Hari Pertama : Dari Mana Datangnya Orang-Orang Canggih Ini?
Siang harinya, meja makan sudah dipenuhi beragam masakan enak hasil karya kami bertiga, dibantu Mbok Ina. Dan tepat pukul dua belas, tiga makhluk canggih memasuki ruang makan.
Pertama, sosok yang tegap dan tinggi. Rambutnya cepak. Telinga sebelah kirinya ditindik. Garis-garis wajahnya tegas, membuatnya terlihat cowok banget. Dia mengenakan jins belel dan kaus Fall Out Boy bertuliskan 'SAVE ROCK 'N ROLL'. Dia nyengir ketika melihat Yuna dan Risa. Dan ketika pandangannya beralih padaku, ekspresinya agak bingung.
Kedua, cowok tampang bule yang bertubuh agak pendek dan berwajah cute. Rambutnya kecoklatan, matanya biru dan wajahnya mulus. Dia memakai jaket hijau muda longgar yang lengannya digulung sampai siku dengan gambar Garfield dipunggung. Dia menandak-nandak lincah mendekati meja makan dengan pandangan berbinar. Perawakan cowok ini sangat mirip dengan Risa yang juga mungil.
Ketiga, Reno, dan dengan segala kesempurnaan yang dianugerahkan Tuhan kepadanya, memasuki ruangan. Matanya fokus, tak lepas dari pocket book setebal empat tumpuk roti tawar yang sedang dibacanya.
"Rendang! Tempe goreng! Ayam kremes! Ooh, I love this country!" si cowok mungil berseru senang, terselip logat Australia yang kental di suaranya, "Kamu masak ini semua, Ris?"
"Bukan. Cuma bantuin motong-motong doang. Mika sama Mbok Ina yang berjasa besar!" katanya merangkulku. Kali ini pandangan si cowok mungil dan si cowok tegap sekaligus terarah padaku. Hanya Reno yang tampak cuek.
"Mika?!" si cowok mungil menebak jitu, "Yang sering diceritain Risa?!"
Seberapa sering sih gue dijadiin bahan omongan Risa sama temen-temennya?! batinku jengkel.
"I'm Bryan!" Bryan tersenyum lebar.
"Mika..." aku baru akan mengulurkan tanganku, namun dengan gesit Bryan memelukku. Aku mematung. Si cowok tegap dan Risa terbahak-bahak melihat ekspresiku sementara Bryan sendiri bingung.
"What?" tanyanya keheranan.
"Sadar dong, ini Indonesia, B. Nggak semua orang sini terbiasa sama kebiasaan Aussy slenge'an lo yang suka meluk-meluk orang sembarangan." si cowok tegap merangkul Bryan yang sekarang kelihatan kaget.
"Oh, sorry, Mika!"
Aku hanya bisa mengangguk sembari terkekeh gugup.
Kali ini si cowok tegap mengulurkan tangannya padaku, "Dennis. Sembilan belas. Drummer. Teliti dan cepat beradaptasi." katanya sambil memamerkan cengirannya yang keren.
"Barusan kenalan apa wawancara kerjaan?" Yuna terbahak.
"Abis lo kaku banget, Mik. Santai aja!" Dennis tergelak.
Makan siang berlangsung menyenangkan, walaupun aku baru mengenal ketiga cowok luar biasa itu, secara mengejutkan obrolan kami nyambung sehingga suasananya segera cair dan santai.
Dennis adalah cowok terasyik yang pernah kukenal. Dia tergabung di sebuah band indie-rock yang baru saja memulai proyek album perdana mereka, beberapa single mereka sudah rilis di SoundCloud dan lumayan populer. Dia sendiri sudah kenal drum sejak SD (pantas lengannya bagus banget). Namun yang mengejutkan, saat Risa memperdengarkan rekaman suara Dennis yang sudah lama dia simpan di ponselnya kepadaku, tak ada kata lain untuk menggambarkan suaranya. Keren. Suaranya dalam, agak rough tapi merdu. Begitu kutanya kenapa dia tidak merangkap vokalis untuk sekali waktu, dia menjawab, "Gebukin drum lebih asik. Pelampiasan stres sekalian olahraga. Nah vokalis? Kudu ngejaga makanan, minuman, latian vokal segala macem. Ribet." Dia memutar bola mata.
