Chapter 2
Bola bintang yang menyimpan setengah kekuatan Kitsune selalu dibawa ke mana pun ia pergi. Seperti sekarang, saat dirinya membersihkan tubuhnya di mata air Gunung Tsuyuma. Bolanya bersinar seperti mutiara pusaka dalam air. Pantulan wajah Kitsune yang menawan dengan garis mata tajam yang memesona, menjadi pemandangan kesukaan Kitsune setiap harinya. Ia meraba kulit lengan dan wajahnya yang makin mengencang. Tentu, ia tidak mengizinkan segala tanda penuaan di tubuhnya. Dan bola sihir itulah yang menjaga keajaibannya sampai 800 ratus tahun ini.
Setelah berendam dengan air yang dipanaskan oleh sihirnya, Kitsune berdiri dan mulai menepi hingga menimbulkan suara rembesan air. Sambil melantunkan sebuah nada, Kitsune mengeringkan tubuhnya dengan handuk. Perlahan menarik katun tipis untuk menutupi lekuk tubuhnya yang indah. Yukata berwarna putih tulang, selaras dengan warna rambutnya. Rasa jeruk mengalir seketika, tanpa sadar sembilan ekor Kitsune berayun anggun mengikuti suasana hatinya.
Hanya ketukan dari alas sandal kayu milik Kitsune yang menemani jalannya, turun menuju kaki Gunung Tsuyuma. Mata rubahnya melirik ke daerah kiri, tempat nisan-nisan tumbang dan nama pemiliknya sudah tidak terbaca lagi. Pandangannya kembali lurus, mengetahui bahwa isi kuburan itu sudah kosong akibat terurai dari zaman ke zaman.
"Membosankan, aku ingin pergi ke pemukiman. Aku ingin bertemu dengan manu ... sia." Telinga Kitsune menangkap suara. Ia segera menyembunyikan seluruh ekornya di balik Yukata bersama mutiaranya. Suara yang serak dan penuh frustrasi.
"Tolong ... tolong aku, siapa pun."
Mata keemasannya menyala riang. Sedetik kemudian ia sudah raib dari tempatnya.
***
"Di mana aku?" ucap seorang, ketika menemukan dirinya terbangun di tempat asing. Rumah kayu dengan atap pendek menjadi pemicu pertama rasa penasarannya. Siapa yang tinggal di rumah sekecil ini? Orang yang suka ruang minimalis mungkin. Selain itu, hidungnya mengendus-endus wangi tahu goreng, aburage. Tubuhnya merangkak keluar, betapa terkejutnya ia pada sosok wanita yang memiliki sembilan ekor di bawah punggungnya.
"Oh, manusia. Kau sudah siuman," suara wanita itu menyapanya, tidak datar dan tidak juga lantang. Hanya satu kalimat, tetapi sang manusia merasa merinding.
Jika boleh jujur, seorang pria paruh baya yang duduk sopan dengan kedua lutut ditekuk merapat ini tidak pernah membayangkan makan malam bersama seorang ... atau seekor rubah, yang kini dengan lahap mengunyah satu potong aburage.
"Kenapa? Kau tidak suka aburage? Apa manusia sekarang pilih-pilih makanan?" Alis Kitsune mengernyit, tanda ketidaksukaan itu membuat pria di depannya mengambil dua potong tahu sekaligus. Sampai tenggorokannya kebas dan ia terbatuk-batuk. Kitsune memandang iba. "Manusia masih saja bodoh."
"Aku ... punya nama, namaku Tamagoro. Apa kau yang mengobati lukaku?" Tamagoro menaruh kedua kepalan tangannya di atas lutut, ia sesekali melirik daun-daun—yang sudah ditumbuk—basah yang menempel sekujur tubuh dan pelipisnya, tidak seperti Kitsune duduk sembarangan karena tempat ini adalah otoritasnya.
"Menurutmu apa ada orang lain di sini selain diriku?" Kitsune membelit helai rambutnya dengan telunjuk, menatap agak malas.
Tamagoro bergeming sebentar, lalu menunduk. "Maaf, dan terima kasih sudah menyelamatkan aku. Setelah fajar aku akan pergi."
Kitsune tidak berpikiran sama, ia menggeleng dengan maksud tertentu. "Tidak semudah itu, Tamagoro. Kau pikir aku akan percaya kalau kau tidak memberitahu penduduk desa atas keberadaanku?"
