Bonus Chapter: Pertama Kali Nge-Date Itu Kudu Ke Mana?
"Mik? Kamu udah selesai? Itu Reno udah nunggu di bawah."
Seketika aku dilanda kepanikan.
Suara Papa dari luar pintu kamarku itu jadi kayak suara hakim yang membacakan vonis buatku si terdakwa. Aku berdiri di depan cermin untuk yang entah keberapa ratus kalinya, memelototi rambutku.
Aku salah potong rambut.
Oke, bukan salah sih sebetulnya. Cuma rambut lurus hitam sepundakku sebelumnya selalu normal. Aman. Nggak macem-macem. Hingga semalam, waktu aku tiba-tiba mendapat chat dadakan dari Reno.
Mari flashback sedikit ke percakapanku dan Reno tadi malam:
(18.02) Oner : Mik
(18.03) Me : ya
(18.05) Me : apa? jgn digantung -..-
(18.16) Oner : sori td Dennis nelp.
(18.17) Me : ok. knp?
(18.17) Oner : besok ada waktu?
(18.17) Me : waktu sih ada terus. sibuk atau enggak nya itu yg gw ga tau
(18.18) Oner : ...
(18.18) Me : lol adaaa, knp emg? :p
(18.18) Oner : ketemuan gmn?
(18.19) Me : buat?
(18.19) Oner : nacnek
Oke, satu hal yang baru kuketahui pasca-pacaran dengan Reno adalah kebiasaan anehnya untuk menyebutkan sesuatu dari huruf belakang. Awalnya aku sempet Reno-lag. Tapi lama-lama aku terbiasa.
(18.20) Me : etad-egn?
(18.20) Oner : yup
(18.20) Me : kok dadakan?
(18.21) Oner : emg ada kangen yg direncanain jauh2 hari?
Aku balasnya agak lama karena harus fangirling-an sejenak membaca kata-kata Reno. Dia bilang kangen! Dia ngajak nge-date! Date pertama kami! Entah sejak kapan dia jadi se-bucin ini. Bukannya aku keberatan, tapi baru kemarin sore dia jemput aku pulang dari sekolah.
(18.25) Me : oh
(18.25) Oner : kok 'oh' doang
(18.25) Me : ok. jam brp & ktemu dmn?
(18.26) Oner : ngaco. Bsk tunggu aja drmh jam 11
Setelah percakapan itu, aku ngibrit ke salon dekat rumah demi membenahi rambutku.
Tadinya niatku cuma untuk memotong poniku yang sudah kepanjangan. Tapi Kak Vanessa Quinones—nama 'samaran' tukang potong rambut langgananku yang kemayunya lebih-lebih dari cewek betulan itu—malah memutuskan merombak penampilanku. Dia memotong rambutku model bob-acak yang pendek seleher dan menyingkirkan poni panjangku ke samping hingga kelihatannya aku sekarang nggak punya poni.
"Gini aja cintaaah... jadi lebih keliatan dewasa kan, percaya sama eke. Sompral kalo sampe cowok yey nggak suka. Kalo doski protes, sini bawa ke mari biar eke libas!" cuit Kak Vanessa ceria.
Dalam hati, aku ogah bawa-bawa Reno ke hadapan Kak Vanessa. Bisa-bisa aku yang malah ditikung.
Kembali ke saat ini. Intinya, aku selalu merasa insecure ke mana-mana tanpa poni. Makanya aku masih keringat dingin memandangi tatanan rambutku di cermin bahkan setelah Reno tiba di ruang tamuku siang ini.
"Eh... nggak papa, Tante?" kudengar samar-samar suara maskulin yang sudah sangat familiar itu dari arah luar kamarku.
Eh, mampus!
"Duuh... nggak papa! Daripada kelamaan keluarnya." kemudian pintu menjeblak terbuka dan menampilkan Mama yang menggeret-geret seseorang di belakangnya, "Mika! Ini Reno udah kelamaan nunggu tapi kamunya nggak turun-turun, gimana sih?!"
Aku menyaksikan Reno yang sedikit merunduk canggung untuk melewati pintu kamarku. Dia yang segitu tingginya sampai-sampai nyaris menyentuh lis atas pintuku atau emang pintuku yang kelewat kecil?
