TLP : 2
Peternakan milik Tom Winter bukanlah peternakan satu-satunya di desa Tadre. Masih banyak peternakan lainnya tapi para penduduk sangat menyukai hasil ternak Tom Winter yang sudah dibuka sejak ayah Tom masih muda dan kini diteruskan olehnya. Tom sendiri merupakan pribadi yang dingin, sesuai namanya, sangat berbeda dengan ayahnya yang ramah dan hangat. Tom tidak pernah bergaul dengan warga lainnya. Begitu tertutup dan tidak pernah membalas sapa.
Tom hidup bersama istri dan anak perempuannya. Tidak ada yang tahu mengenai kehidupan pria itu. Para penduduk hanya mengetahui bahwa Tom tinggal dan kerja di kota lain lalu pulang membawa keluarga kecilnya dan meneruskan peternakan sang ayah. Istrinya pun tidak jauh beda dengan Tom. Tidak pernah bergaul. Awalnya warga mengira mereka masih malu dan asing dengan desa Tadre. Para warga berupaya mendekati tapi suami istri Winter sangat tertutup dan selalu menolak. Dan lama kelamaan para penduduk pun tidak berusaha mendekati lagi. Bagi mereka seperti itulah sifat keluarga Tom.
Hal tersebut terjadi pada putrinya yang juga menjadi tertutup dan pendiam. Putrinya, Leah, jarang berkomunikasi dengan anak-anak seusianya. Tidak memiliki banyak teman. Di usianya yang sudah 16 tahun seharusnya ia habiskan dengan berkumpul bersama gadis-gadis, membicarakan mengenai gaun ataupun pria. Tapi tidak dengan Leah. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di rumahnya. Mengurus rumah serta ternak milik sang ayah. Ia gadis yang cantik dengan kulit putih dan rambut panjang ikal berwarna coklat madu yang hampir mencapai pinggangnya. Hidupnya tak mudah bersama ayah ibunya yang galak tapi ia selalu memiliki harapan jika suatu hari nanti hidupnya akan bahagia.
"Antar ini ke rumah keluarga Grayson dan segera kembali! Jangan sampai terlambat dan jangan pedulikan sapaan warga! Jangan sampai aku mengetahui kau berbincang dengan siapapun atau kau tak akan dapat makan malam lagi!"
"Ya, Ayah..."sahut Leah lirih. Tom memang selalu membuatnya takut. Tapi Leah memandangnya sebagai orang yang penting dalam hidupnya. Ia yakin di balik sikap dingin dan perkataannya yang tajam, terdapat hati yang lembut dan rasa sayang padanya.
Leah pun segera mengambil dan memakai mantel. Membawa bungkusan berisi telur ayam yang akan segera dibawanya ke sebuah restoran di desa. Ia pergi keluar rumah dan menghirup udara luar dengan lega. Leah lebih menyukai berada di luar daripada di dalam rumahnya. Merasa lebih bebas. Tidak ada banyak aturan dan larangan baginya.
Leah berjalan melewati jalan setapak yang mengarah ke desa. Melihat beberapa gadis muda yang sedang berdiri di depan sebuah toko sambil berbincang. Salah seorang gadis melihat kedatangan Leah dan menatapnya. Leah pun segera menundukkan kepala dan bergegas pergi.
"Kenapa? Apa yang kaulihat?"tanya seorang gadis berambut pirang panjang
"Leah..."sahut temannya yang bernama Miriam
"Oh anak aneh itu."
"Dia tak aneh."ujar Miriam. "Kudengar ayah ibunya melarang ia bergaul."
"Nah sama saja dengan aneh bukan?!"
"Ah Corry, jangan begitu. Kasihan dia selalu sendirian."gumam Miriam seraya menatap punggung Leah yang menjauh.
Leah terus berjalan menuju pusat desa hingga tiba di tempat tujuan. Ia membuka pintu restoran kecil. "Selamat siang..."
"Ah Leah, kau sudah datang."ucap seorang wanita gemuk
"Apa aku terlambat?"tanya Leah dengan wajah panik
"Oh tidak, sayang, kau sama sekali tak terlambat. Masuklah."
Leah menarik napas lega. Ia sangat cemas jika terlambat mengantarkan pesanan, takut ayahnya akan marah dan menghukumnya. Suatu hal yang biasa dilakukan sang ayah padanya. "Kutaruh di sini ya."ujarnya mendekati meja kasir
"Baiklah. Hai kau mau ke mana?"tanya pemilik restoran melihat Leah yang beranjak pergi menuju pintu.
"Aku hendak pulang. Bukankah aku sudah mengantarkan telur anda?"
"Secepat itukah kau pulang? Duduk dan minumlah dulu. Akan kubuatkan untukmu."
"Ah tidak usah, Mrs. Potter. Terima kasih."ujar Leah gugup. Ia ingin segera pulang sesuai perintah ayahnya.
