Hari Kelima : Kinerja Otak yang Kacau Dan Pengakuan Seorang Cowok
Mataku bengkak.
Sulit dipercaya nyaris enam jam yang lalu aku ngatain Reno dengan sebutan mesum.
Dan semalaman aku gagal tidur karena kepikiran Reno.
Reno.
Si manusia tampan yang bikin jantung jumpalitan. Si model kesasar yang ternyata hobi nyosor sembarangan. Sial, sial, sial! Kenapa sih dia bisa dengan tenangnya memperlakukanku semena-mena padahal dia sudah tau rencana norak Risa dan Mama untuk menjodohkanku dengannya?
Dan reaksiku semalam! Aku meneriakinya mesum sambil lari terbirit-birit kayak anak kecil. Apa yang bakal dipikirkan Reno tentang itu? Jangan-jangan malah aku yang norak baginya karena kabur begitu mau di— argh!
Oke, mungkin baginya aku sudah masuk daftar teman-Risa-yang-baik. Tapi gimana kalau semalam ternyata dia mengetesku... sebagai... uh, calon-pacar-yang-baik? Mungkin aja dia kepingin tahu reaksiku bila dia men... men...
Aku langsung menampar-nampar mulutku.
Calon pacar?
Pft. Mika! Jangan halu!
Aaaaaargh!
Aaaaaaaaaargh!
"Lah, Mik. Mata lo kenapa?" Risa menegurku cemas ketika aku turun untuk sarapan di pagi harinya. Celakanya, Reno yang sudah duduk manis menyantap serealnya di meja makan, mendengarnya. Hatiku menjerit tersiksa. Aku bersumpah sempat melihat bibir cowok itu tertarik membentuk senyuman di sela-sela kunyahannya.
"Nggak papa kok, Ris. Cuma gara-gara begadang semalem. Nyoba ngikutin jadwal vampir." sindirku selantang mungkin, sehingga mustahil Reno tidak bisa mendengarnya.
"Oh." Risa langsung paham. Dia memberiku sepiring dadar coklat dan aku memilih tempat duduk sejauh mungkin dari Reno. Ngomong-ngomong, Yuna melirikku agak-jutek waktu aku meletakkan piringku. Serius deh, dia kenapa sih? Masih sulit bagiku berperang dingin dengannya tanpa alasan yang jelas.
"Morning, everybody!" Bryan memeluk bahuku dan menggabrukkan diri di sebelahku, membuatku jantungan. Aku bisa merasakan pandangan tajam Reno ke arah Bryan, tapi yang ditatap sepertinya tidak sadar karena cowok itu tetap tampil santai.
"Nyenyak tidurnya, Mik?" Dennis menyapaku dengan mulut penuh dadar.
"Banget." aku menjawab nyengir. Sebetulnya, ini adalah sandi antara aku, Risa, Yuna, Dennis dan Bryan. Kalau mereka tanya apakah tidurku nyenyak, dan aku menjawab 'banget', itu berarti diskusiku dengan Reno semalam berhasil dan tandanya Reno setuju bicara dengan Risa. Tapi kalau aku menjawab 'banyak nyamuk', tandanya diskusiku gagal dan Reno kemungkinan bakal tetap jadi vampir.
"Nggak banyak nyamuk?" Bryan mengerjap tak percaya.
"Nggak ada satupun." aku meyakinkan.
Dennis, Bryan, dan Yuna terlihat puas. Risa menghampiriku dan memelukku senang. Reno-lah yang memperlihatkan tampang bingung.
"Kalian kenapa?" Reno akhirnya berbicara.
Dennis memberi kami isyarat agar mengikutinya keluar ruangan sementara Risa dan Reno tetap di tempat. Bryan menggandengku mengikuti Dennis dan Yuna. Masih bisa kurasakan tatapan menusuk yang Reno berikan kepada Bryan saat aku melewati pintu.
Entah kenapa rasanya puas lihat ekspresinya!
Kini tinggal Risa dan Reno yang berada di ruang makan. Aku tahu kami harus keluar agar mereka berdua bisa berbicara dengan bebas, tanpa gangguan. Tapi aku belum sempat makan dadar gulungku...
"Ngomong-ngomong, Mik. Semalem ngomong apa aja?" tanya Yuna ketika kami tiba di patio belakang villa. Terlihat sekali kejengkelannya.
"Hah?" tanyaku lemot, separuh pikiranku masih di dadar gulung.
Yuna memutar bola mata, "Sama Reno. Gimana caranya lo berhasil ngebujuk dia supaya mau dengerin penjelasan Risa soal kebohongannya selama ini?"
Aku mengangkat bahu, "Ngobrol aja, bilang ke dia kalo mereka mesti komunikasi terbuka supaya nggak ada salah-salah paham lagi."
Yuna menatapku curiga, "Itu doang?"
