Alternate Ending: Mika & Dennis?!

Malam itu, pukul tujuh lebih sepuluh menit, ponselku mendadak berbunyi. Aku—yang sedang duduk sambil menyeruput es boba pesananku di salah satu kursi dengan meja berpayung—mengecek nama di layar ponselku.

Dennis.

"Halo?" kataku.

"Mikasoriakutelat!" Dennis menyahut panik di seberang telepon, "Kamu di mana?"

Aku menatap sekeliling, "Aku lagi duduk deket kios boba milk tea warna kuning."

"Oke, liat kiosnya. Aku ke sana sekarang."

Tut. Ditutup.

Semalam Dennis meneleponku dan tahu-tahu mengajakku nonton acara konser outdoor sebuah band lokal. Dia bilang dia sudah beli tiketnya jauh-jauh hari. Namanya belum pernah kudengar, tetapi dia bersikeras aku bakal suka. Maka jadilah semalam Dennis mengobrol denganku selama dua jam lebih untuk mengenalkanku dengan band itu. Dan setelahnya, aku riset kecil-kecilan tentang mereka. Ternyata lagu-lagunya memang easy listening.

Aku mendesah. Sejak jadian dengan Dennis, aku harus beli power bank dan membawanya ke mana-mana untuk jaga-jaga. Karena Dennis bukan tipe cowok yang doyan nge-chat. Dia lebih suka bicara langsung melalui telepon. Yang mengakibatkan baterai ponselku jadi boros. Tapi bukannya aku nggak suka, lho! Menurutku, cowok seperti Dennis itu sekarang sudah langka. Dia nggak ragu untuk ngobrol denganku dan membicarakan apa saja, mulai dari kegiatannya, unek-uneknya, pemikiran-pemikiran random-nya, sampai ke perasaannya.

Dan Dennis bahkan pernah—aku selalu malu sendiri kalau mendadak keingetan ini—meneleponku pukul setengah dua pagi cuma buat bilang kalau dia kangen padaku.

Dia gentle dan straightforward. Karena itu aku menerimanya waktu dia menembakku sepulangnya kami dari liburan di villa milik Risa di puncak sekitar sebulan yang lalu.

"Bengong aja!" sebuah tangan besar tahu-tahu merampas es bobaku dari belakang. Aku berputar kaget dan melihat Dennis tengah berdiri di belakangku sambil nyengir lebar, lalu dia menyeruput minumanku. Aku memperhatikan Dennis yang agak terengah dan pelipisnya berkeringat. Hari ini dia mengenakan kaus print warna hijau lumut dengan washed-out jeans favoritnya. Dan dia memakai sepatu itu, sepatu yang kubelikan untuknya sebagai kado anniversary sebulan kami beberapa hari lalu.

"Capek ya?" aku tersenyum menyemangati. Aku tahu dia habis shift malam di minimarket 24-jam dekat rumahnya. Dennis memang mengambil kerja sambilan di akhir pekan di samping menjalani kuliahnya. Dan di hari biasa sepulang kuliah, seminggu dua kali dia dan teman nge-bandnya mengisi slot live music di salah satu kafe dekat rumahnya.

Aku pernah menanyainya soal jadwalnya yang padat dan dia beralasan ingin cari kegiatan sebanyak-banyaknya. Padahal aku tahu dia pasti berusaha sebisa mungkin untuk tidak memberatkan orangtuanya. Maklum, ayahnya pensiunan karyawan swasta dan ibunya hanya berjualan kue-kue pesanan langganan.

"Padahal aku bisa jemput kamu, jadi nggak usah tunggu-tungguan gini, kan." Dennis menggabrukkan diri di kursi di sebelahku sambil masih menyeruput es bobaku. Kemudian, seolah tersadar, dia buru-buru menyerahkan gelasku kembali, "Eh, sori, aku aus banget!"

"Nggak papa, abisin aja." ujarku. Aku memang sengaja beli itu untuknya.

"Hehe, trims." Dennis mengunyah-ngunyah bobanya selama beberapa saat sebelum berkata, "Aku tadi soalnya pulang dulu abis shift. Terus tidur bentar. Rencananya mau ke rumah kamu aja pake motor. Tauknya malah kebablasan tidur. Maaf ya, Mik..."

"Aku cuma nungguin sepuluh menitan." kekehku, "Santai aja kenapa sih, Den. Lagian kamu abis kerja kan capek, tega amat aku nyuruh-nyuruh jemput. Kamu kan bukan tukang ojek."

Mendengar perkataanku, Dennis terdiam menatapku. Lalu dia meletakkan gelasnya dan meraih puncak kepalaku untuk mengacak-acak rambutku.