"Mama ke bawah dulu ya! Nak Reno kalo mau makan siang dulu di sini boleh ya, Tante masak soto ayam!" Mamaku melambai dan dengan santainya meninggalkan kami.
Ada sesuatu pada penampilan Reno yang membuat dia kelihatan berbeda hari ini. Masih ganteng pol-polan, tentu, tapi entah kenapa hari ini auranya lebih... soft. Mungkin karena ini pertama kalinya aku melihat Reno di dalam rumahku.
Cowok itu berpenampilan simpel tapi cool dengan kemeja flanel bergaris abu-abu-hitam sederhana di luar kaus putihnya, dipadu washed-out jeans, dan kets limited edition hitam-putih kesayangannya. Kacamata bertengger setia di hidung mancungnya, membingkai sepasang mata kecokelatan miliknya yang kini tengah menatapku tanpa kedip.
Pandangannya terarah ke kepalaku, "Rambut—"
Aku—yang masih dalam posisi berdiri di depan cermin—tertawa gugup.
"Iya, kemaren potong tapi kependekan. Aneh ya?" tanyaku.
Reno memperhatikanku. Kemudian dia menggeleng.
"Nggak." senyuman miringnya mengembang, "Keren malah."
Berusaha menutupi salah tingkahku, aku buru-buru menyambar tasku dan menariknya keluar kamar, "Ayo jalan."
Setelah susah payah berpamitan dengan Mama—yang keukeuh mengajak Reno makan siang dulu karena soto ayamnya sudah matang—kami menaiki mobil Reno dan meluncur menuju...
Ngomong-ngomong, Reno belum bilang kami mau ke mana hari ini.
"Kita mau ke mana, Ren?"
Reno mengangkat bahu, "Enaknya ke mana?"
Aku menghela napas. Kami jadi kayak tipikal pasangan galau yang nggak ada ide mau ke mana.
"Taman Safari?" ceplosku asal.
Reno mengangguk dan spontan membelokkan setir, "Oke."
Aku menoleh cepat, "Eh! Beneran? Gue bercanda!"
Reno melirikku, "Kenapa kalo beneran, nggak apa-apa kan?"
"Tapi kan jam segini..." aku melihat arlojiku, "...ke Puncak macet, Ren. Sabtu pula."
"Kalo kemaleman kan bisa nginep di villa."
Reno mengatakannya dengan nada datar, tapi aku bisa melihat kilatan jahil di matanya.
"Apa mau ke Bandung sekalian?" tantang Reno, menikmati ekspresi panikku.
What?!
Tapi setelah adu pendapat hingga mencapai kesepakatan bersama, aku dan Reno akhirnya mampir ke McDonald dekat rumahku.
Aku dan Reno berdiri bersebelahan di sudut konter restoran cepat saji itu sambil menunggu pesanan kami; coke, kentang goreng, dan dua fillet o' fish untuk Reno, serta chocolate milkshake dan satu set Happy Meal untukku. Reno memandangiku dengan ekspresi datar khas-nya.
"Happy Meal?" tanya cowok itu sambil menaikkan alis.
"Biar dapet bonus mainannya. Mereka ngeluarin lagi edisi mainan tahun sembilan puluhan limited edition!" sahutku bersemangat.
"Jauh-jauh jemput ujung-ujungnya makan di sini." gumamnya. Aku nyengir cerah.
"Nggak papa. Nggak mahal. Kenyang juga. Nggak ada yang rugi, hehe." kemudian aku menatap sekeliling. Kami datang di waktu makan siang, jadi nggak heran sebetulnya kalau hampir seluruh meja di restoran itu terisi penuh, "Lo mau duduk di mana?"
Mendengar kata-kataku, ekspresi Reno berubah kaku. Dia kenapa sih? Kayaknya beberapa kali dia selalu pasang tampang begitu hari ini. Apa dia nggak suka kuajak ke McD?
"Mbak, yang pesenan saya tadi tolong di take-away aja, ya." Reno memanggil mbak penjaga kasir yang tadi melayani kami. Dengan sigap si mbak mengangguk dan melanjutkan menyiapkan makanan kami.
"Kita mau makan di mana emang, Ren?"
