Hari Keenam : Lo Sama Gue Itu Hal yang Baik? (END)

Sekembalinya kami menuju villa, aku dipaksa Risa untuk ikut mobil Reno, sementara yang lainnya (Bryan, Yuna dan Risa) ikut mobil Dennis. 

Seolah belum cukup saja mereka menjodoh-jodohiku, sekarang ke mana-mana aku dipaksa berduaan.

Aku mencuri-curi pandang setiap beberapa detik sekali ke arah Reno yang sedang menyetir di sebelahku. Dia (masih) seganteng biasanya. Rasanya kejadian di dalam labirin itu masih seperti mimpi.

Reno bilang suka sama gue.

Aku menggeleng-geleng, berusaha menyadarkan diri dan mengusir kupu-kupu di perutku. Kesempatan ini tidak akan kusia-siakan untuk meminta penjelasan dari Reno.

"Lo udah tau Dennis sama Yuna jadian sejak kapan?" aku membuka suara.

"Udah lama." jawab Reno.

Aku menghela napas.

"Kenapa nggak ngasih tau gue, Ren?" tanyaku, menyuarakan pertanyaan yang sedari tadi bercokol di kepalaku. "Dan soal jodoh-jodohan kita."

Reno terdiam.

"Waktu kita jalan ke hutan, lo bilang gini ke gue: 'Risa udah cerita ya?'. Inget nggak? Pasti waktu itu lo mau ngasih tau gue tapi batal kan?"

"Waktu itu gue penasaran, lo tau soal rencana Risa apa nggak." Reno menyerah, "Dan ternyata lo nggak tau. Jadi gue tetep diam."

"Kenapa?"

"Karena gue pengen tau lo yang sebenernya."

Aku mengerutkan dahi.

"Logikanya gini." Reno dengan sabar menjelaskan, "Kalo dari awal gue ngasih tau kita dijodohin, mungkin lo bakal kegeeran dari awal dan gue nggak bakal bisa tau sifat asli lo."

"Sifat asli gue, ya." aku memutar bola mata. Adilkah? Di satu sisi aku kan juga perlu tahu gimana sifat asli Reno.

"Buat jadi bahan pertimbangan." kata Reno tegas dan realistis, "Karena cewek-cewek yang selama ini pernah deket sama gue cuma menang dari segi fisik. Kepribadian? Not so much."

To be fair, cewek-cewek yang pernah deket sama Reno pasti aware sama penampilan fisik mereka, siapapun bakal pikir-pikir lagi kalau menghadapi sandingannya cowok maha sempurna semacam Reno.

"Terus gimana kesan untuk sifat asli gue?" tawaku miris.

"Cewek normal kok."

Oke...?

"Maksudnya?" aku mengangkat alis.

Reno mengulum senyum sambil melirikku sekilas, "Maksud gue, lo baik."

Aku bergerak gelisah di kursiku, "Karena gue terlalu baik dan terlalu kudet, gue jadi nggak tau apa-apa. Intinya sepanjang liburan gue dibohongin."

Sensasi aneh menguasaiku. Mereka pasti menertawakan kebodohanku yang telah berhasil mereka perdaya selama ini.

"Lho?" Reno mempertanyakan kata-kataku, "Lo kan udah tau kita dijodohin sejak di villa."

"Ya menurut lo aja, Ren. Gue gitu yang mesti maksa-maksa Risa buka mulut sementara dia sendiri nggak ada cemas-cemasnya soal gimana perasaan gue?" sahutku, untuk pertama kalinya menyadari bahwa aku merasa sakit hati akibat perlakuan sobatku itu, "Lagian bukan itu poinnya—"

Reno tiba-tiba menepikan mobilnya. Dia menarik napas sejenak sebelum memandangku tajam.

"Mika, stop." katanya, "Gue rasa reaksi lo agak berlebihan."

Aku menatap ke luar jendela mobil, "Kecewa ya gue nggak sesuai harapan lo? Nyesel karena ini pertama kalinya liat gue marah ke Risa?"

Aku tahu Reno masih memandangiku, tapi dia hanya diam. Selama beberapa detik, suasana di dalam mobil benar-benar hening. Aku akhirnya menyadari betapa perkataanku benar-benar tidak bermutu. Aku menggeleng-geleng cepat.

"Sori. Gue harusnya nggak ngomong ngelantur kayak gitu. Kebawa emosi sesaat." aku mengakui berat. Aku dapat merasakan tatapan lurus dan tajam dari Reno masih mengarah padaku.

