Hari Kedua : Apa? Dia Ngapain? Gimana Bisa?
"Lo sih Ris, pake nyuruh-nyuruh dia nyari kayu! Kenapa sih lo nggak nyuruh gue aja?"
"Nggak usah diributin sekarang, Den!"
"Tapi salah siapa Mika sampe pingsan? Lo sih ngebet banget ninggalin mereka berduaan. Kenapa nggak sekalian aja lo kunciin mereka berdua di villa?"
"Please... gue nggak tau jadinya bakal begini." isakan Risa mendadak menyadarkanku.
Aku membuka mata begitu tiba-tiba, mataku menyipit karena cahaya menyilaukan yang tiba-tiba tertangkap mataku. Aku mengerjap beberapa kali, dan pemandangan di depanku menjadi jelas. Aku berada di sebuah kamar tidur kecil. Risa, Yuna, Dennis, dan Bryan sedang duduk mengelilingiku.
Kepalaku sakit banget.
"Mika udah sadar!" Risa nyaris menangis saking leganya melihatku.
"Ini di mana?" tanyaku serak sambil mencoba duduk. Tapi Yuna dan Bryan buru-buru mencegahku.
"Don't rush yourself." Bryan berkata, lalu menyodorkanku segelas teh panas, "Minum dulu."
Aku menurutinya, sambil merasa agak risih karena empat pasang mata yang menatapku penuh kecemasan. Tenggorokanku terbakar. Tehnya panas banget!
"Ini di kamar tamu di villa. Lo pingsan, asma lo kambuh." Yuna menatapku bersimpati, "Waktu nyari kayu sama Reno."
Tiba-tiba aku ingat semuanya lagi.
Kilatan kacamatanya, suaranya yang dingin menusuk. Kata-katanya yang menyengat...
Tahu-tahu, air mataku mengalir tanpa bisa direm. Yuna, Risa, Dennis dan Bryan sontak kelabakan.
"Mik?!" Dennis menatapku khawatir.
"What's wrong with you?" Bryan bertanya panik.
"Lo nggak diapa-apain kan sama Reno?" Yuna bertanya cemas.
Aku cepat-cepat menggeleng.
"Nggak, cuma syok tiba-tiba gue jatuh di hutan." aku berbohong. Aku sempat berpikir untuk membeberkan segalanya kepada Risa, tapi aku bukan tukang ngadu. Lagipula nanti mereka tambah khawatir kepadaku. Aku liburan mereka rusak cuma gara-gara aku yang pingsan dilabrak Reno.
Nggak keren banget sih, Mik.
"Mika, gue bener-bener minta maaf, gue... gue nggak ada maksud buat bikin lo kenapa-napa..." Risa memelukku sambil menangis histeris.
Aku mengelus rambutnya, "Ya ampun, Ris. Tenang aja, gue sama sekali nggak dendam kok. Paling ntar malem gue tinggal cari kapak."
Semuanya tertawa, namun Risa malah semakin histeris.
"Bercanda!" aku menenangkannya. Kemudian aku jadi teringat, "Ngomong-ngomong acara kembang apinya gimana?"
"Batal lah, bodo amat kembang api. Lo tetiba pingsan gitu." Dennis berujar blak-blakan.
Aku tertunduk malu. Gara-gara kambuhku, malam yang seharusnya menyenangkan jadi rusak.
Risa akhirnya melepaskan pelukannya, "Gue khawatir banget waktu Reno keluar dari hutan sambil gendong lo..."
Telingaku serasa korslet.
"Sori?" ulangku tak mempercayai apa yang barusan kudengar.
"Iya, Reno sendirian yang gendong lo balik ke villa. Kami nyusul. Makanya lo di kamar ini, Reno nyari kamar terdekat dari pintu depan villa daripada mesti naik ke lantai dua dulu." Dennis menjelaskan.
Aku tercengang.
Dia... ngapain? Gimana... gimana bisa? Si Reno abis ngelabrak gue nggak jelas, tapi dia juga yang... gendong gue?
"Dia di mana sekarang?" tanyaku, berusaha tidak menunjukkan keterkejutanku.
"Reno lagi keluar pake mobilnya, cari angin katanya." Dennis menyahut.
Dia bikin gue pingsan tapi ujung-ujungnya kasian sama gue. Kenapa nggak sekalian aja tinggalin gue di tengah hutan? aku membatin, emosiku timbul lagi.
"Jam sebelas malem?" tanyaku sambil melirik jam di sampingku.
Yuna menatapku curiga, "Emang kenapa sih? Kalian kenapa?"
"Nggak." sahutku muram, "Nggak kenapa-napa."
♡
Malam itu aku bermimpi...
Aku melihat seseorang. Hanya profil tubuh bagian belakangnya yang bisa kulihat. Laki-laki. Dia berdiri membelakangiku, menghadap ke jendela besar, siluetnya tertimpa sinar bulan yang menerangi kamar gelap itu dengan lembut.
Seolah menyadari tatapanku, sosok itu kemudian berbalik dan melihatku. Tetapi aku gagal mengenali wajahnya di tengah kegelapan.
Dia lalu menghampiriku dan duduk di tepian ranjang.
"Hei." suara maskulinnya mengisi keheningan malam.
Aku berusaha memfokuskan pandanganku, namun gagal.
"Hmm..." aku cuma sanggup menggumam pelan. Kenapa rasanya ngantuk banget?
"Udah nggak apa-apa, kan?" terselip setitik nada cemas pada suaranya yang terdengar datar.
Suara ini? Nggak mungkin.
"Ya." aku menggumam lagi, mengiyakan. Kepalaku terlalu berat.
Mataku perlahan terpejam.
Aku merasakan sapuan ringan di dekat pelipis dan telingaku. Rambutku. Dia menyentuh rambutku dan menyelipkannya ke belakang telingaku.
Tetapi aku terlalu lelah untuk sekadar membuka mata dan mengecek siapa sebetulnya si pemilik tangan itu. Lagipula ini cuma mimpi.
Mimpi... kan?
♡
Maaf chapter ini agak pendek.
Mohon vote & comment :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top