AZKA PULANG, BU
Mendengar kabar Azka akan pulang, Ratmi dan Dion tak sabar ingin melihatnya. Mereka setia menunggu di teras rumah yang masih setengah jadi. Dinding yang dulu anyaman bambu sekarang berganti dengan susunan batako yang belum terlapisi semen, lantainya pun masih tanah. Ratmi risau, mondar-mandir dan terus melihat jalan.
"Bu, sini duduk!" pinta Dion membimbing Ratmi agar duduk di dipan.
"Kok abangmu nggak sampai-sampai ya, Yon? Coba kamu telepon," titah Ratmi tak sabar ingin segera melihat Azka.
Dion tersenyum lantas dia menelepon Azka, tapi nomornya tidak aktif.
"Bagaimana?" tanya Ratmi cemas.
"Bu, mungkin baterainya habis jadi HP-nya Bang Azka mati," jelas Dion mengelus bahu Ratmi agar tenang.
"Sudah mau Magrib kok nggak sampai-sampai," gerutu Ratmi pelan dengan nada cemas sembari melilit-lilitkan bajunya di jari telunjuk.
Dion yang mendengar hanya tersenyum, wajar jika Ratmi risau, karena ini adalah kepulangan Azka yang pertama sejak ia bekerja di kapal. Azan Magrib berkumandang di masjid dan musala, langit senja mulai gelap.
"Masuk yuk, Bu! Sudah azan Magrib, kita salat berjamaah," ajak Dion membimbing Ratmi berdiri lalu menuntunnya masuk ke rumah.
Ketika Dion ingin menutup pintu, terdengar sepeda motor berhenti di depan rumah. Ia pun mengurungkan niatnya, Dion kembali membuka pintu lebar melihat Azka mencangklong ransel hitam sedang membayar ojek. Ratmi yang tadinya ingin ke belakang berwudhu pun tak jadi. Dia berlari kecil melihat siapa yang datang. Bibir Ratmi tersenyum lebar, matanya berbinar, air mata kerinduan menggenang di pelupuknya.
"Assalamualaikum." Azka berucap salam ketika kakinya melangkah masuk ke dalam rumah.
"Waalaikumsalam," jawab Ratmi dan Dion bersamaan.
"Ibu." Azka menyalami Ratmi dan mencium tangannya.
"Bagaimana keadaanmu, Nak?" tanya Ratmi membelai wajah Azka lalu mencium kedua pipinya.
Air mata Ratmi pecah bersamaan dengan tangis kerinduan Azka ketika mereka berpelukan. Dion yang berdiri di depan pintu tak kuasa membendung air mata harunya.
"Alhamdulillah, Azka baik-baik saja, Bu."
Ratmi melepas pelukannya dan menghapus air matanya dengan ujung baju. Azka beralih ke Dion, dia tersenyum dan mengacak rambut adik semata wayangnya.
"Bang," seru Dion pelan bibirnya bergetar lalu berhambura memeluk Azka.
Azka membalas pelukan Dion, hatinya terasa tenang berada di antara Ratmi dan Dion. Beban pikirannya pun terhempas saat melihat wajah mereka.
"Sudah-sudah," sela Ratmi mengelus kepala Dion yang menangis di bahu Azka. "Sekarang kita wudhu terus salat berjamaah ya?" ajak Ratmi halus.
Azka menegakkan tubuh Dion, dia menyeka air matanya dengan telapak tangan.
"Ayo!" ajak Azka merangkul Dion.
"Aku saja yang bawain, Bang," ujar Dion membawakan ransel Azka.
Azka melihat perubahan rumah mereka, meskipun masih jauh dikata sempurna, tapi dia bersyukur bilik bambu yang dulu sudah keropos sekarang berganti dengan batako yang jauh lebih kukuh. Gentingnya semua baru, kamarnya pun sekarang ada tiga, yang lebih mencolok ada satu ruangan di samping kamar Ratmi yang sudah terlihat bagus, batakonya tertutup semen, lantai dibuat lebih tinggi dan sudah terpasang keramik, serta tempatnya bersih. Ruangan itu dikhususkan untuk salat.
