Chapter 5

Dua orang berjubah hitam lusuh berjalan beriringan. Keduanya memiliki sorot mata berbeda, satu memindai sekeliling penuh kewaspadaan, satu lagi menatap lurus seperti mata pisau. Demi sesuap informasi, mereka menyapu jarak dari satu pasar ke pasar lainnya, menjelajah dari kedai ke kedai lainnya. Tampak terlalu biasa, tampak terlalu normal, dan tampak terlalu baik-baik saja. Tiga hal ini membuat wanita di balik salah satu jubah itu menggertakkan giginya; tidak ada yang bisa mereka temukan di Desa Atsukusa.

Sampai ketika di kedai terakhir, cukup lebih mewah dari kedai-kedai di Atsukusa, bahkan ada lantai tiganya, bangunannya bernuansa hitam dan merah, dan sepertinya tidak sembarang orang bisa mendapatkan akses ke lantai tiga. Mereka mengendus sesuatu samar-samar ketika berhasil menduduki lantai dua.

Lima tusuk kue dango dan segelas air di atas meja. Seorang laki-laki menurunkan tudung jubahnya, tampak di separuh perpotongan lehernya menyisakan bekas luka bakar. Ia memegang perut bagian kanan sembari duduk dengan kaki dilipat.

"Kitsune," panggil Shouya di antara helaan napas. Ia juga menyeka keringat di pelipisnya. Ia duduk berseberangan dengan kursi Kitsune. "Kita sudah mencari informasi ke mana-mana—" Laki-laki yang baru menginjak usia terakhir remajanya, sembilan belas tahun, membungkam cepat mulutnya ketika mata rubah itu mendelik ke arahnya.

"Berhenti mengeluh, perhatikan sekitarmu diam-diam." Telunjuk Kitsune menempel di bibirnya. Matanya mengarah pada rombongan di sampingnya yang diantar ke lantai tiga.

Shouya menggigit bibir bawahnya, menahan kesal. Ia tidak tahu apakah ini bagian dari latihan mengerikan yang ada dalam bayangannya atau Kitsune hanya membual dan menjadikan dirinya sebagai budak, bukan bidak. Tiap kesempatan laki-laki itu selalu mengungkit pelatihan yang rubah sakti itu janjikan.

"Kau saja sakit-sakitan, jangankan berlatih, kusuruh jongkok sekali saja kau sudah akan tumbang!" Kitsune mengeraskan jemarinya ke meja, kukunya meruncing tajam seketika. Membuat jakun Shouya bergerak gugup diam-diam, ia tahu-tahu kembali duduk dengan tenang. Dalam hati bungsu Uchiyama, ia mengumpat pada Kitsune yang membuat tubuhnya babak belur padahal ia baru saja lolos dari kematian—walaupun itu adalah hasil dari kekalahannya.

Fokus mereka teralihkan pada pelayan yang sudah mengunci pintu akses menuju lantai tiga, yang kemudian berdiri membelakanginya. Seperti menjaga rahasia di dalamnya. Seringai tipis muncul pada ranum merah Kitsune, yang membuat Shouya bergidik dingin.

"Manusia, dalam hitungan ketiga, bunuh penjaga itu dengan gelas ini," titah Kitsune, memajukan gelas minuman lebih dekat dengan Shouya.

Kening laki-laki, yang umurnya terpaut ratusan tahun, mengernyit. "Tiba-tiba? Kenapa? Apa salah dia sehingga harus dibunuh?" Shouya berbeda dengan Kitsune, jauh berbeda. Ia tak pernah membunuh orang sebelumnya.

"Satu," bisik Kitsune, tak menerima alasan lagi.

Mata Shouya lari ke dalam keramaian. Para tamu duduk di lantai yang sama, saling menuangkan teh dan melemparkan canda tawa.

"Dua." Waktu tetap berjalan seperti bulir keringat yang membentuk sungai kecil di antara pelipisnya. Dan mata bak batu oniks hitam itu beralih pada penjaga yang memandang lurus tanpa ekspresi. Meja Kitsune dan Shouya hanya berjarak lima meter dari penjaga tersebut.

