Hari Ketiga : Lama-lama Jadi Detektif Aja Daripada Curiga Sana-Sini

Malam harinya, suasana meja makan belum pernah seramai, seceria, dan seaneh ini.

Semuanya saling bertukar cerita tentang pertandingan seru siang-hingga-sore tadi. Dennis tidak henti-hentinya menertawakan Bryan yang terus-menerus tersandung saat berlari mengambil bola. Dia sendiri memprotes betapa besarnya base yang kami buat (Reno mengedip penuh arti padaku, mengakibatkan es teh gagal mengalir lancar ke dalam kerongkonganku) juga betapa jauhnya pukulan Reno dan Dennis sehingga dia harus mati-matian berjuang mengejar bola.

Yang aneh adalah susunan duduk orang-orang malam itu. Risa, Bryan, dan Dennis duduk di sisi meja yang berlawanan dengan Yuna, Reno, dan aku. Aku, yang masuk paling akhir ke ruang makan, pasrah saja dengan pengaturan duduk yang aneh ini. Agak tidak nyaman mengetahui Reno bakal makan di sampingku, dengan segala kesempurnaan dan kekerenannya bahkan waktu dia bersendawa.

Aku sendiri berusaha keras jaga image selagi makan. Cuma, bagiku yang kelaparan berat karena tadi siang hanya makan sandwich, usahaku seratus persen sia-sia. Ditambah, Mbok Ina—yang secara nggak diduga-duga rupanya mantan asisten chef  eksekutif restoran Italia!—menghidangkan berpiring-piring fetucinne daging asap, brokoli dan kentang tumbuk dengan saus keju, serta ayam panggang dengan irisan tomat bakar yang masih mengepul-ngepul di hadapan kami. Setelah piring-piring kami bersih, Mbok Ina datang lagi membawakan puding cokelat, salad buah, dan es krim sebagai pencuci mulut.

Terserah apa kata orang melihat tumpukan makanan di piringku, yang jelas aku masih merasa aman karena Risa selalu mengambil porsi lebih banyak dari siapapun.

Satu hal lagi yang tidak biasa, Yuna belum pernah terlihat sediam ini. Memang terkadang dia ikut tertawa mendengarkan lelucon Bryan, tapi kebanyakan dia hanya memandangi piringnya hampa. Sesekali aku memergoki Yuna curi-curi pandang ke arahku, tapi begitu tatapan kami bertemu, dia cepat-cepat memalingkan wajahnya.

"Yuna kenapa deh?" aku tidak bisa menyembunyikan kegelisahanku pada Risa, ketika kami berdua yang mendapat giliran mencuci piring sedang di dapur. Yuna sudah naik ke kamar duluan.

Risa mengangkat alis, "Kenapa emangnya?"

"Nggak... kayaknya dia jadi lebih diem seharian ini."

"Iya, ya?" Risa mengerutkan dahi, mengingat-ingat.

"Aneh juga pas Yuna numpahin jus ke sepatu gue." tambahku, kemudian meneruskan ketika Risa masih bengong, "Itu lho... tadi siang pas lo nanya ke gue apa gue sama Reno jadian."

Sejenak tampaknya Risa masih berusaha mengingat, tapi kemudian matanya membulat syok dan piring bersabun yang dipegangnya tergelincir jatuh ke bak cuci, menimbulkan bunyi berkelontangan nyaring.

"Lo kenapa sih?!" tanyaku terkaget-kaget.

"Jangan-jangan..." Risa menggumam pelan, kedengaran cemas.

"Kenapa?"

Risa buru-buru menggelengkan kepala.

"Ah, nggak. Dia mungkin lagi dapet kali." katanya.

Risa belum ada di tempat tidurnya. Begitupun Yuna (yang kupikir sudah ke atas duluan). Padahal jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam lewat. Sambil berbaring tak nyaman di kasurku, aku masih kepikiran reaksi aneh Risa di dapur tadi. Aku memikirkan apa yang kira-kira disembunyikan Risa dariku. Susah payah aku mencoba menutup mata dan tidur, tapi usahaku gagal total. Maka aku memutuskan turun kembali ke dapur untuk membuat susu cokelat hangat.

Setibanya di kaki tangga, pikiranku masih di susu cokelat sampai tiba-tiba secara tidak sengaja aku mendengar suara sayup-sayup Risa dari arah ruang televisi. Kedengarannya sedang berbicara di telepon.

"Jadi kalo dugaanku bener, nggak bakal semudah itu nerusin rencananya, Tan."

Risa terdiam sejenak, kemudian meneruskan.

"Iya... dia tau. Tapi reaksinya nggak sesuai harapanku. Dia kayaknya cuek."

Dia nelpon siapa sih? batinku jengkel. Nggak biasa-biasanya Risa sembunyi-sembunyi begini.

"Nggak nolak sih, tapi ya nggak bilang setuju juga. Dan yang bikin aku khawatir, dua-duanya sama cueknya!"

Terdiam lagi. Risa sesekali hanya menggumamkan 'hmm' atau 'ya'. Setelah beberapa waktu, Risa menjawab.