Siluman rubah ekor sembilan. Berita itu akan riuh satu kampung. Kitsune tidak tertarik membagi kehidupannya terang-terangan dengan manusia. Ia lebih suka menyamar dan menipu untuk berbaur bersama mereka. Tamagoro hanya segelintir dari manusia yang beruntung karena saat ini suasana hati Kitsune sedang bagus-bagusnya, apalagi sejak kekuatannya bertambah karena kemunculan ekor kesembilannya.
Bagi mereka para manusia, keberadaan Kitsune hanyalah mitos belaka, tetapi masyarakat masih memercayainya meskipun jarang dari mereka yang bertemu langsung dengan siluman rubah ini. Yang perlu Kitsune pikirkan adalah kenapa tampaknya Tamagoro sudah mengira pertemuan ini akan terjadi?
"Kau seolah tahu aku ada di sini, apa kau pernah melihatku sebelumnya?" Mata keemasannya menatap penuh selidik. Tamagoro menaruh tangannya di belakang leher. "Aku ... tidak tahu harus lari ke mana saat dikejar pembunuh bayaran. Entah kenapa dongeng yang diceritakan ibuku kalau rubah utusan dewa selalu menolong manusia. Jadi, aku memberanikan diri untuk lari ke tempat yang menurutku sudah tua dan tidak berpenghuni."
Lantas semburat merah malu-malu melukis pipi Tamagoro. "Dan ... cerita tentang kecantikan Kitsune, itu nyata." Mendengar pengakuan polos, ego Kitsune tervalidasi dengan cuma-cuma.
Seringai Kitsune terbit, ia senang dipuja. "Tamagoro, aku akan melepaskanmu setelah fajar." Manusia tetaplah manusia, Kitsune tidak bisa membiarkan dirinya berdekatan dengan kaum mereka dalam waktu yang lama.
***
Fajar tiba. Sinar hangatnya membentang pada cakrawala. Kitsune terbangun, kain selimutnya melorot sampai perut. Sambil mengusap matanya, ia mencium harum teh hijau dari luar. Wanita rubah itu pun keluar dari rumah kecilnya, mendapati Tamagoro yang sedang bersiap-siap akan pergi, kembali ke desanya.
"Apa kau yakin pembunuh bayaran itu tidak akan mengejarmu lagi, manusia?" tanya sekaligus sapaan pertama Kitsune di pagi hari. Tamagoro terlonjak kaget karena Kitsune muncul tiba-tiba di sampingnya.
Tamagoro menggeleng yakin. "Aku akan bersembunyi sementara waktu sampai mereka berpikir aku benar-benar sudah mati." Kitsune mengangkat kedua bahunya. Tidak begitu peduli atas keputusannya. Kalau mati pun memang sudah tabiatnya manusia tidak hidup lama seperti dirinya.
Yang masih menarik perhatiannya adalah dua cangkir kayu yang sama-sama terisi teh hijau. Terlalu wangi hanya untuk sebuah teh. Lagi-lagi Tamagoro bersikap canggung dengan batuk buatannya. "Khem, aku membuat teh istimewa untukmu, Nona Kitsune. Setidaknya aku ingin memberikan sesuatu sebagai ucapan terima kasih sebelum aku kembali."
Kitsune melihat pantulan wajahnya di dalam cangkir berisikan teh hijau. Sementara Tamagoro sudah siap meneguk cangkir teh itu kapan saja. "Ayo, Nona Kitsune. Aku hendak bergegas untuk mengabari kerabatku di desa."
"Jangan memberiku perintah," ketus Kitsune, segera meneguk teh hijau tersebut. Begitu pun Tamagoro yang ikut meminumnya dengan hati riang, sayangnya ia tersedak hingga airnya tumpah-ruah ke tanah. Kitsune hanya menggeleng-geleng.
Tamagoro pun pergi. Kitsune tidak terlalu tertarik menyaksikan punggung siapa pun menjauhinya. Maka ia langsung berbalik badan setelah berubah menjadi seekor rubah putih sepenuhnya. Rasa-rasanya ia masih memerlukan tidur lebih lama. Mungkin sangking mengantuknya, ia tidak dapat menahan kesadarannya sampai masuk rumah. Tubuhnya tumbang di tanah begitu saja. Ekor-ekornya lemas dan mutiara putih ajaibnya mengelinding di dekatnya; tanpa kewaspadaan, tanpa pertahanan.
Dan saat terbangun, ia tidak bisa menemukan bola bintang itu di sisinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top