Hari Pertama : Hottest Guy Of The Year Versi Majalah Teen Vogue

Aku benar-benar beruntung memiliki teman seperti Risa. Dia manis dan kaya, namun berlawanan dengan kebanyakan stereotipe cewek kaya raya yang cantik, Risa luar biasa baik hati.

Ngomong-ngomong, villa itu benar-benar tidak mengecewakan. Luas, modern, dan perabotannya high-class, namun tidak menimbulkan nuansa kaku. Interior ruangan-ruangannya bernuansa kayu dengan warna hangat, begitupun lantainya, dan jendela-jendela kacanya begitu besar sehingga kami bisa puas menikmati pemandangan luar yang indah. Di ruang tamu berjejer sofa-sofa besar yang nyaman dan empuk, mengelilingi meja bulat rendah di tengah ruangan, dan di satu sisi ruangan terdapat TV flat screen beserta perlengkapan elektroniknya yang serba lengkap dan canggih. Terdapat kolam renang yang menyatu dengan dengan teras belakang. Dapurnya modern, dengan kitchen set yang pasti bakal jadi impian Mamaku, dan kulkasnya dua pintu!

Setelah puas menggumi lantai bawah, kami naik ke lantai dua. Risa sudah mengatur kamar tidur utama sebagai kamar kami cewek-cewek nantinya. Kamar itu terletak di ujung paling kiri lantai dua rumah. Kami akan tidur bertiga sementara menurut Risa, kamar tidur anak-anak cowok terpisah jauh dari kamar kami.

Paling tidak aku bisa tenang soal yang satu ini. Alasan keamanan!

Kamar kami besar, memiliki tiga buah double bed yang masing-masing akan kami tempati sendirian. Di sebelah tempat tidur pertama yang kulihat, sudah bertengger koper-koper Risa, yang kalau ukuran seluruhnya digabung, akan sanggup memuat seekor anak gajah. Tak ketinggalan tas hitam milik Yuna di sudut kamar di sisi salah satu tempat tidur, tempat dia menyimpan gitarnya.

Kamar mandinya mewah dan super modern (ada jacuzzi-nya!), walk-in closet yang ekstra besar, penuh berisi baju-baju Risa (selain yang dibawanya dalam koper) yang keren-keren dan hampir sebagian besar merek desainer kenamaan, juga dengan label harga yang memiliki angka nol lebih dari lima digit. Dan semua itu bersedia dia pinjamkan kepada kami kapanpun, dan selama apapun kami mau. Nggak dibalikin pun mungkin bukan masalah besar baginya.

"Pilih aja!" begitu katanya saat aku melongo menatap isi lemari pakaiannya.

Seringkali aku berpikir, mungkin kebaikan hati Risa disebabkan kedua orangtuanya telah meninggal. Mereka meninggal dalam kecelakaan pesawat ketika hendak ke luar negeri untuk urusan pekerjaan (orangtua Risa adalah pemilik clothing-line batik kenamaan yang populer di Paris, FYI). Saat itu Risa masih berusia sebelas tahun. Risa bercerita padaku bahwa ibunya selalu sangat perhatian dan ayahnya juga selalu memanjakannya. Oleh karena itu, saat kepergian mereka berdua, Risa luar biasa terpukul dan kesepian. Tak mengherankan bila Risa tumbuh sebagai gadis yang lembut kepada siapa saja.

Risa dan kakaknya kemudian dirawat oleh Kakek-Nenek mereka. Perusahaan butik orangtua Risa pun sekarang diurus sementara oleh bibinya. Risa pun diberitahu, dia dan kakaknya boleh mengambil alih perusahaan itu apabila sudah lulus dari universitas nanti.

"Tapi gue udah mutusin. Gue nggak akan kuliah nanti. Gue mungkin bakalan sering bolak-balik ke Perancis. Dan lo berdua harus sering-sering ikut gue!" katanya suatu saat padaku dan Yuna.

Itu tandanya mungkin Risa bakal berbaik hati menerbangkanku dan Yuna ke Perancis untuk menginap di apartemennya di sana secara cuma-cuma. Akomodasi penuh.

