9. Para Pengagum Rahasia
Fakta bahwa Calondria ternyata punya dua ratu membuat Elisa bingung. Sebelumnya dia pernah mendengar istilah "Emeritus" itu, tapi tak tahu apa artinya. Ibu George, Ratu Raquelle, ternyata masih hidup dan menjabat sebagai Ratu Emeritus Calondria. Sebagai Ratu Emeritus, Ratu Raquelle bergelar Prime Celestine. Elisa tak pernah melihatnya di istana karena Prime Celestine sedang jalan-jalan keliling Eropa.
Teriakan Kitty menggema dari luar. "Cepatlah sedikit!"
Lamunan Elisa buyar, dan dia kembali ke Bumi. Dipandanginya lagi isi lemari pakaiannya. Astaga, mengapa baju-baju ini ada banyak sekali? Versace, Dior atau Prada?
"Kitty, kau tadi bilang pakai gaun yang mana?"
Kitty mendongak setengah detik dari iPad-nya, menggeleng dan kembali ke bacaannya (edisi musim panas majalah Men's Health. Lebih banyak foto-foto pria setengah telanjang dengan otot perut yang berderet-deret rapi seperti mobil di lapangan parkir). "Yang mana saja," katanya cuek.
"Elisa?"
Suara Eugene terdengar dari balik pintu.
"Sebentar, Eugene... aku segera selesai!"
Elisa menyambar sebuah blus tipis warna putih pucat (Dior), rok panjang berkerut (Vivienne Westwood), sepasang sepatu hitam yang manis sekali (Calvin Klein), dan sebuah tas tangan (Gucci). Cuaca di luar agak sedikit berangin, jadi Elisa memutuskan memakai sebuah kardigan panjang warna krem (Prada).
Dia menatap bayangannya di cermin raksasa. Sempurna.
"Rok itu," celetuk Kitty tanpa mengangkat wajah. "Ganti."
"Katamu tadi aku bebas pakai yang mana saja!"
"Kau kelihatan seperti nenekku."
"Sejak kapan kau peduli dengan apa yang kupakai?"
"Sejak menjadi lady's maid-mu," jawab Kitty cuek. "Tugas lady's maid adalah membantu tuannya berpakaian. Sekarang, ganti rok jelek itu!"
Membantu berpakaian apanya? Selama ini Elisa selalu berpakaian sendirian. Lagipula, dia tahu Kitty benci rok atau apa pun yang panjangnya melewati batas lutut. Sambil menggerutu, Elisa mengganti roknya dengan sebuah celana denim dari Lanvin.
Begitu selesai, dia mendekati pintu kamar dan membukanya.
Eugene bersandar di birai pintu, sedang memandangi lampu kristal yang tergantung di langit-langit seolah baru pertama kali melihat benda seperti itu. Dia juga memakai jins dan blus hitam lengan panjang.
"Kau keren..." Elisa belum pernah melihat Eugene berpakaian sekeren itu. "Siapa yang memilihkan pakaianmu?"
"Ini?" Eugene memandangi dirinya sendiri. "Aku memilihnya sendiri."
"Jo tidak membantumu?"
"Tidak. Dia sibuk bermain Rubik. Terlalu santai, ya?"
"Tidak juga," kata Elisa, dalam hati mempertanyakan apa gunanya punya asisten seperti Kitty dan Jo yang dua-duanya ogah membantu. "Aku nggak menyangka kau bisa sekeren ini."
"Mungkin efek istana," kata Eugene geli. "Istana ini membuatku kelihatan lebih keren."
Bisa jadi, pikir Elisa. Tapi dia tidak mengatakannya. Eugene mengajaknya menuju salah satu elevator dan tiba di Pretory Hall.
"Maaf, Celestin. Anda tidak bisa lewat situ!" Jo muncul entah dari mana dan menghentikan mereka. "Quinz Celestin akan bertemu dengan Kardinal Calondria di Pretory Hall. Mari ikut saya."
Jo memimpin mereka menuju salah satu koridor di samping Tea Hall. Mereka keluar di sebuah teras kecil di sisi lain istana. Jo mengatakan sesuatu dalam bahasa Camish kepada seorang pengawal yang menjaga pintu samping. Pengawal itu mengangguk dan bergegas pergi.
"Apa kami harus masuk lewat sini lagi nanti?" tanya Elisa.
"Tidak perlu, Santionesse," kata Jo cepat-cepat. "Ah. Ini dia."
Dengan derum mulus, sebuah limusin berhenti di depan mereka.
Elisa menatap Eugene. "Kau bercanda?"
"Kau pikir aku memintanya?"
"Kita tak mungkin jalan-jalan naik mobil itu ke tengah kota! Itu limusin kerajaan!"
"Eh, aku juga nggak mau, sih."
"Kalau begitu kasih tahu pelayan pribadimu dong!"
"Maaf, Jo," Eugene berdeham. "Tapi menurutku limusin ini terlalu mencolok. Kami hanya akan jalan-jalan sebentar."
