Part 7 - I won't play safe and be gentle for another time
Mari kita eksekusi cowok tengil ini dulu.
Doakan aku yang lagi nulis Daddy Ashton dari semalam, tapi bawaannya malah deg2an gitu 😫
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
"Apa kau baik-baik saja di sana, Luke? Kuharap ibumu tidak terlalu keras dalam menghajarmu," komentar Brant dengan datar.
Luke hanya mendengus sambil menaruh ice pack pada batang hidungnya, setelah mengalami pendarahan cukup banyak. Semua gara-gara pukulan Chizuru pada wajahnya, atau lebih tepatnya pada batang hidung.
Dia yang berpikir jika Chizuru tidak akan berkutik, malah memberikan serangan yang tidak disangkanya. Wanita itu terdiam cukup lama, mungkin sekitar lima menit, dan Luke mengira bahwa dia diberi kesempatan untuk berbuat lebih. Nyatanya? Chizuru dengan mantap mendorongnya, lalu meninju hidungnya dengan sangat keras. Sampai darah segar dari hidung bercucuran, dan Chizuru ketakutan. Shit!
Sudah cukup kesialannya hari ini, dengan menjadi bajingan di depan Chizuru. Apalagi reuni yang tidak diiinginkan seperti bertemu Ayumi dan Satoru, duo teman lama yang membuatnya gila. Ditambah pria brengsek yang bernama Yuuto, tiba-tiba muncul dan mengaku bahwa dia adalah calon suami Chizuru. Cih!
"Tidak usah banyak bicara, yang terpenting bantu aku mencari tahu soal Hideaki Takeshiro," ucap Luke sambil berdecak, ketika dia bisa melihat ekspresi geli dari Darren dan Russell.
Yeah. Conference Video Call, seringkali dilakukan oleh empat orang kepercayaan itu, untuk bertukar informasi terbaru. Seperti saat ini. Dan karena mereka sedang dalam masa cuti, maka conference ini harus dilakukan.
"Apa yang sudah kau dapatkan di sana?" tanya Russell kemudian, sambil memulai mengetik laptop khususnya.
"Ayam panggang setengah matang, pukulan di perut tadi siang karena sudah bilang gemuk, dan sebuah tinju keras sehingga batang hidungku retak karena sudah menciumnya," jawab Luke jengah.
Ketiganya tertegun selama sepersekian detik, lalu menggumamkan kata WOW secara bersamaan. Brant memberikan ekspresi bangga, Darren dengan seringaian takjubnya, dan Russell yang kembali berkutat dengan laptopnya.
"Jika aku tahu, aku tidak mungkin bertanya denganmu, Bodoh!" desis Luke sambil membalikkan sisi ice pack dan menaruhnya kembali ke hidung. Dia meringis sesaat menerima sensasi dingin yang terasa menyakitkan.
"Anak nakal memang harus diberi pelajaran," kekeh Brant geli.
"Kurasa kau terlalu banyak melakukan dosa pada kami, sehingga kau harus mengalami hal seperti itu, Luke. Tapi setidaknya, aku bangga padamu karena kau sudah berhasil mencium wanita impianmu." Ujar Darren kalem.
"Apa kau sudah mendapatkan informasi tentang Hideaki, Russell?" tanya Luke yang mengabaikan komentar dua temannya yang lain. Dia lebih fokus pada Russell yang tampak serius.
Russell mengangguk lalu menyeringai senang. "Aku sudah mengirim data kepada Brant dan Darren."
Dua teman yang disebut Russell langsung mengecek laptopnya masing-masing. Sementara Luke hanya kebingungan melihatnya.
"Kenapa kau tidak mengirim padaku?" tanya Luke heran.
"Data yang kukirim barusan tidak diperlukan untukmu. Aku mencari tahu soal siapa wanita sialan yang sudah berhasil mengambil hati bajingan tengik sepertimu, tapi diam saja mendapatkan pukulan telak di wajah," jawab Russell tanpa beban. "Kau adalah orang yang teliti dan waspada, tidak mungkin kau sampai melewatkan sebuah pukulan keras yang dilayangkan padamu."
"Rasa bibir wanita ini mungkin terasa manis dan memabukkan," ucap Darren sambil tersenyum, membaca informasi yang dikirimkan Russell padanya.
