Hari Keempat : Aku Digeret Dan Disuruh Memerah Susu Sapi

Teeeet....

Suara apaan sih?

Teeeeet... teeeeet...!

Aku berguling, mencari posisi nyaman.

TEEEEET...!

Aku tersentak bangun, spontan celingukan ke sekelilingku. Awalnya kupikir itu bunyi alarm Yuna atau Risa, namun keduanya masih melingkar tak bergerak di tempat tidur masing-masing. Dengan mata setengah terpejam, aku terhuyung-huyung menuju jendela, melihat bahwa sumber suara ternyata berasal dari sebuah motor dengan beberapa krat botol susu di jok belakangnya. Motor itu tengah terparkir di halaman villa, dengan seorang cowok yang sedang sibuk membunyikan klakson.

Sedetik kemudian aku tersadar sepenuhnya.

"Seno!" bisikku kaget.

Aku ke kamar mandi untuk mencuci muka dan gosok gigi singkat, lalu mengambil jaket dan bergegas turun, berusaha sepelan mungkin agar tidak mengganggu dan membangunkan orang-orang...

"Mau kemana, Non?" tiba-tiba kepala Mbok Ina menyembul dari pintu dapur.

"AAAH! MBOK!" jeritku kaget.

Mbok Ina bertanya lagi, "Mau ke peternakannya Seno ya?"

Aku mengangguk, sambil masih mengelus-elus dada.

"Jangan kelamaan, ati-ati lho Non. Inget, dia tuh ganjen!"

"Iya! Beres! Roger! Paham!"

Aku keluar ke teras. Seno langsung sumringah melihatku.

"Berangkat sekarang, Princess?"

"Jangan norak. Yuk."

Seno membawaku mengitari area villa, keluar dari kompleks dan naik lagi sekitar dua kilometer, tapi tidak melalui jalan utama, melainkan jalan di antara pedesaan, yang memiliki pemandangan sedikit berbeda dengan di atas tadi. Di sini matahari kelihatan lebih cerah karena pepohonannya mulai jarang-jarang, tapi udaranya juga jadi semakin dingin. Padang berumput perlahan mulai mendominasi kiri-kanan jalan, dan di sepanjang tepinya berpagar kayu. Di tengah padang kulihat kandang besar dengan belasan sapi-sapi dan kambing-kambing gemuk yang sedang merumput di sekitar situ. Pemandangan yang menyejukkan mata, jarang sekali kulihat di sekitar rumahku di pusat kota yang diapit gedung-gedung tinggi.

"Itu kandangnya." teriak Seno mengatasi kebisingan suara mesin motornya.

"Gede banget!"

"Rumah gue beberapa meter di belakangnya."

Seno mengendarai motornya memasuki gerbang pagar kayu, dan menyeberangi padang rumput penuh sapi itu. Bau-bau khas hewan mulai menyeruak ke hidungku. Kami berhenti persis di depan teras rumah Seno yang berada tidak jauh dari area peternakan dan surprisingly, besar dan bagus. Lebih besar dari rumahku di Jakarta malah. Dia mempersilahkanku masuk.

Bagian dalam rumah Seno terlihat nyaman dan hangat. Seorang wanita gemuk menyambutku sambil memegangi cetakan kue pai. Wajahnya masih kelihatan tidak jauh berbeda dengan yang terakhir kali kuingat waktu SD, hanya saja kali ini ada yang berbeda dengan matanya. Pandangannya agak hampa dan lesu walau senyum menghiasi bibirnya. Dia ibu Seno.

"Ma, ini Mikachu. Inget nggak?"

Aku menahan godaan untuk menjitak Seno karena nama panggilan itu, namun tidak jadi demi menjaga kesopanan. Ibu Seno tersenyum cerah menatapku.

"Nak, Mika! Udah lama ya nggak ketemu! Waduh... kamu jadi cantik! Terakhir kali kapan ya? Pas ngambil rapot kelulusan SD kalo nggak salah..."

