyaman ketika Hideaki terus muncul dan menunggunya di gerbang sekolah. Kala itu, Hideaki baru menjadi siswa baru di Akademi Militer, dan dia adalah senior yang lulus dari SMU yang sama dengan Chizuru.
Tutur kata yang lembut, sikapnya yang sopan, dan penuh kehangatan, membuat Chizuru luluh setelah Hideaki mendekatinya selama hampir satu tahun. Dan setelahnya, mereka menjalin hubungan jarak jauh, karena Hideaki yang harus bertugas kemana saja. Sampai akhirnya, Hideaki melamar dan mereka menikah.
Hideaki sudah berjanji akan menemani dan melindunginya. Dia pun berjanji akan kembali setelah pekerjaannya selesai. Tapi belum sampai beberapa hari Hideaki ijin untuk segera berangkat, usai mengucapkan sumpah pernikahan, Chizuru mendapat kabar bahwa Hideaki gugur di medan perang.
Saat itu, hidup Chizuru yang hampir membaik setelah kematian orangtuanya, kembali hancur berkeping-keping. Dia merasa hampa dan tidak berdaya. Tidak ada yang menemaninya sampai akhir. Semua hanya memberikan ucapan duka, menemaninya berkabung selama satu hari, dan kemudian dia kembali sendirian.
"Kenapa kau terus memilih untuk bersedih dan tenggelam dalam dukamu, Chizuru?" tanya Mariko hangat, lalu memeluk Chizuru erat.
"Hanya ada kedukaan dalam hidupku, Obaa-San," jawab Chizuru lirih.
Mariko menggeleng dan menarik diri dari pelukan. Dia menatap Chizuru dengan penuh kasih. "Hidup bukan tentang kesedihan, tapi tentang kebahagiaan. Kau bersedih, karena kau terus melihat ke belakang. Jika kau bisa mengarahkan pandanganmu ke depan, maka kau akan mendapatkan kehidupan baru yang berjalan seturut dengan jalan hidupnya sendiri."
"Obaa-San, aku...,"
"Kehilangan seseorang yang berarti, bukan akhir dari segalanya. Itu tandanya kau cukup kuat dalam menghadapi persoalan hidupmu. Jika persoalan yang kau hadapi, melebihi kekuatanmu, maka kau tidak akan hidup sampai saat ini," sela Mariko lagi.
Chizuru mengusap pipinya yang basah. "Aku ingin sekali menjadi sepertimu, Obaa-San. Kau selalu bahagia dan selalu membuatku menangis, untuk merasa lebih baik."
Mariko hanya menggeleng kepala dan menatap Chizuru dengan seksama. "Bukankah kau selalu mengunjungiku, jika kau ingin mencurahkan isi hatimu?"
Chizuru menggeleng. "Aku datang untuk...,"
Chizuru kebingungan. Dia ingin menjawab tapi ragu. Tapi untungnya, sebuah kotak kue mochi buatannya menjadi penyelamat sebagai alasan yang masuk akal.
"Untuk apa?" tanya Mariko dengan alis terangkat.
"Membawakanmu kue mochi," jawab Chizuru sambil mengangkat kotak yang dibawanya.
Mariko mengerutkan alis lalu tertawa pelan. "Terima kasih, tapi kau tahu sendiri kalau aku tidak menyukai mochi. Tidakkah kau ingat, kalau gigiku sudah tidak cukup kuat untuk mengunyah makanan lengket itu?"
Deg! Chizuru menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil berpikir keras untuk memberikan alasan.
"Jujur saja padaku, kau kemari karena ingin mencari Shinichi, bukan?" tanya Mariko pelan.
Chizuru langsung mengangguk dan berbisik, "Apakah dia ada di sini? Atau dia sudah kembali ke Amerika?"
Mariko tersenyum. "Memangnya kau tidak bisa menghubungi nomor ponselnya?"
"Aku tidak punya nomor ponselnya," jawab Chizuru jujur.
"Benarkah?" tanya Mariko kaget. "Anak muda macam apa kalian, yang berhubungan tapi tidak memiliki nomor ponsel?"
"I... itu..."
"Karena kami lebih senang bertemu secara langsung, daripada berkomunikasi lewat udara, Obaa-San," tiba-tiba Luke muncul dari pintu masuk rumah Mariko.