Reno meliriknya, "Yang jelas nggak di sini."
♡
Aku terbengong-bengong menatap sebuah gedung perkantoran tinggi di kawasan pusat Jakarta, tempat Reno sekarang tengah menepikan mobilnya dia area parkir dekat lobi utama yang bertuliskan 'reserved'. Ketika Reno mematikan mesin mobil dan melepas seat belt-nya, aku buru-buru menarik tangannya.
"Lo ada wawancara kerja apa gimana?" tanyaku cemas.
Lagi-lagi, ekspresi Reno berubah kaku, "Nggak. Mau makan siang, kan?"
Sepertinya aku harus meralat pernyataanku sebelumnya soal Reno-lag. Jelas-jelas aku masih butuh membiasakan diri untuk menerka-nerka jalan pikiran cowok ini.
Di dalem gedung ini ada restorannya apa gimana? Emang boleh bawa makanan dari luar? McD pula!
Tapi Reno, dengan santainya mengambil plastik bungkusan makanan kami dari jok belakang, dan keluar dari mobil. Aku mengikutinya dengan linglung menuju lobi gedung. Kami disambut oleh penjaga pintu ekstra-sopan yang buru-buru membukakan pintu untuk kami berdua.
"Selamat siang, Pak!" sapa si penjaga berseragam dengan senyuman lebar kepada Reno, yang dibalas Reno dengan senyuman kasual.
"Dah lama nggak ketemu ya, Pak Kus." Reno mengulurkan tangan untuk menyalami si penjaga pintu.
Pak Kus membalas uluran tangan Reno, menjabatnya bersemangat, "Kirain udah lupa sama saya, Ren."
"Masa iya saya lupa sama baby sitter saya waktu kecil?"
Keduanya tertawa-tawa.
Aku memandangi keduanya bergantian, kebingungan. Jadi dulu si 'Pak Kus' ini baby sitter-nya Reno?
"Tumben mampir, Ren?" tanya Pak Kus.
"Iya, mau makan siang di atas."
Pandangan Pak Kus kemudian teralih padaku, lalu beliau tersenyum sopan. Reno kemudian mengenalkanku.
"Kenalin, Pak."
Aku menyalami Pak Kus. Nyaris saja aku cium tangannya (karena kebiasaan salim dengan guru di sekolah), cuma untunglah aku segera sadar dan balas menjabat tangannya mengikuti gaya Reno.
"Mika, Pak." senyumku.
Pak Kus menjabat tanganku ramah, "Non Mika ini..."
"Pacar saya." sahut Reno.
Fix sudah, tidak ada istilah 'terbiasa' kalau itu soal Reno. Kayaknya sampai kapanpun aku bakalan tetap jadi udang rebus tiap kali Reno mengenalkanku dengan seseorang sebagai 'pacar'nya.
Setelah puas ngalor ngidul sebentar dengan Pak Kus, Reno mohon diri kepada pria paruh baya itu untuk masuk ke gedung bersamaku. Seketika aku menyuarakan pertanyaan-pertanyaanku sementara kami menyeberangi lobi depan gedung yang sepi menuju deretan lift. Maklum, ini hari Sabtu.
"Pak Kus dulu baby sitter lo?" tanyaku penasaran.
"Iya, waktu bokap-nyokap lagi terlalu sibuk di kantor sini. Sekalian supirin bokap juga ke mana-mana." jawab Reno.
Aku mengangkat alis, "Ini dulu kantor bokap-nyokap lo?"
Kami berhenti di depan lift dan Reno menekan tombol naik, "Mereka owner."
Aku tersedak ludahku sendiri.
"Owner?!"
Pintu lift berdenting terbuka. Reno menyusul masuk ke dalam lift setelahku dan menekan tombol lantai yang sepertinya paling atas.
Aku masih melongo memandangi Reno. Aku tahu keluarganya kaya raya. Tapi aku nggak menduga sekaya itu. Aku sama sekali nggak pernah menyangka bahwa gedung perkantoran megah yang sering kulewati ini ternyata milik orangtua Reno. Risa juga nggak pernah cerita-cerita!
Reno melirikku sementara lift meluncur naik, kemudian bertanya blak-blakan, "Kenapa, kaget punya cowok tajir mampus?"
