BERJUANG DEMI MASA DEPAN
Disarankan beli bukuversi terbarunya di IG @tokobuku_rexpublishing karena cerita lebih menarikdan komplit. Cerita di sini apa adanya, belum diedit, beda dengan bukunya.
***
Menjadi pelaut adalah impian Fian Azka Mahardhika, sejak ia masih kecil. Perjalanan kariernya tak semulus apa yang dilihat orang selama ini. Jatuh bangun ia menapaki setiap perjalanan menuju sebuah impian agar terwujud nyata.
"Azka, kamu nggak boleh menyerah begitu dong. Mungkin Allah ingin kamu lebih giat belajar dan Dia ingin melihat kerja kerasmu," kata Iis saat mereka makan siang di warung makan pinggir jalan.
Azka hanya menunduk memainkan sedotan pada es tehnya. Rasa was-was akan kegagal untuk mengikut ujian pengambilan ijazah Ahli Nautik membuatnya stres dan kalut. Iis, sang kekasih yang selalu setia menemaninya berjuang pun tak ingin melihat Azka menyerah begitu saja.
"Uang dua juta itu sangat banyak, Is. Aku akan cari uang di mana sebanyak itu? Minta sama Ibu? Aku malu Is, minta uang terus. Harusnya aku ini sudah membantu Ibu mencari uang buat nyekolahin Dion. Tapi, lihatlah aku, aku sampai sekarang belum juga jadi pelaut!" ujar Azka mengacak rambutnya frustrasi.
Azka pikir setelah ia lulus SMA dan melanjutkan di perguruan tinggi pelayaran, jalannya untuk mencapai cita-cita akan mulus. Namun kenyataan berkata lain, sepak terjang pun menghadang perjalanannya.
"Azka, aku yakin kamu masih bisa mengikuti ujian itu. Kamu masih punya waktu, tinggal satu langkah lagi Azka, aku mohon, tolong jangan menyerah." Iis menangkupkan kedua tangan di depan dadanya, memohon kepada Azka.
Air matanya menggantung, dengan tulus dia meminta sang kekasih agar tak menyerah sampai di sini. Azka menatap wajah sedih Iis, lantas ia menarik napasnya dalam dan mengangguk.
"Makasih," ucap Iis lega karena Azka tetap akan berusaha mewujudkan impiannya untuk menjadi seorang pelaut.
Sungguh keadaan yang memprihatinkan. Azka selama ini hanya tinggal bersama ibu dan seorang adik laki-lakinya yang masih duduk di bangku SMP. Ayahnya sudah meninggal dunia, karena suatu penyakit yang mematikan. Karena memiliki ambisi yang kuat, Azka pun berusaha meraih impiannya untuk menjadi seorang pelaut. Dengan cara, mencari beasiswa untuk masuk ke perguruan tinggi pelayaran. Keinginannya pun tercapai, masuk di perguruan tinggi pelayaran, namun tidak semua kebutuhannya di perguruan itu ditanggung beasiswa yang ia dapat. Untuk mengikuti ujian dan pelatihan sertifikat, Azka harus berusaha mencari dana sendiri.
***
"Ibu," lirih Azka saat mereka sedang menikmati makan malam sederhana di rumah bilik yang terbuat dari anyaman bambu dan lantai tanah.
"Iya, ada apa, Azka," sahut sang ibu menghentikan makannya dan menatap Azka penuh kasih sayang.
Melihat keadaan ibunya sekarang, Azka tidak punya keberanian untuk meminta uang sebanyak itu. Dari mana Ratmi mendapat uang dua juta dalam waktu dua minggu? Sedangkan dirinya hanya sebagai buruh di sawah orang lain.
"Nggak jadi," kata Azka menunduk menahan kata-katanya di dalam dada.
"Katakan saja apa yang kamu butuhkan. Insya Allah Ibu akan membantumu," ujar Ratmi dengan senyuman terbaiknya.
Azka menggeleng seraya melanjutkan makan malamnya. Ratmi beranjak dari tempat duduknya, lantas ia mengambil sesuatu dari lemari leyot yang sudah hampir roboh. Dia kembali duduk dan memberikan selembar kertas kepada Azka.
"Ibu bingung Azka, ada kebutuhan mendesak yang harus Ibu lunasi dekat-dekat ini. Tapi, cuma barang berharga ini yang Ibu miliki," kata Ratmi memperlihatkan sertifikat tanah yang mereka tempati saat ini.
Azka dan Dion pun melihat sertifikat tersebut.
"Ibu, apa yang mau Ibu lakukan dengan barang berharga satu-satunya milik kita ini?" tanya Dion menatap Ratmi bingung.
