Hari Kelima : Seno, Sapi, Dan Curhatan Masa Lalu
Waktu aku dan Dennis kembali ke villa, Risa dan Reno sudah selesai mengadakan 'rapat'. Mereka hopefully sudah baik-baik saja. Seenggaknya dari tampang yang santai saat mengobrol ringan di ruang televisi siang itu.
Tapi sekarang, giliranku dan Dennis yang kenapa-napa.
Yuna suka sama Reno?
Seumur hidup aku belum pernah terlibat konflik atau drama cinta apapun, ditambah kali ini sainganku teman dekatku pula...
Bentar. Saingan? Cinta segitiga?
Cinta segiempat? Karena Dennis suka Yuna, Yuna suka Reno, Reno suka...
Aku rasanya kepingin tertawa. Tapi aku yakin kalau aku tertawa sekarang, pasti bakal kedengaran kayak tawa histeris ala psikopat. Mikir apa sih gue?!
Apa kata Risa jika tahu hal ini? Apa reaksi Reno jika tahu hal ini? Apa yang ada dipikiran Yuna misalnya dia tahu kalau kami berdua... bukan, tepatnya Reno nyaris men... (aku menampar-nampar mulutku lagi).
Jika efek ketiganya digabungkan, bakal pecah civil war saingan versi Avengers.
Nggak deh, nggak bakal pukul-pukulan juga.
Kepalaku dipenuhi hal-hal memusingkan yang sedang berusaha kuserap. Layar televisi sedang menampilkan adegan Jack Black mengajar di sekolah penuh anak-anak elit. Dari tadi, Dennis yang duduk di sebelahku terus-terusan melirikku gusar. Sementara Risa dan Bryan menatap kami berdua bingung dari balik mulut mereka yang penuh Cheetos (terkecuali Reno yang stay cool nonton televisi sambil mengunyah keping per-keping).
Dan ngomong-ngomong, Yuna tentu saja masih berpura-pura menganggapku tidak ada. Sekarang aku jadi seratus kali lebih peka memperhatikan gerak-geriknya. Dan bisa kutangkap bukti-bukti perkataan Dennis:
Yuna berpakaian lebih modis dari kebiasaannya.
Yuna yang berjuta kali mencuri pandang ke arah Reno. Bahkan dia sering memandang kosong ke arah Reno selama sepuluh detik lebih.
Yuna berusaha sesering mungkin tersenyum bersamaan dengan Reno melihat ke arahnya.
Yuna hanya menatap sinis padaku jika aku sedang berbicara atau berada terlalu dekat dengan Reno.
Yuna selalu dan selalu salah tingkah saat mengobrol singkat dengan Reno. Bukan dia banget. Selama aku mengenalnya, Yuna selalu percaya diri menghadapi siapapun yang jadi lawan bicaranya.
Pandangan Yuna berbinar setiap dia menatap Reno.
Mendadak, terlintas di pikiranku percakapan sembunyi-sembunyi antara Risa dan Mamaku beberapa hari yang lalu di telepon.
Rintangan.
Apa itu maksudnya Yuna?
Apa itu berarti Risa tahu Yuna naksir Reno?
Dalam tahap ini, kepalaku rasanya mau meledak. Urusan rahasia-rahasiaan ini ternyata belum sampai di ujung. Ternyata begitu banyak hal yang Risa sembunyikan dariku!
Atau jangan-jangan... memang aku yang selalu kudet?
♡
Pukul satu, seusai makan siang, suasananya makin greget saja. Gimana nggak? Yuna dan Reno duduk bersebelahan di meja makan.
"Di mulut lo ada saus tuh." kata Yuna sambil mengusapkan tisunya ke bibir Reno. Seketika garpu yang Dennis pegang langsung tergelincir lepas dari jarinya, dan Risa tersedak minumannya.
Aku hanya bisa menyaksikan ketiga kejadian yang terjadi hampir bersamaan itu dengan pelototan dan pelipis berkeringat. Karena ada beberapa kejadian minor lainnya yang bikin syok dan berebut masuk ke sel-sel otakku:
1. Reno, tanpa mengalihkan pandangannya dari buku empat-tumpuk-roti-tawarnya, terlihat santai dan hanya berkata, "Oh, thanks." kepada Yuna yang berbinar.
2. Sama sekali tak ada saus di mulut Reno. Sausnya ada di tisu Yuna.
3. Risa ikut terkejut melihat kejadian itu. Itu berarti Risa positif tahu Yuna menyukai Reno.
Yuna suka Reno.
Yuna suka Reno.
Tiga kata itu terus terngiang di kepalaku, seperti mantra cuci otak. Dan rasanya jadi seperti perang sorot mata. Dennis tidak henti-hentinya memberikan pandangan dingin ke arah Reno sementara aku tidak bisa berhenti melayangkan sorot curiga kepada Yuna. Mereka kelihatan santai, kontras sekali dibandingkan aku dan Dennis yang setiap sepuluh detik sekali bergerak gelisah menyaksikan Yuna yang berusaha mendapatkan perhatian Reno.
Reno yang belum tahu kalau Yuna menyukainya.
Reno yang tadinya identik dengan kesendiriannya, sekarang selalu direndengi Yuna.
MIKA, STOP MIKIRIN RENO!
Maka siang itu, setelah meminta izin kepada Mbok Ina (kenapa pula aku malah jadi minta izin ke Mbok Ina alih-alih ke teman-temanku?), aku menelepon Seno. Memintanya menjemputku di villa.
Beberapa waktu ini pikiranku sama sekali tidak pada Seno. Maka setidaknya untuk menebus rasa bersalahku, aku ingin ke peternakannya lagi. Mendiskusikan segala macam hal yang sempat terlewat dari perhatianku.
