Part 1 - My lovable Sensei
Luke kembali berdecak untuk yang kesekian kalinya ketika dia menapaki kampung halaman, tempat kelahirannya. Dia sudah bersikeras untuk tidak mau kembali ke Tokyo.
Tidak asyik sama sekali, gerutunya berkepanjangan.
Tadinya dia ingin ikut Brant saja yang akan mengunjungi istri kecilnya yang sedang hamil besar itu, atau Russell yang akan berkunjung ke Roma. Hanya Darren yang tidak ingin diikutinya, karena pria sialan itu sedang kasmaran. Tentunya Luke tidak mau sampai gigit jari dan memperlihatkan kecemburuannya.
Intinya Luke dengan amat sangat terpaksa sudah tiba di Tokyo, karena ancaman kedua orangtua paling laknat sepanjang masa. Paul dan Naomi. Cih! Menyebut nama orangtuanya dalam hati saja, sudah membuat Luke sewot.
Perayaan Thanksgiving itu seakan menjadi momen paling dibenci Luke, karena katanya keluarga harus berkumpul untuk menikmati ayam kalkun. Sedangkan Luke membenci ayam jelek yang menjadi hidangan wajib di hari itu.
Belum lagi tradisi perayaan lainnya yang menuntutnya untuk harus menghadirinya, jika tidak? Katana milik ibunya akan segera dikeluarkan dan terarah tepat pada biji matanya. Rasanya Luke ingin kembali pada rahim sialan milik ibunya karena menyesal telah dilahirkan dari ibu yang tidak memiliki hati itu. Dan hal yang paling dirutukinya adalah sperma milik ayah bajingannya, yang seolah tidak tahu tempat dimana dia harus membuangnya sampai tersesat dalam rahim wanita yang bernama Naomi Wilshiro.
Paul Johansson, itulah nama ayahnya. Namun kenapa nama belakangnya bisa menjadi Wilson, dan bukan Johansson? Jika kalian membaca nama lengkap yang sudah disebutkan Luke tadi, maka kalian akan tahu maksud dari nama belakang Luke yang sampai saat ini membuatnya bergidik jijik.
Wilshiro dan Johansson dipersatukan dalam singkatan Wilson. Sedangkan Luke adalah nama anak yang memiliki nasib paling sial karena harus terpilih menjadi anak dari dua orang yang tidak bisa dibilang sebagai orangtua, namun lebih tepatnya sebagai pemegang kunci gerbang neraka.
Tidak ada hal yang disukai Luke dari kehidupannya. Dia merasa senang hanya jika bersama dengan teman-temannya, dan para bosnya. Sedangkan keluarganya? Luke hanya bisa mendengus tidak suka. Apalagi jika itu berhubungan dengan kampung halamannya.
Baru saja dia menapaki kota itu, namun sudah harus dipertemukan dengan orang yang paling dihindarinya. Dia merasa kesialannya tidak ada habisnya hari ini. Bagaimana tidak? Belum sampai ke rumahnya saja, dia sudah harus berpapasan dengan wanita yang bernama Chizuru Hasegawa.
Dia sudah memperhatikan sosok mungil itu yang sedang kesusahan membawa barang belanjaannya. Tadinya, Luke mau mengabaikannya saja. Tapi ternyata, wanita itu malah terjatuh karena berani mati untuk lari menuju ke rumahnya dengan heels tinggi yang dikenakan, lalu menangis ketika melihat tanah merah dan bungkusan pupuk yang menguar kemana-mana.
Tidak ada yang berubah dari Chizuru. Bahkan Luke melihat kalau wanita itu seakan tidak menua. Chizuru tampak belia dengan wajah cantiknya yang babyface dengan sepasang mata bulat berwarna hitam pekat yang begitu indah, pipi yang merona, dan senyuman hangat yang begitu ceria. Suaranya begitu lembut dan dia memanggil Luke dengan panggilan nama kecilnya. Luke membenci nama itu.
