TLP : 8

"Laporan ini tidak ada sesuatu yang mencurigakan...."gumam Oswald meneliti sebuah kertas di tangannya

"Tapi kenapa aku merasa ada yang aneh. Mereka...sama sekali tak mirip. Jacob pernah bilang Tom sempat kerja di luar kota. Ke mana ia pergi? Di mana ia tinggal sebelum pindah kemari? Apa yang ia lakukan?! Arrrgh...."seru Thomas mengacak rambutnya dengan putus asa.

"Thomas, kau sudah seperti terobsesi pada gadis itu. Jangan bilang kalau kau...menyukainya...."

Thomas menatap Oswald. "Dugaanmu tidak benar! Aku hanya...hanya penasaran dengan mereka. Mereka sangat aneh dan menyendiri..."

"Yah mungkin saja memang begitu sifat mereka,Thomas. Kita tak bisa memaksa tiap keluarga untuk bersosialisasi jika mereka memang tak mau. Itu pilihan mereka."

"Aku tahu...tapi....mata Leah...mirip dengan mata Lily..."

"Gadis yang memiliki mata hijau sangat banyak, Thomas. Bagaimana kau bisa membuktikan ia memang sang putri? Leah adalah anak Tom Winter."

Thomas terdiam. Hanya ada satu cara untuk membuktikan apakah Leah memang putri yang hilang atau bukan, tapi sulit baginya untuk memeriksa hal tersebut

"Sudahlah. Lebih baik kita tidur dan bersiap pulang. Raja pasti sudah menunggu."Ujar Oswald membereskan kertas yang bertumpuk dan beranjak bangun meninggalkan Thomas sendirian.

Malam itu Thomas tak bisa tidur. Ia memikirkan Leah. Thomas ingin membuktikan perasaan janggalnya pada keluarga Winter. Di lain sisi ia merasa berat untuk berpisah dengan Leah. Ia masih bisa mengingat senyumnya yang manis, kulit putihnya, rambutnya yang indah. Gadis cantik itu, batinnya, pasti akan terlihat sangat cantik jika saja ia memakai gaun yang indah. Ah andaikan Leah bisa ia ajak tinggal di istana sebagai pendamping hidupnya. Thomas beranjak bangun dan menepuk kepalanya. Kenapa ia malah berpikir yang aneh.

Thomas melihat hari sudah pagi. Ia memutuskan untuk pergi mencari udara segar. Thomas mengganti baju dan memakai mantel lalu turun. Rumah masih sepi. Ia melangkah keluar dengan langkah perlahan. Udara di luar masih dingin dan remang-remang. Ia merapatkan mantel dan mulai berjalan. Jalanan desa masih sepi, hanya ada beberapa orang yang sudah melakukan aktivitasnya. Thomas mengangguk pada mereka dan kembali berjalan. Pikirannya kembali melayang pada Leah saat melintasi jalan desa.

Tanpa sadar ia berjalan hingga tiba di jalan setapak menuju rumah Leah. Thomas menggaruk kepalanya lalu memutuskan untuk mengunjungi peternakan Winter. Jika ia tak bisa bertemu dengan Leah, mungkin ia bisa berbicara dengan Tom, batinnya. Thomas pun melangkah mendekat dan membuka pintu pagar. Ia mendekat ke pintu, menarik napas seraya berpikir entah apa yang sudah ia pikirkan hingga nekat datang ke tempat ini. Tangannya terangkat dan mengetuk pintu. Tak ada suara dari dalam. Thomas yakin seharusnya orang rumah sudah bangun. Ia kembali mengetuk dan tak ada suara

Thomas mengenyit lalu membalikkan badan menatap kandang yang terdapat di hadapannya. Matanya menyipit melihat sebuah cahaya dari sebuah bangunan. Apa semua orang sedang berada di sana, tanyanya dalam hati. Ia pun menuruni tangga dan berjalan menuju bangunan yang ia sadari sebagai kandang sapi. Ia melangkah perlahan pintu dan mencoba mengintip.

Di dalam suasana remang-remang. Hanya ada cahaya dari lilin. Thomas melihat tiga sosok berdiri di bagian tengah bangunan. Matanya tak dapat melihat dengan jelas karena minimnya penerangan. Namun gerak gerik mereka tampak mencurigakan. Ia memutuskan mengamati secara sembunyi.