Chizuru langsung menoleh dan mengerjap gugup melihat kedatangan Luke. Pria itu seperti habis bepergian, dengan mengenakan pakaian serba hitam yang... misterius. Kaos hitam, jaket kulit, celana jeans hitam, dan boots hitam.
Luke memberikan cengiran lebar kepada Chizuru dan Mariko secara bergantian. Dia menghampiri Mariko dan memberikan sebuah pelukan.
"Maafkan aku karena datang kesiangan, ada urusan yang harus kuselesaikan," ujar Luke riang, dan memberikan kecupan di kening Mariko.
Mariko terkekeh. "Kau sangat sibuk, yah? Padahal kau pulang untuk menjagaku, tapi tetap masih banyak urusan."
"Aku sibuk untuk menabung, Obaa-San," balas Luke senang.
"Menabung untuk apa? Kau sudah memiliki uang yang cukup banyak. Tidak usah terlalu bekerja keras," sahut Mariko heran.
"Untuk diriku sendiri, mungkin cukup. Tapi jika untuk berkeluarga, rasanya kurang. Aku tidak ingin anak dan istriku mengalami kekurangan," ujar Luke dengan lugas.
Mariko tersenyum lebar sambil menangkup wajah Luke dengan kedua tangannya. "Apa kau berencana untuk menikah? Wah, aku sangat senang sekali. Kupikir aku akan keburu mati, sebelum melihatmu menikah."
"Heh? Jangan sembarangan bicara, Obaa-San. Kau akan hidup sampai puluhan tahun lagi dan akan melihat semua cicit-cicitmu menikah, termasuk aku," seru Luke sambil berdecak pelan.
Kedua orang itu seakan tidak menyadari ada Chizuru di situ, yang saat ini sedang mendengar pembicaraan mereka dengan tatapan kosong. Ekspresinya kembali meredup dan ada rasa nyeri yang menyergap dalam hatinya. Ucapan Luke tentang rencana untuk menikah, seolah memberikan hantaman keras di kepalanya.
Seharusnya dia ikut bahagia dan turut senang dengan pembicaraan itu. Tapi, lidah Chizuru mendadak terasa kelu dengan ketidakmampuan untuk mengikuti obrolan mereka. Dia berpikir untuk pulang saja, karena sudah tahu jika Luke masih berada di Tokyo.
"Chizuru," panggil Mariko yang membuat Chizuru tersentak kaget, dan langsung mengangkat wajahnya untuk melihat Mariko.
Luke tampak menyeringai geli ke arahnya dan menatapnya dengan sorot mata jahil seperti biasa. Dia tampak begitu ceria. Dalam hati Chizuru bertanya, apakah pria itu baru saja bertemu dengan kekasihnya?
"Ya, Obaa-San?" balas Chizuru pelan.
"Luke sudah datang," ujar Mariko sambil menunjuk Luke. "Tadi kau mencarinya, bukan?"
Alis Luke terangkat dan menatapnya tidak percaya. "Benarkah. Kau mencariku? Sungguh?"
Chizuru bungkam. Dia tidak tahu apa yang ingin disampaikannya. Dia memang mencari Luke karena merasa cemas jika pria itu pergi tanpa memberi kabar padanya. Sebab sudah dua hari, pria itu tidak menunjukkan diri padanya.
"Tidak jadi," jawab Chizuru akhirnya, sambil beranjak berdiri dan menaruh kotak kue mochi di meja kaca. "Aku harus kembali, sudah menjelang sore."
"Cepat sekali, Chizuru. Lebih baik tinggal sebentar untuk menikmati makan malam bersama dengan kami. Luke sudah pulang, kalian berdua bisa menemaniku," ujar Mariko heran.
"Terima kasih, Obaa-San. Tapi ada kertas ulangan murid yang harus kuperiksa," balas Chizuru dengan lugas.
Mariko terdiam sambil memperhatikan, sementara Luke masih menatapnya dengan senang. Pria itu benar-benar terlihat senang, tampak kontras dengan Chizuru yang merasa tidak nyaman dalam hatinya.
"Baiklah kalau begitu. Hati-hati," ujar Mariko kemudian.