Shinichi Kuga, itu namanya. Tadinya Luke menyukai nama itu. Tapi begitu dia mendengar darimana asal mula namanya itu, dia menjadi kesal setengah mati.
Namanya itu diambil dari dua tokoh komik kesukaan ibunya, yaitu Shinichi Kudo dan Naoki Kuga. Shinichi Kudo yang berperan sebagai detektif cilik yang cerdik dan pintar, sementara Naoki Kuga yang berperan sebagai murid jenius yang bermasalah dan jatuh cinta pada guru perawatnya sendiri.
Makanya tidak heran jika hidupnya penuh dengan drama ala komik jepang yang menjengkelkan. Untuk itulah, dia memilih untuk memakai nama Luke Wilson yang berarti anak tidak beruntung dari orangtua terlaknat. Setidaknya itu sesuai kenyataan, dan bukan dari komik.
"Terima kasih, Shinichi-kun. Aku berhutang sangat banyak sekali padamu," sebuah suara yang begitu bersemangat terdengar ceria dari balik bahunya.
Dia baru saja menaruh satu sak tanah merah, tiga pak pupuk baru, dan lima buah plastik benih dari toko yang ada di ujung jalan, pada teras rumah milik Chizuru. Bisa dibayangkan jika barang sebanyak dan seberat itu dibawa oleh wanita mungil itu? Tingginya bahkan tidak lebih dari 160 cm dan tubuh langsingnya yang sepertinya tidak mencapai 50 kg itu.
"Kau harus menghentikan kebiasaanmu untuk membawa barang yang lebih berat darimu, sensei," ujar Luke dengan datar.
Chizuru tersenyum lebar. "Kau memang anak yang sangat baik. Selalu mengingatkanku seperti itu. Terima kasih."
Ketika tangan Chizuru terangkat untuk mengelus kepalanya, Luke langsung menjauh untuk menghindari sentuhannya. Dia tidak suka diperlakukan seperti anak kecil, dan apa yang dilakukan Chizuru selalu membuatnya merasa tidak setara dengan dirinya. Cih!
"Cukup ucapkan saja terima kasihmu, tidak usah menyentuh kepalaku! Aku bukan anak kecil!" celetuk Luke ketus.
Seperti biasa, meski sudah diketusi oleh Luke, senyuman Chizuru tidak memudar, malahan semakin melebar. Sepertinya, urat rasa tersinggung dan urat rasa tidak terima dalam tubuh Chizuru terlupakan oleh Tuhan, karena wanita itu tidak pernah menunjukkan reaksi seperti itu sepanjang Luke mengenalnya.
"Tentu saja kau bukan anak kecil. Kau sudah bertumbuh menjadi pria dewasa yang gagah dan tampan, tapi sikap ketus dan galakmu harus dikurangi. Nanti tidak ada gadis yang menyukaimu," balas Chizuru dengan senang hati.
Luke tersenyum hambar. "Aku bersikap ramah dan senang pun, tetap ditolak."
Barusan itu sudah jelas adalah sebuah sindiran, tapi wanita itu malah masih terkekeh geli dengan wajah tidak berdosanya. Ya Lord, Chizuru seperti anak remaja yang terjebak dalam tubuh wanita yang berusia 33 tahun.
"Sepertinya kau kurang berusaha, makanya ditolak. Kau itu anak baik, tidak usah berkecil hati. Nanti akan ada gadis yang bisa menerimamu apa adanya," ujar Chizuru yang malahan memberikan petuahnya.
Luke kurang berusaha katanya? Heck! Rasanya Luke ingin membongkar isi kepala Chizuru untuk membetulkan syaraf memorinya yang sudah terputus di dalam.