Aku bersandar di dinding lift, syok berat.
"Tau nggak sekarang gue lagi mikir apa?"
"Hm?" Reno mengangkat alis.
"'My Boyfriend is a CEO'..." kataku, "Itu beneran kejadian ya ternyata."
Reno mengernyit bingung.
"Apa?"
"Wattpad...?" terangku lagi.
"Wattpad?"
"'My Billionaire Boyfriend'..." aku mencoba lagi, "'CEO Badboy'..."
Wajah tampan Reno semakin kelihatan bingung, "Apaan sih, Mik?"
Aku menghela napas dan menggeleng-geleng, "Lupakan."
Kupingku sampai terasa tuli saking tingginya kami naik. Kemudian pintu lift berdenting terbuka di lantai teratas, lantai empat puluh enam. Tahu-tahu Reno menggamit jemari tanganku lalu menuntunku keluar lift dan menyusuri koridor yang sepi.
Oke, kami memang sudah jadian kurang lebih dua minggu, dan selama itu kami cuma sempat bertemu saat kebetulan jadwal kami sama-sama cocok di hari kerja dan dia bisa menjemputku. Kami belum pernah 'jalan' berdua ke manapun sebelumnya. Jadi aku nggak tahu apakah Reno tipikal cowok yang suka ngajak jalan mantan-mantannya ke kantor yang sepi di akhir pekan atau gimana.
Tapi terus terang, aku sama sekali nggak mau protes soal dia yang sekarang sedang menggandeng tanganku. Setahuku sih, selama jadian, Reno memang bukan tipe yang suka PDA. Jadi satu-satunya momen—ehem—romantis kami pasca jadian ya cuma waktu di Puncak, waktu dia mengajakku ke labirin.
Jadi, jangan salahkan aku kalau aku cukup menikmati momen ini.
Reno kemudian membuka salah satu pintu ruangan dan berjalan ke balik salah satu meja kerja dan mengambil sesuatu dari dalam lacinya. Beberapa buah kunci. Tanpa bertanya, aku mengikuti Reno kembali menyusuri koridor hingga tiba di ujungnya. Reno kemudian menggunakan kunci pertama untuk membuka pintu yang ternyata mengarah ke tangga darurat. Dia menggandengku lagi menaiki tangga, dan tiba di ujung teratas, lalu cowok itu kembali membuka pintunya dengan kunci kedua dan mempersilakanku keluar duluan.
Aku disambut cahaya benderang dan angin yang lumayan kencang. Reno ternyata membawaku ke rooftop gedung yang nggak seperti bayanganku selama ini. Kalau di film-film, entah mengapa image rooftop itu selalu keren. Tapi yang kulihat sekarang biasa saja. Abu-abu, dan banyak terdapat unit-unit mesin yang kemungkinan besar berkaitan dengan AC atau listrik gedung.
Aku memperhatikan Reno yang menghampiri sebuah loker besi kecil di dekat situ dan membukanya, lagi-lagi dengan salah satu kunci yang diambilnya dari laci tadi, dan menarik keluar sebuah kain. Reno kemudian melebarkan kain itu dan meletakkannya di salah satu sisi dinding unit mesin yang cukup teduh, untuk menjadikannya alas duduk.
Cowok itu menatapku dan menepuk-nepuk tempat di sebelahnya sembari menaruh bungkusan makan siang kami, lalu tersenyum miring. "Piknik dadakan."
Entah mengapa, seluruh gestur itu membuatku merona.
Dia membawaku ke atap gedung milik orangtuanya demi piknik privat denganku.
Aku menurut dan duduk di sebelahnya, setelah mencopot sepatu ketsku supaya nggak mengotori taplak. Selama beberapa saat kami sibuk membongkar makanan kami. Aku mendesah kecewa ketika mendapati kentang goreng yang kuambil sudah layu karena terkena uap panas di dalam plastik. Aku melirik kentang punya Reno yang masih kelihatan garing.
Seolah membaca pikiranku, cowok itu meraih kentang layu di tanganku dan menukarnya dengan miliknya.
Aku tersenyum senang.
"Makasih." ujarku, yang disambut gumaman mengiyakan dari Reno.
