Prolog

The Lost Soul

Prolog

Darah menetes dari pelipis kanan Margha. Tangan kirinya bergetar karena rasa sakit tak tertahan. Hampir saja dia menjerit kala memaksakan tangan kirinya menopang tangan kanannya memperkuat gendongan. Sedangkan, gadis kecil berusia lima tahun dalam gendongannya itu masih terpejam.

Margha mempercepat langkahnya menuju kelokan lorong gedung lalu membuka pintu penghubung dengan menekan kode-kode. Setelah pintu terbuka, dia bergegas masuk. Dia merintih saat tangan kirinya tak lagi kuat menopang. Kakinya hampir tersaruk dan berlutut dengan napas terengah-engah. Namun, kembali dia menahan tubuhnya. Meski tertatih-tatih, Margha akhirnya mencapai kapsul waktu.

“Nona, mungkin ini misi terakhirku.” Margha memandang gadis kecil yang masih terlelap itu. “Hanya ini satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Anda, Nona.”

Tangan Margha gemetar saat meletakkan tubuh gadis kecil itu ke dalam kapsul waktu. Teringat kembali titah tuannya untuk menyelamatkan sang putri dari kejaran para pemberontak.

“Semua pintu keluar telah dikepung tentara Sullan.” Margha melihat keputusasaan di wajah Arhlan. Selama mengenal tuannya, Margha tak pernah melihat cahaya matanya redup seperti ini.

“Bawa putriku pergi.” Ada permohonan dalam pandangan mata Arhlan.

Margha menggeleng. “Aku akan menahan mereka di sini, Tuan. Tuan dan Nona harus pergi dari sini.”

Mereka berada di lorong dengan dinding serba putih dan lampu yang hampir redup. Lorong di depan sana merupakan pintu terakhir menuju ruangan rahasia yang hanya diketahui Arhlan, Margha, dan Sullan.

“Tidak, Margha. Target Sullan sekarang membunuhku juga putriku. Dia tak boleh mati, Margha” Arhlan mengusap rambut putrinya lalu segera menyerahkannya pada Margha. “Lakukan sesuai rencana.”

Mereka hanya terhalang satu pintu dengan tentara Sullan yang kini berusaha membuka pintu penghubung. Arhlan menebak, pintu itu akan terbuka sebentar lagi. Karena itulah, segera dia mendorong Margha pergi.

Margha menoleh sekali lagi melihat tuannya mengeluarkan pistol tanpa menoleh pada mereka. Namun, belum juga Margha membuka pintu penghubung terakhir, pintu depan telah dibuka dan serombongan pasukan masuk menodongkan senjata. Tak ayal baku tembak kembali terjadi. Margha dengan gesit berbalik dan menutupi tubuh gadis kecil itu dari serangan peluru. Menjadikan tubuhnya sebagai tameng tembakan.

Meski tubuhnya terkena tembakan, Margha tetap melanjutkan pelarian. Sedikit lagi! Ruangan rahasia proyek kapsul waktu yang dibangun oleh Arhlan telah di depan mata. Margha tak tahu akan pergi ke mana nonanya setelah ini. Namun, Arhlan telah meyakinkan Margha, bahwa ini jalan yang terbaik.

Perlindungan terakhir dari sang ayah kepada putrinya.

“CEPAT! BUKA PINTUNYA!”

Margha tersentak sadar. Dia menoleh dan melihat beberapa tentara telah menerobos masuk. Cepat, dia tutup pintu kapsul waktu, lalu menekan tombol-tombol. Kolom pada komputer bergerak menunjukkan sebuah pilihan.

Soul or Body.

Belum sempat jarinya menyentuh tombol pilihan, pintu terbuka dan tembakan beruntun menghujaninya. Margha menunduk dan berguling ke kiri, lalu menarik laci kecil dan mengambil sebuah pistol.

Adu tembak kembali terjadi. Margha segera bersembunyi di belakang sebuah meja terengah-engah akibat rasa sakit di tangan dan dadanya yang sempat terkena tembakan.

“Menyerahlah Margha!” Margha mengenali suara tersebut. Sullan, teman baiknya.

Margha menggertakkan gigi, lalu keluar dari meja tempatnya bersembunyi. Dia menodongkan pistol pada pria berjubah putih yang berdiri dengan senyum tanpa emosi. Dulu, Margha menganggap pria penuh senyum itu sebagai pribadi yang baik tanpa cela keburukan sedikit pun. Tak sampai hari ini, dia melihat Sullan adalah ular berbisa yang sanggup menggigit tuan yang mengampunya.

“Margha, aku masih memberikan pilihan untukmu. Berdirilah di belakangku. Nasibmu tak akan seperti tuanmu.”

Tenggorokan Margha tersekat. Melihat lencana kepemimpinan berada dalam genggaman Sullan, hal ini berarti Arhlan telah tewas di tangannya. Tangan Margha bergetar seiring kebenciannya pada Sullan.

“Dia telah merangkul dan melindungi kita. Dia yang membesarkan kita. Mengapa kaulakukan ini, Sullan?”

Sullan tersenyum, mengelus lencana bergambar matahari dipeluk seorang dewi yang menyimbolkan dunia Zaddan, lalu menyematkan lencana tersebut pada jasnya.