Luke mencari perhatian dengan menjadi anak bimbel kesayangannya, mendapatkan nilai tertinggi, menjadi murid terbaik, dan membelikan sebuah cincin untuk menyatakan perasaannya dari hasil uang tabungannya. Tapi apa yang dibalas dari wanita itu? Dengan tidak memahami perasaan Luke, dia bilang kalau hanya menganggapnya seperti seorang adik dan murid kesayangannya. Dan setelah menolak dirinya, Luke dikejutkan dengan kabar bahwa wanita akan menikah dengan kekasih jauhnya yang adalah seorang militer. Shit! Jadi siapa yang menjadi penjahatnya disini?
Ironisnya, tersangka utama itu mengatakan kalau dirinya kurang berusaha, dan kini sedang bersenandung ria menyusun pupuk dan bibit di sudut terasnya, sama sekali tidak memperhatikan ekspresi wajah Luke yang tidak senang.
"Kalau begitu aku permisi," ucap Luke dingin.
Chizuru menoleh kearahnya dengan alis berkerut. "Jangan dulu, Shinichi-kun. Minum teh dulu dan mengobrol bersamaku, kita sudah lama tidak..."
"Aku tidak mau!" sela Luke tegas. "Orangtuaku sudah menunggu."
Chizuru tertegun dan menatapnya dengan sorot mata sedih disana. Ck! Menjengkelkan, batinnya kesal. Kenapa dia harus memasang ekspresi sedih begitu? Seharusnya Luke yang harus merasa seperti itu.
"Baiklah, Shinichi-kun. Senang bertemu denganmu," ujar Chizuru dengan ramah.
"Sama-sama," balas Luke dan langsung memutar tubuhnya kearah pagar, tapi belum sempat melangkah, Luke kembali menoleh kearah Chizuru yang masih memperhatikannya.
"Ada apa?" tanya Chizuru kemudian.
"Jangan pernah memanggilku dengan nama itu lagi," jawab Luke langsung. "Namaku Luke."
Chizuru mengerjap tidak mengerti. "Kenapa begitu? Itu adalah nama yang bagus."
Luke menyeringai sinis. "Tidak. Aku tidak suka nama itu. Nama yang jelas-jelas hanya membuatku teringat dengan orang yang sudah menolak perasaanku dan bersikap santai seolah tidak ada apa-apa setelahnya. Lagipula, Shinichi yang kau kenal itu sudah mati."
Tanpa menunggu balasan Chizuru, Luke kembali memutar tubuhnya dan melangkah keluar dari halaman rumah wanita itu tanpa ragu. Perasaannya tidak menentu, dia kembali merasa kesal, dan merasa harus menuntut orangtuanya karena sudah mengancam dirinya jika tidak pulang ke rumah.
Niatnya saat ini adalah makan kalkun sialan itu dan segera pergi dari situ, lalu memberi kunjungan kepada salah satu temannya dan mengusili mereka.
Rumahnya tampak lengang dan tidak banyak yang berubah. Tetap saja tidak menyenangkan seperti safe house milik keluarga besar para tetingginya.
"Kau terlambat!" seru suara lantang dari dalam rumah.
Luke hanya memutar bola matanya sambil mendengus, dia melangkah masuk ke dalam rumah dan sudah ada sepasang orangtua yang menatapnya dengan tatapan mendelik tajam.
"Darimana saja kau? Seharusnya kau sudah tiba disini sejak dari setengah jam yang lalu!" desis ibunya yang bernama Naomi, dengan mata menyipit tajam kearahnya.
"Membantu tetangga bodoh yang sedang kesusahan," jawab Luke enteng sambil menghampiri ibunya dan memeluknya singkat.
"Tetangga bodoh?" tanya ayahnya, Paul, dengan alis berkerut bingung.
Luke hanya mengangkat bahunya dan kini menghampiri ayahnya untuk memberi pelukan basa basi.
"Apa maksudmu adalah Chizuru?" tanya Naomi langsung.
Paul mengangkat alisnya mendengar pertanyaan Naomi, sementara Luke hanya melengos saja sambil berjalan menuju ke ruang makan.
