(4) Pemuda Dari Utara
"Kau sudah sadar?" tanya Liz begitu melihat pemuda yang ada di depannya mengerjap-ngerjap. Pemuda itu menoleh.
"Di mana aku?" tanyanya. Liz tersenyum.
"Tenang saja, kau aman bersamaku. Kau sedang berada di pondok pengobatanku. Aku tabib rakyat," jelas Liz. "Omong-omong siapa namamu? Dan dari mana asalmu? Kau seperti bukan dari Alroy."
Pemuda itu terdiam sesaat. "Aku William, uh, North. Ya, aku William North. Tapi panggil saja aku Will. Dan kau benar, aku memang bukan dari Alroy. Seperti namaku, aku berasal dari utara." Liz menyipit menatap Will. "Apa?"
"Kau Prince William Bill?" selidik Liz.
Will tergagap, "Bu-bukanlah. Nama William di dunia itu sangat banyak jika kau tak tahu." Liz mengangguk. "Lalu siapa kau?"
"Kan aku sudah bilang, aku tabib rakyat." Liz tertawa kecil sementara Will mendengus.
"Maksudku namamu, Nona?" ucap Will kesal.
"Aku Lizzy Roulate. Panggil saja aku Liz."
Tiba-tiba pintu terbuka, Rosea masuk membawa sebuah cawan. "Liz? Sepertinya persediaan daun mint kita hampir habis. Aku akan pergi ke kebun untuk memetik lagi beberapa, oh..." Langkah Rosea terhenti begitu melihat Will.
"Ro, ini William... ehm... North. Will, ini Rosea Helen, muridku sekaligus asistenku." Rosea menunduk hormat dengan wajah tersipu. Masih dengan menunduk, Rosea menyerahkan cawan yang dibawanya dengan hati-hati ke tangan Liz.
"Aku membuatnya untukmu. Baik untuk menambah darahmu yang hilang tadi pagi," ucap Rosea malu-malu. Liz menyerahkan cawan itu pada Will.
Will tersenyum manis. "Terima kasih, Rose. Kau baik sekali." Rosea menunduk hormat lagi lalu berlari kecil keluar pintu. "Berapa usianya?"
"Lima belas tahun. Dua tahun lebih muda dariku. Dia sudah kuanggap adikku sendiri," jawab Liz menatap punggung Rosea yang berjalan menjauh.
"Umurmu 17? Jadi kita seumuran?" tanya Will bersemangat.
"Memangnya kenapa?" Liz menatap Will heran. "Apa wajahku tidak semuda yang kau kira?"
Will melambai-lambaikan tangannya. "Bukan, bukan! Hanya saja kau mirip dengan sahabat kecilku. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"
Liz tertawa. "Lebih baik kau minum saja obatmu. Kau adalah William pertama yang aku kenal." Will meminum obatnya perlahan sambil menahan rasa pahit lalu menyodorkan cawan kosong kembali pada Liz.
"Terima kasih," gumamnya.
Liz beranjak menuju pintu. "Sebaiknya kau beristirahat. Ke mana pun tujuanmu lanjutkan saja besok. Sudah mulai malam dan lukamu belum sembuh benar. Ehm, dan terima kasih. Kau menyelamatkan nyawaku." Lalu pintu tertutup.
♚♚♚
"Ibu?" panggil Liz begitu memasuki rumahnya yang, anehnya, masih dalam keadaan kosong dan gelap.
"Lizzy!" seru ibunya dari ambang pintu dengan panik dan langsung memeluk putrinya. "Kau tak apa, Sayang? Ibu sangat mengkhawatirkanmu. Istri Tuan Windelstone yang memberitahu ibu."
Liz membalas pelukan ibunya. "Aku tak apa, Bu. Ada seorang pemuda yang menyelamatkanku. Aku baik-baik saja, sungguh! Ibu tak usah cemas."
"Pokoknya lain kali kau harus lebih berhati-hati. Jangan mencari perkara dengan preman-preman itu, terlebih Robby. Kebaikan hatimu terkadang justru mencelakaimu Liz. Kau tahu aku tak memiliki siapa-siapa lagi selain kau," ucap ibunya lembut.
Liz mengangguk pelan lalu berkata lirih, "Aku hanya tak tega melihat Tuan Windelstone diperlakukan seperti itu. Keluarganya sudah sangat baik pada kita—"
"Ibu menyayangimu Liz," potong ibunya. "Ibu tidak sanggup kehilangan orang yang ibu cintai untuk yang kedua kalinya."
"Aku juga menyayangimu, Bu," balas Liz.