Bryan? Cowok ini pribadi yang menyenangkan. Dia suka bercanda, lincah, dan tawanya yang paling sering terdengar. Aku tadinya berpikir Bryan masih enam belas tahun, karena tampangnya yang imut-imut nggak berdosa untuk ukuran orang bule. Tapi begitu aku menanyainya bersekolah di SMA mana, dia merengut dan berkata dengan kesal, "Hey! I'm twenty this year!"
Bryan ternyata tiga tahun lebih tua dariku!
Semua orang di meja makan langsung terpingkal-pingkal saat itu. Terkecuali Reno. Reno terus saja terpaku pada bukunya. Dia yang paling tidak banyak bersuara di meja makan. Tapi sulit bagiku untuk tidak meliriknya diam-diam tiap lima detik sekali. Pesonanya terus-menerus menguar dengan begitu hebatnya. Dia seperti tak punya cela. Bahkan pada saat mulutnya penuh mengunyah mie, dia tetap tampan membahana.
"Abis ini pada mau ke mana?" Dennis bertanya.
"Berenang!" Yuna menyahut, matanya mengarah ke kolam renang yang kelihatan dari ruang makan dengan sorot berbinar-binar. Bryan dan Risa mengangguk setuju.
"Gue sama Reno mau keliling komplek villa, sepedahan. Lo, Mik?"
Aku tersentak mendapati Dennis menanyaiku. Seluruh mata jadi tertuju padaku. Yah, kecuali mata Reno.
"Gue nggak bisa berenang..." ringisku, membuat Bryan terbelalak.
"Seriously?! Kalo gitu aku ajarin!"
"Bryan, nope!" Risa mengalungkan lengannya ke sekeliling leher Bryan dan mengacak-acak rambut cowok itu, lalu menatap Dennis dan Reno, "Mika sama kalian aja!"
♡
Di luar dugaan, acara sepedahanku, Dennis, dan Reno rupanya berlangsung cukup menyenangkan. Kami mengayuh mengelilingi kompleks villa, menikmati sejuknya udara, pemandangan dan pepohonan hijau yang jarang kami lihat di Jakarta, serta mengagumi desain villa-villa besar yang kami lewati.
Sepanjang perjalanan, obrolan berlangsung dengan natural. Memang kebanyakan Dennis dan Reno yang mendominasi percakapan—mengingat mereka sobatan sejak kecil—dan aku hanya menimpali dan menjawab bila ditanya, menjadi penyemarak suasana. Suasananya tidak secanggung yang awalnya kupikir.
Kemudian kami memasuki jalan raya utama, menyusuri pertokoan dan restoran-restoran hingga menemukan warung sederhana yang memajang tulisan 'UBI BAKAR' besar-besar di depannya. Aroma yang menguar dari dalam warung sukses membuat kaki-kaki kami menghentikan laju sepeda, lalu Dennis dengan spontan memarkirkan sepedanya di pelataran warung dan menyambut sapaan si empunya warung dengan cengiran lebar.
"Ada ubi bakar, Bu?" tanya Dennis bersemangat seraya menggosok-gosok kedua telapak tangannya.
"Ada! Dari Jakarta yah?" tanya si ibu warung pada Dennis dan kami. Kami mengangguk mengiyakan.
"Kok tau, Bu?" Dennis bertanya balik untuk memancing obrolan sementara kami bertiga—dengan urutan aku-Dennis-Reno—menyelip masuk ke kursi panjang yang persis diletakkan di depan 'konter utama', sehingga kami sekarang duduk persis menghadap si ibu warung yang sedang memasak di balik konter.