"Aku akan mengantarmu, Sensei!" seru Luke cepat, dan dia menoleh pada Mariko. "Istirahatlah, Obaa-San. Kau harus minum vitaminmu sekarang."
"Aku sudah tahu, tidak perlu kau ingatkan," balas Mariko langsung.
Luke tertawa. "Baiklah, Nenek Serba Bisa dan Menolak Menjadi Pelupa. Aku percaya padamu."
Mariko hanya menggelengkan kepala melihat aksi Luke, dan pria itu menghampiri Chizuru dengan senyuman lebarnya.
Ketika Chizuru keluar dari rumah Mariko, dia menatap Luke dengan bingung. Pria itu membukakan pintu mobil untuknya.
"Rumahku hanya berjarak satu blok dari sini," ujar Chizuru.
"Aku tahu. Tapi aku ingin mengantarmu dengan mobil," balas Luke santai.
"Berjalan kaki hanya sepuluh menit menuju rumahku," sahut Chizuru.
"Aku tahu."
"Kalau sudah tahu, kenapa kau ingin mengantarku dengan mobil ini?"
Luke tersenyum sambil mendekat padanya. Dia mengarahkan Chizuru dengan merangkul pinggang, dan menutupi kepala Chizuru sambil perlahan menyuruhnya menunduk, untuk masuk ke dalam mobil.
"Luke...," Chizuru hendak protes ketika dirinya sudah duduk di kursi depan, tapi langsung bungkam karena Luke membungkuk ke arahnya dalam jarak yang begitu dekat.
"Ada apa lagi?" tanyanya pelan.
Dalam jarak sedekat ini, Chizuru bisa mengamati bola mata Luke yang berwarna coklat tua, serta bulu matanya yang lentik. Siluet wajahnya tampak begitu maskulin dan sorot matanya melembut. Dia baru menyadari kalau Luke adalah pria yang cukup menarik. Astaga! Chizuru menjadi kaget sendiri dengan pikirannya barusan.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Luke heran.
Chizuru mengerjap gugup dan hendak keluar dari mobil, tapi Luke menahannya.
"Aku ingin pulang dengan berjalan kaki," jawab Chizuru gugup.
"Dan aku bersikeras untuk mengantarmu dengan mobil ini." Balas Luke tegas.
"Hanya 10 menit berjalan kaki, dan aku sudah tiba di rumah, Luke. Kau tidak usah mengan..."
"Dan 10 menit itu, bisa kugunakan untuk berkeliling sebentar bersamamu," sela Luke cepat dan langsung menutup pintu mobilnya.
Eh? Chizuru mengerjap bingung dan menoleh pada Luke yang duduk di kursi kemudi. Berada di dalam mobil dengan hanya berdua bersama Luke, membuat rasa tidak nyaman Chizuru semakin menguap. Seharusnya dia baik-baik saja, tapi kenapa degup jantungnya mulai bergemuruh?
Chizuru tersentak ketika Luke memakaikan sabuk pengaman untuknya sambil memberikan kekehan ringan, dengan sorot mata berkilat nakal.
"Ke... kenapa kau seperti ini?" tanya Chizuru gugup.
Luke memindahkan gigi kemudi, lalu melajukan kemudinya dengan mantap. "Apa kau ingat tentang ucapanku yang tidak akan bermain lembut?"
Chizuru mengerutkan alisnya, tampak berusaha mengingat satu baris kalimat yang pernah diucapkan Luke padanya. Semenjak pertemuannya kembali dengan Luke, Chizuru merasa bahwa pria itu seringkali menyampaikan hal yang membuatnya bingung.
"Jangan kembali bersikap aneh, aku tidak suka," balas Chizuru dengan ragu.
Luke terkekeh saja. Sama sekali tidak terlihat tersinggung ataupun marah. Dia bersikap santai dan terlihat senang. "Silakan menilaiku aneh. Aku tidak masalah. Aku hanya ingin bilang, jika kesabaranku sudah habis."
Chizuru menoleh pada Luke dengan ekspresi yang semakin bingung. "Apa maksudmu?"
Luke menoleh padanya dan tersenyum senang. "10 tahun. Aku sudah menyukai orang itu, meski kami terpisahkan jarak dan waktu. Aku berpikir dia bahagia, sampai aku tidak masalah jika harus menderita, dengan mengalami patah hati yang menjengkelkan."