♚♚♚
"Aku berjanji akan kembali ke sini beberapa hari lagi untuk membayar semua biaya pengobatannya," ujar Will.
Liz tertawa kecil. "Tak perlu. Anggap saja kita impas. Kau menyelamatkan nyawaku, aku mengobati lukamu karena menyelamatkan nyawaku. Benar?" canda gadis itu.
Will menggeleng. "Tidak!" serunya tegas. "Aku sudah berjanji dan aku harus menepatinya. Sekali lagi terima kasih. Oh ya, di mana Rosea?"
"Di kebun. Menanam beberapa tanaman untuk persediaan obat." Liz menunjuk ke arah kebun dengan dagunya.
"Baiklah, sebaiknya aku pergi sekarang. Kawanku pasti sudah menunggu. Terima kasih untuk semuanya Liz." Will berjalan perlahan menuruni bukit.
"Hati-hati!" teriak Liz dari depan pondoknya.
♚♚♚
Sebuah ketukan halus terdengar di pintu ruang kerja King Alroy, Edward. "Masuk!" perintahnya.
Seorang pemuda masuk dengan senyum terkembang di wajahnya. Melihat pemuda itu, King Edward berdiri dan menyambutnya.
"William North Bill! Bagaimana kau bisa terlambat sampai ke sini?" tanya Edward penasaran. "Duduklah. Ada apa sebenarnya?"
"Well," keluh Will. "Uncle Roy mengadakan kudeta lagi. Dia ingin menguasai Bill. Jadi aku memutuskan lari dan bersembunyi di sini sambil mencoba meredamnya, dan sekaligus meminta bantuan Alroy. Kau tidak keberatan bukan?"
Edward tertawa. "Tentu saja tidak. Kau sudah kuanggap saudaraku sendiri. Kau juga sahabat Lista, mana mungkin aku menolak membantumu?"
"Terima kasih, Yang Mulia. Kau sangat baik padaku dan kerajaanku. Kau tahu, menjadi kepala kerajaan di usia muda seperti ini sungguh melelahkan. Apalagi jika aku sudah resmi menjadi raja dua tahun lagi. Upacara penobatan itu benar-benar konyol," keluh Will lagi. Dia sering sekali mengeluh sejak kematian kedua orangtuanya, King Robert, dan Queen Julia.
"Bersabarlah Will. Aku akan membantumu. Sekarang, sebaiknya kau beristirahat saja. Ruanganmu sudah siap. Louis akan mengantarmu," ucap Edward. "Aku harus mengurus beberapa persiapan pertunanganku dengan Callisa."
♚♚♚
Kedua mata biru Rosea terbelalak menatap seluruh barang-barang yang ada di hadapannya. Liz hanya bersidekap dan menggelengkan kepalanya pada Will.
"Kami benar-benar tidak bisa menerima semua hadiah ini Will!" tegasnya. "Semuanya terlihat mewah dan... indah."
Will terbahak. "Harusnya kau lihat wajahmu Liz. Lucu sekali. Nah, justru itu. Inilah tanda terima kasihku atas pengobatanmu minggu lalu. Kau ingat, aku sudah berjanji padamu."
"Tapi Will, semuanya—"
"Shhh!!!" potong Will. Jari telunjuknya bergerak ke kanan dan kiri di depan wajah Liz. "Tidak ada tapi-tapian. Ini perintah!"
Liz langsung mengangkat sebelah alisnya. Kelakuan Will sungguh aneh. William segera menyadari kesalahannya. Dia kelepasan bicara.
"Lebih baik kalian diam dan terima saja," katanya untuk menutupi kegugupan. "King Edward mengundang kalian untuk menghadiri pesta pertunangannya besok. Aku akan mengirim kereta untuk menjemput kalian sekitar jam sembilan malam."
"Jadi kau seorang duke?" sela Rosea.
Will kembali kelepasan. Tapi bagaimana lagi? Edward memang mengundang mereka berdua.
"Yah, ehm, bisa dikatakan seperti itu. Aku adalah sahabat lamanya," jawab Will gugup. Mata Liz menyipit. "Eh, sebaiknya aku pergi. Sampai bertemu di pesta, Liz, Rosea!"
Will segera berlari ke kudanya dan menuruni bukit yang diikuti orang-orang suruhannya.
"Pemuda yang aneh," gumam Liz.
"Menurutku dia tampan," sahut Rosea. Liz menoleh.
"Oh, kau menyukainya, Ro?" Rosea tersipu. "Tapi kau tetap harus menjaga jarak, Ro. Kau juga tahu cerita ibuku, bukan? Sekarang lebih baik kita masuk. Banyak pasien menunggu kita."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top