"Bang, tidur sekamar lagi sama aku nggak apa-apa kan? Kamar yang satunya dipakai buat nyimpan barang-barang. Soalnya masih banyak perbaikan," jelas Dion membuka pintu kamarnya.
"Iya, yang penting bisa buat tidur sudah bersyukur, Yon," jawab Azka bahagia karena hasil kerjanya selama ini terlihat nyata tak terbuang sia-sia.
Azka duduk di tepi tempat tidur, dia menyapu pandangannya ke kamar Dion. Lemari kayu yang masih baru, dan meja belajar. Dia mengelus kasur busa sambil membatin. Alhamdulillah, ya Allah terima kasih atas nikmat-Mu. Akhirnya kamu bisa merasakan tidur di kasur empuk, Yon.
"Azka, Dion, cepetan ambil wudhu," titah Ratmi menunggu mereka di ruang salat.
"Iya, Bu," sahut Dion dan Azka dari kamar.
Mereka lantas keluar berjalan ke arah dapur. Azka menyapu pandangannya, melihat-lihat perubahan rumah mereka. Dapur yang dulu memasak menggunakan tungku, sekarang ada kompor gas dan rak yang dulu dari bambu kini sudah memakai rak berbahan aluminium. Meskipun lantai masih tanah, tapi rumah itu tetap rapi dan bersih.
"Yon, kenapa nggak dikeramik sekalian?" tanya Azka saat berdiri di samping Dion yang sedang wudhu.
Selesai wudhu, Dion pun menjawab, "Sabar, Bang. Satu-satu dulu, bertahap. Kemarin nyelesaiin kamar mandi, nanti kalau ada rejeki lagi nutup batako pakai semen, baru masang keramik."
Azka mengangguk paham, lantas dia wudhu. Selesai wudhu mereka menyusul Ratmi. Seperti dulu, Azka menjadi imam saat mereka salat. Selesai berdoa, Ratmi menyiapkan makan malam. Tersaji ayam goreng, sambal terasi, dan tumis kangkung di meja makan.
"Azka, Dion! Sini, kita makan," ajak Ratmi.
Di ruang sebelah dapur terdapat meja panjang dengan 4 kursi. Dion dan Azka menghampiri Ratmi, mereka duduk bersebelahan. Ratmi mengambilkan piring untuk mereka.
"Kamu kalau di kapal makan sama apa, Ka?" tanya Ratmi menarik kursi lantas duduk di depan Azka dan Dion.
Dia khawatir membayangkan jika Azka tidak bisa makan seperti biasa yang dia masak.
"Di kapal ada kokinya kok, Bu. Makanannya juga setiap hari ganti-ganti. Tapi kalau pagi, pasti makannya garingan, kayak tempe atau tahu goreng sama sambel, bakwan sayur atau tempe mendoan sama sambel, kadang bikin nasi kuning sama kering tempe, kadang juga nasi uduk sama telur dadar, ya gitulah."
"Terus siangnya?" tanya Dion cemas jika kakaknya selalu makan seperti itu di kapal.
"Ya kalau makan siang sama makan malam menunya ganti-ganti. Yang pasti selalu ada sayuran, soalnya kan makan siang sama malam tuh waktu lapar-laparnya habis mengeluarkan banyak tenaga. Kadang masak ayam goreng sama sayur sop, olahan ikan, olahan daging, ya gitu. Yang penting harus ganti-ganti biar nggak bosen," jelas Azka mengurai rasa penasaran dan kekhawatiran mereka.
"Alhamdulillah, syukur kalau makanan kamu diperhatikan. Ibu kepikiran," ujar Ratmi lega mendengar cerita Azka.