"Apa kabar, Tante? Hehe... bisa aja. Seno juga udah banyak berubah." sahutku malu. Seno mengusap-usap hidungnya sombong.

"Jadi cakep kan?" kekehnya, "Ngomong-ngomong perut gue sekarang kotak-kotak lho Mik..."

"Kamu jangan kepedean! Badan kamu kebentuk gara-gara tiap hari kerjaannya gotongin ember susu sama bersihin kandang! Lagian itu juga nggak kotak-kotak. Apa sih namanya? Apa 'pak' gitu..."

"Six pack, Tante?" tebakku geli. Ibu Seno mengangguk-angguk.

"Kotaknya ada enam, Tante?" pancingku lagi.

"Hmh." cibir Ibu Seno, "Cuma ada dua. Yang atas perut, yang bawah lemak."

Kami berdua terbahak-bahak sementara Seno meraba perutnya dengan telinga memerah.

Setelah tawa kami mereda, Ibu Seno berkata, "Ayahnya Seno lagi ke pabrik sih, jadi nggak bisa ketemu Nak Mika deh."

Aku dapat merasakan tubuh Seno menegang di sebelahku. Dia memandangi wajah ibunya, ekspresinya sendu. Aku kebingungan.

"Nggak papa kok, Tante." jawabku, akhirnya memutuskan mengabaikan tingkah ganjil Seno.

"Ya udah Sen, kamu ajak Mika ke kandang gih... dia pasti pingin liat-liat."

"Ah, nggak us—"

"Ayo, Mik." ajak Seno. Dia langsung menarik tanganku. Setelah dia meggiringku keluar rumah, barulah dia melepas pergelangan tanganku.

"Gue tau lo pasti nggak suka bau-bauan khas kandang. Tapi demi nyokap gue lah..." canda Seno sambil berjalan menuju kandang.

"Bukan gitu sih." ujarku, "Sebenernya gue lebih milih di dalem, duduk di sofa anget sambil nyicipin pai nyokap lo yang baru mateng daripada di luar dingin-dinginan. Kan gue belum sarapan."

"Di kandang anget kok. Kan sapinya banyak aktivitas, makan, tidur, BAB, semua-muanya di situ." Seno nyengir menyebalkan.

"Ugh, gue benci elo."

Seno terbahak.

Kemudian cowok itu membuka pintu kandang dan kami masuk ke kandang yang besar itu. Di dalam situ sepi dan nyaris kosong karena sebagian besar hewan sedang dikeluarkan. Beberapa sapi sedang asyik mengunyah-ngunyah jerami di masing-masing biliknya. Dan seperti yang sudah kuduga, baunya khas.

"Lagi nggak ada pekerja, mereka dateng sekitar jam tujuh nanti." kata Seno sambil melihat sekeliling dengan kedua tangan terlipat di belakang, seperti direktur sedang memantau cara kerja karyawan-karyawannya, "Nah, mau nyoba merah susu sapi?"

"Wah, gue nggak yakin." aku mengerling Seno ngeri. Cowok itu terbahak.

"Tenang-tenang, gue ajarin."

Aku digeretnya ke sapi terdekat. Seno mengambil ember dan menaruhnya di bawah you-know-what-nya sapi itu. Dia menggulung lengan kausnya dan dengan cekatan memeragakan gerakan memerah susu yang profesional.

"Nih, liat. Bisa selancar ini juga butuh pengorbanan. Gue pernah ditendang sapi gara-gara posisi gue persis di belakang pantat sapi, itu nggak boleh. Dan nekennya juga jangan terlalu kasar. Sapi juga perasa. Mau nyoba?"

Seno menggeser diri ke sebelahku. Ragu-ragu, aku menggulung lengan bajuku dan mengulurkan tangan, menggantikan posisi tangan Seno sedetik yang lalu, dan mulai mencoba memerah. Beberapa tetes susu jatuh ke ember.