"Gimana kamarnya? Nggak apa-apa kan kita tidur bertiga? Emang sih jadi agak sempit tapi... gue agak takut tidur sendiri.." Risa membuyarkan lamunanku.

"Sempit?" aku mengulang tak percaya. Aku menjatuhkan diri ke atas tempat tidur paling dekat jendela yang empuk, "Ris, ini lima kali ukuran ruang tamu rumah gue!"

Risa tertawa, ikut menjatuhkan diri di sampingku, "Barang-barang lo udah dibawa ke atas kan? Beresin yuk!"

Baru saja aku dan Risa mulai membongkar koper kami, terdengar suara klakson mobil dari bawah. Risa melonjak gembira.

"Pasti Reno sama Yuna!"

Kami buru-buru turun ke bawah, suara tawa Yuna yang khas sudah terdengar dari sini. Ketika aku menginjak anak tangga terakhir, cewek tinggi-langsing itu menatapku berbinar-binar.

"Mika!" dia berlari memelukku, kemudian saat kami selesai berpelukan, aku menyadari perubahannya yang drastis sejak hari terakhir masuk sekolah beberapa minggu lalu.

"Yuna? Kok lo jadi keren gini?" tanyaku mengerjap-ngerjap menatapnya dari atas ke bawah.

Memang selama ini Yuna-lah yang paling kayak-model di antara kami bertiga. Dia (seperti yang kubilang) tinggi, langsing, rambut bergelombangnya tergerai alami sepunggung, kulitnya kecoklatan indah dan aku cinta gaya berpakaiannya.

Dengan penampilan se-ideal Yuna, orang-orang akan berpikir dia akan seperti kebanyakan gadis berusia tujuh belas tahun zaman now yang modis atau suka bergaya ala 'tante', but nope. Gaya Yuna kasual dan cuek. Entah bagaimana, kaus usang dan jins yang dia kenakan selalu terlihat keren di mataku. Bahkan seragam putih abu-abunya tidak pernah terlihat membosankan jika dikenakan olehnya. Yuna juga gitaris ngetop dalam band sekolah kami. Terutama di golongan kakak kelas laki-laki. Semua orang menyukainya karena dia cantik, supel, dan down-to-earth. Namun yang mengherankan, dia belum pernah pacaran sekalipun, walaupun jumlah cowok yang menembaknya dalam segala kesempatan sudah tak terhitung lagi, dari mulai yang culun, pintar, sampai ganteng mampus.

Tapi hari ini, Yuna tidak kelihatan secuek biasanya. Dia memakai blus putih lengan panjang yang jatuhnya bagus banget di tubuhnya, jins terang, dan Vans andalannya. Dan dia memakai sedikit make-up.

"Boleh dong kali-kali dandan dikit?" kata Yuna mengedip padaku.

"Ris, belanjaan taro di mana?" sebuah suara maskulin dari belakang Yuna mengalihkan perhatianku.

Seketika, aku menganga.

Makhluk yang berada di hadapanku itu benar-benar perwujudan ideal dari istilah sempurna. Kalau boleh berlebihan, cowok macam begini rasanya lebih pantas berada di sampul depan majalah Teen Vogue dengan tulisan besar-besar di atasnya yang berbunyi 'HOTTEST GUY OF THE YEAR'.

Rambut lurus cowok itu dipotong rapi dan bermodel belah tengah (dan ini belah tengah yang gaya, bukan yang cupu). Dia berkacamata, mengenakan kemeja abu-abu yang lengannya digulung santai, jins gelap dan sneakers. Kulitnya bersih, alis tebal, mata tajam, hidungnya mancung tanpa cela, bibirnya tipis dan merah muda alami, dan proporsi tubuhnya pas, tinggi dan lumayan built.

Sempurna. Perfecto. Benar-benar too good to be true.

Dia artis ya? bengongku.

"Ini Reno, abang gue." celetukan Risa menarikku kembali ke bumi. Dia mengabaikan pertanyaan dari abang malaikatnya itu tentang belanjaannya dan memperkenalkannya untuk pertama kalinya kepadaku dengan singkat.