Brant membaca tanpa ekspresi. Dia sangat kalem dan tenang, sama sekali tidak berkomentar. Membuat Luke merasa kesal melihat ulah mereka yang kompak ingin mengerjainya.
"Apa sih yang kalian baca?" sewot Luke kesal.
"Chizuru Hasegawa, 33 tahun, guru honorer di salah satu sekolah negeri di Tokyo, memiliki hobi memasak dan menjahit, suka bercocok tanam, tapi ceroboh," ujar Brant memberitahu seolah sedang membaca kertas pidato. "Aku tidak heran jika kau menyukainya. Wajahnya tidak tampak seperti wanita yang lebih tua 5 tahun darimu. Dia begitu imut."
"Yep! She has that baby face. I like her smile. Ukuran dadanya boleh juga. 34 B? Lumayan, setidaknya masih masuk dalam ukuran standart untuk orang Asia," timpal Darren dengan lugas.
Luke menggeram kesal dan berdecak pada Russell yang sedang tertawa keras, melihat ekspresinya. Ugh! Kenapa ketiganya seolah berbahagia dengan kesialan yang menimpanya? Dia berjanji lain kali, dia akan melakukan hal yang jauh lebih buruk pada mereka sebagai pembalasan.
"Aku tidak percaya kalau kalian akan menjadi brengsek dari biasanya," cetus Luke sinis. "Kuucapkan selamat, karena kalian berhasil membalasku. Semoga kalian puas."
Tawa mereka langsung terhenti, dan Luke kembali menekan batang hidungnya dengan ice pack yang masih setia di situ. Dalam hatinya, dia sudah merasa kesal dengan berbagai kejadian yang terjadi, tidak lebih dari 24 jam. Kenyataan bahwa Chizuru menderita dalam kesendiriannya, menunggu suami yang sudah tiada, dan menolak untuk mempercayai kenyataan itu. Damn! Luke kembali menggeram kesal.
Dia tidak suka jika harus memiliki beban berat dalam hidup seperti ini. Dia bahkan yakin jika dirinya sudah berbahagia dengan jalan hidup yang diambil. Dia pun sudah menerima kenyataan bahwa Chizuru bukanlah untuknya. Tapi sekarang? Mengetahui Chizuru masih sendiri, dengan suami yang sudah berpindah ke dunia lain, itu membuatnya kembali gelisah. Tiba-tiba saja, kebahagiaan Chizuru menjadi tanggung jawabnya.
Ting! Sebuah email masuk ke dalam laptop khususnya. Luke kembali menatap wajah tiga teman sialannya yang tampak serius sekarang. Dia pun segera membuka email itu.
Tampak sebuah foto dengan wajah familiar yang dulu pernah dilihat Luke kala itu. Pria itu kira-kira dua tahun lebih tua dari Chizuru, Luke mengenalnya sebagai kakak senior dari wanita itu. Hideaki Takeshiro. Seorang tentara yang menjadi salah satu kepala angkatan bersenjata dari Jepang, yang memperkuat lini depan barisan.
Dia adalah lulusan terbaik Akademi Militer Jepang, dan tercatat mati di medan perang, saat terjadinya perang konflik yang ada di Eritrea, sekitar 10 tahun yang lalu.
"Apakah ada informasi mengenai jasadnya?" tanya Luke dengan alis berkerut.
"Tidak ditemukan. Dia dilaporkan menghilang saat peperangan terjadi, dan tidak mendapatkan hasil setelah melakukan pencarian selama dua minggu. Oleh karena itu, pihak pemerintah menyatakan Hideaki mati di medan perang," jawab Russell.
"Namun kalung jati diri, dan badge seragamnya ditemukan," tambah Darren. "Apakah mungkin dia terkena ledakan bom sehingga tubuhnya hancur?"
"Jika hancur, setidaknya ada sisa-sisa dari tulang belulang yang bisa diambil untuk tes DNA. Tapi ini tidak ada sama sekali," ujar Brant dengan lugas.
