PENGHINAAN YANG MENDORONG TEKAD
Semarang, kota yang baru Azka injak. Sebelum menemui Iis, Azka bertemu dengan teman kampusnya dulu yang asli orang Semarang. Mereka mencari informasi tentang pengambilan ijazah profesi dan sertifikat, ternyata banyak teman yang menyarankan agar mereka mengambilnya di Jakarta. Karena di sana proses lebih cepat dan biaya juga lebih murah.
"Gimana, Fer?" tanya Azka ketika mereka sudah kelur dari area kampus pelayaran itu.
"Bingung, Ka. Kata temen-temen yang sudah ambil ANT II sih, lebih murah di Jakarta. Tapi biaya hidup di sana kan juga mahal," jawab Feri mengelus rambut belakangnya bingung.
Mereka berjalan menyusuri trotoar, sembari berbincang dan mencari solusi.
"Iya juga sih, Fer. Selisih berapa sih kalau dibandingkan sama biaya hidup di sana sama saja. Mending kamu ambil di sini saja, kan deket rumah, nggak usah mikir biaya kos sama biaya makan sehari-hari," ujar Azka setelah mempertimbangkan.
Feri menepuk bahu Azka, matanya berbinar seperti mendapatkan ide.
"Ka, gini aja. Kamu juga ambil di sini, nggak usah mikirin kos sama makan, nanti bisa tinggal di rumahku," tawar Feri tulus.
Azka hanya tersenyum, dia tidak menjawab. Dasarnya Azka orang yang tidak mau merepotkan orang lain, pasti dia akan sungkan dan tidak nyaman jika tinggal di rumah Feri secara cuma-cuma.
"Entahlah, Fer. Tabunganku aja belum cukup buat ambil ijazah ANT II. Aku nabung dulu ya, kalau sudah siap aku kabari lagi," ujar Azka tidak enak jika menolak terang-terangan.
"Oke, siap! Pokoknya kalau kamu ke Semarang butuh bantuanku, jangan sungkan, hubungi aku saja. Kalau aku pas nganggur atau lagi di rumah, pasti aku temenin kamu, Ka."
"Iya, Fer. Makasih, ya?" ucap Azka tersenyum manis.
"Oh iya, setelah ini mau ke mana kamu?" tanya Feri berhenti berjalan saat sampai di persimpangan jalan pemberhentian angkotan.
"Mau ke daerah Simpang Lima. Aku sudah janjian sama orang di sana."
"Oh, gitu? Ya sudah, aku antar kamu ke sana dulu, takutnya kamu kesasar nggak tahu jurusan angkotan sini."
"Beneran nih? Nggak ngerepotin kamu?" tanya Azka memastikan.
"Nggaklah, Ka. Kapan lagi kamu bisa jalan-jalan ke Semarang. Ya kan? Ayo!" ajak Feri merangkul Azka masuk ke angkotan jurusan Simpang Lima.
Keuntungan tersendiri jika kita menanam kebaikan di mana pun berapa. Jika suatu saat membutuhkan bantuan, banyak orang yang tidak segan membantu.
Sesampainya di pertemuan dari lima jalan yang menyatu, yaitu Jl Pahlawan, Jl Pandanaran, Jl Ahmad Yani, Jl Gajah Mada dan Jl A Dahlan, Azka dan Zie turun dari angkotan. Suasana di sana selalu ramai, Azka menyapu pandangannya. Simpang Lima Semarang berada di pusat kota Semarang di jalur nasional. Lapangan itu disebut juga Lapangan Pancasila, di sekitarnya berdiri hotel-hotel berbintang dan pusat perbelanjaan.
"Ka, di mana kamu janjian?" tanya Feri merangkul Azka mengajaknya berkeliling menyusuri trotoar seberang lapangan.
Saat ini Lapangan Pancasila sudah menjadi landmark kota Semarang, di tempat itu merupakan ruang terbuka yang biasa digunakan oleh masyarakat Semarang untuk beraktivitas. Kota Semarang sendiri menjadi identik dengan Simpang Lima karena pusat kegiatan dan keramaian berada di sana. Biasanya pada hari Minggu dipadati oleh pengunjung yang ingin berolahraga, jalan-jalan, dan aktivitas lainnya.
