Hari Ketiga : Cowok Itu Mungkin Punya Antena Di Kepalanya
"Emang bener, Mik?" Risa bertanya mendekat kepadaku, menyerah berusaha mengatasi kegaduhan yang ditimbulkan anak-anak cowok. Mereka sedang bermain kasti di halaman belakang villa yang luas. Sementara anak-anak cewek serta Mbok Ina memilih menonton dari pinggir lapangan, menyiapkan sandwich daging asap ekstra besar dengan jus limun untuk makan siang kali ini.
"Bener apaan?" aku balas bertanya. Risa memandangiku dengan tatapan nakal.
"Lo sama Reno jadian?"
Gelas plastik di tangan Yuna tergelincir jatuh, membuat kakiku ketumpahan limun.
"Ya ampun!" Risa menatap sepatuku yang basah dengan panik, "Bentar, gue ambilin lap!"
"Sori, Mik..." Yuna tergagap.
Aku dan Yuna sama-sama berjongkok, berusaha menyelamatkan kets-ku yang sudah kepalang basah.
"Jadian sama Reno?" ulang Yuna, kali ini membelalak tak percaya padaku, "Lo jadian sama dia?"
Aku menggeleng cepat-cepat, "Nggak mungkin lah! Pasti Mbok Ina nyebarin gosip ngawur..."
Aku memperhatikan Yuna yang menunduk, berusaha keras menghapus noda pada kanvas sepatuku.
"Kok lo kayaknya heran banget?" tanyaku sambil mengembalikan gelas ke atas meja.
"Oh..." Yuna tampak agak salah tingkah, "Nggak... kaget aja, tiba-tiba lo berdua jadian. Padahal kan lo berdua baru kenal..."
"Siapa yang jadian?"
Reno sudah berdiri di belakang kami, agak terengah sehabis berlari dari tengah lapangan. Wajahnya memerah karena kepanasan, namun dia kelihatan bersemangat.
Sumpah deh! Kepalanya ada antenanya apa gimana sampe dia bisa tau kalo orang lagi ngomongin dia? pikirku sebal.
"Ah, nggak!" Yuna bangkit cepat, "Lo capek? Mau jus?"
"Nggak, makasih." kata Reno cepat, "Ada yang mau bantuin gue bikin base? Yang dibikin B kekecilan, dia sama Dennis lagi sibuk ngukur ulang garis lapangan."
Risa yang baru datang membawa lap untuk Yuna spontan mendorongku, "Mika, nih!"
Aku memelototi Risa sembari mengiriminya pandangan kenapa-gue-lagi-sih padanya, tapi Risa hanya cengar-cengir.
Aku memandang Reno. Cowok itu juga kayaknya sudah nggak keberatan dengan Risa yang lagi-lagi 'menyuruh-nyuruhku'. Maka aku menyerah.
"Oke deh." aku bangkit dengan pasrah dan mengikuti Reno. Sekilas aku mengerling Yuna, dan baru pertama kali kulihat dia seperti itu. Ekspresinya ganjil.
Aku dan Reno berjalan menjauhi pinggir lapangan dalam diam. Tidak tahan dengan kecanggungan di antara kami, aku memutuskan memulai obrolan.
"Ren... kenapa mesti dibenerin garis-garisnya?" tanyaku.
"Rombongan villa sebelah bakal ikutan main bentar lagi, lapangan mereka nggak cukup luas buat dipake." Reno menjelaskan sambil berjalan, "Makanya base-nya harus digedein, biar muat banyak."
Aku nyengir. "Jadi kangen main kasti ala-ala bocah SD dulu..."
Reno bergumam mengiyakan.
Lalu kami berdua terdiam lagi.
"Lumayan panas, ya." kali ini suara maskulin podcast-able milik Reno yang menyeletuk.
Aku mengangguk, masih tidak percaya barusan Reno memilih ngomongin soal cuaca denganku. Cuaca.
"Iya... padahal biasanya dingin, Puncak sih." sahutku kacangan.
Reno cuma mengangguk dan kami diam lagi. Menolak menyerah, aku kembali mencari topik.
"Lo semester berapa sekarang?"
"Dua." Reno menjawab.
Diam.
"Jurusan apa?" tanyaku.
"Tekhnik Industri."
"Oh. Susah?"
"Nggak juga."
Diam lagi.
"Lo kelas dua belas kan?" kali ini Reno yang bertanya.
"Iya."
"IPA, IPS?"
"IPA."
"Hmm."
Diam lagi.
"Kok gue nggak pernah ketemu lo ya?" kami berdua bertanya berbarengan.
Reno terkekeh menanggapi kekompakan kami.
Ya ampun! Dia bisa ketawa?!
"Lo dulu." katanya, membetulkan posisi kacamatanya seraya mengulum senyum.
"Nggak, lo aja." aku berkeras.
"Lady first."
Aku menyerah, kemudian mengulang pertanyaanku, "Kok gue nggak ketemu lo ya, padahal gue sering ke rumah Risa?"
"Gue jarang di rumah. Keseringan di kampus. Timing-nya selalu nggak pas ya."