'Ini Reno, abang gue' itu benar-benar pengenalan yang terlalu singkat bila dibandingkan dengan berbagai kelebihan yang dimiliki cowok itu. Kalau aku jadi Risa, aku pasti akan sedikit lebih deskriptif-defensif dengan bilang misalnya: 'Kenalin, ini Reno. Abang gue tersayang, makhluk paling sempurna di antara cowok manapun di muka bumi ini, dan awas... boleh liat, tapi nggak boleh sentuh!'

Pikiranku ngacoku lagi-lagi terputus ketika Risa kembali meneruskan, "Yuna udah beberapa kali ketemu Reno pas main ke rumah gue, Mik. Nah... Reno, ini Mika. Sohib gue yang udah sering gue certain ke elo itu!"

Apa dia bilang? pikirku parno, Risa sering nyeritain gue ke Reno? Abang supernya ini? Apa yang sering dia ceritain ke abangnya? Bukan yang aib-aib kan?

Reno lalu mengulurkan sebelah tangannya yang sedang tidak menenteng belanjaan padaku.

"Reno."

Suaranya juga... astaga. Tipe-tipe suara cowok yang pantas menjadi pengisi suara protagonis utama cowok di televisi. Ngerti kan?! Sesuai dengan tampilan fisiknya. Aku yakin kalau dia jadi penyiar radio atau bikin podcast, dijamin dia bakal populer sejadi-jadinya.

Aku membalas uluran tangannya, gugup setengah mati dan tipikalku, tidak berani memandang langsung mata lawan bicara yang baru pertama kali kukenal.

Terus terang, aura sempurna yang menguar dari Reno begitu mengintimidasi.

"Mika. Yang sering diceritain." aku mengenalkan diriku, setengah nervous, setengah menyindir Risa yang sibuk terkikik-kikik.

Reno hanya menanggapinya dengan mengangguk singkat. Datar dan cuek.

"Ris, belanjaan taro mana?" Reno bertanya lagi, agak jengkel.

"Oh iya. Taro dapur aja!" kata Risa, membuat Reno ngeloyor masuk ke dapur, lalu tak lama dia keluar kembali dan berjalan menyeberangi ruangan untuk menaiki tangga menuju lantai atas. Selama itu pula aku hanya bisa memperhatikannya.

"Nah! Girls, gimana kalo kita sekarang ke dapur buat makan siang? Di mana-mana yang namanya cowok kuliahan itu selalu nggak becus masak." Risa meredam kikikannya lalu merangkulku. Yuna nyengir. Sementara aku masih wonderstruck.

"Lo literally mangap terus pas ngeliat abang gue, Mik. Kalo gue ukur ada kali tuh sepuluh senti." Risa menyodok rusukku sembari memotong-motong tomat tipis-tipis di dapur, sekitar setengah jam kemudian.

"Ris..." aku hanya sanggup menggeleng-geleng, "...lo yakin dia bukan model yang tempo hari mejeng di sampul depan majalah model cowok yang kita liat di toko buku, terus somehow keluar dari majalah dan ngaku-ngaku jadi kakak lo?"

"Astaga..." Yuna meringis geli, "Lo lebay ah, perasaan si Reno nggak dewa-dewa amat. Cakep sih, cool sih, tapi ya nggak segitunya."

Apa? Yuna buta ya? Memang enak baginya bilang begitu, karena dirinya sendiri juga keren. 

"Percaya deh. Tujuh belas tahun punya kakak macem dia bisa bikin lo sengsara, gila bahkan! Cowok paling nyebelin, jaim, sok cool, kepinteran, kecakepan, kebangetan, semua ngumpul di dia! Belom tau aja lo!" ceplos Risa berapi-api.

Aku betul-betul menyangsikan kata-kata Risa.

"Menurut gue sih dia dewa banget." ungkapku jujur.

Risa mendesah. Namun perlahan, rautnya berubah serius.

"Tapi serius lo mikir gitu, Mik?"

"Big yes. Ganteng terdepan."

Risa tak bisa menyembunyikan wajah gembiranya, "Bagus deh. Terusin aja ngefansnya!"

Risa berbalik kembali menghadapi tomatnya sambil senyum-senyum sumringah sendiri. Sementara aku dan Yuna saling berpandangan, sama-sama bingung.



Bonus up dua chapter, ah.
Biar pada kenalan sama Reno :p

Voment, please!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top