Ratmi tersenyum dan ia berkata, "Ibu mau menggadaikan sertifikat ini, Dion. Tapi, Ibu bingung caranya."
"Jangan, Bu," sahut Azka memundurkan sertifikat itu dari hadapannya.
Ratmi mengerutkan dahi, melihat keringat dingin yang bercucuran dari dahi Azka.
"Kenapa?" tanya Ratmi.
"Ibu, kalau sertifikat ini digadaikan, lalu bagaimana nanti Ibu mencicil bulanannya? Azka belum bekerja, Bu." Azka berucap dengan perasaan yang berkecamuk.
"Azka, Insya Allah Ibu mampu membayar cicilan bulanannya. Mulai minggu depan, Ibu bakalan ikut deres karet di perkebunan karet milik Pak Handoko. Lumayan, buat penghasilan tetap. Jadi ada yang bisa diandalkan."
Azka dan Dion saling menatap bingung, di sisi lain Dion memahami jika kini kakaknya juga sedang membutuhkan uang untuk ujian. Namun, mendengar Ratmi berucap seperti tadi, sepertinya tidak mungkin Azka akan meminta uang kepada Ratmi untuk ujian kelautannya.
"Besok tolong antar Ibu ke bank ya, Azka. Ibu kan nggak bisa baca tulis, kamu sama adikmu yang bisa baca tulis, tapi kan adikmu besok harus masuk sekola. Kamu masih libur kan, Azka?" tanya Ratmi menyimpan sertifikat itu kembali ke lemari tuanya.
Azka hanya dapat mengangguk, hatinya merasa pilu melihat keadaan mereka saat ini. Dion menepuk bahu Azka, berniat memberi dukungan kepada sang kakak.
"Abang maaf, aku nggak bisa bantu apa-apa. Tapi, kalau memang sudah rezeki, pasti akan ada jalannya. Abang sabar dulu ya," kata Dion merasa iba kepada Azka.
Azka mengangguk dan tersenyum kecil lalu ia mengacak rambut Dion penuh kasih sayang. Azka melihat Ratmi membawa piring kotor bekas mereka makan malam ke dapur.
"Aku bantu Ibu mencuci piring dulu." Azka beranjak dari duduknya, lalu menyusul Ratmi ke dapur.
Dapur yang jauh dari kata mewah, di sana hanya terdapat sebuah tungku dengan bahan bakar kayu dan rak dari bambu, tempat untuk meletakkan berbagai bumbu dan alat dapur. Di dapur itu juga terdapat sumur yang masih tradisional. Untuk menggunakan air sumur pun masih harus menimba lebih dulu.
"Biar Azka saja yang menimba, Bu." Azka meminta tali timbanya, sedangkan Ratmi menyiapkan ember untuk mencuci piring.
Hati Azka sangat sakit jika melihat ibunya berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Kekuatan mendorong Azka ingin segera menyelesaikan sekolahnya dan agar segera dapat bekerja untuk meringankan beban Ratmi.
"Ibu, apakah Azka harus menyelesaikan pendidikan pelayaran ini hingga tuntas?" tanya Azka ragu saat membantu membilas piring-piring tersebut.
"Harus, Azka! Jika kamu ingin berhasil, melakukan segala sesuatu itu jangan setengah-setengah. Kamu sudah terjun, berarti kamu harus bersungguh-sungguh menggeluti duniamu itu," kata Ratmi meletakkan piring yang sudah bersih di rak rakitan bambu.
"Bu, tapi semakin jauh, biaya Azka itu akan semakin mahal. Azka nggak mau bikin Ibu keteteran karena biayai Azka dan Dion. Seharusnya Azka sudah bekerja, kalau saja dulu Azka nggak ambil beasiswa itu," sesal Azka menunduk.
Ratmi mendekati Azka dan mengajaknya duduk di bangku kayu. Sang ibu memegang bahu Azka, membuat hati Azka damai dan tentram.
"Semahal apa pun biayanya, Insya Allah Ibu masih sanggup, Azka. Yang namanya orang tua itu, jika melihat anaknya sukses, sudah cukup bahagia. Ibu nggak akan meminta balasan apa pun jika nanti kamu sukses. Hanya satu pesan Ibu, jangan takabur dengan apa yang sudah kamu dapatkan nanti. Berbagilah dengan orang lain, karena harta adalah salah satu titipan Allah," nasihat Ratmi menggetarkan hati Azka.