"Tiga!" desakan lembut dan mencekam Kitsune melesat di kepalanya. Tangannya menggenggam gelas kaca erat-erat. Dan secara tiba-tiba, lampu mati dengan suara pecahan kaca. Kepala Shouya mendongak, ia merasa melihat sesuatu melesat cepat ke atas. Sebuah tusukan kecil tertancap di tengah lampu yang telah pecah. Teriakan histeris melambung ke seluruh sudut ruangan di detik selanjutnya. Dada Shouya naik dan turun dengan segala perasaan tidak nyamannya. Pupil matanya bergeming, mendapati kepala beberapa tamu jatuh ke meja dan satu-dua pelayan gugur ke lantai dengan tusukan yang serupa di perpotongan leher mereka.

Saat ia menyadari ini ulah siapa, jantung Shouya berdebar kencang, temponya tak beraturan. Kadang melambat seolah ia akan mati, kadang begitu cepat sehingga ingin meledak. Ditolehkan kepalanya pelan-pelan, kue dango habis di atas piring, tanpa satu pun yang tersisa, termasuk tusukannya. Di depannya, Kitsune menatapnya licik. "Lakukan."

Tangannya gemetar ketika gelas yang ia pegang pecah, ujung serpihannya mengacung tajam. Situasi semakin menegangkan, teriakan dan suara derapan langkah kocar-kacir memenuhi lantai dua. Penjaga yang mereka incar berusaha melaporkan kejadian mencurigakan ini ke lantai tiga, ia mengobrak-abrik lubang pintu dengan kunci. Begitu ia berhasil menggeser pintu, wajahnya menegang. Tubuhnya ambruk ke depan, menampakkan Shouya yang memandang kejadian itu dengan wajah penuh keterkejutan dengan Kitsune yang memegang tangannya dari balik tubuh.

Napas hangat Kitsune menyapu perpotongan lehernya. Shouya dapat melihat seringai rubah itu dalam kegelapan. Tangan Kitsune memegang erat tangannya, memandu Shouya untuk naik anak tangga setelah menggeser kembali pintunya, dan membiarkan tubuh penjaga yang mulai dingin sendirian.

Dengan cepat, mereka sampai di ujung tangga lantai tiga. Ruangan ini begitu kedap suara sampai-sampai kekacauan tadi tidak lagi terdengar. Hanya ada dinding tipis yang memisahkan tangga dan ruang lainnya, nuansanya lebih tradisional dan mahal. Di dinding kayu di depan ruangan itu berjejer lukisan-lukisan.

Kaki melangkah seperti lantai itu berisikan ranjau.

"Perluasan wilayah kekuasaan Klan Tokuhimo saat ini sedang dalam proses."

Satu baris kalimat itu menjadi rantai yang memeluk Shouya dan Kitsune untuk menetap dengan perasaan aneh. Mendengar Tokuhimo membuat darah Kitsune mendidih, tetapi di saat yang bersamaan ia berusaha tetap tenang. Mereka yang ada dalam ruangan ini mungkin memiliki informasi yang penting.

"Apa kalian tidak curiga dari mana ia mendapatkan kepercayaan diri itu?" Salah satu pria dengan nada penuh curiga menimpali.

"Ini bukan soal kepercayaan diri, tapi kekuatan yang ia miliki sekarang, Tuan." Lagi, suara yang tidak familier di telinga Kitsune terus bermunculan. Kuku-kukunya memutih, mengepal kuat.

"Kita ikuti saja kehendak para Tokuhimo, kalau menentang ... kita akan bernasib sama dengan Klan Uchiyama yang bodoh itu, kau mau keluargamu dibantai habis? Kalau bisa, kita berlindung saja di bawah kekuasaan mereka. Hanya dengan itu kita bisa hidup lebih lama."

Entah siapa yang berbicara, tetapi suasana di lorong itu berubah dingin dan jauh lebih sunyi. Kitsune merentangkan tangannya, menahan tubuh Shouya yang ingin menerjang pintu. Darah wanita itu berdesir ketika ia bertemu mata kelaparan milik Shouya. Laki-laki yang akan ia bimbing menjadi kuat itu menahan amarahnya seperti gunung yang segera meletus.

"Lepaskan aku, Rubah," desis Shouya ketika Kitsune menggenggam pergelangan tangannya. Siluman rubah itu dapat merasakan kulit Shouya yang mengeras. Kitsune tak masalah, ia tetap menundukkan kepalanya untuk mendengar percakapan mereka lebih jelas.