"Seno! Gue bisa!" kataku sesumbar. Selama beberapa menit Seno membiarkanku keasyikan memerah susu, sampai kelihatannya sapinya sudah mengerahkan tenaga terakhirnya untuk menghasilkan susu.

"Ngomong-ngomong Sen, gue perhatiin kayaknya ada yang beda sama nyokap lo." Aku menyeletuk. Seno memperhatikanku bingung.

"Apanya? Jadi gemukan?"

"Bukan... sekarang nyokap lo jadi, apa ya? Keliatan banyak pikiran..."

"Ah, mungkin gara-gara dia baru sembuh sakit. Dua hari yang lalu dia demam." Seno berusaha terdengar biasa saja, tapi aku bisa menangkap ekspresinya yang agak ganjil. "Lumayan juga buat ukuran lo. Biasanya sapinya marah lho sama orang yang baru dikenal."

Aku menatap Seno kaget, "Kok baru bilang sekarang?!"

Seno nyengir padaku, "Kalo gue bilang kayak gitu duluan, lo mana mau gue suruh nyoba?"

Aku berpaling lagi ke ember susu, merasa lebih was-was. Tiba-tiba Seno berbicara lagi.

"Tapi ada lucunya juga ngurusin sapi. Kadang-kadang kalo sapinya lagi bete, bisa begini nih..."

Mendadak, Seno mengulurkan lengannya seolah hendak merangkul pundakku, membuatku membeku. Tapi kemudian lengannya melewatiku untuk menepuk keras bagian paha belakang si sapi, membuat sapi itu melenguh jengkel dan mengayunkan buntutnya hingga sulurnya menampar pipiku. Aku menjerit saking kagetnya, sampai-sampai berdiri dan mundur beberapa meter jauhnya dari sapi itu.

"SENO!" seruku.

Seno terbahak-bahak, "Gimana rasanya ditabok sapi?"

Sialan! Sialan!

Rupanya ekspresiku belum sepenuhnya pulih dari kekesalan. Karena tampang Seno langsung berubah saat memperhatikan wajahku.

"Eh, sori-sori! Bercanda, Mik!"

Setelah berhasil mengontrol detak jantungku dan berusaha tidak mengingat lagi detail kejadian tadi, aku bersuara, "Gue kira tadi lo mau mesum! Makanya syok gue dobel!"

Perubahan ekspresi Seno begitu drastis. Yang tadinya cemas bercampur bingung, kini berubah memerah, dan kemudian cowok meledak tertawa.

"SUMPAH, MIK!" Seno tertawa pol-polan sampai-sampai matanya berair, "Nggak nyangka lo punya pikiran kayak gitu! Nggak mungkin lah gue mau ngapa-ngapain lo di depan sapi-sapi gue, ada-ada aja!"

"Ya kan gue udah lama nggak ketemu sama lo." aku mencari pembelaan, "Kali aja bener kata Mbok Ina..."

Seno belum juga berhenti tertawa.

"Oke. Gue pulang." kataku jengkel sambil melangkah keluar. Seno langsung panik.

"Eh, Mika... ngambek nih?"

"Kira-kira aja gimana?! Orang gue tadi kaget beneran!"

"Sori deh..."

Aku menghiraukannya dan terus melangkah menuju pekarangan, sebelum Seno memanggilku lagi dengan nada meledek, "Emang tau jalan pulangnya?"

Aku terhenti. Sempat malu rasanya karena aku tahu aku tidak mungkin pulang sendirian, tapi kemudian aku berbalik menghadapi Seno dengan berani.

"Tinggal telepon Reno, suruh jemput. Dia tau daerah sini."

Seno mendadak membeku.

"Reno?" ulangnya dengan nada tak percaya.

"Kenapa?" tantangku.

"Bukan Reno kakaknya Risa, kan?"

Aku mengerjap, "Lo kenal temen gue Risa?"

Pandangan Seno seketika berubah kaku.

"Sen?" panggilku bingung.

"Gue anterin lo pulang." ujar Seno, "Sekarang."

Nah lho?

Mohon vote & comment :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top