Hari Keempat : Terjebak Pola Hidup Vampir Dadakan

Risa memakai sisa waktunya malam itu untuk mencurhati aku dan Yuna.

Risa bilang padaku bahwa dia sekarang benar-benar menyesal pernah berbuat begitu rendahnya. Dia tak hentinya menangis di hadapan kami. Dan setelah kira-kira meminta maaf dan memohon untuk yang keseratus kalinya pada kami, aku menyanggupi permintaan Risa untuk berbicara dengan Reno. Untuk meminta cowok itu bersedia mendengarkan penjelasan Risa tentang Seno, sekali lagi. Karena saat ini sepertinya Reno mogok bicara dengan Risa. Mungkin abangnya itu mengira Risa kontakan lagi dengan Seno selama di sini.

Nah, yang jadi satu-satunya masalah adalah, Reno mendadak menjalani pola hidup seperti vampir seharian ini. Dia tidak keluar kamarnya kecuali saat makan atau ke kamar mandi, dan di malam hari, dia pergi keluar villa membawa mobil dan kayaknya belum akan kembali sebelum kami semua tidur.

Tampaknya ungkapan persahabatan butuh pengorbanan itu ada benarnya.

Buktinya, sekarang sudah hampir pukul satu pagi, tapi aku masih 'berkorban' begadang demi persahabatanku dengan Risa untuk menemui abangnya demi meluruskan masalah salah paham mereka.

Pukul satu tiga puluh. Mataku sudah beler berat dan aku sudah nggak tahan sehingga aku memutuskan menunggu Reno di luar. Beberapa detik lagi saja aku menunggu di sofa ruang tamu yang hangat dan nyaman banget itu, aku pasti bakal terbangun saat jam menunjukkan pukul dua belas siang.

Udara malam yang dingin bertiup hingga rasanya menembus tulang. Aku merapatkan jaket, merasa kesal untuk kesekian ratus kalinya terhadap Reno.

Ke mana sih dia? Bisa-bisanya dia jadi satu-satunya orang yang cuek bebek atas keadaan adiknya.

Aku jadi berpikir ulang. Seno memang bersalah karena dia sengaja pacaran dengan Risa walaupun tahu kalau keadaan Risa sedang rawan pengaruh jeleknya saat itu. Tapi gimana dengan Reno? Ke mana dia saat Risa benar-benar membutuhkannya? Saat Risa hopeless setelah ditinggal orangtua mereka?

Oke, Reno juga pastilah sangat terpukul atas kepergian ayah dan ibunya. Tapi menurut Bryan, saat-saat berat itu malah dilewatinya dengan menghindari Risa. Bahkan sekarang, ketika kenangan itu muncul lagi ke permukaan karena kemunculan Seno, dia nggak bisa menghadapi adiknya. Bahkan dia nggak sanggup menatap wajah Risa, entah karena kemarahannya yang mencuat lagi, atau rasa penyesalannya.

Aku memang belum pernah merasakan hal yang begitu berat dihadapi oleh seorang anak, kehilangan orangtua mereka sekaligus. Tapi aku mengira-ngira apa yang seharuskan kulakukan jika aku berada di posisi Reno. Dia mengemban tanggung jawab atas Risa setelah orangtua mereka pergi, sebagai seorang kakak. Setidaknya cukup ada di sisi Risa. Dia seharusnya memahami itu, dia nggak bodoh.

Langkahku terhenti di hadapan pagar kawat pembatas lapangan tenis dengan halaman villa yang luas. Tidak biasanya, lampu lapangan menyala benderang. Kemudian mataku menangkap siluet seseorang tengah melempar-lempar bola tenis di tengah lapangan, memantul-mantulkannya ke lantai.

Reno berdiri di sana. Rambut hitamnya yang biasanya rapi kini acak-acakan tertiup angin, sosok jangkung berkacamatanya kelihatan memukau tertimpa lampu sorot. Dia mengenakan sweater turtleneck hitam yang bagus banget di badannya itu. Aku melangkah memasuki lapangan, Reno menoleh kepadaku, kaget dengan kehadiranku.