“Lihatlah, lencana ini cocok untukku, bukan?” Sullan terkekeh-kekeh. “Margha, apa kau percaya bahwa aku dilahirkan untuk menjadi pemimpin? Pemimpin besar yang kelak akan menguasai semesta.”

“Gila! Kau gila, Sullan!”

Margha menekan pelatuk dan melepaskan tembakan. Namun, dia kalah cepat ketika tembakan dari lawan  segera memberangus langkahnya. Tembakan itu mengenai bahu Margha hingga pria itu mundur beberapa langkah lalu mengantuk meja. Sedangkan tembakannya melesat hanya menyenggol sisi pelipis Sullan. Saat itulah dia langsung berbalik dan tanpa sengaja memencet tombol Soul.

“Cegah dia!” perintah Sullan kala melihat tombol lampu pada kapsul waktu bergerak.

Tiga tentara Sullan segera beranjak menyeret Margha. Sullan bergegas menekan tombol untuk meng-cancel kinerja kapsul waktu. Dia benci ketika Arhlan selalu mencegahnya mempelajari bagian-bagian mesin waktu. Hanya Margha yang selalu diizinkan mengoperasikannya. Suara mesin berderak-derak, Sullan menatap cemas pada kapsul waktu. Namun, tatapannya berubah jenaka ketika tak lama kemudian terlihat getaran pada kapsul waktu sebelum berhenti meninggalkan jejak kepulan asap dingin.

Sullan terbahak-bahak sambil bertepuk tangan, lalu berbalik memandang Margha yang terperenyak. “Kau kalah, Margha! Kau kalah! Nona kecilmu, tak akan pergi ke mana-mana. Dia akan menjadi kaum terendah di Zaddan. Sehingga siapa pun akan melupakan keberadaannya. Dia tak akan bisa bangkit dan melawanku.”

Margha tak menghiraukan apa pun yang diucapkan Sullan. Pandangannya nanar penuh api kebencian. Namun, untuk melawan, sekarang tubuhnya terluka parah. Dia hanya akan menyerahkan diri pada maut jika memaksa menyerang.

Menghentikan tawanya, Sullan kembali memasang wajah penuh senyum, kemudian menunduk dan berbisik pada Margha. “Aku akan meninggalkanmu di sini. Mati dengan tubuh penuh luka. Aaah … napas kematianmu semakin dekat rupanya.” Sullan terkikik geli, lalu berdiri dan melangkahi tubuh Margha. Kepergiannya diikuti oleh tentara-tentaranya.

Margha menunggu. Suara-suara langkah Sullan semakin menjauh lalu menghilang meninggalkan keheningan. Setelah merasa aman, Margha menggerakkan kakinya. Dengan tangan dan kakinya dia merangkak perlahan-lahan ke sebuah meja.

Dia ingat, Arhlan selalu menyimpan serum untuk pertahanan tubuh di kontainer rahasia di bawah meja. Setelah memeriksanya, Margha menekan tombol kecil di pojok meja. Kontainer terbuka dan memperlihatkan sebotol kecil berwarna biru juga rangkaian jarum suntik. Segera, dengan tangannya yang bergetar menahan sakit, Margha menyuntikkan isi botol tersebut ke lengannya.

Dia menunggu sebentar dengan memejamkan mata. Tak berapa lama, ketika napasnya mulai kembali normal, Margha membuka mata. Meski denyutan sakit masih melumuri sekujur badan, Margha mencoba untuk menggerakkan tubuhnya. Dia harus membawa nonanya pergi.

Namun, gerakannya terhenti saat mendengar suara mesin pada kapsul waktu kembali terdengar. Margha bergegas berdiri tertatih tak lagi hirau dengan rasa nyeri di sekujur badan. Dia mengernyit keheranan melihat layar komputer.

Hatinya membuncah bahagia ketika melihat perhitungan nanogram bergerak menunjukkan frekuensi semakin cepat. Margha tertawa disertai air mata. Untunglah, pikirnya. Sullan mungkin terburu-buru menghentikan kinerja kapsul waktu tanpa menyadari tombol pause berwaktulah yang dia tekan.

Margha tertawa kembali, kali ini disusul isakannya. Kapsul waktu bergetar kuat, berderak, lalu bersinar dengan sinar biru yang menyilaukan mata.

Kilauan sinar kebiruan itu lepas, lalu menghilang bersama dengan derak mesin berhenti. Tak lama kemudian, layar komputer menunjukkan tulisan berwarna hijau.

The Soul has been successfully transferred.

Mata Margha memejam. Tubuhnya tak lagi menoleransi rasa sakit hingga ambruk terlentang di lantai. Serum ketahanan tubuh hanya berlaku sekian waktu, tak bertahan lama untuk dirinya sempat membawa raga nonanya. Karena itu, ketika beberapa tentara dan petugas medis masuk kembali ke ruangan. Margha hanya dapat menyaksikan tubuh nonanya dikeluarkan dari kapsul waktu, lalu salah satu dokter yang Margha kenali sebagai dokter kepercayaan Arhlan menyuntikkan cip pada tengkuk gadis kecil itu.

Air mata Margha menetes. Dia berjanji, jika hari ini hidupnya selamat, suatu hari nanti dia akan membawa jiwa nona kecilnya kembali.

Tunggulah, Nona, tunggu hingga aku mengumpulkan kekuatan untuk membawamu kembali.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top