TANPA PAMIT
Pergi tanpa pamit? Apakah ketulusan dan kesabaran Azka selama ini tidak penting bagi Iis? Azka merasa dipermainkan Iis, masihkah ia percaya padanya? Kesetiaannya selama ini semata-mata ingin menjaga perasaannya, tapi apa balasan Iis???
Azka termangu di teras, dia duduk di amben, bersandar menatap kosong lurus ke depan, melamun sembari menunggu gabah yang dijemur di halaman rumah. Ratmi pulang dari sawah, menggendong gabah di punggung, memakai caping, dan keringat bercucuran di tubuhnya. Cuaca panas membuat bibirnya pecah-pecah dan dehidrasi. Ketika dia melihat Azka yang sedang melamun mengabaikannya, Ratmi mengerutkan kening heran. Padahal biasanya Azka selalu menyambutnya dan membantu menurunkan gabah dari punggung Ratmi.
"Azka," panggil Ratmi setelah menurunkan gabah di samping pintu.
Tidak ada sahutan dari Azka, dia tetap melamun tidak menghiraukan panggilan Ratmi. Ratmi pun mendekatinya lalu menyentuh bahu Azka.
"Azka," panggil Ratmi halus.
Azka terlonjak kaget sampai napasnya ngos-ngosan.
"Astogfirullohhaladzim," ucap Azka mengusap wajahnya dan memegang dadanya yang berdegup kencang karena kaget.
Ratmi duduk di tepi amben, menatap raut wajah Azka yang sedih dan menahan kegelisahan.
Dia membelai rambut Azka, tersenyum, dan bertanya, "Kenapa melamun? Ada masalah?"
Azka menundukan kepalanya sedih, jika mengingat Iis dadanya sesak dan hatinya nyeri.
"Bu, kenapa Iis pergi nggak bilang sama Azka ya?"
Ratmi sudah menduga, pasti ini akan terjadi ketika Azka pulang. Tapi bagi Ratmi, gadis seperti Iis belum sesuai dengan kriterianya. Tak muluk keinginan Ratmi yang ingin menjadi menantunya. Dia hanya ingin gadis itu taat agama, sayang keluarga, dan setia menemani putranya dalam keadaan susah maupun senang.
"Banyak yang terjadi setelah kamu berangkat kerja, Ka. Pak Soleh tidak mengizinkan Iis dekat sama keluarga kita, lewat depan rumah kita saja diteriakin Pak Soleh. Ucapan keluarga Pak Soleh juga tidak enak didengar di telinga Ibu. Mau bagaimana lagi, Ka ... Iis juga tidak ada usaha mendekati Ibu sama Dion. Sampai suatu hari, Pak Soleh sekeluarga pindah ke Semarang," cerita Ratmi menghantam hati Azka.
"Maaf, Bu. Seharusnya Azka bisa lebih selektif memilih calon pendamping. Benar kata Ibu, tipe wanita di dunia ini ada dua, wanita yang hebat dan kuat berdiri menopang di belakang kesuksesanku dan wanita yang menggerogotiku perlahan, hingga aku tumbang secara tidak sadar," ujar Azka mengingat nasihat Ratmi.
Bibir pecah-pecah Ratmi tertarik tipis ke atas, dia tidak menyalahkan Azka, namanya juga remaja, masih belum bisa menentukan pendamping yang tepat, asal cinta yang penting dijalani dulu tanpa berpikir panjang bagaimana sifat asli pasangannya.
"Ya sudah, Ibu serahkan keputusan di tangan kamu. Bagaimanapun, orang tua hanya bisa merestui dan mendoakan. Pilihan pendamping hidupmu, kamu yang lebih tahu, bagaimanapun pilihanmu nanti dan apa pun yang terjadi, kamu dan dia yang menjalani," wanti-wanti Ratmi. "Sudah azan Luhur tuh, Ibu mau mandi dulu, nanti kita salat berjamaah."
"Iya, Bu."
Ratmi berdiri lalu melenggang masuk ke rumah. Sedangkan Azka masih terdiam mencerna ucapan Ratmi.
"Benar kata Ibu, bagaimanapun pilihanku nanti dan apa pun yang terjadi, aku dan dia yang menjalani. Belum apa-apa saja Iis sudah pergi tanpa pamit, bagaimana nanti kalau kami menikah? Saat aku layar, bisa-bisa ... rumah tangga kami tidak langgeng."
Azka mempertimbangkan keputusannya, dia galau antara ingin mencari Iis dan mempertahankannya, sedangkan kenyataannya Iis tidak sesuai dengan harapannya selama ini.
Azka hanya ingin pendamping yang mau bekerja sama dengannya, mendukung kariernya, menyayangi keluarganya seperti dia menyayangi Ratmi dan Dion. Yang terpenting, kuat iman dan agamanya. Agar ketika ia tinggal berlayar, pendampingnya tangguh menghadapi cobaan dan ujian serta akan tetap setia menantinya kembali.