"Mika?" Reno mengangkat alisnya, suara podcast-able-nya bergaung ke sekeliling lapangan yang sepi, "Ngapain lo di sini jam segini?"

"Kepengen ngobrol sama lo." jawabku tanpa basa-basi. Reno mengangkat alis tebalnya keheranan.

"Ngobrol?" ulangnya setengah tertawa, "Kan bisa besok?"

Reno mendengus geli sambil kembali memantul-mantulkan bolanya. Sulit berkonsentrasi untuk berbicara serius bila melihat cengiran cowok itu seperti saat ini.

"Gimana bisa? Lo kan vampir dadakan. Keluar malem, tidur siang." balasku.

Reno sepertinya mulai menyadari arah pembicaraanku, karena dia langsung menangkap bolanya.

"Soal Risa dan Seno?" tanyanya, tanpa menoleh.

Aku mengangguk singkat.

"Lo emang ngerti masalahnya?" nadanya menyelidik.

"Semuanya. Dari A sampe Z." kataku.

Kali ini Reno tak mampu menyembunyikan ekspresi kagetnya. Dia berbalik dan menatapku tanpa kedip.

"Soal—"

"Drugs-nya juga." sambungku meyakinkan.

Reno kemudian kembali memasang ekspresi cool yang saat ini justru terlihat menyebalkan bagiku. Topeng datarnya. Seolah dia tidak peduli pada apapun.

"Jadi? Akhirnya nyeselin keputusan lo temenan sama mantan pemakai?" komentarnya dingin.

Aku bengong menatapnya.

"Seriusan, Ren? Lo nanya gue begitu?"

"Setelah lo tau masa lalu dia, nggak heran kan, kalo lo mau ninggalin Risa?"

Aku memejamkan mata, berusaha mengontrol emosiku dan menghembuskan napas kesal. Lalu berujar jengkel, "Udah dua kali lo nge-judge gue sembarangan, Ren."

Reno tidak menyahut. Alisnya yang tebal sempurna sedikit terangkat menunggu pembelaanku.

Aku menjelaskan, "Gue ke sini bukan pengen pamitan ke lo buat ninggalin Risa ya, sori aja nih. Lo sama Risa harus bicarain semuanya secara terbuka. Gue tau gue nggak ada sangkut pautnya sama masalah kalian..." tambahku ketika kulihat rahang cowok itu berkedut keras, "...karena fyi, gue ke sini diminta Risa."

Dari balik kacamatanya, Reno masih memandangiku.

"Komunikasi, Ren." usulku, "Lo cuma perlu komunikasi sama adek lo."

Aku berbalik dan duduk di bangku penonton panjang di pinggir lapangan, merasa lelah hati dan pikiran karena berusaha menasehati cowok bebal kelewat arogan mengenai sesuatu yang aku sendiri pun belum pernah alami. 

Kesannya kok gue jadi sok tau banget kayak psikiater dadakan.

Tetapi sepertinya usahaku membuahkan hasil, karena tak lama kemudian Reno mengembalikan bola tenis yang digenggamnya ke wadah keranjang dekat situ, lalu menghampiri bangku panjang dan duduk di sebelahku.

"Gue pikir lo bakal kabur setelah tau yang sebenernya." ujarnya pelan.

Aku menatapnya letih, "Masih nyurigain gue cuma manfaatin dia? Sori aja kalo gue nggak sesuai ekspektasi Den Reno Yang Mahabenar."

Reno tertawa. Suara tawanya mengisi keheningan malam dan mengalun di sekelilingku. Jenis tawa yang boyish dan ringan. Ini pertama kalinya kulihat Reno tertawa sesantai itu. Membuat garis-garis wajahnya melembut. Membuat dia terlihat normal, seperti cowok seusianya.

Astaga, dia ngeselin tapi kenapa dia harus dreamy banget?

"Jadi, lo ngutang penjelasan ke gue." simpulku.

Reno mengernyit, "Penjelasan?"