Luke mengerjap dan saling melempar tatapan tajam seolah memahami apa yang dipikirkan masing-masing. Diberitakan soal kematian, namun tidak ada jasad, ataupun bukti dari kematian itu sendiri. Hanya kalung pengenal dan badge seragam ditemukan, tapi itu tidak bisa dijadikan bukti kuat.
"Apakah kau ingin hal ini diketahui Sir Joel dan petinggi lainnya, Luke?" tanya Brant dengan alis terangkat setengah.
"Mungkin mereka bisa membantu," balas Darren dan Russell mengangguk setuju.
"Apakah itu perlu dicari tahu? Kurasa tidak perlu," sahut Luke kemudian. "Dia sudah mati dan tidak mungkin bangkit kembali, bukan?"
Russell menyeringai sinis. "Apa kau yakin, Luke? Tidakkah kau lihat informasi tentang pujaan hatimu yang memberimu bogem mentah seperti itu? Dia satu-satunya pewaris dari bangsawan kekaisaran Jepang, dan Chizuru menolak menerima semua warisannya ketika orang tuanya tiada sejak masih kecil. Hanya ada seorang nenek, tapi tidak mau mengurusnya. Dari semua penjelasan itu, apa kau yakin tidak ingin mencari tahu lebih jauh soal suaminya?"
"Angkat saja hal ini kepada para petinggi. Kurasa mereka bisa mencari tahu lebih dalam mengenai hal ini. Apalagi, mereka memiliki akses langsung pada FBI dan CIA. Juga PBB," komentar Darren kemudian.
"PBB, huh? Maksudmu kepada salah satu diplomat yang selalu menghadiri sidang perdamaian? Apakah kau bermaksud untuk menanyainya, di sela-sela aktifitas bersenggama kalian?" cetus Brant sambil mendesis sinis.
Darren tertawa dan Russell hanya berckck ria. Luke tidak menanggapi lelucon mereka karena sudah sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Jika dia memang masih hidup, kenapa dia tidak muncul selama satu dekade ini? Apalagi dia meninggalkan Chizuru, setelah mengucapkan janji pernikahan mereka. Sialan!" rutuk Luke sambil menggeram.
Tiga temannya pun bungkam. Mereka tidak pernah melihat ekspresi Luke yang terlihat begitu berang, sangat kontras dengan apa yang terlihat dari Luke selama ini.
"Kurasa akan lebih baik jika kita mencari tahu lebih dalam mengenai kematian orang ini," ucap Brant kemudian, disetujui oleh Darren dan Russell, lewat anggukan kepala mereka.
Luke menggertakkan giginya. "Jika aku tahu bajingan itu masih hidup, aku tidak akan segan untuk membunuhnya dengan tanganku sendiri, karena sudah memberikan kedukaan bagi Chizuru."
"Well, aku ingin sekali berkunjung ke sana dan menemui wanita itu secara langsung," ucap Darren dengan senyum setengahnya.
"Untuk apa?" tanya Luke tidak senang.
"Untuk melihat apa yang dimilikinya, sampai kau bisa bersikap seperti bajingan pada umumnya," jawab Darren tanpa ragu.
"Kukira kau tidak akan menjadi pecinta wanita seperti kami," gumam Russell sambil terkekeh geli.
"Sudahlah, Guys. Jangan seperti itu kepada teman kita. Dari sini, kita belajar banyak bahwa berkata sembarangan, dapat mengakibatkan karma yang menjengkelkan," tukas Brant santai. "Aku harus kembali pada istriku, dia sudah menunggu untuk kutiduri."
Semua langsung berdecak malas mendengar ucapan Brant barusan.
"Really? Meniduri? Kenapa aku mendengar seperti ingin meninabobokan anak kecil saja?" celetuk Luke sambil meringis.
"Maklumi kakak tertua kita, Luke. Istrinya memang sudah dirawat sejak kecil, jadi tidak usah heran dengan kata meniduri dari Brant," ucap Russell sambil tertawa geli.
"Terdengar ambigu, namun penuh makna," sahut Darren sumringah.
Luke pun menyudahi conference call itu, lalu melepaskan ice pack dari hidungnya. Dia merasa lebih baik setelah mendapatkan penanganan. Dia memeriksa semua pesan masuk yang ada pada ponsel, dan mendengus saat membaca pesan dari ayahnya, bahwa mereka akan kembali minggu depan.