"Apa yang dilakukan anak itu dan kenapa kau mengatainya bodoh?" kini giliran Paul yang bertanya.
Kedua orangtuanya sudah menyusulnya dan duduk di meja makan bertiga. Hmmm... ritual setahun sekali yang membosankan, batinnya. Dia bahkan masih suka bertemu dengan ayahnya ketika bekerja, atau ibunya ketika memberikan kunjungan yang tidak diperlukan.
"Kurasa dia kembali membeli bibit baru, kudengar Yura-chan baru mendapat bibit baru untuk dijual, dan sudah pasti Chizuru akan menjadi orang pertama yang membelinya." Naomi mulai bercerita sambil mengambilkan nasi untuk Paul dan Luke.
"Aku tidak percaya kalau masih ada orang yang senang bercocok tanam. Dia hanya ingin menikmati sayuran hasil tanamannya sendiri," gumam Paul dengan wajah penuh simpati.
"Mau bagaimana lagi? Itu adalah caranya untuk melupakan kenyataan yang masih tidak bisa diterimanya." balas Naomi lagi.
Luke yang hendak menyuapi dirinya dengan makanan, langsung menghentikan gerakannya dan mendongak kearah ibunya.
"Apa maksudmu, Mom?" tanya Luke bingung.
Naomi melihat kearahnya dan hanya memberikan tatapan datar, sementara Paul sedang memperhatikannya dengan tatapan menilai.
"Memangnya kau tidak tahu kalau mantan guru bimbelmu itu mengalami hal yang tidak menyenangkan?" tanya Paul dengan nada mengejek. "Atau kau yang berlagak tidak tahu menahu soal dirinya, padahal kau selalu mencari info tentang mantan gebetan yang tidak kesampaian?"
"Dad!" seru Luke dengan wajah busuknya. "Bisakah kau tidak sekali saja menghinaku?"
"Apakah barusan aku menghinanya, sayang?" tanya Paul kearah Naomi dengan sorot mata tajam.
"Mungkin dia masih jetlag. Abaikan saja," jawab Naomi acuh.
See? Mempunyai orangtua seperti Paul dan Naomi, bukanlah hal yang menyenangkan Luke. Dia kerap kali menjadi bahan ejekan orangtuanya dan korban kekerasan dalam keluarga mereka. Dengan dalih bahwa anak laki-laki harus kuat, maka mereka mendidiknya dengan begitu keras.
"Sehabis makan malam, aku akan pergi." ujar Luke kemudian sambil menahan diri untuk tidak melampiaskan kekesalannya.
Naomi menaruh alat makannya dengan kasar dan keras. Shit! Sepertinya wanita tua itu akan mengamuk padanya.
"Kau baru tiba dan sudah bilang akan pergi? Anak macam apa kau yang sama sekali tidak mau melewati waktu dengan keluarga?!" seru Naomi dengan lantang.
"Aku tidak ingin mengganggu kebersamaanmu dengan Dad," balas Luke sekalem mungkin.
Paul memberikan kode tangan pada Naomi agar menghentikan ocehannya ketika Naomi akan membalas Luke.
Luke pun mengabaikan kekesalan ibunya dan tatapan ayahnya yang menilainya dengan seksama. Dia menekuni makan malam yang... begitulah! Selama dua puluh delapan tahun hidupnya, ibunya masih belum becus mengolah ayam panggang itu. Kalau tahun kemarin rasanya keasinan dan gosong, tahun ini rasanya hambar dan kurang matang. Ck!
Tetap saja Luke tidak ada pilihan lain selain menelannya, daripada dia harus terkena sambitan pisau-pisau kecil milik ibunya karena merasa tersinggung jika makanannya tidak dihabiskan.
Makan malam itu berlangsung hening dan tidak ada pembicaraan yang berarti, hanya suara dentingan sendok garpu yang begitu kencang yang dilakukan ibunya.