Degup jantung Chizuru semakin bergemuruh cepat, rasa tidak nyaman yang dirasakan, kini berubah menjadi rasa sesak dalam dada. Dia tidak menyukai pembicaraan yang disampaikan Luke sekarang.
"Tapi ternyata, dia masih dengan kesendirian dan terus mempertahankan kesedihannya yang tidak beralasan. Padahal sudah cukup dia menghabiskan waktu untuk menangis, dan sekarang saatnya dia harus bahagia," lanjut Luke dengan mantap.
"Kau tidak perlu seperti itu, Luke," balas Chizuru dengan suara tercekat.
Luke menepi di bahu jalan, lalu menoleh padanya dengan ekspresi serius dan sorot mata yang menghunus tajam. Meski dia masih tersenyum, namun ada kesan mengancam di sana.
"Aku memang tidak perlu seperti itu, hanya demi wanita bodoh yang salah pilih. Tapi hidup adalah pilihan. Sekalipun kau tidak bisa memilih, salah satu dari pilihan itu yang akan mendatangimu, entah itu baik atau buruk. Semua tergantung dari bagaimana dirimu menyikapinya," ucap Luke santai.
"Siapa yang kau maksud wanita bodoh?" seru Chizuru tidak terima. "Jangan asal bicara, kalau kau tidak pernah menjalani kehidupanku."
Luke mengangguk paham. "Kau bukan wanita bodoh yang kukatakan tadi, Sensei. Jika kau merasa, berarti kau terlalu terbawa perasaan. Intinya, aku ingin mencurahkan isi hatiku."
"Kau ingin mencurahkan isi hati? Di sini? Di tempat ini?" tanya Chizuru heran.
Luke mengangguk sambil menopang dagu dan memberikan senyuman lebarnya. "Aku ingin meminta pendapatmu."
"Ada apa? Apakah itu penting?"
"Sangat penting. Karena ini soal hatiku yang terluka."
Chizuru terkesiap. "Siapa yang sudah melukaimu? Kenapa dia begitu tega?"
"Benar sekali. Dia sangat tega sampai rasanya ingin kuhajar tapi tidak mampu. Aku tidak sanggup menghajarnya, tapi aku ingin menciumnya."
"A...apa?"
Luke menegakkan tubuh dan menatap Chizuru dengan penuh arti. "Aku terluka, Sensei. Ada orang yang begitu menyakitiku sampai selama ini. Dia tidak memahamiku dan tidak mengerti apa yang kurasakan, padahal aku sangat menyayanginya."
"Kenapa dia tidak menghargaimu yang sudah begitu baik padanya?" tanya Chizuru dengan nada tidak terima.
"Dia bukan tidak menghargaiku. Kembali lagi soal yang tadi kubilang bahwa dia adalah wanita bodoh," jawab Luke geli.
Alis Chizuru semakin berkerut bingung. "Kau menyayangi wanita bodoh yang tidak menghargaimu?"
Luke mengangguk. "Iya. Aku sangat menyayanginya."
Chizuru mengerjap bingung dan rasa sesak semakin menghinggap di dadanya. Mendengar Luke yang menyayangi orang lain sampai seperti itu, rasanya tidak menyenangkan. Entahlah. Chizuru menjadi kebingungan.
"Lalu apa yang harus kau lakukan?" tanya Chizuru pelan.
"Justru itu yang ingin kutanyakan padamu. Menurutmu, apa yang harus kulakukan?" tanya Luke dengan ekspresi mendalam.
Chizuru menatap Luke dengan seksama. Meski rasa tidak nyaman dalam hatinya semakin terasa, dia bisa melihat kilat mata bahagia yang dipancarkan Luke, ketika mengutarakan isi hatinya barusan. Dia mengerti dengan alasan Luke, yang memberikan jawaban pada Mariko soal bekerja keras untuk keluarga masa depannya nanti. Itu sangat mengharukan, namun tidak menyenangkan bagi Chizuru.
"Apakah pendapatku penting untukmu?" tanya Chizuru untuk memastikan.
Luke mengangguk. "Sangat penting."