Azka menangis memeluk Ratmi, bagaimana bisa Ratmi sekuat itu. Menjadi orang tua tunggal bagi kedua putranya, dengan keduanya yang masih sama-sama sekolah. Mendapat uang dari mana sajakah Ratmi selama ini, untuk menutup biaya dan kebutuhan mereka? Itu tak pernah Azka dan Dion tahu. Yang mereka tahu, ibunda mereka selalu bekerja keras untuk kelangsungan hidup keluarga dan menutup biaya sekolah mereka.
"Azka akan berusaha agar segera menyelesaikan pendidikan ini, Bu. Agar Azka bisa membantu Ibu menyekolahkan Dion," ucap Azka meregangkan pelukkannya dan menghapus air mata dengan lengan tangannya.
Ratmi tersenyum bahagia melihat semangat dan ambisi kuat dari diri Azka. Dia membelai rambut Azka dan membantu menghapus air mata putranya.
"Ingat ya, Ibu nggak pernah melarang kamu dekat dengan Iis anak Pak Soleh itu. Tapi, Ibu hanya berpesan, jangan mudah tergoda dan goyah untuk sukses, hanya karena seorang wanita. Tipe wanita di dunia ini ada dua, wanita yang hebat dan kuat berdiri menopang di belakang kesuksesanmu dan wanita yang menggerogoti kamu perlahan, hingga kamu tumbang secara tak sadar. Pilihan ada di tanganmu, wanita mana yang ingin kamu jadikan pendamping. Ibu hanya dapat merestuimu," ucap Ratmi tersirat makna yang mendalam.
Azka terdiam dan mulai mencerna ucapan ibundanya. Tipe yang manakah Iis? Azka mulai memikirkan hal tersebut. Kehidupan ekonomi keluarganya dan keluarga Iis jauh berbeda. Iis adalah seorang anak dari juragan minyak tanah di kampung mereka. Hidupnya juga serba tercukupi dan keluarga mereka terkenal mampu di kampung tersebut.
"Ya sudah, sekarang tidurlah. Besok Subuh bisa kamu bantu Ibu ambil gabah di sawah, Azka?" tanya Ratmi menepuk bahu Azka pelan, menyadarkan Azka yang melamun.
"Iya, Bu. Besok habis salat Subuh, Azka ambilkan gabah Ibu di sawah," ucap Azka berdiri lalu berjalan lebih dulu masuk kamar sederhananya dengan sang adik.
Di musim panen seperti ini, biasanya Ratmi diminta bantuan oleh tetangganya untuk memanen padi di sawah. Dengan upah sebagian gabah hasil yang sudah ia panen hari itu. Dengan gabah yang ia sudah dapatkan, ia tak lagi memusingkan beras sebagai dasar pokok makan mereka sehari-hari.
"Belum tidur kamu, Yon?" tanya Azka yang masuk ke kamar melihat Dion masih membaca buku pelajarannya.
"Belum, Bang. Masih belajar. Besok ada ulangan," jawab Dion menggeser tubuhnya untuk memberi ruang agar Azka dapat berbaring di sampingnya.
Azka berbaring di atas kasur kapas dengan alas dipan, tempat tidur terbuat dari papan yang tidak berkelambu. Sungguh mengenaskan keadaan mereka. Azka menatap ke atas kamar yang langsung dapat melihat genting tertata rapi untuk melindungi mereka dari hujan dan panas.
"Yon, apa yang akan kamu lakukan jika sudah bisa bekerja dan menghasilkan uang sendiri?" tanya Azka yang ingin mengorek isi hati adiknya dan keinginan terpendam adiknya selama ini.
Dion menutup buku pelajarannya dan mengikuti Azka yang masih setia menatap atap rumah.
"Yang paling utama, aku pengin ajak Ibu makan enak, Bang."
Azka terkekeh mendengar jawaban sederhana Dion yang menggelitik perutnya.
"Makan enak itu banyak artinya. Masakan Ibu sudah enak, setiap hari juga kita makan enak, walaupun hanya sekadar ikan asin sama sambal bawang, tapi nikmatnya luar biasa, kalau makannya bareng kamu sama Ibu."
Dion ikut tertawa pelan, lalu ia menjelaskan maksud ucapannya tadi, "Maksud aku makan enak itu, ajak Ibu jajan di luar, makan sesuai yang Ibu mau, Bang."
Sungguh keinginan sederhana namun tersirat keseriusan dan ketulusan dari Dion. Itu berarti Dion ada keinginan untuk membahagiakan Ratmi, meski dengan hal sederhana.
"Kalau Abang apa?" tanya Dion menoleh Azka yang masih menerawang jauh ke depan yang masih kelabu.