"Emang kenapa sih, Yun?" Dennis menyela, menyuarakan isi pikiranku.
"Nggak. Cuma nanya." Yuna menjawab Dennis, namun matanya masih tertancap padaku.
Dennis mendengus.
Tak berapa lama, Yuna memutuskan pergi ke taman di dekat villa, bilangnya sih dia lagi kepingin main gitar sendirian. Bryan memutuskan membantu Mbok Ina di dapur, dengan harapan bakal dapat jatah sisa sarapan. Tinggal aku dan Dennis di kursi malas patio, menikmati pemandangan halaman belakang dan kolam renang.
"Mik, gue mau ngomong sesuatu." Dennis mendadak menyeletuk.
Tumben banget.
"Kenapa lo?" tanyaku heran. Dennis nyengir.
"Lagi galau." jawabnya, lalu melayangkan pandangan memohon, "Tapi janji jangan bocorin ke siapa-siapa, please?"
Aku mengangguk.
Kuperhatikan, baru kali ini Dennis kelihatan... mellow seperti ini. Entahlah, ada yang berbeda dari raut wajahnya. Dennis yang biasanya senantiasa cool, yang cengiran kerennya biasanya sanggup menularkan energi ke orang-orang di sekitarnya, kali ini tampak sendu. Walaupun aku yakin dia tidak sengaja menunjukkannya di depanku.
"Den, lo kenapa sih?"
Dennis tersentak menatapku.
"Ngomong." aku menatapnya was-was, "Kok lo malah bengong?"
"Sori. Gue... gue cuma nggak yakin..." katanya tersenyum miris sambil menggaruk tengkuknya.
"Apa sih? Lo jangan nakutin ah." aku meninju pundaknya main-main. Dennis menghela napas.
"Oke. Gini. Gue..." dia berdeham pelan, "Gue sebenernya... suka sama Yuna."
Aku mengerjap beberapa kali. Dennis menghindari tatapanku.
"Udah ketebak sih." komentarku akhirnya sembari menahan senyum.
Dennis mengerang, "Keliatan banget, apa?"
Aku menggeleng-geleng, "Feeling aja. Terus, kenapa mesti laporan sama gue?"
"Gue butuh bantuan lo."
Aku menatapnya keheranan, "Kalo lo harap gue bisa jadi comblang, fyi, belakangan ini Yuna ngejutekin gue terus, jadi gue nggak jamin bakalan sukses."
"Gue nggak minta lo buat nyomblangin, Mik. Gue bahkan udah gencar ngasih kode ke dia." Dennis tampak malu sendiri mengakui itu, "Tapi Yuna kayaknya nggak notice perasaan gue, dia malah nganggep gue kayak abangnya. Katanya gue bisa asik diajak ngobrol karena gue sama dia sehobi. Gitu deh."
Aduh. Brother-zoned?
"Tapi lo berdua cocok banget. Satu vibe. Sama-sama keren. Sama-sama nge-band." ungkapku jujur. Menurutku mereka berdua memang ditakdirkan buat jadi jodoh. Yuna dan Dennis yang keren. Pas banget.
"Yah, emang tadinya gue pikir begitu, tapi si brengsek itu selalu aja ngalahin gue!" Dennis menggeram kesal. Aku mengernyitkan dahi.
"Siapa yang brengsek?" tanyaku.
"Siapa lagi? Reno lah."
Aku spontan teringat kejadian semalam di lapangan tenis.
Betul! Reno itu brengsek! Seenak udel nyosor-nyosor bibir orang!
Aku menggeleng-geleng cepat.
"Emang masalah lo sama Reno apa, Den?" tanyaku setelah berhasil mensucikan otakku sendiri. Soalnya kan mereka selama ini kelihatan baik-baik saja.
"Yah, dia sih nggak tau apa-apa soal ini."
"Lo jangan ribet deh!"
"Oke-oke sori. Gini, singkatnya, kemaren Yuna curhat ke gue. Dia lagi kesel banget sama lo..."
"Iya, keliatan dari mukanya kok. Beberapa hari ini dia nggak berhenti pasang tampang sinis kalo gue ada di deket-deket dia. Nah, gue sendiri aja nggak tau masalah dia ke gue apa!" cecarku pedas.
"Mik. Dengerin dulu kalo orang ngomong. Alasan utamanya, karena dia ngiri lo deket sama Reno."
Aku membelalak pada Dennis selebar-lebarnya.
"Jangan bilang—"
"Iya..." Dennis tersenyum pahit, "Udah lama gue suka sama Yuna, jadi udah lama pula gue curiga tentang itu, dan ternyata sekarang dugaan gue terbukti betul."
Aku menelan ludah.
"Itu sebabnya gue masih nggak berani nembak Yuna secara langsung. Karena Yuna cerita ke gue Mik, kalo dia suka sama Reno." ujar Dennis sedih.
♡
Ouchy, Dennis :(
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top