Bibir Jo bergetar seolah dia akan menangis. "Celestin tidak suka limusin ini?"
"Umm... kami hanya tak ingin menarik perhatian."
"Tapi Quinz Celestin memerintahkan agar Celestin Eugene dikawal ke mana pun Anda pergi," pekik Jo, nyaris histeris. "Beliau mencemaskan keselamatan Anda! Dan saya bisa dihukum jika terjadi sesuatu pada Anda berdua, Sir!"
Elisa hampir meledak tertawa melihat Eugene dipanggil Sir.
"Kami hanya sebentar, Jo," bujuk Eugene. Wajahnya memerah. "Aku berjanji."
"Maaf, Celestin. Itu peraturannya."
"Kami akan baik-baik saja," Elisa menambahkan. "Ayolah, Jo."
"Maaf, Santionesse," Jo menggeleng. "Saya tidak berani. Tapi jika Celestin tak suka dengan mobil ini, mungkin ada baiknya Celestin memilih sendiri."
Jo mengisyaratkan Elisa dan Eugene untuk mengikutinya ke belakang istana. Mereka menuju sebuah bangunan berkubah yang dari jauh terlihat seperti hanggar pesawat. Begitu melihat mereka, pengawal yang menjaga di pintu bangunan itu mengangguk dan membuka pintu bangunan.
Jo merentangkan tangannya. "Silakan pilih yang sesuai selera Anda!"
Ada setengah lusin Rolls-Royce, Bugatti, dan Mercedes di situ.
Eugene langsung kehilangan kata-kata. Elisa mengira mereka tersasar di showroom mobil mewah.
"Kau baik sekali, Jo" kata Elisa hati-hati. "Tapi setelah kupikir-pikir, mungkin kami lebih baik jalan kaki saja. Kami tidak banyak bergerak selama seminggu ini dan makanannya, whoa!"
"Makanannya?" Eugene melongo. Elisa menyikutnya keras-keras. "Oh, ya. Makanan di sini super lezat. Aku – maksudku kami, kurasa kami perlu berolahraga sedikit."
Mata Jo melebar. "Anda ingin saya panggilkan personal trainer?"
"Kami ingin jalan kaki," potong Elisa cepat-cepat.
"Anda tidak bisa melakukan itu, Santionesse."
"Kami akan baik-baik saja."
"Itu melanggar protokol istana."
"Tolonglah, Jo!"
Jo menatap Elisa dan Eugene bergantian, lalu melenguh pasrah seolah dipaksa makan sesuatu yang dibencinya. "Baiklah. Mari ikut saya."
Sambil berdoa semoga Jo tidak membawa mereka ke lapangan parkir helikopter atau pesawat pribadi, Elisa dan Eugene mengikuti si pelayan pribadi ke arah penginapan pelayan. Ada sebuah truk diparkir disitu. Para pelayan sedang sibuk memindahkan sayuran dan buah-buahan dari baknya dan membawanya ke dapur.
Jo menemui seorang pria yang sepertinya pengemudi truk dan mengatakan sesuatu padanya. Si supir menatap Eugene, alisnya yang tebal terangkat. Dia mengangkat bahu.
"Saya harus memastikan Anda berdua sampai dengan selamat ke pusat kota. Miguel bersedia membantu," kata Jo. "Tapi Anda harus berjanji untuk kembali sebelum makan malam."
Elisa menyambar tawaran itu. "Kami mengerti. Ano la'treiz."
"La. Ingat, sebelum makan malam!"
Sepuluh menit kemudian, Elisa dan Eugene berdua duduk berjejalan di kursi penumpang di samping Miguel dan bergerak menuju pusat kota. Si sopir tidak mengatakan apa-apa, tapi matanya berkali-kali bergulir ke arah Eugene, seolah takut akan dihukum.
Sesampainya di pusat kota, Miguel menepikan truknya.
"Ini Rue du Aeruxan," kata Miguel. Bahasa Prancis-nya tidak begitu lancar. "Di ujung sana, ada belokan ke kanan. Itu Rue du Thievanny, kembaran jalan ini. Kalau ada masalah, pergi ke telepon umum dan pencet satu-tiga-lima."
"Ano la'treiz," kata Eugene.
Miguel kelihatannya sungguh-sungguh. "Satu-tiga-lima, oke?"
"Satu-tiga-lima," ulang Elisa. "Sip!"
Miguel menatap mereka lagi seperti ibu yang akan meninggalkan anaknya untuk pertama kali di taman kanak-kanak lalu berderum pergi.
"Akhirnya," kata Elisa lega. "Kita sampai juga!"
"Kenapa dia ingin kita mengingat nomor darurat itu?" tanya Eugene. "Memangnya dia mengira kita bisa bikin huru-hara, apa?"
"Kurasa dia hanya cemas," jawab Elisa menenangkan. "Tak setiap hari ada pangeran yang menumpang trukmu, kan?"
"Baiklah. Kau siap menjelajah?"
"Tentu saja, Yang Mulia."