"Azka! Ayo, Nak, salat!" ajak Ratmi sengaja sedikit mengeraskan suaranya dari dalam rumah agar Azka mendengar.
"Iya, Bu."
Azka pun langsung masuk ke rumah lantas mengambil wudhu dan berjamaah bersama Ratmi.
***
Malam sunyi, suasana pedesaan yang masih sejuk dan berhawa dingin. Jika malam tiba, hanya suara jangkrik yang terdengar berisik, bukan mesin kendaraan yang berlalu-lalang.
Selesai salat Isya berjamaah, Dion belajar di kamar, sedangkan Ratmi istirahat di kamarnya. Sebenarnya ada televisi di rumah itu, hanya saja mereka jarang menonton siaran di televisi. Ratmi kelelahan karena aktivitasnya seharian di sawah, Dion sibuk belajar, sedangkan Azka sekarang sedang rebahan di kursi panjang ruang tamu memikirkan Iis yang entah di mana sekarang.
Ketika Azka sibuk dengan pikirannya, ponsel yang dia letakkan di atas meja berdering. Lantas Azka pun menggapainya melihat nomor di layar ponsel itu.
"Nomor siapa ini?" gumam Azka mengerutkan dahi bingung karena yang masuk nomor baru dan belum ada namanya.
Karena penasaran, ia pun menerima panggilan itu.
"Assalamualaikum," sapa Azka tegas.
"Waalaikumsalam. Azka."
Suara wanita dari seberang sukses menjengkitkan tubuh Azka, lantas dengan semangat dia duduk menyambut telepon itu.
"Is, kenapa nggak bilang kalau ganti nomor?" tanya Azka dengan senyum merekah dan mata berbinar.
"Maafin aku, Ka. Sejak kamu kerja, aku selalu diawasi keluargaku. Terutama Ayah, dia terus mengekangku, Ka," jelas Iis terdengar sedih dan terisak.
Hati Azka pilu mendengar tangis Iis.
"Terus sekarang kamu di mana?" tanya Azka.
"Aku di Semarang, keluargaku pindah ke sini karena Ayah buka toko grosir sembako di Pasar Johar. Maaf, Ka tidak mengabarimu."
"Iya, aku maklumi. Kasih alamatmu ya? Aku akan susul kamu ke sana."
"Tapi, Ka... bukannya kamu layar?"
"Aku sekarang ada di rumah, lagi cuti. Aku juga punya rencana ingin ke Semarang, sekalian mau tanya-tanya biaya ambil ANT II di perguruan tinggi pelayaran Semarang."
"Kamu serius?" pekik Iis dari seberang terdengar bahagia.
Azka yang mendengar kegembiraan Iis ikut bahagia.
"Iya, aku serius."
"Nanti alamatnya aku SMS-in aja ya? Eh, tapi lebih baik kita ketemuannya agak jauh dari rumah saja, Ka. Aku takut Ayah akan memarahimu kalau melihat kita ketemuan. Maaf, Kak sampai saat ini aku belum bisa meluluhkan kerasnya hati Ayah."
"Iya, nggak apa-apa. Kita yang sabar ya? Insya Allah kita bisa lewati ini kalau bersama-sama berjuang. Oke?"
"Iya, Ka. Oh iya, sudah dulu ya? Nanti kalau ketahuan Ayah, HP-ku bisa disita, aku nggak bisa hubungi kamu lagi. Aku tunggu kamu di sini ya?"
"Iya. Jaga diri baik-baik. Assalamualaikum."
"Kamu juga. Waalaikumsalam."
Panggilan mereka pun berakhir. Pikiran kalut Azka dan dugaan-dugaan tidak jelas yang sedari tadi memenuhi otaknya terhempaskan. Azka mempunyai titik terang untuk memperbaiki hubungannya dengan Iis.
"Ya Allah, jika memang Iis adalah jodohku, maka lancarkanlah segala urusannya. Namun, jika dia bukanlah jodohku, semoga ada pria yang lebih baik dariku menjadi pendampingnya." Azka menarik napasnya dalam.
Hatinya pasrah, meskipun dia berniat memperbaiki hubungannya dengan Iis, namun Azka tetap memegang teguh pendiriannya yang ingin mewujudkan cita-cita menjadi nahkoda dan membahagiakan Ratmi. Tidak hanya itu saja, Azka ingin Dion bisa kuliah dan mengambil jurusan sesuai dengan keahliannya. Banyak PR yang masih harus Azka selesaikan selain menikahi Iis.
Azka meninggalkan ruang tamu dengan perasaan lega dan pikiran plong. Dia masuk ke kamar Dion, melihat adiknya sudah bersantai di tempat tidur, duduk bersandar di tembok sembari membaca komik kesukaannya.