"Semua sudah siap?"tanya sebuah suara pria dengan nada berat

"Apa kau yakin kita akan mengirimnya sekarang?!"

Thomas menyadari itu suara Gyda, ibu Leah. Ia semakin penasaran. Mendekat ke pintu mencoba mendengar lebih jelas.

"Ya tentu saja. Sebentar lagi umurnya 17 tahun. Kita tak bisa menundanya lagi. Dia masih tak ingat siapa dirinya bukan?!"

"Ya. Aku selalu memasukkan obat ke dalam minumannya..."

"Minta ia bersiap pergi. Aku akan menjemput setelah urusanku selesai nanti. Kulihat ia gadis yang cantik. Pemimpin kita pasti akan senang."

"Kita harus bergerak cepat. Orang istana itu masih ada di sini bukan?!"gumam Gyda

"Seharusnya hari ini dia kembali ke istana. Urusannya di desa ini sudah selesai."sahut Tom.

"Kalian sangat pintar karena berhasil menyembunyikan identitas asli gadis itu hingga sekarang."

"Itu karena aku melarangnya berkomunikasi dengan penduduk desa."

"Baiklah aku harus segera pergi...."

Thomas mendengar gerakan dari dalam. Sepertinya ada yang hendak melangkah pergi. Ia pun bergegas menjauh dan berlari keluar dari peternakan tanpa sempat menoleh ke belakang. Berharap tak ada yang melihat ia mengintip tadi. Thomas berlari seraya berpikir. Siapa pria asing tadi? Apapun yang mereka rencanakan, Thomas yakin ada hubungannya dengan Leah dan sepertinya mereka hendak berbuat jahat. Mereka seperti hendak menjual Leah, sebagai budak atau lainnya. Thomas tak habis pikir, kenapa Tom tega berbuat demikian pada Leah. Apa kecurigaannya benar? Thomas berlari hingga tiba di desa dan ia berdiri bersandarkan tembok seraya mengatur napas.

"Kau kenapa?"

Thomas terlonjak kaget. Ia mendongak dan melihat Oswald menatap dirinya dengan bingung.

"Kau baik saja? Kau seperti habis melihat hantu..."

"Ayo ikut aku! Ada yang harus kita lakukan!"desis Thomas menarik lengan Oswald dan berjalan cepat menuju rumah Jacob

"Ada apa? Thomas, biarkan aku berjalan sendiri. Kau membuatku seperti anak kecil saja!"protes Oswald

"Baiklah..tapi cepatlah..."sahut Thomas melepaskan pegangannya dan bergegas berjalan lebih dulu.


"Apa gadis yang mereka bicarakan adalah sang putri?"tanya Oswald setelah mereka tiba di rumah Jacob dan Thomas menceritakan apa yang ia dengar di peternakan tadi.

"Aku curiga demikian..."sahut Thomas perlahan

"Kalau memang begitu, kita harus melakukan sesuatu, Thomas."

"Kita tidak bisa menangkap mereka begitu saja. Aku juga harus membuktikan Leah memang putri Lily."

"Sungguh kejam mereka meracuni gadis itu hingga lupa ingatan. Thomas, aku akan segera kembali ke istana dan memberitahu perihal ini. Sementara kau di sini mengawasi orang-orang itu."

"Ide yang bagus."

"Aku akan segera bersiap pergi."ujar Oswald beranjak bangun dan membereskan barangnya.

"Berhati-hatilah..."

"Kau juga, Thomas."

———

"Apa?! Aku harus pergi ke Torne....."

"Ya. Segeralah masukkan barang dan bajumu."

"Ayah dan ibu ikut juga kan?!"

"Tidak. Kau pergi sendiri bersama teman ayah."

"Apa?! Tapi...bagaimana mungkin..."gumam Leah terbata-bata karena kaget mendengar ayah mengatakan bahwa ia akan pergi dalam waktu dekat dan sendirian. Ia memang ingin pergi dan berkelana sendiri tapi atas keinginannya, bukan diatur sang ayah. "Kapan aku akan pulang ke sini?"

"Kau akan terus tinggal di sana..."

"Apa...tapi kenapa...."