"Ibu tenang saja, perusahaan sudah menjamin semuanya. Kesehatan sampai kebutuhan sehari-hari kami. Yang kami lakukan hanya bekerja sebaik mungkin agar membawa kapal serta penumpang hingga selamat sampai tujuan."
"Iya. Ya sudah, ayo dimakan." Ratmi menyodorkan piring berisi ayam goreng agar Azka mengambil lebih dulu. "Azka, besok kamu pengin makan apa? Ibu masakin," tanya Ratmi sebelum menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.
"Azka pengin makan sama ikan asin, tahu tempe goreng, Bu. Sambal terasi, udah itu aja," jawab Azka.
Dia sangat merindukan makanan itu, meskipun sederhana, tapi kenikmatannya tidak bisa dia dapatkan di kapal.
"Wah mantap itu, Bang. Sekalian pete sama terong goreng buat lalapannya," timpal Dion semangat.
Ratmi tersenyum lalu menyahut, "Iya, besok Ibu masakan itu."
"Asyiiiiiikkkkk, makan enak besok," girang Dion.
"Emang sekarang nggak enak?" tanya Azka.
"Bukan begitu, Bang. Masakan apa pun, kalau yang bikin Ibu, sudah pasti enak, Bang. Cuma udah lama nggak dimasakin Ibu begitu."
"Ya kan Ibu juga masakin tukang, masa mau dikasih ikan asin sama sambal?" terang Ratmi.
Dion meringis cengengesan memamerkan barisan giginya.
"Iya-ya, Bu. Nanti dikira kebangetan ngasih makan orang tidak sepantasnya," kata Dion.
"Nah, itu kamu tahu," sahut Ratmi membenarkan ucapan Dion.
"Besok masih ada tukang, Bu?" tanya Azka.
"Nggak, libur dulu. Kumpul-kumpul uang lagi buat nanti nyicil beli semen sama keramik. Tapi itu bisa nanti-nanti, yang penting sekarang kita nggak kebocoran lagi," jawab Ratmi tersenyum tulus menenangkan hati Azka. "Ayo, habiskan makannya."
Mereka pun menyelesaikan makan malam dengan obrolan hangat sembari bercerita melepas rindu.
***
Samar-samar Azka mendengar suara wanita sedang mengaji, azan Subuh pun terdengar berkumandang. Lantas dia membuka matanya lalu membangunkan Dion.
"Yon, bangun. Ayo salat Subuh!" Azka mengguncangkan tubuh Dion.
Tanpa susah payah Dion pun membuka mata. Mereka ke luar kamar, melihat Ratmi duduk di ruang salat sedang membaca Alquran. Hati Azka terenyuh, meskipun kehidupan mereka sedikit demi sedikit berubah lebih baik, tapi sifat dan kebiasaan mereka tetap sama. Ratmi hampir setiap hari terbangun di sepertiga malam dan menjalankan salat malam lalu dilanjutkan mengaji sampai terdengar azan Subuh.
"Ayo, Bang!" ajak Dion berjalan lebih dulu.
Azka masih tertegun menatap punggung Ratmi yang duduk khusyuk membaca Alquran. Hatinya damai dan sejuk mengarkan ayat-ayat Alquran yang Ratmi lafalkan.
"Sodakallahul'adzim." Ratmi menutup Alquran-nya.
Lalu Azka menyusul Dion yang sedang wudhu di samping sumur.
"Yon," panggil Azka berdiri di sebelahnya.
Dion menoleh, "Apa?" tanya dia setelah selesai wudhu.
"Gimana kabar Kak Iis?"
Deg!
Jantung Dion berdegup kencang dan bibirnya pun kelu.
#########
Waduuuuuh ada apakah dengan Mbak Iis???😂 Nah loooooh. Apa hayo? Sabar ya? Nanti jawabannya ada di bab berikutnya.
Terima kasih untuk vote dan komentarnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top