"Berarti rumor itu benar? Bahwa Tokuhimo mendapatkan kekuatan luar biasa yang mendukungnya menjadi penguasa?" Sepertinya pria yang ragu-ragu tadi mulai goyah.

"Iya, pernah dengar legenda rubah Kitsune? Ia mengalahkan rubah itu dan mengambil bola bintang yang berisi kekuatan Kitsune." Kali ini, Kitsune tersenyum dengan amarah. Siapa yang menyebarkan rumor tak berdasar itu?

"Bagaimana bisa? Tidak mungkin Kitsune yang terkenal itu dikalahkan dengan mudah!" Kali ini seorang wanita yang terdengar sudah berumur itu menyangkal.

"Tentu saja Tokuhimo tidak sendirian, dia dibantu oleh—"

Bola mata Kitsune membulat hebat, ia menarik Shouya dengan gerakan yang tak bisa ditangkap manusia. Di setengah sekon selanjutnya, bunyi dentuman menggelegar. Kedai tiga lantai itu memuntahkan ledakan yang menghancurkan bangunan di sekitarnya. Hal yang membinasakan habis apa yang ada di kedai tersebut seolah menjadi ranjau peringatan yang berusaha menutupi kebenaran.

Api di dalam kendali manusia bisa sebagai energi membara yang membawa manusia di puncak paling ideal. Sebaliknya, ketika api di luar kendali, maka tamat sudah. Ia akan merenggut hangus segalanya tanpa sisa, karena sejatinya api bersifat menyerang. Percikan panas dalam api unggun tidak terlihat berbahaya, tetapi jika dipegang mentah-mentah tanganmu akan melepuh. Dan sekarang, Shouya merasa api dan api saling memantulkan cerminannya pada bola mata Kitsune. Keduanya berdiri berdampingan, menyaksikan bagaimana kobaran api menyambar dari satu desa ke desa lain dari atas perbukitan yang tak begitu jauh dari sana.

Berbeda dengan sikap Kitsune yang sebelumnya seperti ular mendesis, kini rubah yang terkenal atas legenda hebatnya itu sedang mengayunkan ekornya secara perlahan mengiringi lambaian ombak api di bawah sana, kontras dengan bulu ekornya yang bergerak ribut oleh angin. Menyaksikan kehancuran yang begitu familier.

"Seseorang menggunakan kekuatanku sendiri untuk membunuhku. Itu terdengar lucu bagiku, Shouya." Kitsune membiarkan rambut putih panjangnya berkibar marah, bersahut-sahutan dengan badai.

"Kenapa? Apa salah dia sehingga harus dibunuh?" sahut Kitsune tanpa mengalihkan pandang pada kobaran api. Baris kalimat yang begitu familier, Shouya menoleh pada Kitsune, pikirannya linglung, hilang arah.

"Ketika kita sudah berada di pihak yang bertentangan, segalanya bisa memunculkan konflik. Namun, daripada bertanya-tanya kenapa ular menggigitmu, lebih baik cari tahu di mana sarangnya; musnahkan, karena kalau tidak, ular berikutnya akan menggigit yang lain. Lalu orang lain bertanya lagi kenapa ia digigit, apakah ia pantas disakiti?" ujar Kitsune pelan, tetapi tegas.

"Apakah jika kau menemukan alasannya, itu akan membuatmu puas?" Kitsune menoleh, akhirnya mata mereka kembali bertemu. Tidak ada tatapan saling mengancam, membenci, ataupun mengutuk satu sama lain. Keduanya sadar mereka berada di pihak yang sama.

"Kau sudah terlibat dalam konflik; peperangan. Kau harus siap membunuh kalau tidak ingin dibunuh," ucapnya sambil menancapkan kuku tajamnya pada leher pucat Shouya, memaksanya mendongak lebih jelas.

"Latih aku, secepatnya. Aku tidak peduli jika tubuhku hancur kaubuat, asalkan aku bisa setara dengan orang-orang Tokuhimo sialan itu, akan kulakukan apa saja," bisiknya dengan mata memerah, entah karena lehernya semakin dicekik kuat atau ia sedang menahan ambisi.

Wajah mereka semakin mendekat, kedua tangan Kitsune kini menangkup wajah Shouya. Ia tersenyum mengerikan, seperti rubah yang bisa mencabik mangsanya kapan saja. "Aku akan menghancurkanmu, dengan senang hati."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top