"Ih! Ngapain sih?!" protesku kaget karena rambutku jadi berantakan. Dennis hanya nyengir, lalu dia malah semakin geragas mengacak-ngacak rambutku, kali ini dengan kedua tangannya.

"Gemes, tauk!" Dennis mengakhiri serangannya dengan menarikku dan memelukku erat.

Sekadar catatan! Kami masih duduk di depan kios boba dengan orang yang ramai lalu lalang di sekitar kami. Beberapa memandangi kami dengan tatapan 'dasar bucin', beberapa geleng-geleng, beberapa mencebik sinis.

"Dennis! Diliatin! Udah-udah!" desisku panik sembari berusaha melepaskan diri dari dekapannya yang kuat banget sampai-sampai aku kesulitan bernapas. Dennis memundurkan tubuhnya sedikit agar bisa melihat wajahku, tetapi kedua lengannya masih melingkariku. Cengirannya juga masih menghiasi wajahnya.

"Ngantri masuk, yuk." cowok itu akhirnya melepaskanku dan berdiri. Satu tangannya meraih tanganku dan menggandengku menuju antrean penonton dekat pintu masuk area panggung.

Sejujurnya, aku merasa nggak enak soal dia yang membelikanku tiket. Tapi waktu aku menawarkan diri untuk patungan, dia malah bersikeras bahwa ini balasannya untuk kado sepatu itu.

"Lagian aku udah kerja." begitu pembelaannya waktu itu, "Kamu masih sekolah. Jadi aku yang mesti bayarin kamu lah."

Ngomong-ngomong, saat ini kami sudah berada di dalam area penonton. Dennis menuntunku merangsek maju di daerah festival-kami diuntungkan tubuh Dennis yang tinggi dan tegap, jadi nggak ada yang berani protes-hingga kami tiba di pagar pembatas penonton dengan panggung, di bagian paling depan. Ternyata di sana sudah ada beberapa teman satu band Dennis yang sudah pernah kutemui beberapa kali, dan mereka ternyata menyediakan tempat untuk kami.

"Den!" vokalis band Dennis, Alex, melambai-lambai pada kami yang berjalan mendekat. Dennis spontan tos dengannya.

"Mika, lama nggak ketemu!" Alex menyapaku, yang kubalas dengan cengiran ceria. Dua cowok lainnya, yang kuingat bernama Bono dan Haris juga menyapaku.

Malam ini langitnya cerah. Bulan bersinar penuh di atas kami tanpa terhalang apapun dan euforia penonton di sekitarku menular padaku, membuatku bergidik excited. Dan Dennis rupanya menyadari ini.

"Seru, kan?" tanya Dennis persis sebelum para anggota band memasuki panggung, menimbulkan keriuhan di antara penonton.

"Banget." aku menatapnya dengan senyuman cerah, "Makasih ya, Den. Ini pertama kali aku nonton konser dan ternyata seseru ini!"

Dennis hanya tersenyum. Kemudian cowok itu mengalihkan pandangannya ke arah penampil di atas panggung yang sedang menyapa para penonton. Aku diam-diam memperhatikan ekspresi wajahnya yang tertimpa cahaya lampu sorot. Ekspresi itu lembut, pandangannya campuran antara menerawang dan penuh damba.

"Mik." Dennis memanggilku di tengah-tengah keramaian.

"Ya?"

Cowok itu menoleh menatapku selama beberapa detik, sebelum dia menyunggingkan cengiran lebar khasnya dan berkata, "Suatu saat, aku yang bakal ada di atas panggung kayak gitu sama anak-anak. Jadi kamu bisa nonton aku dari backstage. VIP access, hehe."

Aku mengangkat alis sangsi, "Pede banget."

Cengirannya semakin terkembang, "Kamu mau nggak sama-sama aku terus sampe saat itu?"

Aku jadi terpaksa mengalihkan pandangan lagi ke panggung saking perkataannya menyebabkan jantungku bertingkah abnormal. Kadang-kadang, Dennis suka melontarkan sesuatu dengan spontan dan bernada ringan, tapi sanggup bikin jantung jumpalitan. Dan itu kebiasaannya yang menyebalkan sekaligus aku kagumi.

"Sampe saat itu aja?" aku bertanya balik, "Terus kalo udah sukses, masih mau sama-sama aku nggak?"

Cengiran Dennis kontan lenyap.

"Aku salah ngomong ya?! Sori, Mik! Jangan marah!" dia menarikku dan memelukku dari belakang, "Maksud aku forever and ever..."

"Dennis!" aku berjuang melepaskan diri dari pelukannya yang membuatku sesak napas.

"Selamanya..." Dennis melanjutkan tanpa peduli protesku, "Happily ever after..."

Alex memandangi kami dengan tatapan mencela, "Sumpah lo annoying banget, Den."