Aku berpikir sebentar, "Iya. Kenapa lo ngejauh dari Risa, dulu waktu kalian baru aja ditinggal orangtua kalian? Juga sekarang, begitu Seno muncul lagi di depan kalian."

Reno hanya diam.

"Risa butuh kakaknya, Ren." kataku akhirnya, "Butuh banget."

Reno menyerah. Dia menghela napas panjang dan akhirnya berkata, "Gue tau."

Selama beberapa saat, kami saling berpandangan. Aku tersenyum menyemangati, sementara Reno balas menyunggingkan senyum miring khasnya padaku seraya berkata, "Gue juga pengen ngelurusin beberapa hal."

Oh, God. Senyuman itu. Fokus, Mik. Fokus!

Berusaha mengendalikan jantungku yang berdebar tak keruanan, aku memfokuskan diri pada suara Reno yang mulai bercerita.

"Gue ngeliat Risa sebagai anak yang begitu banjir kasih sayang. Orangtua kami selalu ada buat dia. Dan tiba-tiba, semuanya diambil dari dia, dari kami. Susah banget, Mik. Saat itu gue pikir, yang baik buat Risa adalah sendirian, supaya dia bisa nenangin dirinya. Supaya dia terbiasa.

"Gue mutusin buat ngejauh dari Risa selama beberapa waktu, sampe dia bisa nerima keadaan kami. Gue pengen dia mandiri, gue pengen dia bisa kayak gue. Ternyata gue salah. Dia malah temenan sama si tukang susu itu dan ketularan jeleknya."

"Seno, Ren." aku meralat pelan, "Dia juga punya nama."

"Yah... sori, gue—" dia memijat pelipisnya frustasi, "Ya, maksud gue Seno."

Aku tersenyum miris, "Tujuan lo baik. Tapi pikiran Risa mungkin beda sama lo. Dia justru butuh seseorang yang bisa dia jadiin pegangan buat hadapin masa sulit itu."

Aku melihat pandangan mata Reno menerawang jauh. Tetapi aku tahu Reno tengah mendengarkanku, menyerapi kata-kataku.

"Seno nggak pernah maksa Risa buat nge-drugs." ungkapku akhirnya, "Dan Seno nggak pernah maksa Risa buat... you-know-what. Risa yang ngarang semuanya, dia barusan cerita jujur ke gue, Yuna, Dennis, dan Bryan. Dia pengen Seno yang disalahkan buat segalanya. Dia sebenernya sakit hati karena Seno-lah yang mutusin dia.

"Seno pasti nganggep Risa bakal makin parah kalo mereka terus jadian. Makanya Risa punya... mungkin semacem dendam. Gue yakin Seno nggak pengen Risa kenapa-napa. Walaupun dia sempet khilaf ngobat, pada dasarnya dia cowok yang baik." aku menambahkan.

Sorot mata Reno dipenuhi kekecewaan mendalam, "Jadi selama ini Risa bohong ke gue?"

Aku mengangguk berat.

"Makanya gue bilang, komunikasi."

Kami terdiam, lama.

Aku menatap langit. Bintang-bintang yang sama dengan yang kulihat dari halaman belakang tadi. Hanya saja, kali ini perasaanku lapang. Lega. Kemuraman yang menghinggapiku hingga beberapa saat lalu sekarang hilang. Menguap bersama udara dingin yang... ugh, untung aku pakai jaket!

Ketika mengalihkan pandanganku dari langit, aku mendapati Reno tengah memandangiku dari balik kacamatanya, seolah sedang mencari sesuatu di mataku.

"Ternyata ada positifnya kalo pikiran kalian, para cewek, nggak pernah selalu selaras dengan cowok." dengusnya.

Aku berusaha memahami kata-katanya yang membingungkan.

"Gue selalu beranggapan, cowok selalu yang paling smart kalo dibandingin sama cewek. Paling logis. Tapi soal perasaan, cowok nggak ada apa-apanya. Jadi kehadiran cewek dibutuhkan cowok untuk jadi lebih peka." jelasnya.