"Nggak usah minta maaf." kata Reno, "Itu wajar. Kalo gue jadi lo, gue juga pasti bakal marah. Tapi gue harap emosi itu nggak usah dibawa berlarut-larut."

Reno mengulurkan sebelah tangannya untuk meraih beberapa helai rambutku dan menyelipkannya ke balik telinga.

"Gue juga berharap setelah ini hubungan kalian tetep nggak berubah." Reno tersenyum, kemudian perlahan senyumannya melebar menjadi cengiran, "Toh mereka ngerjain lo demi kebaikan. Iya kan?"

Sembari susah payah mengendalikan laju kecepatan detak jantungku saat ini yang kembali bertingkah abnormal gara-gara gestur uwu dari Reno, aku balas menatap cowok itu sambil mengangkat alis tinggi-tinggi.

"Oh, jadi pacaran sama lo itu kebaikan?"

Reno tertegun, "Er..."

Aku kesulitan menahan tawa melihat wajah Reno yang salah tingkah dan blushing akibat perkataanku. Aku bisa melihat rona merah merayapi kedua pipinya. Untuk pertama kalinya!

Tawaku akhirnya meledak, "Bercanda! Lo keren kok, pinter pula, jadi pacaran sama lo emang bisa dibilang kebaikan buat gue."

Reno menggaruk tengkuknya, "Sori, gue... over-pede."

Kami saling berpandangan dan tertawa.

Ah, ekspresi itu. Ekspresi lepas dan santai milik Reno yang kemunculannya amat langka. Suara tawa renyahnya yang amat jarang terdengar dan sangat kusukai. Kedua matanya yang menyipit dan sorotnya yang menghangat. Sisi lain dari Reno yang biasanya dingin dan cool. Reno yang terlihat normal dan boyish saat tertawa.

Dan bikin dia makin ganteng, tentu.

Dan inilah dia. Mama berhasil. Risa berhasil. Mereka berhasil. Congrats! Kekesalanku terhadap Mama karena menganggapku tak becus menjalin hubungan dengan cowok sehingga harus repot-repot menjodohkanku, sekarang sudah menguap entah ke mana.

Rencana Tuhan memang sulit dipercaya. Dengan liburan ini, aku jadi bisa berkenalan dengan Bryan, si Aussy imut yang hobi makan itu. Lalu bertemu teman lamaku yang menyebalkan namun penuh perhatian, Seno, yang survived dari masa lalunya yang kelam dan juga sekarang kembali bersama Risa. Ketidaktahuanku tentang hubungan Dennis dan Yuna juga telah terbayarkan, melihat betapa kompak dan cocoknya pasangan itu.

Dan juga aku bisa bersama Reno sekarang.

Kurasa setelah tiba di rumah nanti, aku harus segera memeluk sekaligus melabrak Mamaku. Karena dia, aku jadi terpaksa menjadi pemeran utama dari script perjodohan teman-temanku yang luar biasa norak, tapi pada akhirnya telah memberiku kebahagiaan tiada tara.

Mendadak, Reno mebuyarkan lamunanku. Senyuman miring yang kerennya tak terkalahkan itu kembali tersungging di wajahnya. Dia menatapku dengan mata coklat teduh itu, "Jadi... gue bisa sering ketemu lo kan, di Jakarta?"

"Hng..." aku pura-pura berpikir keras, "Gimana ya? Mungkin bisa kalo lo tiap hari jemput gue sepulang sekolah?"

"Ah. Ini ternyata maksud dari temen-temen non-single gue yang sering bilang 'ojek pribadi'..."

"Ralat. 'Sopir pribadi'. Kan lo bawa mobil." aku buru-buru menggeleng, nyengir. "Bercanda, Ren. Lo nggak perlu nyopirin gue ke mana-mana..."

Reno mengangkat bahu, "Gue juga punya motor Benelli di rumah. Triumph juga ada. Mau pake yang mana?"

Aku mematung.

Reno + motor gede = ?!?!?!

"Jangan sekali-kalinya jemput gue pake koleksi moge mahal lo!" ancamku panik, "Gue nggak mau jadi bahan gosip!"

Senyum miring Reno berubah menjadi cengiran, "Nggak sanggup liat gue yang terlalu keren?"

"Reno!" aku kebakaran.

Cowok itu tertawa, membuat kepanikanku perlahan luntur dan aku juga jadi ikutan tertawa sepanjang perjalanan kami kembali menuju villa.

Aku ralat pemikiranku sebelumnya. Karena ternyata liburan ini—biarpun ada cowoknya—betul-betul liburan yang tak terlupakan!

The End 

Dibaca juga ya Writer's Note & masih ada bonus chapter :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top