"Telat, bro. Dia mah annoying dari lahir." Bono tersenyum padaku dengan tatapan prihatin, "Mik, sabar-sabar ya sama dia."

"Thanks, Bon. Dennis, lepasin ah!" aku buru-buru berkata pada Dennis sambil menepuk-nepuk lengannya yang melingkari bahuku agar dia melepaskanku.

Tepat saat itu, lagu pertama dimulai. Perhatian kami semua langsung teralihkan kembali ke panggung. Sepanjang konser malam itu, aku betul-betul menikmati pertunjukkannya, ditambah kehadiran Alex, Bono, dan Haris yang memeriahkan suasana. Juga karena Dennis yang berdiri di sebelahku, menolak melepaskan tanganku selama pertunjukkan berlangsung, dan beberapa kali menyenandungkan potongan-potongan lagu yang dibawakan penampil.

Bahkan aku yang baru mendengarkan lagu-lagu mereka semalam, juga ikutan bernyanyi karena terbawa suasana.

***

Seusai konser, kami berpisah jalan dengan Alex, Bono, dan Haris. Sepanjang perjalanan menuju tempat parkir, Dennis masih saja menyanyikan lagu terakhir yang ditampilkan band tadi dengan keras-keras sembari merangkul pundakku.

"Sulit bagi diriku..." Dennis menyentuh dadanya dengan gerakan dramatis.

Aku menghela napas.

"Untuk melawan rasa hati saat bersamamu..."

"Den, kamu parkir motor di mana?"

"Kucoba memandang matamu..." kami berhenti di dekat motornya dan Dennis berbalik menghadapku, meraih kedua tanganku dan menatapku dengan ekspresi serius yang justru malah membuatku kepingin ketawa.

"Den..."

"Hanya untuk terjatuh... lebih dalam lagi..."

"Den... diliatin..."

Aku memperhatikan orang-orang yang lalu lalang di dekat kami. Mereka memperhatikan kami dengan sorot geli. Oke, suara Dennis memang bagus sih, tapi kan-

"Tapi aku bertanya, apakah yang kau rasa...?" Dennis melanjutkan, menghiraukanku. "Di antara kita berdua... bila aku katakan..."

Kemudian tiba-tiba, tanpa melepaskan genggaman tangannya, Dennis berlutut di hadapanku dan menyanyi semakin lantang.

"Oh senyummu... seperti pelangi yang indahkan hari! Ooo..."

"Dennis!" aku berusaha melepaskan tangannya dari tanganku dengan niatan kabur dari situ, sementara orang-orang sekarang malah mengerumuni kami, beberapa malah merekam kami dengan kamera ponsel.

"Dan hatikuuu... menginginkanmu lebih dari yang ka—hmmph! Mmph!"

Aku berhasil melepaskan tanganku dari genggaman Dennis untuk menekap mulut cowok itu, lalu menariknya agar berdiri dan menyeretnya keluar dari kerumunan yang kini riuh tertawa-tawa dan bersuit-suit menggoda kami.

"SUKSES, BRO! JANGAN KASIH KENDOR!" seseorang berseru dari arah kerumunan, diiringi tepuk tangan dan tawa yang lain.

Dennis menarik tanganku dari mulutnya dan menoleh ke belakang untuk balas berseru, "SIAP, BRO!"

Rasanya aku rela ditelan bumi saat ini juga.

Ketika akhirnya aku berhasil menyeret Dennis menjauhi keramaian, rasanya tenaga lahir-batinku terkuras habis. Aku terduduk di kursi taman terdekat dan menutupi wajahku yang panas dengan kedua tanganku.

"Mau diterusin nggak, nyanyiannya?" Dennis yang masih berdiri di depanku bertanya dengan nada menggoda. Aku langsung mendongak menatapnya dengan pandangan mengancam.

"Oke... oke... sori..." Dennis mengangkat kedua tangannya ke udara dengan sikap menyerah, lalu dia berjongkok di hadapanku hingga wajah-wajah kami nyaris sejajar, "Nggak marah, kan?"

Aku mendesah sebal, "Marah sih nggak, lagian suara kamu bagus—"

"I know right?!" Dennis nyengir puas.

"Tapi malu-maluin, tauk!" aku meninju pundaknya. Dennis dengan gesit menangkap kepalan tanganku dan entah bagaimana malah berhasil menyusupkan jemarinya ke sela-sela jemariku, hingga tangan kananku dan tangan kirinya sekarang saling menangkup.

Tangan Dennis yang besar, hangat, dan kapalan melingkupi tanganku yang kecil dan dingin.

Aku merasa pipiku semakin panas.

"Tapi isi lagu itu pas banget sama apa yang aku rasain sekarang." cengiran Dennis memudar, digantikan ekspresi serius yang amat jarang kulihat di wajahnya.