Dia beranjak dari ranjang, keluar dari kamar dan segera menuju ke dapur untuk mengambil air minum. Langkahnya terhenti ketika dia mendengar bel pintunya berbunyi. Dia pun segera melangkah dan melihat intercom yang menampilkan sosok Chizuru yang datang. Matanya melebar kaget melihat kedatangan wanita itu.
Tanpa berpikir lebih lama, Luke segera beranjak untuk membuka pintu pagar rumahnya, dan melihat sosok Chizuru yang tampak gusar. Sorot matanya melihat hidung Luke, dan terlihat bersalah di situ.
"Apakah ada sesuatu yang terjadi, sampai kau ke sini?" tanya Luke cemas.
Chizuru mengerjap gugup sambil meremas kedua tangannya. Dia terlihat kebingungan dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya, hal itu membuat Luke menjadi salah tingkah.
"Apakah ada sesuatu yang terjadi?" tanya Luke lagi.
Chizuru mengangguk sambil menatap Luke ragu.
"Apa kau ingin menghajarku lagi, karena merasa belum puas memukulku tadi?" tebak Luke sambil meringis ngilu.
Chizuru menggeleng tegas. "Bu... bukan itu."
Luke terdiam dan menatap Chizuru dengan alis berkerut bingung. Wanita itu sepertinya merasa malu dan ragu untuk menyampaikan jawabannya. Sampai akhirnya, Luke mencoba kembali menebak.
"Apakah... listrik di rumahmu bermasalah?" tebak Luke.
Chizuru menggigit bibir bawahnya sambil menggeleng. "Bukan."
"Lalu? Ada apa?"
"Aku... itu... mmm.. anu..."
Alis Luke semakin berkerut tidak mengerti. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil berpikir keras apa yang ingin disampaikan Chizuru padanya.
"Mesin cucimu rusak?"
"Bukan."
"Kompormu bermasalah?"
"Bukan."
"Lantaimu kotor dan kau sudah lelah untuk membersihkan?"
"Bukan itu!"
"Lampu di rumahmu mati dan harus diganti?"
Mata Chizuru melebar senang dan dia tersenyum lega. "Iya."
Astaga! Luke menghembuskan napas lega ketika tebakannya benar. Wanita itu tidak menyukai kegelapan, dan akan segera berlari untuk mencari pertolongan. Jika tidak, Chizuru tidak akan mungkin datang menyambanginya seorang diri, dengan ekspresi tidak nyaman seperti ini. Bisa jadi dia merasa bersalah, namun masih berani meminta pertolongan pada Luke.
"Baiklah. Tunggu disini sebentar, aku akan mengambil jaket," ucap Luke sambil melebarkan pagar rumahnya, dan segera berlari ke dalam rumah.
Dia tidak ingin jika ada tetangga yang melihat kedatangan Chizuru ke rumahnya, lalu menjadi bahan pembicaraan ala orang Asia yang menyebalkan. Tak lama kemudian, Luke kembali dan menghampiri Chizuru yang masih berdiri di posisinya dengan kikuk.
Luke memakaikan jaket miliknya pada Chizuru, sebab wanita itu masih mengenakan terusan yang akan membuatnya kedinginan. Sementara angin malam cukup kencang.
"Tidak usah, nanti kau kedinginan," tolak Chizuru dengan suara mencicit.
"Aku sudah cukup hangat. Lebih baik kau memakai jaket itu, supaya kita bisa ke rumahmu untuk mengganti bohlam lampu," balas Luke.
Chizuru mengangguk saja dan mengikuti langkah Luke yang sudah berjalan keluar. Tidak ada perbincangan di antara keduanya, dan Luke pun tidak berniat untuk memulai pembicaraan. Rasa canggung tercipta, dan keduanya berusaha mengabaikan keadaan itu.
"Apakah kau memiliki stok bohlam?" tanya Luke untuk sekedar memastikan.
"Ada di laci dapur," jawab Chizuru langsung.
"Memangnya lampu di ruangan mana yang mati?" tanya Luke lagi.
"Ruang tamu," jawabnya.
