GAJI PERTAMA

Ini adalah bulan pertama Azka bekerja, begitu juga kali pertama dia menerima gaji. Senyum merekah di bibir merahnya, tak sia-sia dia membanting tulang satu bulan ini. Gaji pertama yang ia terima meskipun jauh dari yang seharusnya, jika seandainya dia memakai ijazah profesinya, namun Azka bersyukur sudah bisa menghasilkan uang dengan jerih payahnya.

"Azka, dapat berapa kamu bonusannya?" tanya Mahmud saat mereka bersama membuka amplop gaji di dapur.

"Alhamdulillah Mud, bisa nutup pasokan Ibu di bank setiap bulan. Aku juga masih punya gaji asli," jawab Azka bahagia.

"Iya, berapa?" desak Mahmud penasaran.

Karena memang setiap orang memiliki bonus berbeda di luar gaji pokok dan lain-lain. Itu disesuaikan dengan jabatan dan berapa kali kapal jalan.

"Gaji pokok 2,5 juta, bonusnya 950 ribu, Mud." Akhirnya Azka menjawab juga.

"Alhamdulillah, jadi kamu bisa bantu bayar sekolah Dion juga ya, Ka?" sahut Mahmud sudah tahu kisah hidup Azka, karena mereka juga sering saling menceritakannya.

"Alhamdulillah, Mud. Kamu gimana?" tanya Azka balik.

"Kalau gaji sih aku 3 juta Ka, bonusnya kita sama," jawab Mahmud sedikit tak enak hati karena gajinya lebih besar dari Azka.

Azka dapat memakluminya, karena memang gaji di kapal sesuai dengan jabatan yang berlaku. Bonus yang diterima biasanya sesuai hitungan trip kapal jalan dalam waktu satu bulan itu. Semakin sering kapal beroperasi, maka bonus pun akan semakin banyak. Setiap perusahaan punya patokannya masing-masing. Jauh dekat pelayaran juga diperhitungkan, semakin jauh berlayar, maka bonus juga lebih tinggi.

"Udah, disyukuri aja, Mud. Jangan merasa nggak enak begitu. Kan memang kamu di sini atasanku. Oh iya, gimana caranya nanti ngirim uang ke Ibu ya?" pikir Azka yang masih bingung.

"Ka, katanya Ibu kamu pinjam uang di bank. Pasti bank membukakan ibumu rekening. Nah, biasanya ibumu punya ATM," kata Mahmud sambil mengeluarkan ikan dari lemari pembeku.

Azka mengeluarkan beberapa sayur yang akan mereka masak siang itu.

"Oh, iya-ya, Mud. Aku lupa, kan yang ganti pin ATM Ibu aku. Nanti aku telepon Dion, biar ngajak Ibu ke ATM ambil uangnya."

"Nah, lebih simpel kan? Oh iya, kamu kalau tahu nomor rekening ibumu, bisa bayarin pasokan bulanannya dari bank sini kok, Ka," jelas Mahmud memang pernah memiliki pengalaman yang sama seperti Azka.

"Dulu kamu juga gitu ya, Mud?" tanya Azka tertarik dengan ide Mahmud.

Mereka bekerja sama meracik bumbu dan berbagai sayur. Tak ada saling iri dan benci di antara Azka dan Mahmud. Justru mereka semakin akrab bahkan tak ragu lagi jika saling meminta bantuan. Memang tidak semua pekerja di kapal dapat seperti mereka. Ada juga persaingan kerja dan saling dengki, hanya saat kapal berjalan, semua dapat bekerja sama hingga kapal selamat sampai tujuan.

"Ka," panggil Zie menghampiri Azka ke dapur.

Azka mendongak melihat Zie sudah rapi dengan pakaian bebas untuk bepergian.

"Ya, Chief," jawab Azka menghentikan sejenak kegiatannya yang sedang mengupas bawang putih.

"Aku mau ke darat, kamu mau nitip nggak? Sekalian mau ke bank," kata Zie yang menyadari jika Azka tidak dapat sebebas dia keluar dari kapal.

"Oh iya Chief, aku mau ngirim uang ke Ibu. Sama bayar pasokan bulanan di bank," ujar Azka menjelaskan.

"Iya sudah, nggak apa-apa titipin ke aku. Mahmud sekalian nggak?" tawar Zie memahami situasi kedua bawahannya itu.

Mahmud menyengir kuda dan mengangguk. Hatinya lega, ternyata masih ada yang memerhatikannya.

"Biasa ya, Chief," kata Mahmud mengambil uang 500 ribu dan sisanya dia berikan kepada Zie.

Zie menerima amplop Mahmud dan menghitung uangnya.

"Punya kamu 3 juta 450 ribu ya, Mud," kata Zie setelah menghitung. "Mau dikirim semua? Atau bagaimana?" tanya Zie agar tak keliru.