"Tante tau sendiri kan Mika orangnya kayak gimana?"

Aku segera menajamkan telinga, mengetahui percakapan misterius Risa melibatkanku. Tapi, dengan siapa Risa bicara? Kenapa kedengarannya seperti dengan... mamaku?

Aku bergeser semakin rapat ke pintu ruang televisi, berdiri untuk mencuri dengar percakapan Risa. Aku celingukan waspada. Tidak ada siapa-siapa.

"Iya, aku udah berusaha, dan Mika juga udah nunjukkin reaksi positif. Kalo Reno, dia tau sih dari awal, tapi..."

Apa-apaan nih? Risa ngomongin gue sama Reno di telepon tengah malem gini?

"Aku yakin dia masih ngerasa bersalah soal kejadian di hutan... iya-iya, Mika sekarang nggak kenapa-napa kok. Bahkan mereka berdua udah akur lagi. Tante kan lebih ngerti Mika. Masalahnya, Reno yang udah tau tentang ini pun biasa-biasa aja sama Mika."

Positif. Itu Mama.

Selama beberapa saat Risa hanya mendengarkan mamaku berbicara dari seberang, namun kemudian Risa mendesah.

"Terus satu lagi." Risa melanjutkan, kedengaran serius pada Mama. "Bakal ada rintangan nih, Tan. Tapi aku belum yakin. Mudah-mudahan sih dugaanku salah."

Rintangan? Emang apaan? Benteng Takeshi?

Berikutnya Risa membicarakan sesuatu yang tak kumengerti dengan Mama. Sampai akhirnya Risa memutuskan menyudahi pembicaraan di telepon.

"Udah dulu ya, Tan. Takut ketauan kalo aku belum tidur."

Risa terdiam lagi, kemudian meneruskan dengan bersemangat, "Iya-iya! Reno pasti bakal jadian sama Mika! Serahin aja ke aku!"

Aku berbaring miring di tempat tidur, menghadap ke jendela. Beberapa detik setelah aku berhasil mengatur posisi pura-pura tidur, pintu kamar terbuka dan masuklah Risa, Si Mak Comblang undercover. Dia berjalan mengendap-endap ke tempat tidurnya di seberang ranjangku dan naik sepelan mungkin agar tidak membangunkan siapa-siapa.

Tas dari Bali? batinku jengkel.

Nggak pernah kusangka, Risa yang sahabat terbaikku tega menyembunyikan sesuatu dariku dan bersekongkol dengan Mama. Bahkan dengan seenaknya berlagak mau menjodohkanku dengan abangnya.

Emangnya ini masih era Siti Nurbaya? Emang tahu apa dia soal perasaanku? Okelah aku sempat ngaku kalau abangnya itu ganteng ampun-ampunan, tapi itu kan cuma omongan belaka. Dan okaaay aku sering deg-degan kalau cowok itu berada dalam radius yang terlalu dekat, tapi bisa aja kan itu cuma perasaan minder karena berada di sebelah cowok yang gantengnya level dewa?

Dan parahnya, menurut percakapan Risa dengan Mama yang kucuri dengar tadi, sejak awal Reno tahu tentang perjodohan norak ini. Sekarang aku jadi paham mengapa kadang sikap dan omongan ketiga orang itu agak aneh.

Mendadak terlintas di pikiranku percakapan antara aku dan Reno ketika kami sedang membuat base di lapangan tadi siang...

"Risa udah cerita ya?"

"Cerita apaan?"

"You know. Soal gue."

Pasti yang Reno maksud waktu itu adalah: apakah Risa sudah cerita padaku masalah jodoh-jodohan ini? Dan mungkin Reno batal menanyaiku lebih lanjut karena ternyata aku nggak tahu-menahu tentang perjodohan ini.

Lalu, Risa beberapa kali berusaha menempatkanku dalam keadaan di mana aku terpaksa berduaan saja dengan Reno, seperti menyisihkan kami untuk menjaga api unggun, mencari kayu di hutan, dan buatin base di lapangan. 

Mama juga kedengaran mencurigakan saat meneleponku terakhir kali. Tidak biasanya dia kelewat tenang mengetahui aku menginap di villa bersama cowok. Dia bahkan menyuruhku bersikap baik pada Reno.

Dan Reno yang tiba-tiba menghakimiku sebagai cewek yang cuma mau manfaatin kekayaan adiknya. Itu wajar dilakukan kalau dia tahu aku sedang berusaha dijodohkan dengannya. Dia ngetes. Dia mau tahu sifat asliku kayak gimana.

Mendadak bagiku semuanya terlihat begitu jelas. Klop.

Jam dinding menunjukkan pukul satu dini hari. Kayaknya aku bakal begadang semalaman kalau terus-terusan mikirin soal jodoh-jodohan Reno dan aku. Aku nggak tahu harus bersikap bagaimana setelah mengetahui seluruh berita yang bikin syok ini. Melabrak Risa? Atau tetap pura-pura nggak tahu apa-apa?

Yang paling penting, gimana mesti ngadepin Reno abis ini?

Yang tabah ya, Mik.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top