"Segeralah bersiap."

"Tunggu..."pinta Leah yang membuat langkah Tom berhenti dan menatapnya dengan tajam. Leah merasa pedih hatinya. Ia merasa seperti di buang. "Kenapa, Ayah...."

"Kau akan segera mengetahuinya nanti."ujar Tom ketus lalu pergi meninggalkan Leah yang terdiam dalam kebingungan.

Leah terus duduk diam. Merasa tak percaya orang tuanya menyuruh ia pergi. Sendirian. Hanya dengan orang asing yang tidak ia kenal. Air mata menitik jatuh. Ia benar-benar merasa orang tuanya sama sekali tidak menyayanginya. Ya mungkin ini memang waktunya untuk pergi dari rumah ini, ujarnya dalam hati.

"Ibu...."panggil Leah saat melihat Gyda melangkah masuk ke dalam dapur. Gyda menoleh. Menatap sekilas lalu mengalihkan pandangan menata piring di rak lemari. Leah merasa ibu mengabaikan dirinya.

"Ibu...kenapa ayah menyuruhku pergi?!"

Gyda menghentikan aktivitasnya. Ia terdiam lalu berputar hingga menghadap Leah. Melihat wajah sedih dan bingung sang gadis. Sejenak ia merasa tak tega. "Apa ayah tak mengatakannya padamu?"

Leah menggelengkan kepala. "Kenapa aku harus pergi...."gumamnya lirih

"Kau akan segera tahu setelah tiba di sana nanti, Leah. Segerlah berkemas."ujar Gyda lalu berlalu pergi karena tak ingin mendapat pertanyaan lagi dari Leah

"Ibu...tunggu..."panggil Leah tapi Gyda terus melangkah menjauh. Leah tak mengerti. Kenapa mereka mengirimnya pergi ke Torne. Kota yang tak pernah ia dengar. Tempat asing baginya dan tak ada seorang pun yang ia kenal.

"Ayah...ibu...kenapa kalian seakan tak menginginkan aku..."isak Leah menangis sendirian di dapur. Malam itu Leah menyiapkan makan malam tapi ia tidak ikut bergabung makan dengan ayah ibunya. Merasa tak sanggup dan ia bersyukur karena mereka tidak memaksa atau mengajaknya makan bersama. Sisi lain hatinya berharap ayah akan mengajaknya karena ia tidak tahu kapankah mereka bisa bertemu kembali, apakah mereka bisa makan bersama lagi. Leah hanya duduk dekat jendela, memikirkan nasibnya. Ia merasa takut dengan apa yang akan terjadi pada dirinya nanti.

Menjelang pagi Leah terbangun dan menyadari ia masih duduk di jendela. Leah mengusap kepalanya yang pening. Tertidur dalam posisi duduk membuat badannya pegal. Ia teringat belum membereskan bajunya. Leah tak peduli. Barangnya tak banyak di Rumah ini. Hanya beberapa baju sederhana yang ia miliki. Tak ada barang berharga yang ia punyai. Leah menatap langit yang mulai disinari cahaya matahari pagi di kejauhan. Ia memutuskan keluar dan pergi ke bukit tempat ia biasa menghabiskan waktu.

Leah turun. Rumah masih sepi. Sepertinya ayah ibu masih tidur, batinnya, apakah mereka juga tak bisa tidur seperti aku?! Ah tak mungkin, mereka tak pernah peduli pada Leah. Leah baru menyadari ia kelaparan karena malam tak makan. Perlahan ia melangkah menuju dapur dan mengambil sebongkah roti lalu berjalan keluar menuju bukit.

Tiba di bukit, Leah duduk dan mengeluarkan roti. Perlahan memakannya sambil menatap matahari yang mulai tinggi. Memberikan pemandangan indah di depan mata hijaunya. Air mata menitik jatuh. Ia akan rindu dengan tempat indah ini. Leah tak tahan lagi. Ia pun menutupi wajahnya dan menangis. Ia mengira saat dewasa nanti bisa pergi dari desa ini, berkelana sendiri mencari kebahagiaannya. Tapi ternyata ia tak mampu pergi berpisah dengan semuanya. Seharusnya ia merasa lega karena bisa pergi dari keluarganya tapi ternyata tidak.


Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top