"Yang 2 juta kirim ke rekening Emak, yang 1 juta 450 ribu masuk ke tabunganku, Chief," jelas Mahmud sudah biasa menitipkan uang yang akan dikirimkannya pada Zie.

"Oke, kamu Azka gimana?" tanya Zie menerima amplop dari Azka dan menghitung jumlah uang yang ada.

"Itu Chief, bayar pasokan di bank 700 ribu. Yang dua juta buat Ibu," jawab Azka membuat Zie tercengang setelah melihat gaji yang diterima Azka.

"Terus, kamu megang uang berapa, Azka?" tanya Zie shock karena Azka hanya mengambil uangnya 250 ribu dari sisa yang diberikan Zie tadi.

Azka menggaruk tengkunya sungkan.

"Cuma 250 ribu, Chief," jawab Azka diiringi cengiran kuda.

"Cukup, Ka?" tanya Mahmud yang juga terkejut.

"Insya Allah cukup, Mud. Kalau nggak buat beli yang aneh-aneh. Soalnya Ibu juga nunggak bayar sekolah Dion dua bulan. Dengan uang itu, bisa buat nutup uang sekolah Dion kan? Ada sisa sedikit sih," jelas Azka membuat Zie dan Mahmud berdecak kagum dengan jalan pikiran Azka.

Baktinya kepada orang tua membuat Zie bangga memiliki junior sekaligus teman seperti Azka. Zie saja belum tentu bisa seperti Azka. Dia masih mengikuti egonya yang ingin menikmati hasil kerjanya sendiri.

"Ya sudah, nomor rekeningnya mana?" pinta Zie sebelum berangkat.

"Di kamar, Chief," jawab Azka menunjuk kabin kru.

"Ambil dulu sana! Kasihan Chief Zie juga udah ditungguin sampan," perintah Mahmud. Lantas Azka berlari ke kamarnya mencari nomor rekening bank atas nama Ratmi.

Biasanya jika kapal berlabuh jangkar, para ABK akan pulang pergi ke darat dengan jasa sampan. Sampan ini milik warga setempat, yang sengaja mereka gunakan untuk mencari nafkah. Di pelabuhan Lembar juga banyak sekali jasa penyewaan motor. Tak perlu pusing para ABK yang tidak memiliki kendaraan pribadi di sana, mereka bisa menyewa motor dan menggunakan sesuai jam yang ditentukan agennya.

***

Selesai masak, semua kru santai, tidak lagi melakukan  pekerjaan, Azka duduk di kursi samping kabin. Dia sedang menelepon Ratmi.

"Bu, Azka kirim uang hari ini. Nanti minta Dion mengambilkan ya?" kata Azka saat menelepon Ratmi.

Meskipun berlabuh jangkar, namun sinyal masih dapat terjangkau, kecuali jika kapal berjalan, saat di tengah laut, biasanya sinyal susah dan kadang juga tidak mendapat sinyal sama sekali.

"Kamu sudah menerima gaji, Azka?" tanya Ratmi bahagia, kini Azka sudah dapat menghasilkan uang sendiri.

"Iya Bu, Alhamdulillah bisa buat Ibu, Dion dan bayar pasokan di bank. Jadi Ibu mulai sekarang nggak usah mikirin pasokan di bank lagi ya? Biar Azka yang bayar sampai lunas," kata Azka bersungguh-sungguh membuat Ratmi menangis bangga bercampur bahagia.

"Azka, Ibu nggak minta kamu buat menanggung itu. Kumpulkan saja Nak, uang hasil keringatmu itu. Biar kamu bisa sekolah lagi," saran Ratmi yang tak ingin membebani anaknya dengan hutang yang dia punya.

Azka tersenyum menahan tangis bangga kepada Ratmi. Meskipun dia kesusahan, namun Ratmi tak pernah sedikitpun menuntut agar Azka membantunya. Namun Azka juga anak yang berbakti, dia menyadari sendiri tugasnya tanpa orang lain mendesak.

"Sudahlah Bu, terima saja. Mungkin tidak seberapa Bu, dengan apa yang selama ini Ibu sudah perjuangkan buat Azka. Biarkan Azka meringankan beban Ibu," bujuk rayu Azka agar Ratmi mau menerima uangnya.

Ratmi menangis tak kuasa menahan rindu sekaligus rasa bangganya kepada Azka. Walaupun Ratmi tahu, Azka bekerja di sana hanya sebagai pelayan, setidaknya Azka memiliki kegigihan untuk maju dan berkembang.

"Ini, kamu bicaralah sama abangmu." Ratmi memberikan handphone-nya kepada Dion.

Dion menerima handphone yang hanya bisa untuk menelepon dan mengirim SMS sambil mengelap air mata Ratmi dengan tangannya.