Aku nyengir, "Kehadiran cowok juga penting sih, buat nentuin mau makan di restoran mana pas lagi jalan sama cewek."

Kami berdua terkekeh.

"Jadi kesimpulannya, lo mau kan dengerin penjelasan Risa?" tanyaku penuh harap.

Reno lagi-lagi menyunggingkan senyum miring yang breathtaking itu, tapi sorot matanya berkilat misterius, "Ya, tentu. Satu syarat. Tolong diem selama tiga puluh detik. Jangan gerak. Jangan bersuara."

Aku melongo menanggapi permintaan Reno yang aneh dan random itu.

"Apaan sih, Ren? Ngapain mesti—"

"Nurut aja. Lo mau besok gue jadi vampir lagi?"

Aku memutar bola mata, "Oke-oke. Iya."

Aku pun duduk diam dan menunggu.

Satu detik... dua detik... tiga detik... empat detik... aku menghitung dalam hati. Reno ternyata kekanakkan! Aku meliriknya dari sudut mataku. Dia masih saja tersenyum miring sambil memperhatikanku yang diam seperti orang dungu. Mau ngapain sih, dia?

Baru saja aku membuka mulutku hendak memprotes, Reno memajukan wajahnya dan mendekatkan bibirnya ke telingaku.

"Jangan bergerak. Jangan teriak." gumam Reno pelan.

Lalu dia mengecup pipiku.

Dan demi Tuhan, sentuhan bibir Reno di pipiku nyaris menarik lepas jantung dari balik tulang rusukku.

Dia mengecup pipiku. Lama. Bingkai kacamata dan ujung hidungnya yang menempel di kulitku terasa dingin, tapi efeknya malah membuat suhu wajahku meningkat drastis. Bisa kurasakan napas Reno berhembus lembut di wajahku, sementara napasku sendiri acak-acakan tak terkendali.

Kemudian, perlahan, dia mengangkat bibirnya dari pipiku dan jemarinya meraih daguku, menariknya lembut hingga kami bertatap-tatapan dalam jarak yang luar biasa dekat... sampai-sampai ujung hidung mancungnya nyaris menyentuh ujung hidungku.

"Gue minta maaf, karena terus mikir lo nggak tulus. Dan...thanks, Mik. Karena kepedulian lo ke Risa." suara Reno yang mengagumkan seolah menghipnotisku, "Mungkin... lo emang baik."

Aku memperhatikan tatapan Reno turun ke bibirku. Lalu dia memiringkan wajahnya.

WHAT—

Dengan amat perlahan, wajah sempurna itu bergerak mendekatiku. Begitu juga hidungnya, matanya, alisnya, bibirnya yang menyunggingkan senyuman kecil...

AAAAARGGHH! AAAAAAAAAAAA!

Aku bangkit dan berteriak, "UDAH TIGA PULUH DETIK!"

Reno sampai-sampai terlonjak mundur dari kursinya.

"DASAR MESUM!" semburku panik.

Setelah mengumpulkan seluruh sisa tenaga lahir-batin menahan godaan menonjok wajah tampan-dan-oh-Tuhan-sangat-sempurna milik Reno, aku berlari keluar lapangan menuju villa.

Sambil berlari aku memaki diriku sendiri, menyesali tindakanku.

Bego banget, Mik! Kenapa malah kabur?! Kenapa nggak biarin aja Reno nyi... nyi... astagastagastagaaaaaarrggh!

Apa Reno lagi ketawa-tawa di belakangku karena aku kabur?

Mungkinkah aku  ketiduran di sofa dan seluruh kejadian di lapangan dengan Reno cuma mimpi belaka? 

Atau aku tersandung dan kepalaku terbentur dalam perjalanan ke lapangan tadi, sampai-sampai aku tidak sadar bahwa sebetulnya aku sudah mati? 

Dan lapangan itu mungkin surga, dengan Reno sebagai malaikat di dalamnya, menyambutku?!

Kalem, Mik. Kalem... wkwk.
Jangan lupa voment :D

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top