"Kasep-kasep pisan, si eneng juga geulis... biasanya mah yang bening-bening dari Jakarta!" canda si ibu seraya tertawa, yang rupanya sukses memancing reaksi dari Reno. Cowok itu sekonyong-konyong menimpali candaan si ibu dalam bahasa Sunda full, yang membuatku tercengang dan syok saking fasih dan naturalnya dia berbicara.
Sebagai remaja kelahiran Jakarta yang cuma bisa bahasa Indonesia, aku kaget setengah mati karena Reno tidak kelihatan seperti tipe-tipe yang jago bahasa daerah. Dia lebih kelihatan kayak tipe-tipe canggih yang jago bahasa Perancis atau Jerman.
"Gue nggak tau lo bisa bahasa Sunda." tanpa sadar aku menyeletuk pada Reno, sementara Dennis bangkit dari sebelahku dan melompati kursi panjang untuk keluar dan menghampiri wadah gorengan yang terletak di meja tak jauh di sampingku.
"Sampe umur empat belas tahun gue tinggal di Bandung bareng bokap karena urusan kerjaan dia. Nyokap sama Risa di Jakarta nemenin nenek gue, makanya cuma gue sama bokap yang bisa Sundaan." jelas Reno, untuk pertama kalinya berbicara panjang denganku walaupun nadanya masih kalem dan datar.
Tiba-tiba Dennis kembali dengan sepiring gorengan yang masih fresh diambilkan si ibu dari atas wajan dan merangsek masuk ke kursi panjang dari sebelahku, mendorongku sedikit dengan tak sabar, "Geseran, Mik."
Aku jadi terpaksa menggeser dudukku ke sebelah Reno persis, sehingga posisiku sekarang jadi terjepit antara Dennis dan Reno.
Si ibu warung meletakkan kopi susu panas pesanan kami sambil melayangkan pandangan jahil ke arahku dan Dennis, lalu bertanya, "Pacaran, yah?"
Kopi yang baru kuhisap sedikit di mulutku tumpah, sementara Dennis tertawa sambil merangkulkan lengannya ke pundakku main-main, "Keliatan banget ya, bu?"
"Bukan bu, temenan!" ralatku panik sambil mencari-cari tisu, sementara si ibu dan Dennis sibuk menertawaiku.
"Awas jangan rebutan." Si ibu rupanya masih bersikap sok tahu dan memutuskan menasehati Dennis dan Reno. Entah rebutan apa. Sementara Dennis mengobrol seru dengan si ibu, Reno tahu-tahu menyodorkan selembar tisu makan padaku.
"Tuh." Reno memberitahu seraya menunjuk satu titik di bawah bibirku, membuatku buru-buru menghapus jejak tumpahan kopi dari mulutku dengan tengkuk dan pipi yang kebakaran.
♡
"Malem ini kita istirahat dulu, beresin barang-barang kita," Risa memberi komando pada kami berlima malam harinya di villa, setelah seluruh hidangan disantap habis dari atas meja makan dan kami merasa kekenyangan juga mengantuk, "Besok pagi baru kita siapin acara buat malemnya."
"Acara?" bengongku.
"Kok kayaknya lo yang paling nggak tau apa-apa sih, Mik?" Yuna menatapku bersimpati dan melirik Risa dengan sorot yang seolah berkata gimana-sih-kok-si-Mika-nggak-dikasih-tau lalu menjelaskan, "Besok malem kita mau bakar-bakaran di luar, masang kembang api, nyalain api unggun."
"Hehehe... gue sih niatnya ngasih dia surprise..." Risa tertawa lebar.
"Yaay! Fireworks!" Brian mengangkat kedua lengannya tinggi-tinggi.
Kali ini sulit menahan senyumanku. Aku tarik kembali rasa pesimisku karena sempat berpikir tidak akan bisa menikmati liburanku gara-gara kehadiran cowok-cowok baru ini. Besok malam pastinya akan jadi malam yang super duper oke!
♡
Ada glitch waktu ngedit chapter ini, kalau ada yang tampilan tulisannya aneh, silakan comment ><
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top