"Haish! Bisakah kau hentikan suara sendok garpumu yang mengganggu, Mom? Aku akan tinggal disini selama beberapa hari, puas?!" desak Luke kesal sambil menatap ibunya dengan ekspresi terganggu.
Ibunya langsung menatap kearahnya dan dentingan yang menyebalkan itu terhenti. Ekspresi ibunya langsung kembali sumringah lalu tersenyum seperti iblis yang baru saja mendapat mangsanya untuk dikerjai. Sedangkan ayahnya hanya terkekeh saja.
"Kalau begitu kau harus membantuku untuk mengawasi Mariko Obaa-San. Dia perlu dijaga karena semakin tidak bisa dibilangi, sedangkan Ally tidak bisa mengawasi neneknya lantaran masih sibuk mengurus cucunya yang baru lahir." Ujar Naomi dengan nada penuh otoritas.
Mariko Yoshizawa, wanita tua yang merupakan nenek dari Allison Marie Smith, istri dari petinggi senior Eagle Eye, yaitu Ashton Hugh Tristan. Bos besar dari ayahnya, dimana Luke sebagai orang kepercayaan putra Ashton yaitu Petra.
Ibunya, Naomi, memang sudah menjaga Mariko sejak muda karena mereka memang bertetangga. Juga Naomi adalah teman main Ally selama Ally bersekolah di Jepang.
"Memangnya kau mau kemana?" tanya Luke heran.
"Aku dan ayahmu harus menghadiri acara keluarga yang membosankan di Hokkaido. Daripada aku memintamu untuk mewakili kami kesana, lebih baik kau yang disini saja mengawasi Mariko." jawab Naomi santai.
"Bukankah ada banyak anak buah Dad yang ditugaskan untuk menjaga Obaa-San?" tanya Luke kembali.
"Anak buah banyak yang tidak berguna," jawab Paul tanpa beban. "Lagipula Mariko sudah seperti nenekmu sendiri, Luke. Jangan perhitungan."
"Aku bukan perhitungan, hanya bertanya. Jika memang seperti itu, baiklah. Aku akan menjaganya," ujar Luke lalu meneguk minumannya.
"Omong-omong, kapan kau akan mengenalkan kami pada kekasihmu? Aku ingin kau segera menikah dan memberi kami cucu," celetuk Naomi kemudian.
"Soal cucu itu mudah. Aku tinggal menyebar spermaku ke wanita mana saja untuk dibuahi dalam rahimnya," jawab Luke santai.
BUKK!
Luke meringis sambil mengumpat kasar ketika sebuah lemparan keras mendarat di kepalanya. Barusan ibunya melemparnya dengan sebuah mangkuk keramik. Shit!
"Kenapa kau memukulku?" seru Luke berang sambil mengusap kepalanya.
"Karena kau sudah bersikap kurang ajar pada ibumu!" sahut Naomi dengan nada keras.
"Wanita mana yang mau denganku, jika tahu kalau dia akan mendapatkan mertua sepertimu?!"
Luke langsung bergerak cepat untuk beranjak dari kursinya dan meraih piring kosong yang ada didekatnya, untuk menghalau lemparan pisau makan dari ibunya sebanyak beberapa kali.
"Naomi, sudahlah!" tegur Paul dengan nada tinggi, sehingga hal itu cukup membuat Naomi menghentikan lemparannya.
"Apa kau tidak dengar apa jawabannya?" seru Naomi tidak terima.
"Kau sudah tahu kalau Luke senang bercanda. Lagipula kenapa kau harus terus bersikap keras padanya? Inilah alasannya kenapa anak itu tidak pernah mau pulang ke rumah!" balas Paul sengit.
"Kata siapa? Dia tidak mau pulang bukan karena diriku, tapi karena dirinya yang tidak mau menerima penolakan dari wanita yang lebih cocok menjadi kakaknya, daripada kekasihnya!" desis Naomi kejam.