Apalagi di saat menjelang pergantian tahun, Simpang Lima Semarang menjadi pusat perayaan pergantian Tahun. Biasannya diadakan pesta
kembang api dan konser musik.
"Di Mall Ciputra," jawab Azka.
"Oke, ada di sana," tunjuk Feri di salah satu pusat perbelanjaan. "Kita ke sana yuk!" ajak Feri lantas mereka menuju ke mal yang sudah dijanjikan Iis.
Sampai di mal, Azka langsung menghubungi Iis.
"Fer, orangnya sudah di dalam. Kamu mau ikut?" tawar Azka.
"Nggak deh, Ka. Maaf ya, aku harus pulang, mau antar pesanan nasi kotak ke Sampangan. Udah janji sama Ibu kemarin," terang Feri.
"Oh, gitu. Makasih banyak ya, Fer. Sudah antar aku dan menemaniku selama di sini," ucap Azka menyalami Feri.
"Santai saja, Ka. Kalau nanti selesai urusanmu, kabari saja aku. Besok kan kamu pulangnya?" tanya Feri memastikan ucapan Azka saat tadi pagi menjemput Azka di terminal Terboyo, Semarang.
"Iya. Tiket busnya sih pukul 8 pagi berangkatnya. Nanti tolong antar aku cari hotel yang biasa saja ya, Fer?" pinta Azka sungkan jika menumpang di rumah Feri.
"Kenapa cari hotel? Sudahlah, menginap di rumahku saja. Jangan pikir yang macam-macam dan jangan sungkan, Ka. Paginya aku antar ke terminal," bujuk Feri.
Azka melihat ketulusan dari sorot mata Feri. Dia tak enak hati jika selalu menolak bantuan Feri, akhirnya Azka pun mengangguk.
"Iya, Fer."
"Nah gitu dong! Aku pulang dulu ya? Jangan lupa kabari aku," wanti-wanti Feri.
"Iya. Nanti kalau urusanku sudah selesai, aku kabari kamu. Makasih banget ya, kamu sudah mau aku repotkan."
"Iya-iya. Makasih mulu, udah sana masuk!" Feri menepuk bahu Azka.
"Oke. Hati-hati ya kamu," pesan Azka sebelum masuk ke mal.
"Sip!" Feri mengacungkan ibu jari.
Setelah Azka masuk ke mal, Feri pun mencari angkotan jalur ke rumahnya. Azka menyapu pandangannya di dalam mal itu. Dia mencari-cari keberadaan Iis, karena bingung Azka pun meneleponnya.
"Halo," sahut Iis setelah panggilan Azka diterima.
"Is, aku sudah di dalam mal. Kamu di mana?" tanya Azka.
"Tunggu di lantai bawah saja, Ka. Kita ngobrol di pujasera sambil makan."
"Oke."
Panggilan pun berakhir. Azka menunggu Iis, sikapnya tetap tenang, tapi jantungnya berdebar kencang seperti saat dulu cintanya pada Iis mulai bersemi.
"Ka!!!" panggil Iis dari eskalator.
Azka menoleh ke sumber suara, bibirnya tertarik ke atas, terukir senyum bahagia. Matanya berbinar, hatinya sejuk setelah sekian lama menahan kehausan perhatian sang kekasih. Sesampainya Iis di depannya, Azka bingung bersikap. Harus bagaimana dia melepas rindu? Memeluk Iis, tidak etis rasanya berpelukan dengan lawan jenis di depan orang banyak.
"Ka, kok malah ngelamun sih?" tanya Iis melihat Azka mematung dan hanya diam saja.
"Maaf," ucap Azka tersenyum manis. "Sekarang kamu beda ya? Sudah bisa dandan, udah ada make up di wajah kamu. Dulu masih polos," ucap Azka mengomentari perubahan penampilan Iis.
Iis terkikih malu-malu. " Namanya juga tuntutan, Ka. Aku kerja jadi SPG kosmetik, tempat kerjaku di atas," jelas Iis menunjuk lantai atas.
"Ow, pantas saja."
"Ayo, kita ke pujasera! Mumpung aku istirahat, jadi punya banyak waktu ngobrol sambil makan siang," ajak Iis menarik tangan Azka.