Aku malu sendiri mendengar kata-kata Dennis yang sinetron banget itu, kemudian makin panik begitu menyadari Dennis sudah semakin dekat dan entah sejak kapan dia mengurungku di antara lengan-lengannya. Kedua tangannya bertumpu pada sandaran kursi di belakangku, menjebakku, "Den—"

Cowok itu masih tidak tersenyum, "Yup?"

"Muka kamu d-deket banget..."

"Iya, muka kamu juga."

"Bisa mundur nggak?"

Dennis pura-pura berpikir, "Hmm... aku nggak ada niatan buat mundur dalam waktu dekat."

Hidung cowok itu sudah nyaris menyentuh hidungku sekarang.

"E-emang kamu mau ngapain?" gagapku.

Tatapan Dennis turun ke bibirku.

"Hmm..." gumamnya dengan suaranya yang dalam, "...kira-kira?"

Dennis kemudian memiringkan wajah dan memejamkan matanya. Aku menutup mataku panik, dan ketika aku sudah merasakan sapuan bulu matanya di pipiku dan hembusan napasnya yang terasa begitu dekat...

"WOI!"

Aku dan Dennis sama-sama tersentak hingga dahi-dahi kami saling beradu menyakitkan.

"Auh!" kami berdua mengaduh berbarengan.

Si pemilik suara, yang mengagetkan kami, menghampiri kami sambil terkekeh-kekeh.

"Den, kalo mau mesum cari tempat yang sepian dikit." Alex cengar-cengir sambil memainkan kunci motornya di salah satu tangannya, seolah puas memergoki kami.

Ada yang mau bantuin gue mendem ke tanah nggak?!

"Masih di sini lo? Ngapain sih? Ganggu!" Dennis berdiri sambil menggosok-gosok dahinya dan menatap Alex dengan tatapan seolah dia siap mencekiknya. Alex mengangkat alis seraya menunjuk ke arah area parkir yang tak jauh di belakang kami.

"Gue parkir motor di situ." katanya, kemudian cowok itu memandangku. "Mik, pulang bareng gue aja daripada diapa-apain sama Dennis—"

"Mau ribut lo sama gue?!" Dennis kebakaran. Aku buru-buru bangkit untuk menarik lengan Dennis sementara Alex terbahak-bahak.

"Kalem, bro! Bercanda kali, mana tega gue nikung sohib gue sendiri!" Alex memandangi Dennis dengan ekspresi geli sementara aku bisa melihat kedua telinga Dennis memerah, "Udah malem, anterin pulang cewek lo sana!"

"Bacot, ngerti gue." gerutu Dennis.

Setelah berpisah (untuk kedua kalinya) dengan Alex, kami kembali ke area parkir tempat kami sempat dikerumuni tadi. Untungnya sekarang sudah sepi. Dennis menaiki motor dan memakai jaketnya sementara aku menerima helm dari Dennis sambil mengulum senyum.

"Kenapa, naksir sama Alex?" tanya Dennis ngegas.

Aku menatap cowok itu keheranan, "Kok mikir gitu?"

Dennis memandangi dasbor motornya dengan ekspresi jengkel, "Tampang si Alex kan lumayan."

Aku mengernyit, "Terus?"

"Ya..." Dennis terdiam sejenak, "Argh! Tauk ah!"

Aku nyaris nggak mempercayai pemandangan di hadapanku. Dennis? Cemburu?

Aku memperhatikan cowok itu menyalakan motornya dengan kikuk. Kedua telinganya masih memerah. Sebelum cowok itu memakai helmnya, aku melakukan tindakan spontan yang aku sendiri nggak sangka-sangka bisa kulakukan.

Aku menarik sebelah lengannya dan mengecup pipi cowok itu secepat kilat.

Tanpa memberi kesempatan bagi Dennis untuk mencerna apa yang barusan kulakukan, aku buru-buru mengenakan helmku dan menaiki jok belakang motornya.

"Tuh, privilege kamu. Bukan privilege siapa-siapa, bukan Alex juga." gumamku, "Cuma kamu."

Dennis nggak menjawab. Dan aku juga nggak bisa melihat seperti apa ekspresinya sekarang karena dia duduk membelakangiku. Tapi aku bisa melihat tengkuknya memerah.

"Lain kali nggak bakal ada yang gangguin." Dennis berkata sembari meraung-raungkan mesin motor, "Siap-siap aja, ya."

Aku menelan ludah panik.

Mampus!

The End

Hayoh masih setia nggak sama Reno? *evil smirk*

Aku seneng betul nulis chapter ini, berasa lagi nulis script otoge WAHAHAHHA

Btw ada yang tau nggak band apa yang ditonton Mika sama Dennis?

Oh, dan masih ada satu Alternate Ending lagi.

Tetap nantikan!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top