Termasuk penjelasan kenapa Seno bisa sampai memakai obat-obatan terlarang.
Tak berapa lama setelah menerima teleponku dengan ceria, cowok itu datang dengan motor susunya. Wajahnya sumringah seperti biasa.
"Gue kira lo nggak mau ngomong lagi ke gue semenjak insiden kemaren." sapanya santai dan tanpa ba-bi-bu. Aku menerima helm yang disodorkannya sambil menaiki motor.
"Gue ceritain macem-macemnya kalo kita udah nyampe di kandang sapi favorit lo." tegasku.
"Siap, juragan!" Seno terbahak dan melajukan motornya.
Kami melewati jalan pedesaan dan padang rumput mengagumkan kami lewati ketika aku pertama kali mengunjungi peternakan Seno, pemandangan yang rasanya tidak bakal pernah bosan kunikmati. Hawa sejuk khas pegunungan yang jarang-jarang bisa kurasakan di Jakarta kuhirup dalam-dalam selama di perjalanan. Seperti aroma segar dedaunan dan tanah yang lembab.
Kemudian mereka melewati jalanan dengan pepohonan yang semakin jarang, dan memasuki kawasan berumput luas. Kami memasuki pagar kayu peternakan Seno dan tiba di garasi kayu kecil tempatnya memarkir motor, mesin pemotong rumput, gerobak kecil, dan sebagainya.
"Jadi?" tanyanya ketika menyusulku yang memasuki kandang sapinya yang besar dan berbau khas, "Mau ngobrolin apa?"
Aku berjongkok di dekat anak sapi yang sedang sibuk mengunyah-ngunyah makan siangnya. Lucu banget.
"Sebenernya, Risa udah ngejelasin semuanya, tentang masa lalunya, tentang lo, tentang drugs, ke gue dan Reno."
Perubahan mimik wajah Seno sangat drastis. Senyumnya lenyap tak bersisa.
"S-semuanya?" gagapnya.
Aku mengangguk, "Semuanya."
Seno gagal menyembunyikan tampang syoknya dariku. Dia terduduk lemas di pinggir bak tempat minum sapi. Wajahnya diliputi perasaan bersalah dan penyesalan.
"Lo pasti jijik sama gue." Seno berucap pahit tanpa menatap mataku.
Aku hanya tertawa, "Karena lo kerja di kandang sapi apa gimana, nih?"
Seno menatapku dengan pandangan lo-tau-maksud-gue dan setelah tawaku mereda, aku bangkit dan berdiri di hadapannya.
"Kasih tau gue alasan gue jijik sama lo." aku mengangkat alis.
Seno menyisiri rambutnya dengan jemari, "Karena dulu gue pemakai. Dan gue bikin Risa yang polos itu juga jadi..."
Kata-katanya terhenti.
"Jadi kayak lo?" aku meneruskan, "Depresi, putus asa, tercemar?"
Seno menatapku nanar. Kentara sekali benar-benar merasa bahwa dia telah melakukan kesalahan besar dengan mengencani Risa, dan menyeretnya ke blackhole yang sama sepertinya.
"Gue nggak pernah maksa dia buat jadi pemakai, Mik. Dia yang kepingin karena begitu seringnya ngeliat gue teler gara-gara make barang itu... harusnya gue tau, gue nggak bisa deket-deket Risa dalam keadaan dia yang waktu itu masih sedih dan tertekan. Gue nggak tega ngeliat dia menderita gitu, Mik. Gue... harusnya gue..."
"Seno, dengerin." potongku tegas, "Gue akuin kalo temen-temen gue, terutama Reno, sempet benci sama lo karena mereka nganggep lo yang salah. Karena selama ini Risa nyeritain hal yang sama sekali bertolak belakang sama kenyataan yang sebenernya. Risa cerita sama mereka kalo lo yang bikin dia jadi pemakai."
Seno memandangku makin frustasi "Itu emang salah gue... Risa berhak nyalahin gue..."
"Tapi." potongku lagi, sebelum Seno bisa merengek lebih jauh, "Risa udah ngakuin yang sebenernya ke kami semua. Dan dia bilang lo sama sekali nggak salah. Risa bilang lo udah berusaha supaya dia nggak ikut-ikutan. Dia udah ngakuin kalo dia yang salah, Sen. Bukan lo."
Seno membuka mulut hendak mendebatku lagi, tapi aku tidak memberinya kesempatan.
"Mungkin gue nggak ngenal Risa kayak yang selama ini gue pikirin. Jujur, gue sempet kecewa karena dia nyembunyiin begitu banyak hal. Tapi gue tau dia tulus. Dia bener-bener nggak nyalahin lo, Seno. Dan semua orang tau itu sekarang."
Sejenak, keheningan melanda kami berdua. Seno menunduk diam. Yang terdengar hanyalah suara kunyahan si anak sapi di sebelah kami dan langkah-langkah berat hewan-hewan lainnya di luar kandang.
"Awalnya gue kira cuma gue yang pernah ngalamin kejadian paling berat dalam hidup gue." Seno membuka suara, masih terus menunduk. Aku mendengarkan sungguh-sungguh, "Tapi terus gue ketemu Risa. Yang nggak gue sangka, keadaannya bahkan lebih parah dari gue."
Aku mengernyit.
Lebih parah?
"Dia kehilangan dua orangtuanya sekaligus." ujar Seno, "Sementara gue kehilangan bokap gue."
Aku ternganga.
Ayah Seno udah meninggal?!
♡
:'(
Jangan lupa voment~
:@&-~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top