"Ibu ngapain sih nangis? Kalau Ibu nangis, bikin Bang Azka khawatir di sana. Udah ya Bu, nanti Bang Azka denger loh," pinta Dion agar Ratmi tidak menangis lagi.

"Iya, ini Ibu udah nggak nangis lagi." Ratmi mengelap wajah dengan baju lusuhnya.

Azka yang mendengar percakapan Dion dan Ratmi dari ujung teleponnya tersenyum menahan rindu.

"Halo, Bang," sapa Dion menggantikan Ratmi berbicara dengan Azka.

"Ibu nangis ya, Yon?" tanya Azka khawatir.

"Ibu cuma kangen sama Bang Azka. Tapi, udah nggak apa-apa kok, Bang," tukas Dion menenangkan hati Azka.

"Iya, Abang juga kangen sama Ibu dan kamu, Yon. Tapi Abang cutinya masih setahun lagi. Nanti gantian sama Mas Mahmud," jelas Azka kepada Dion dan membahasakan Mahmud kepada Dion dengan sebutan 'Mas Mahmud', agar Dion menghargai orang yang lebih tua darinya.

"Iya, Bang. Yang penting, Abang jaga diri baik-baik ya di sana? Jangan sampai sakit." Perhatian Dion kepada Azka memang dari dulu tak pernah berubah.

Perasaan Azka menghangat mendapat perhatian dari adiknya.

"Makasih ya, Yon. Jaga Ibu baik-baik. Kalau gitu udah dulu ya? Abang mau telepon Mbak Iis dulu."

"Oke, Bang, Assalamualaikum," ucap Dion mengakhiri obrolan mereka.

"Waalaikumsalam waroh matullohi wabarokatu," balas Azka lantas menutup teleponnya.

Setelah mengecek sisa pulsa, Azka akhirnya melanjutkan telepon Iis. Rindunya kepada sang pujaan hati sudah tak dapat dipungkiri lagi. Menunggu beberapa saat akhirnya panggilan terjawab.

"Assalamualaikum, Is," sapa Azka setelah panggilan terjawab.

"Waalaikumsalam, Azka," sahut Iis terdengar bahagia dari ujung telepon Azka.

"Bagaimana keadaanmu? Sehat kan?" tanya Azka sebelum mengobrol lebih jauh.

Obrolan mereka bergulir, banyak hal yang mereka bahas. Perdebatan kecil pun tak luput dari mereka. Karena tertahan rindu dan mungkin jarak yang memisahkan membuat Azka tak berdaya saat Iis mulai naik pitam dan ujungnya tidak mau menerima teleponnya lagi. Azka masuk ke kabin dan menuju ke kamarnya. Di sana sudah ada Zie dan beberapa teman sekamarnya.

"Sini, Ka," panggil Zie yang duduk di lantai bersama yang lainnya.

Ada kacang dan berbagai minuman beralkohol di sana. Namun sepertinya Azka tak tertarik dengan itu. Sudah biasa bagi Azka melihat pemandangan itu. Mahmud ikut bergabung dengan mereka, meskipun tidak ikut minum.

"Aku mau langsung tidur saja, Chief." Azka menekuk wajahnya, lantas naik ke tempat tidurnya.

Dia memunggungi teman-temannya yang masih asyik bergurau sambil menenggak minuman beralkohol itu. Iis selalu mendesaknya untuk segera pulang dan melamarnya. Apa dia tidak berpikir? Baru saja Azka bekerja dan Iis memintanya untuk segera dinikahi? Azka mengingat kata-kata Iis, sebelum dia menutup teleponnya.

Ya sudah kalau kamu tidak mau memperjuangkanku! Aku bisa berjuang sendiri tanpa kamu!

Kata-kata itu entah mengapa membuat pikiran Azka terbebani.

Seandainya kamu dapat bersabar dan memahami keadaanku sekarang, Is. Siapa sih yang nggak mau berjuang sama kamu? Aku saat ini sedang berjuang demi masa depan kita. Kamu terlalu egois dan tidak mau membuka matamu, melihat keadaanku. Yang kamu lakukan selama ini hanya menuntutku untuk melakukan hal sesuai kehendakmu, tanpa kamu berpikir, apakah aku bisa melakukannya? Apa aku mampu menyanggupinya, untuk saat ini? Azka membatin menghela napasnya dalam.

Memikirkan Iis membuat kepalanya sakit dan hatinya risau. Akhirnya Azka memilih untuk menutup matanya di tengah tawa keras teman-temannya.

#########

Sedih kalau lihat cewek begitu. Egois! Huh! Sebel sama kamu aku Is, kamu nggak kasihan sama Mas Azka ku yang cape kerja sampai kurus.

Makasih untuk vote dan komennya ya?😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top