Damn! Luke melebarkan matanya dan menatap Naomi dengan amarah yang sudah meluap. Dia bahkan membanting piring yang digenggamnya ke lantai sehingga pecah berkeping-keping.
Dia menggertakkan giginya dengan kedua tangan terkepal di sisi tubuhnya, ekspresinya menegang, rahangnya mengetat, dan sorot matanya melotot galak kearah Naomi.
"Ada apa, Luke? Kau ingin membunuhku sebagai pembalasan karena apa yang kukatakan barusan benar?" ucap Naomi dengan alis terangkat menantang.
"Aku tidak percaya kalau aku dilahirkan dari seorang ibu yang keji seperti dirimu," tukas Luke dengan suara dingin.
"Luke!" tegur Paul dengan tegas. "Kau tidak pantas untuk mengatai ibumu seperti itu!"
"Lalu kalian merasa pantas karena kalian adalah orangtuaku? Aku muak dengan hubungan keluarga yang tidak seperti kebanyakan orang! Kalian hanya memerintah, membentak, memukul, dan melakukan kekerasan padaku, jika ada pelanggaran yang kulakukan! " sahut Luke geram.
Naomi semakin naik pitam. "Kau benar-benar ingin... apa-apaan kau, Luke?
Luke menyela ucapan ibunya dengan menarik pistol yang terselip di pinggangnya, lalu melempar pistol itu tepat di depan Naomi. Baik Paul dan Naomi tersentak kaget melihatnya.
"Bunuh aku jika kau mau! Aku tidak peduli! Dengan atau tanpa kehadiranku, kurasa kalian tidak akan peduli." ucap Luke yang semakin menggeram.
"Kau tidak..."
"Aku sudah tidak mau mendengar apa-apa lagi!" seru Luke kencang.
Naomi dan Paul bungkam. Luke benar-benar merasa tidak senang setiap kali dia berada di dalam rumah itu. Tidak ada suasana harmonis yang terasa ataupun kehangatan diantara mereka. Dan inilah yang selalu terjadi diantara mereka setiap kali bertemu dalam tradisi keluarga yang sama sekali tidak perlu dirayakan mereka.
"Aku akan pergi untuk mencari udara segar. Aku akan kembali jika kalian sudah berangkat ke Hokkaido, dan menjaga Obaa-San sampai kalian kembali." ucap Luke dingin lalu berjalan keluar untuk meninggalkan mereka berdua.
Ekspresi Luke saat ini begitu mengesalkan, dan dia berniat untuk pergi ke warung tenda menikmati sake. Dia berniat untuk menghilangkan penat. Namun ketika dia hendak membelok untuk menuju kearah jalan raya, disitu dia melihat sosok Chizuru berdiri di depan pagar rumahnya sendiri.
Luke memperhatikan ekspresi Chizuru yang terlihat cemas dan takut. Dia juga kebingungan, seperti anak hilang yang tidak tahu kemana arah pulang. Dia mencoba berjalan untuk mendekat, melihat ada apa yang terjadi dengan wanita itu. Barulah ketika dia sudah bisa berdiri lebih dekat, disitu Luke melihat kalau rumah wanita itu gelap gulita.
"Kenapa kau berdiri disini, sensei?" tanya Luke heran.
Chizuru mengerjap kaget dan menoleh kearahnya dengan pekikan kencang. Wanita itu seperti ketakutan karena rasa kaget yang dialaminya.
"Maaf kalau aku mengagetkanmu," gumam Luke pelan sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
Chizuru menatapnya sambil menangkup dadanya dengan tangan gemetar. Ekspresinya seperti ingin menangis karena matanya sudah berkaca-kaca. Dia tidak mampu bersuara, tapi ada kesan lega dari sorot matanya yang menatap Luke sekarang.