Selama menikmati makan siang kami, kami mengobrol. Semalam, aku sempat nervous dan kepikiran kalau-kalau momen berdua seperti ini akan jadi canggung, karena Reno memang tipikal yang jarang bicara kalau nggak dipancing duluan. Tetapi kekhawatiranku seketika sirna begitu menyadari obrolan kami berlangsung dengan sangat natural dan santai. Kebanyakan memang didominasi olehku, tetapi Reno nggak tampak jengah atau risih mendengarkan. Dia malah, kalau aku boleh geer sedikit, terlihat menikmati cerita-cerita remehku.
Tapi tetap saja, ada sesuatu yang agak lain pada ekspresi Reno hari ini.
Ketika makanan kami akhirnya habis dan kami sama-sama bersandar ke dinding dan meluruskan kaki, sambil bengong sejenak karena kekenyangan, aku memberanikan diri untuk menanyainya.
"Ren."
"Hm?"
"Kenapa sih hari ini kok kayaknya... lo beda?"
"Beda gimana?"
Aku mengangkat bahu, "Kayak... mm, bete sama gue."
Reno menoleh menatapku.
"Nge-date sama gue ngebosenin ya?" aku terkekeh sedih.
Reno nggak menjawab. Dari sudut mataku aku tahu dia masih memandangiku.
"Salah." jawabnya akhirnya.
Aku menghela napas berat, "Karena kita cuma ke McD?"
"Salah juga."
"Karena... rambut gue aneh?"
"Masih salah."
Aku mengerang. Kok jadi kayak main tebak-tebakan? "Karena apa? Gue ada salah omong apa gimana?"
"Bingo."
Aku terdiam memandanginya kebingungan.
"Emang gue ngomong a—?"
"Tuh, barusan ada yang salah."
Hah? Aku mengernyit semakin keheranan.
"Bahkan di chat juga." tambah Reno berteka-teki, "Kamu salah terus."
Aku langsung memutar otak. Barusan? Di chat juga? Memangnya aku ngomong apa...
Oh.
Oh.
Aku menoleh memandangi Reno, merasa begitu bodoh sekaligus takjub.
Jangan bilang alasan untuk mood jeleknya hari ini adalah karena aku yang masih ber-'elo-gue'?
Tengkuk dan pipiku seketika memanas saking malunya. Aku menunduk dan meremas kepalaku.
Bego banget sih, Mik!
Aku merasa betul-betul seperti cewek paling nggak peka sejagat raya.
"Aku... nggak sadar. Ren, aku minta maaf ya...?"
Ketika mendongak menatap Reno, aku mendapatinya tengah memandangiku dengan ekspresi yang baru pertama kali kulihat. Seolah dia menganggap ketidakpekaanku ini konyol, tetapi di saat yang bersamaan, aku bisa melihat gurat-gurat wajahnya melembut.
Kemudian ekspresi langka itu lenyap dengan cepat. Sudut bibirnya sedikit terangkat ketika dia mengatakan hal berikutnya padaku dengan nada congkak.
"Satu syarat. Tolong diem selama tiga puluh detik."
Sontak jantungku bersalto heboh. Ini kayak déjà vu.
"K-kamu mau ngapain?" tanyaku waspada, teringat insiden memalukan di lapangan tenis di villa tempo hari.
Sepasang mata Reno berkilat nakal, "Mau kabur lagi?"
Tiba-tiba Reno merangsek maju dan wajahnya mendadak memenuhi pandanganku. Dia menatapku lurus dari balik kacamatanya. Kedua telapak tangannya entah sejak kapan sudah berada di atas kedua tanganku di samping kanan kiriku, memerangkapku.
"R-Ren...?"
Muka Reno deket banget!
Aku memejamkan mataku rapat-rapat, jantungku berdentum-dentum tak terkendali di rongga dadaku dengan begitu kerasnya hingga rasanya kedengaran di telingaku. Aku merasa wajahku beruap, dan semakin panik ketika aku merasakan hembusan napas Reno yang sangat dekat di wajahku dan puncak hidungnya menyapu puncak hidungku...
Sedetik...
Dua detik...
Tiga detik...
...
...