Mereka berjalan beriringan, hal tak terduga terjadi saat mereka ingin keluar dari gedung mal tersebut. Jantung Iis berdegup-degup tak karuan saat mata tajam dan rahang keras itu berdiri tegap di depannya. Azka pun tak kalah terkejutnya saat melihat Soleh bersama seseorang masuk ke mal itu.
"Ayah," lirih Iis lalu menatap Azka yang masih bersikap tenang.
Azka mendekati Soleh, mengulurkan tangannya dingin menjabat, namun dengan kasar tangan Azka ditangkis Soleh.
"Iis, pulang!!!" sentak Soleh keras hingga orang-orang memerhatikan mereka.
Iis menatap Azka, dia bingung. Sebenarnya dia ingin sekali mengobrol dan pergi bersama Azka, tapi Iis takut ayahnya akan berbuat kasar pada Azka. Iis juga ingin menjaga nama baiknya di mal itu, tempat dia bekerja.
"Iis, Ayah bilang pulang!!!" sergah Soleh menarik tangan Iis karena ia tak kunjung bergerak dari tempatnya. "Parman! Tarik dia keluar!" titah Soleh pada anak buahnya.
Niatnya mereka ingin membeli sesuatu di mal itu, tapi justru Soleh memergoki Iis bersama Azka sebelum mereka meninggal mal tersebut.
"Ayah, Iis mau bicara sesuatu sama Azka. Tolong kasih kesempatan kami bicara," mohon Iis menangis.
Soleh tidak memedulikan. "Parman, aku bilang ajak Iis keluar!" sentak Soleh mengulangi perintahnya.
Parman yang tidak berani membantah bosnya, langsung manarik Iis ke luar gedung mal tersebut. Azka masih terdiam, menghadapi kerasnya hati Soleh sendiri. Dia juga tidak bisa berbuat apa-apa, karena banyak orang yang memerhatikannya saat ini. Jika Azka memberontak dan memaksa Iis agar tetap bersamanya, entah apa pemikiran orang terhadapnya. Lebih baik Azka diam, menerima perlakuan memalukan itu.
"Jahui Iis!!!" sergah Soleh tegas menatap Azka tajam.
"Maaf, kami cum---"
"Ash!" Soleh memotong ucapan Azka, ia mengibaskan tangannya di depan wajah Azka. "Aku nggak butuh alasan apa-apa dari kamu. Mau kamu kasih makan apa Iis nanti kalau nikah sama kamu? Kerja begitu saja bangga, dua tahun nggak ada hasilnya! Hidup masih gitu-gitu saja kamu bangga-banggakan! Jangan lagi dekati Iis, apalagi menemuimu dia! Pikirkan saja hidupmu sendiri, jangan sok-sokan mau membahagiakan anak orang. Diri sendiri saja masih susah!" Soleh berkata menggebu-gebu tidak memedulikan tatapan banyak orang di sana.
Azka menahan amarahnya, dia mengepalkan tangan, dalam hati bergemuruh panas, ingin sekali rasanya membalas semua ucapan yang dilontarkan Soleh.
"Maaf, Om." Hanya itu yang dapat Azka ucapkan, daripada dia banyak bicara percuma karena hati Soleh sudah dipenuhi kebencian padanya. Mau membela diri percuma, Soleh akan tetap tidak percaya.
"Gaji nggak seberapa, berani-beraninya sok-sokan mau nikahi anakku," gerutu Soleh sambil membalikkan badan meninggalkan Azka.
Telinga Azka menangkap jelas ucapan Soleh, dalam hati ia bertekad ingin membuktikan jika ucapan Soleh itu keliru.
Ya Allah, lapangkanlah hatiku. Maafkan Azka, Bu, Yon. Cerita kalian benar, aku merasakannya sekarang. Batin Azka teringat cerita Ratmi dan Dion tentang perlakuan Soleh pada keluarga mereka.
Azka menyapu pandangan di sekelilingnya, ia membungkukkan badan, dengan sikap kesatria ia meminta maaf atas ketidaknyamanan tersebut. Lantas ia pun meninggalkan mal itu.
##########
Azka, jadikan hinaan itu cambuk buat kamu sukses!!! Lanjutkan, Ka!!! Go, Azka! Go, Azka!!!😅😅😅😅
Terima kasih atas vote dan komentarnya.😚🙏
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top