"Ada apa dengan rumahmu? Kenapa gelap gulita di dalam sana? Kau kan phobia gelap," tanya Luke lagi sambil menoleh kearah rumah wanita itu.
"I.. itu... anu..." Chizuru gelagapan. Dia terlihat kebingungan selama sesaat lalu menarik nafasnya dalam-dalam. "Aku tadi... mencoba menyalakan mesin cuci lalu.. tiba-tiba gelap."
Luke mengangkat alisnya seolah mengerti apa masalahnya. Sepertinya terjadi pemutusan arus pendek karena mesin cucinya bermasalah.
"Tunggu disini," ujar Luke menenangkan.
Dia pun melangkah masuk ke dalam rumah wanita itu, dan mencari box panel listrik untuk mengecek sesuatu. Ada satu MCB yang turun dari beberapa MCB yang berjejer di dalam box panel itu. Ketika dia mendorong naik MCB yang turun, lampu-lampu yang ada di rumah itu langsung menyala.
Luke pun kembali pada Chizuru yang masih berdiri disitu. Wanita itu sudah mulai tersenyum dan terlihat lega.
"Terima kasih." ucapnya penuh dengan kelegaan.
Luke mengangguk saja. "Kurasa mesin cucimu bermasalah, mau kubantu untuk melihat mesin itu?"
Chizuru langsung mengangguk cepat. "Tentu saja. Terima kasih."
Wanita itu memimpin dirinya untuk masuk ke dalam rumahnya sambil bersuara dengan riang. Tidak ada yang berubah dari rumah itu, hanya saja pekarangan dan halaman belakang rumah itu lebih luas dengan tanaman yang jauh lebih banyak.
Nuansa bunga-bunga memenuhi dekorasi interior rumah itu. Wanita itu pecinta bunga dan sangat mengagumi hal yang berbau tanaman. Dia juga menyukai buatan tangan seperti merajut, menjahit, memasak, dan membaca buku. Cita-citanya adalah merawat sesuatu agar bisa berkembang dengan baik, salah satunya adalah bercocok tanam. Dia juga senang dengan pekerjaannya sebagai guru TK dan memberikan bimbel kepada beberapa tetngga sedari muda. Salah satunya adalah Luke.
Luke mengikuti Chizuru yang menunjukkan letak mesin cucinya dan langsung bekerja untuk mengecek mesin itu. Luke memperhatikan bahwa mesin itu tidak adanya grounding, dan hanya menggunakan stop kontak fleksibel saja. Makanya tidak heran jika terjadi pemutus arus pendek secara tiba-tiba.
"Mesin cucimu tidak dipasang grounding dan seharusnya diinstalasi dengan jalur grounding yang terorganisir, bukan hanya mesin cucimu saja, tapi semua barang elektronikmu. Tujuannya agar semua barang yang kau miliki terhindar dari kerusakan akibat petir dan membuang tegangan induksi dari dinamo," ujar Luke menjelaskan lalu menoleh kearah Chizuru.
Okay! Dari sini Luke bisa melihat ekspresi wanita itu yang tidak memahami apa yang diucapkannya. Sorot matanya kebingungan, alisnya berkerut, dan dia menggaruk kepalanya. Kembali lagi kalau semuanya adalah salah Luke yang menjelaskan hal secara teknikal, dimana wanita itu sedikit lama dalam mencerna pembicaraan oranglain tentang hal yang tidak dikuasainya.
"Mmm.. aku akan coba untuk... mmmm..."
Luke menghela nafas dan menatap Chizuru tanpa ekspresi. "Aku akan membantumu untuk membuat jalur grounding, dan akan membereskan instalasi listrik di rumahmu."
Mata Chizuru melebar kaget mendengar ucapan Luke barusan. Bisa jadi, dia tidak menyangka kalau Luke akan menawarkan bantuan seperti barusan. Jika boleh jujur, Luke pun juga tidak sadar telah mengeluarkan ucapan seperti barusan. Damn! Dia mendadak menyesal.