Aku memberanikan diri membuka mataku, mendapati bahwa wajah cowok itu masih berada di depan wajahku dengan jarak yang amat sangat dekat sampai-sampai kalau aku bergerak sedikit saja, kami mungkin bakal ber—
"Mika." Reno tahu-tahu memanggil namaku pelan.
"I-iya?"
Tatapan Reno turun ke bibirku.
"Kamu marah nggak, kalo..."
Reno tampak kehilangan fokusnya. Tatapannya masih tertumbuk ke bibirku.
YaTuhanYaTuhanYaTuhanYaTuhan-
Aku gelagapan, "Aku... eh..."
Belum sempat aku memikirkan jawabanku, Reno memiringkan wajahnya.
Lalu bibir hangatnya menyentuh pipiku.
Pipiku.
Persis di sudut bibirku.
Kecupan itu lembut dan lama. Mungkin lebih dari sepuluh detik. Membuat seluruh tubuhku seolah teraliri listrik, nafasku satu-dua, dadaku bergemuruh, dan wajahku kebakaran.
Aku memejamkan mata karena rasanya begitu membuatku kewalahan, tetapi di sisi lain, aku sama sekali nggak benci dengan segala sensasi itu.
Ketika Reno akhirnya menjauhkan wajahnya sedikit dan kami saling berpandangan lagi, aku bisa melihat rahang cowok itu mengatup rapat. Kedua tangannya mengepal dengan kaku di sisi-sisi tubuhku, seolah tengah menahan sesuatu.
Lalu cowok itu kembali beringsut mendekat, hingga hidungnya nyaris menyentuh hidungku...
Tapi kemudian Reno terhenti. Dia menundukkan kepalanya dan menyumpah pelan.
"Ren?" aku memandanginya cemas.
"Mik..." Reno terhenti, "...ugh..."
"Kamu kenapa?!" tanyaku makin panik.
Bersamaan dengan itu, terdengar bunyi gemuruh mencurigakan yang berasal dari perut Reno.
Reno mendongak, wajahnya merona hebat.
"Aku... sakit perut."
Aku terbengong-bengong menatapnya selama beberapa saat.
Lalu tawaku meledak.
"Kamu masuk angin apa gimana sih?!" tanyaku sambil menghapus airmata geli, setelah akhirnya tawaku mereda.
"Kayaknya kebanyakan minum coke." gumamnya tersiksa dengan wajah yang memucat, "Aku udah lama nggak minum soda."
Seketika aku diliputi perasaan bersalah, namun masih gagal menahan tawa, "Ya ampun... kenapa tadi nggak bilang?"
Reno buru-buru bangkit, "Aku cari WC dulu."
"Astaga..." aku tergesa-gesa membereskan sampah makanan kami dan mengembalikan taplak duduk ke dalam loker, lalu menyusul Reno, "Ren, aku bawa minyak kayu putih!"
Reno bersikeras menyuruhku menunggu di lobi gedung waktu aku bilang mau menungguinya di depan toilet. Tapi demi menjaga harga diri dan kehormatannya, aku setuju menunggu di bawah.
Ketika mendengarkan ceritaku soal Reno yang tiba-tiba sakit perut gara-gara minum coke, Pak Kus tertawa terpingkal-pingkal. Menurutnya, dulu Reno memang hobi minum soda, dan selalu sakit perut setelahnya, jadi almarhumah ibu Reno melarangnya keras untuk meminum segala jenis soda.
Dalam hati aku agak menyesali insiden ini terjadi di kencan pertama kami, tapi seenggaknya, hari ini aku jadi tahu satu hal yang menjadi kelemahan cowok tampan itu.
Reno, biarpun tajir tujuh turunan dan ganteng amit-amit, ternyata juga manusia!
The End
Percayalah, waktu nulis chapter ini, aku jadi mupeng sendiri (T~T)
Terima kasih untuk yang sudah baca sampai sejauh ini petualangan lovey-dovey Mika dan Reno! Kamu lebih keren dari Mika yang baru potong rambut!
Shout-out buat Kak Denisa Quinones, the real langganan potong rambut aku yang skill dan kemayu-nya gak main-main wkwk. Love ya, Kak!
Btw, jangan dulu remove TLS dari Library kamu, karena rencananya, aku mau buat dua bonus chapter lagi.
Stay awesome.
ASH
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top