"Kalau seandainya Abang sudah bisa menghasilkan uang sendiri, hal terutama yang mau Abang lakukan buat Ibu, cuma mau beliin sesuatu yang sudah terjual karena untuk biaya sehari-hari kita, Yon," kata Azka menoleh Dion yang mengerutkan dahinya karena tak mengerti yang dimaksud Azka.
"Emang barang apaan, Bang?" tanya Dion penasaran.
"Cincin peninggalan Bapak, Yon. Ternyata Ibu menjualnya, tanpa kita tahu," jelas Azka mengejutkan Dion.
"Apa?! Abang tahu dari mana?" tanya Dion langsung bangkit dari berbaringnya dan menatap Azka menuntut penjelasan.
"Ssssst." Azka menempelkan jari telunjuknya di depan bibir, bermaksud agar Dion tidak berisik. "Aku tahu dari Mbak Win, soalnya dia yang mengantar Ibu ke pasar," imbuh Azka.
"Ibu ngojek Mbak Win, Bang?" tanya Dion kembali berbaring di sebelah Azka.
"Iya, kemarin aku mau beli sabun colek di warungnya Mbak Win. Kebetulan dia ngajak ngobrol Abang, terus nggak sengaja cerita kalau Ibu ngojek dia ke pasar jual cincin. Selama ini kan, perhiasan yang Ibu punya cuma cincin peninggalan Bapak itu, Yon," jelas Azka menghela napas dalam karena dadanya terasa sesak.
"Terus, gimana soal biaya ujian, Abang? Abang nggak berusaha ngomong sama Ibu? Siapa tahu dengan sisa uang menggadaikan sertifikat besok, bisa Abang pinjam dulu," saran Dion.
"Aku malu Yon mau ngomong sama Ibu. Kita kan nggak tahu berapa kebutuhan Ibu dan berapa uang yang akan Ibu pinjam dari bank."
"Tapi, apa salahnya sih Bang, ngomong sama Ibu. Mungkin saja Ibu bisa pinjam lebih, kalau tahu Abang juga membutuhkan. Kalau Abang nanti sudah lulus dan bisa kerja, kan bisa bantu Ibu buat bayar cicilan per bulannya."
Azka terdiam, benar apa yang Dion katakan. Mungkin dengan seperti itu, Ratmi juga tidak terlalu berat menanggung bulanannya nanti.
"Ya ... lihat besoklah, Yon. Sekarang kita tidur dulu ya. Besok pagi aku harus ambil gabahnya Ibu di sawahnya Pak Pur." Azka memasukkan tubuhnya di sarung untuk melindungi diri dari gigitan nyamuk.
Dion merapikan bukunya, lalu menyusul Azka yang sudah memejamkan mata. Ternyata sedari tadi Ratmi mendengarkan pembicaraan kedua anaknya dari kamar yang terletak berdampingan dengan kamar mereka. Air mata membasahi pipi Ratmi.
"Ya Allah, luruskanlah niat baik anak-anak hamba. Jauhkanlah mereka dari godaan duniawi. Jadikanlah anak-anak hamba orang yang berguna untuk keluarga dan agama. Lindungilah mereka di mana pun nanti berada untuk mencari rizki. Aamiin."
Doa tulus sang ibu di malam hari sebelum memejamkan mata. Sungguh mendamaikan hati Azka dan Dion. Ratmi memejamkan mata dan bibirnya tak henti selalu mengucapkan syukur dan berkomat-kamit berdoa untuk keselamatan dan kesehatan kedua putranya.
########
Cerita yang mengangkat perjalanan seorang pelaut dari keluarga yang tak mampu. Dapatkah Azka menjadi seorang pelaut yang jaya di lautan dan di daratan? Mampukah cinta Iis menguatkan tekad dan ambisi Azka? Ataukah cinta Iis justru melemahkan dan mematahkan ambisi Azka untuk membahagiakan Ratmi? Bagaimanakah kira-kira kelanjutkan cerita ini?
~Ah ... author somplak banyak tanya! Tinggal tulis aja ceritanya, masih aja banyak tanya. Wkwkwkwwk lol
Okay, ini adalah cerita terbaru saya. Lepas dari penerbangan dan mari kita belajar tentang lautan. Banting setir, dari udara ke laut.😁
_______
Format pesanan
Nama :
No HP :
Alamat lengkap :
Desa / kelurahan :
*Kecamatan :
*Kota / kabupaten :
*Provinsi :
*Kode Pos :
Judul buku :
Jumlah pesanan :
Ekpedisi pilihan : J&T, Wahana, Pos, Si Cepat, Tiki, Lion Parcel, dll.
Kirim format ke 085710415323 (Kak Ebie) / 088220245296 (Rex Delmora) / 081249092360 (Rex Publishing).
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top