"Sebentar saja. Masakah kau sudah mau pulang? Duduklah sebentar dan berbincang denganku."
"Maaf, Mrs Potter, tapi aku harus segera pulang."
"Kau yakin?"
"Ya...mungkin lain kali saja."
"Hm..baiklah. Terima kasih ya Leah."ujar Mrs Potter yang menatap kepergian Leah. Ia tahu gadis itu pasti akan menolak tawarannya. Ia hanya berusaha agar bisa berbicara dengannya. Meski orang tuanya dingin, bukan berarti Leah pun harus sama. Leah gadis yang manis dan cantik. Tidak seharusnya sang ayah melarangnya bergaul dengan anak sebayanya. Mrs Potter merasa kasihan akan Leah yang selalu mengurung diri di rumah. Tak punya teman. Ia hanya mengedikkan bahu lalu kembali bekerja
Leah berjalan bergegas pulang. Melewati banyak toko di desa. Memilih menunduk setiap bertemu penduduk desa. Ketika hampir mencapai jalan menuju rumahnya, ia melihat seorang pemuda desa yang sering dilihatnya. Seorang pria dengan badan tinggi tegap dan bermata biru. Secara tak sengaja, pria itu melihat Leah dan tersenyum padanya. Tapi Leah tidak membalasnya, ia malah menunduk dan jalan lebih cepat. Membuat sang pemuda itu kecewa.
"Lama sekali kau!"tegur Tom saat Leah tiba di rumah
Leah tak berani menjawab. Hanya berdiri diam seraya meremas tepi gaunnya. Berharap tidak akan mendapat hukuman lagi. Baru saja kemarin ia dihukum karena terlambat menyiapkan sarapan.
"Ke mana saja kau hingga lama begini?! Apa kau mampir ke suatu tempat?!"
"Tidak, Ayah..."gumam Leah lirih
"Apa kau berbicara dengan penduduk hingga lupa waktu?!"
"Hei ada apa ini?"tanya istri Tom, Gyda
"Dia terlambat pulang!"
Gyda memiringkan kepala menatap Leah. Sebagai ibu, harusnya ia membela atau menghibur anaknya. Tapi ia hanya tersenyum miring seakan anaknya memang pantas dihukum hanya karena sedikit terlambat pulang. "Leah, dengarkanlah ayahmu bila bicara. Ini demi kebaikanmu juga."ujarnya seraya melangkah pergi meninggalkan mereka berdua tanpa peduli.
Leah menatap sang ibu. Ia tahu orang tuanya berhati dingin. Tapi Leah mengharapkan ibu akan mendukung di sisinya. Tuhan pun tahu ia hanya terlambat sedikit. Tuhan tahu ia tidak mampir ke manapun atau asyik berbicara dengan orang lain. Leah merasa hatinya pedih dan matanya panas.
"Sedang apa kau berdiri di sana?!"seru Tom dengan suara keras membuat Leah terlonjak kaget. "Cepat siapkan makan malam atau kau Tahu hukumannya!"
"Y...ya...ayah..."
Leah bergegas pergi ke dapur. Ia menumpu ke dua tangannya di atas meja. Mencoba menarik napas dan menahan isaknya. Ia merasa lelah dengan keluarganya. Sejak kecil ayah ibunya selalu dingin padanya. Seakan kehadirannya sama sekali tidak diharapkan mereka. Seringkali ia merasa iri dengan keluarga lain di desa. Ia sering melihat seorang anak berjalan seraya digandeng ayah atau ibunya. Tertawa dan bercanda bersama. Begitu beda dengan ayah ibu Leah. Leah menatap keluar jendela. Ia sudah tak sabar menginjak usia 17 tahun di mana ia bisa pergi dari rumah ini. Berkelana sendirian lebih baik daripada dikurung di dalam rumahnya sendiri.
Leah mengusap air mata dan menghapusnya lalu segera bersiap memasak untuk makan malam. Seperti biasa jika Gyda sibuk, Leah yang menyiapkan makanan. Leah sendiri tak yakin apa yang dikerjakan sang ibu. Malam itu mereka makan malam dalam diam. Hal yang sudah biasa terjadi tapi malam ini terasa lebih sunyi dan mencekam. Hanya terdengar suara napas dan denting peralatan makan di ruang makan yang kecil.
Selesai makan, Leah membereskan peralatan makan dan segera pergi ke kamarnya yang kecil dan sederhana. Ia duduk di bagian atas kasur dan bertopang dagu menatap langit malam dengan kilauan bintang. Saat yang selalu ia nanti dan nikmati tiap malam. Ia menganggap bintang di atas langit adalah temannya. Seringkali ia berbicara kepada bintang. Mungkin orang yang melihatnya akan mengira ia anak yang aneh tapi hanya ini satu-satunya hiburan bagi Leah. Bintang di langit membuatnya teringat bahwa selalu ada harapan baginya.
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top