Hening kembali dan Luke tidak merasa harus melanjutkan pembicaraan itu. Ketika mereka tiba di rumah, Luke meminta Chizuru untuk menunggu di teras dan jangan di luar rumah. Dia segera masuk ke dalam rumah, menuju ke lemari dan membuka laci yang menyediakan stok bohlam baru, lalu mengganti bohlam lampu ruang tamu dalam hitungan detik.
Luke menyalakan saklar lampu, dan lampu pun menyala. Dia memanggil Chizuru dan wanita itu pun masuk.
"Apa yang kau lakukan jika aku tidak ada di sini? Maksudku, jika ada kejadian yang seperti ini, siapa yang akan kau cari?" tanya Luke kemudian.
Chizuru mengerjap ragu dengan wajah merona. "Aku akan menelepon Ayumi, atau mencari ibumu."
Luke tertegun. Astaga! Bagaimana mungkin wanita itu bisa bertahan hidup sendirian, dengan kebiasaan yang tidak pernah hilang? Luke merasa tertampar dan perasaan bersalah kembali menyeruak dalam dirinya.
"Baiklah, Sensei. Apakah ada lagi yang harus kubantu, sebelum aku pulang?" tanya Luke akhirnya.
Chizuru menatapnya dengan penuh arti, lalu menggeleng pelan.
"Kalau begitu aku pulang," ucap Luke sambil beranjak.
Dia hendak melewati Chizuru, tapi wanita itu menahan langkahnya dengan mencengkeram lengannya. Buru-buru Luke menoleh dengan perasaan waswas sekarang. Mau apalagi dia? Pikirnya cemas.
"Aku..."
"Ada apa lagi, Sensei?" tanyanya pelan, sambil menatap Chizuru dengan alis berkerut.
"Terima kasih untuk bantuanmu. Maaf jika aku merepotkan," jawab Chizuru.
"Tidak usah sungkan," balas Luke ramah. "Jika kau membutuhkan sesuatu, kau bisa mencariku lagi. Sebisa mungkin, aku akan membantumu."
Mata Chizuru mulai berkaca-kaca sambil mengeratkan cengkeraman pada lengan Luke. "Maafkan aku, Luke. Aku sudah menyakitimu."
"Jangan meminta maaf padaku, aku yang sudah berlaku kurang ajar. Sudah sepantasnya aku mendapatkan pukulanmu," ujar Luke menenangkan, sambil menepuk ringan tangan Chizuru pada lengannya.
"Benarkah?"
"Iya."
"Lain kali jangan mengulangi hal yang seperti itu," ucap Chizuru dengan bibir menekuk cemberut. "Kau tidak boleh mencium wanita dengan sembarangan, karena ciuman tidak bisa dilakukan tanpa memiliki perasaan di dalamnya."
Luke tersenyum hambar mendengar teguran Chizuru barusan. Dia menatap Chizuru dengan dalam, sambil melayangkan satu usapan pada pucuk kepala wanita itu dengan seluruh perasaannya.
"Asal kau tahu, aku tidak mencium wanita dengan sembarangan. Ciuman yang kulakukan justru penuh perasaan, dan berharap perasaanku tersampaikan, lewat dari kelembutan yang kulakukan."
Chizuru tertegun menatapnya dan melepaskan cengkeraman di lengan Luke, lalu mundur dua langkah untuk menjauhinya. "A.. Apa?"
"Kalaupun nantinya aku mengulangi hal itu, aku tidak akan bermain lembut. Aku akan melakukannya dengan keras dan menuntut, seperti halnya perasaanku yang begitu keras kepala dalam menentukan pilihan yang itu-itu saja selama ini. Dan jika itu terjadi, maka kesabaranku sudah habis," ucap Luke dengan penuh penekanan.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Suamiku pernah bilang kalo aku itu bolot dan lola.
Jadi satu2nya cara untuk menyampaikan apa yang dia maksud, salah satunya adalah ngegas dan gercep 😏
Emang modus aja dia tuh. Dasar!
Tapi modusnya bekerja dengan cepat, sehingga aku jadi ketularan mesumnya.
Jadi, hati-hati yah, genks.
Mesum bole, asal udah halal 💜
Kalo belum halal, apakah bole mesum?
Bole tapi ingat! PAS FOTO AJA.. 😆
23.04.19 (08.59 AM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top