Emang cowok rajin apa di kampusnya WiFi -nya kenceng? batinku.
Kami tiba di base terdekat, Reno menghapus garis di tanah sementara aku mengambil kayu yang tergeletak di dekat situ dan mengoreskannya hingga membentuk persegi besar sesuai ukuran yang Reno minta.
Reno juga melakukan hal yang sama, setelah selesai menghapus garis, dia menorehkan garis baru dengan kayu lain yang diambilnya. Kemudian, garis-garis yang kami buat akhirnya bertemu di tengah.
Kami sama-sama menegakkan diri. Tanpa kusadari, Reno tahu-tahu sudah berada persis di sampingku. Dalam jarak sedekat ini, aku sadar bahwa ternyata dia lebih jangkung dari yang kukira.
Selama beberapa saat aku hanya bengong untuk mengagumi aset-aset fisik cowok itu hingga dehaman kecilnya membuyarkan lamunanku.
"Mika, boleh tanya sesuatu?" Reno melirikku.
Jantungku seolah berhenti. Untuk pertama kalinya cowok itu kelihatan agak... gugup. Ini pertama kalinya juga dia menyebut namaku.
"Apa?"
Reno ragu-ragu sejenak, "Risa udah cerita ya?"
Aku mengernyit bingung. Bicara dengan cowok ini seperti berusaha menyusun kepingan-kepingan puzzle.
"Cerita apaan?"
Reno terlihat agak gelisah.
"You know. Soal gue."
Selama sedetik kupikir Reno secara ajaib berubah jadi narsis, tapi melihat ekspresinya yang serius, aku jadi tidak yakin.
"Seinget gue Risa cuma cerita kalo lo—sori aja nih—sok cool, kepinteran dan ng... nyebelin?"
Reno terkesiap dan buru-buru memalingkan wajahnya, "Oh. Oke."
Aku gagal menyembunyikan rasa penasaranku, "Emang cerita apa?"
Reno menggeleng, "Nggak kok. Nggak penting, santai aja."
Kami kembali terdiam. Bahu dan punggung tangan kami bertubrukan tak sengaja. Secara otomatis aku menggeser menjauh, "Ng... Ren, base-nya udah jadi. Gue balik ke pinggir ya."
Aku berbalik hendak kembali ke tempat Risa dan Yuna, namun Reno—seolah sudah terbiasa—dengan lihai menyesuaikan langkahnya dengan langkahku hingga kami sejajar.
"Tunggu, pegangin bentar."
Reno mengulurkan kacamatanya kepadaku sementara dia berjongkok untuk membetulkan tali sepatunya, bersiap kembali bermain. Spontan aku jadi berhenti melangkah dan memandangi cowok itu, mendadak gagal fokus karena terkesima dengan apa yang kulihat.
Aku baru pertama kali melihat Reno tanpa kacamata. Ternyata mata Reno kecoklatan, aku tidak pernah menyadari ini sebelumnya. Dia sama kerennya dengan saat memakai kacamata, tapi feel-nya beda. Kalau biasanya dengan kacamata dia terlihat seperti cowok nerdy yang canggih nan tajir, kali ini tanpa kacamata dia kelihatan kayak model produk face-wash yang baru kelar syuting.
Boyish, ganteng, dan bening banget.
Merasa diperhatikan, Reno mengangkat wajahnya untuk menatapku dalam posisi masih mengikat tali sepatu.
"Kenapa?" tanyanya blak-blakan.
"Ng... minus berapa sih?" gagapku, mencari topik.
"Dua. Kenapa?"
"Nggak perlu pake ini pas tanding?" aku mengangkat kacamatanya yang kupegang.
"Takut kena bola terus pecah. Lagian masih bisa nggak pake kacamata."
"Oh. Nggak pake contact lens aja?"
Senyum Reno mengembang menawan, "Nggak cocok. Cepet banget kering dan jadi iritasi. Plus efeknya buruk kalo di pake keseringan."
"Oh."
Reno kembali menunduk untuk mengencangkan tali sepatunya yang satu lagi. Di tengah lapangan, Bryan melambai bersemangat ke arah kami sambil berteriak-teriak.
"Reno, c'mon! We're ready!" dia melonjak-lonjak bersemangat.
"Bentar!" Reno berseru ke balik bahunya, kemudian bangkit dan menatapku lagi, "Jagain kacamata gue dan nonton sampe tandingnya selesai."
Tanpa diduga-duga, dia meletakkan satu tangannya di puncak kepalaku untuk mengacak rambutku.
"Soalnya gue keren kalo lagi di lapangan." dia menyunggingkan senyuman miring seribu Watt-nya sambil berbalik memunggungiku dan berlari ke tengah lapangan. Selama beberapa menit aku hanya melongo memandangi punggungnya. Wajahku mendidih.
"Nggak usah di lapangan juga lo itu keren setiap saat." aku menggerutu sambil memperhatikan Reno yang tengah bersiap memegang pemukul bolanya di kejauhan.
♡
Sigh... boys in glasses.
(*'﹃`*)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top