"Belajarnya sudah selesai?" tanya Azka merangkak di atas tempat tidur lantas berbaring di samping Dion.
"Sudah, cuma ngerjain PR fisika sama bahasa Indonesia," jawab Dion tanpa mengalihkan pandangannya dari komik.
"Yon, aku mau ke Semarang," ujar Azka menatap wajah Dion yang sedang serius membaca.
"Mau ngapain? Nemuin Kak Iis?" tanya Dion menurunkan komiknya lalu meletakkan di atas bantal.
Azka mengangguk, "Iya. Tadi dia telepon."
Dion menghela napas dalam lalu membaringkan tubuhnya menatap atap rumah yang belum terpasang ternit.
"Bang, nggak jera beberapa kali dipermalukan Pak Soleh? Dihina dan diremehkan keluarganya Kak Iis? Seandainya Abang tahu suara sumbang mereka menghina keluarga kita waktu Abang kerja di kapal, pasti ikut merasa jengkel dan marah. Pak Soleh meremehkan pekerjaan Abang yang cuma jadi pelayan di kapal, sakit hatiku masih sampai sekarang, Bang," cerita Dion menyesakkan dada Azka.
"Separah itukah, Yon? Terus apa yang dilakukan Ibu?" tanya Azka mengganti posisinya miring menghadap Dion.
"Ibu bisa apa, Bang? Kami cuma diam, menahan marah, menahan sakit hati. Dari kiriman Abang, Ibu sedikit demi sedikit nyicil beli pasir, batako, dan pelan-pelan membangun rumah ini. Itu semata-mata ingin menunjukkan kepada keluarganya Kak Iis kalau Abang kerja ada hasilnya. Walaupun keadaan rumah masih seperti ini, setidaknya sekarang Abang bisa melihat hasil keringat Abang yang tidak terbuang sia-sia."
Untuk itu, selama dia bekerja, Azka mempercayakan hasilnya kepada Ratmi. Dari sisa yang dia tabung untuk mempersiapkan mengambil ijazah profesi ANT II beserta sertifikat-sertifikat lainnya, dia kirimkan semuanya kepada Ratmi. Dan hasilnya semua bisa merasakan meskipun belum sempurna.
"Terus biaya sehari-hari kalian, biaya kamu sekolah uang dari mana kalau selama ini uang yang Abang kirim buat bangun ini?"
"Bang, Ibu lebih pintar mengatur uang daripada yang kita tahu. Nyatanya sekarang biaya sekolahku nggak pernah nunggak. Waktu kemarin aku masuk SMA, Ibu bisa langsung melunasi uang seragam dan lain-lain. Soal makan dan kebutuhan sehari-hari, Abang jangan khawatir, aku yakin Ibu pasti sudah memikirkan itu. Abang fokus saja ke karier dan pekerjaan, jangan sampai membuat Ibu sedih apalagi sampai kecewa."
Mendengar cerita Dion, keraguan Azka pada Iis kembali. Apakah keputusannya yang ingin memperbaiki hubungannya dengan Iis adalah benar?
"Yon, Abang pernah berjanji sama Kak Iis, Abang akan selalu setia dan berjuang bersamanya sampai keluarga Kak Iis merestui hubungan kami. Tapi, mendengar ceritamu tadi, hati Abang jadi ragu," ujar Azka bimbang dan bingung.
"Bang, keputusan dan pilihan hidup ada di tangan Abang. Seperti yang sering Ibu bilang, apa pun pilihan kita, Ibu akan mendukung jika itu baik. Tapi jika terjadi sesuatu pada pilihan kita, jangan menyalahkan orang lain apalagi meminta bantuan orang lain untuk menyelesaikan persoalannya. Abang pikirkan baik-baik, apakah Kak Iis sudah mantap menjadi pilihan terakhir Abang?" Dion mengingatkan Azka, dia tidak ingin abangnya salah langkah.
Cinta dan keluarga adalah kedua hal yang sulit untuk dipilih. Keluarga adalah tempat ternyaman kita dan ke mana pun kita pergi, sejauh apa pun kaki melangkah, pada akhirnya akan kembali lagi pada keluarga. Cinta juga tidak bisa terpisahkan dari hidup kita, adanya cinta, kita punya tekad kuat untuk bahagia dan membahagiakan orang terkasih. Sangat beruntung jika cinta dan keluarga dapat bersatu mendukung segala hal yang kita jalani.
#########
Tuh yang mau daftar jadi mantunya Bu Ratmi harus memenuhi kriterianya. Nggak muluk dan nggak susah kok keinginan Bu Ratmi. Hehehehe
Weslah, Ka. Nikah bek aku wae lak wes! Dijamin hidupmu bahagia sentosa!!!😆😆😆😆
Terima kasih atas vote dan komentarnya.🙏🙏🙏
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top