"Terima kasih, Luke. Kau memang anak yang baik," ucap Chizuru dengan suara tercekat.
Luke tertegun ketika melihat ekspresi haru Chizuru yang begitu sedih dan lega disaat yang bersamaan. Wanita itu bahkan sudah mulai terisak. Ya Lord... Luke menahan nafasnya lalu mengalihkan tatapannya kearah lain.
Apa yang dilakukan wanita itu jika Luke tidak datang menghampirinya? Lalu kenapa dia tinggal sendirian disini? Dimana pria sialan yang dipilihnya sebagai suami? Kenapa malah meninggalkan istrinya yang penakut dan tidak bisa apa-apa ini tinggal sendirian? Begitu banyak pertanyaan yang terlintas dalam pikiran Luke, dan dia menjadi kesal karena rasa ingin tahunya yang mendalam.
Sejak wanita itu menolak dirinya, atau ketika dia masih berumur 18 tahun kala itu, Luke menghindarinya dan marah atas semua perhatian dan kelembutan yang diberikan wanita itu padanya. Luke tahu dia salah dalam mengartikan kebaikan wanita itu sehingga menaruh perasaan padanya. Dia pikir perasaan itu akan memudar karena jiwa mudanya yang menggebu atau sedang dalam masa puberitasnya yang konyol.
Nyatanya? Kesukaannya pada wanita memang selalu ingin seperti sosok Chizuru. Mungil, kalem, dan keibuan. Alhasil, dia selalu menyukai wanita yang jauh lebih tua diatasnya. Entahlah. Luke tidak menyukai wanita muda yang kerjanya hanya bisa merengek dan bersikap manja.
"Jangan menangis, Chizu. Aku tidak suka melihat airmatamu," ucap Luke kemudian.
Isakan pelan Chizuru terhenti dan wanita itu masih menatapnya dengan wajah yang sembap. Luke mendekatinya lalu memeluknya dengan erat, seolah hal itu bisa memberikan kelegaan dan kenyamanan bagi wanita itu.
"Luke..."
"Aku akan bekerja untuk membereskan urusan rumahmu, sehingga tidak akan ada mati lampu mendadak seperti tadi. Jangan menangis lagi yah," ujar Luke pelan lalu melepaskan pelukan itu.
Chizuru menatapnya dengan sepasang bola matanya yang bulat. Damn! Wajahnya yang tampak lebih muda dari usianya seakan membius Luke selama seperdekian detik untuk mengagumi kecantikan alamiah yang dimilikinya.
"Kalau begitu, aku akan membuatkan makanan kesukaanmu. Omurice dengan sup miso. Kau bekerja, aku akan memasak. Nanti kita akan makan bersama yah," ujar Chizuru sambil mengusap pipinya yang basah lalu tersenyum lebar.
Luke memberikan seulas senyuman dan mengusap kepala Chizuru dengan lembut. "Sudah deal yah."
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Kesel nggak sih sama cowok tengil ini?
Halo apa kabar semuanya?
Aku yakin kalian senantiasa sehat dan selalu berbahagia.
Jika belum, tutup matamu dan tarik nafas dalam-dalam,
Rasakan kehidupan yang masih bisa kau alami karena itu adalah anugerah yang tidak ternilai.
Cerita Luke ini adalah pembuka awal untuk minggu ini.
Slow update yah 💜
Ini kisah manis seperti judulnya.
Short story juga karena aku udah nggak mau tulis yang terlalu berat.
Niatku cuma satu :
Membuat kalian senang dan bisa merasakan kebahagiaan yang kurasakan.
Berhubung ini pake ala ala Jepang.
Dan berhubung aku lagi seneng sama Manga, wkwkwk kemungkinan aku akan upload gambar-gambar manga yang bikin baper 🙈
Ngomong-ngomong mau tanya,
Julid itu artinya apa sih?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top