"Kalau kau menyayanginya, tunjukkan sekuat tenaga dan sepenuh hatimu padanya. Dengan semangat yang gigih, kurasa dia akan menyadarinya," ucap Chizuru dengan nada tidak rela.
"Aku sudah mencoba berulang kali, tapi dia masih tidak mengerti. Kurasa dia benar-benar bodoh. Bahkan ketika aku sudah menjelaskan dengan sangat detail, dia masih belum menyadarinya. Sampai sekarang," balas Luke dengan ekspresi cemberut.
"Kurasa orang bodoh akan berubah, jika dia mau belajar. Bukankah tujuan belajar memang ditujukan untuk orang bodoh? Karena itu, ajari dan arahkan dia. Jika kau sepenuh hati melakukannya, dia pasti akan melihatmu," ujar Chizuru.
Hening. Tidak ada lagi pembicaraan karena keduanya saling bertatapan. Chizuru dengan perasaan tidak nyamannya, dan Luke yang terlihat senang dengan senyumannya yang semakin lebar.
"Jadi, aku harus bersemangat, bukan begitu?" tanya Luke dengan alis terangkat setengah.
Chizuru mengangguk lemah. "Kuharap kau berhasil mendapatkan kebahagiaanmu."
"Tentu saja aku akan berhasil. Karena aku adalah orang yang pantang menyerah dan keras kepala. Hanya saja, peruntunganku kurang bagus jika berurusan dengan wanita. Maksudku, dengan wanita yang sangat kucintai. Entah apa yang sudah kulakukan, sehingga mendapatkan tulah seperti ini," balas Luke sambil mengangkat bahu dengan acuh.
Chizuru mengarahkan tangannya untuk menyentuh pipi Luke dengan pelan dan sangat hati-hati. Hal itu membuat Luke menegang kaku sambil menatapnya kaget. Chizuru memberikan senyuman hangat.
"Bersemangatlah. Aku mendukungmu," ujar Chizuru akhirnya.
Luke tersenyum. "Kau mendukungku dalam hal apa? Untuk bersemangat atau berbahagia?"
"Untuk kau berbahagia."
"Benarkah?"
"Iya."
"Kalau begitu, berikan aku kebahagiaan itu, sebab aku akan mengusahakan diriku lebih keras lagi, agar kau bisa melihatku, Chizuru."
Deg! Chizuru mengerutkan alisnya dan menatap Luke heran. "Aku tidak..."
Luke mencengkeram pergelangan tangan Chizuru yang menyentuh pipinya, dan menarik Chizuru untuk mendekat padanya. Wajah mereka begitu dekat, sampai hidung mereka bersentuhan. Kedekatan yang seperti ini, membuat Chizuru menegang dan gugup seketika.
"Mulai hari ini sampai seterusnya, aku tidak akan memanggilmu Sensei, melainkan namamu. Kau bukan lagi guru bimbelku atau kakak tetangga yang menyebalkan. Kau bukan istri dari orang yang sudah mati!" desis Luke tajam. "Tapi kau adalah Chizuru Hasegawa, wanita yang sudah mengambil hati Luke Wilson, pria yang berjuang mati-matian untuk mendapatkan cintanya."
Setelah mengatakan hal itu, Luke mencium bibir Chizuru tanpa ragu.
Kedua tangan Chizuru dicengkeram erat oleh Luke sehingga dia tidak sempat memberontak. Tapi Chizuru tidak ingin menolak, sebab pikirannya fokus pada gerakan bibir Luke yang begitu lembut dalam menguasai bibirnya. Berbeda dengan ciuman yang terjadi pertama kali, Chizuru bisa menikmatinya kali ini.
Dia membiarkan Luke menciumnya selama beberapa saat, lalu kemudian membalasnya.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Banyak yang bilang, kalo cowok lebih muda, itu suka ngegas 🤔
Apakah itu betul?
Tadi baru tanya-tanya sama temen yang kebetulan suaminya lebih muda.
Jaman pacaran, suka main cipok 😂
Maunya nempel terus, dan posesif.
Seolah dunia milik berdua, yang lain cuma numpang.
Cemburuan dan baperan.
Hufftt! Untung aku gak doyan berondong.
Tapi kalo brondongnya pake extra butter di atasnya, aku doyan 😂
06.05.19 (20.41 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top