Obsycus, ibukota Calondria tidak seperti Paris. Tempat itu kecil, padat, tetapi anggun, seperti kota-kota di Eropa Timur. Eugene memberitahu Elisa kalau daerah Obsycus sebenarnya hanyalah daerah perpotongan dari kesepuluh kota lainnya di Calondria.
Mereka menyusuri jalan yang mulus dan tenang. Tak banyak mobil yang melintas, sebagian besar orang berjalan kaki atau mengendarai sepeda. Elisa bergidik membayangkan jika seandainya tadi mereka menerima tawaran Jo. Pasti mereka akan langsung jadi pusat perhatian, muncul dengan limusin atau Maseratti di jalan ini.
"Aku ingin makan es krim," kata Eugene. "Aku sudah lama sekali tidak makan es krim."
"Kau kan bisa meminta makanan apa saja, Eugene. Kau harus mencobanya, Jo pasti akan senang melayanimu."
"Es krim istana rasanya tidak enak. Serius. Entah apa yang mereka campurkan di dalamnya, rasanya seperti pasir basah. Kata Jo, itu es krim rendah lemak."
"Mungkin mereka menaburinya dengan kaviar atau apa," kata Elisa asal tebak. "Kurasa di deretan toko-toko ini ada kedai es krim."
"Aku mau beli segalon!"
"Tunggu," Elisa teringat sesuatu. "Kita sudah membahas ini, Eugene."
Eugene mengangguk cepat-cepat. Dia mengeluarkan sebuah kacamata bergagang kayu hitam dan memakainya.
"Oh, ya ampun!" Elisa berdecak. "Seperti Superman menyamar sebagai Clark Kent?"
"Kau mau aku mengubah penampilan seperti apa? Berkumis tebal dengan tindikan anting-anting di hidung?"
"Bukan begitu. Hanya saja, rasanya masih ada yang kurang. Kau masih terlihat seperti Edward."
"Mau bagaimana lagi. Kami memang kembar identik." Eugene menarik sebuah topi tipis dari saku celananya. "Kalau begini?"
Elisa memiringkan sedikit topi Eugene agar tidak kelihatan terlalu formal. "Nah, lumayan. Sekarang, coba kita lihat. Kalau dugaanku benar, seharusnya ada kedai es krim di sini."
Di sepanjang jalan itu terdapat toko-toko mungil yang menjajakan berbagai macam barang dagangan. Ada restoran, kafe, tukang jahit pakaian, toko parfum, toko sepatu, dan tukang gunting rambut. Karena sekarang sudah sore, banyak penduduk Calondria yang menikmati teh sambil mengobrol dengan seru di pinggir jalan. Semua orang tampak tenang dan bahagia. Kitty bercerita kalau jam kerja di Calondria hanya enam jam sehari sehingga penduduknya punya cukup waktu untuk beristirahat dan menikmati hidup.
Mereka lewat di sebuah toko suvenir. Eugene berhenti.
"Apa kita harus membawa oleh-oleh jika kembali ke Paris?"
"Untuk siapa? Yvonne?"
Eugene tertawa. "Ide bagus. Bagaimana kalau kita masuk dan melihat-lihat?"
Mereka masuk ke toko suvenir. Bel di pintunya berbunyi dengan riang ketika pintunya mengayun terbuka, seolah menyambut mereka. Dari meja kasir di samping pintu, seorang pria tua yang gemuk sekali menurunkan korannya dan memandang mereka dengan tertarik. Dia tersenyum ramah.
"Gute passé."
"Selamat sore," balas Eugene dalam Bahasa Prancis.
Pria itu langsung mengangguk-angguk paham. "Selamat sore, Santion dan Santionesse. Nama saya Mardi. At your service!"
"Terima kasih, Mardi," balas Elisa. "Tokomu ini menarik sekali."
"Ano la'treiz, Santionesse. Anda mencari oleh-oleh untuk seseorang?"
"Seorang teman wanita," kata Elisa. "Apa Anda punya saran?"
Binar di mata Mardi memberitahu Elisa kalau dia senang sekali. Dia bergegas menuju salah satu etalase dan menunjuk isinya dengan bangga.
"Rempah-rempah adalah komoditas utama sekaligus oleh-oleh khas Calondria. Anda tak perlu mengunjungi negara tropis untuk membelinya. Bagaimana kalau teh jahe ini? Baik sekali diminum saat cuaca dingin. Aku sendiri yang menggerus jahenya."
Mardi menunjuk sebuah kantung kertas kecil yang menguarkan aroma jahe tajam. Eugene langsung mengambilnya. Ada berbagai bungkusan rempah lainnya disitu, begitu banyaknya sampai membuat Elisa bingung.
Eugene mengambil beberapa. Dia memilih satu kantong besar bubuk kopi ("Tahukah Anda kalau kopi bisa dijadikan lulur tubuh?"), satu botol besar minyak beraroma aneh ("Dijadikan minyak pijat untuk keseleo atau pegal-pegal!"), dan lima kantong kecil bumbu masak ("Aha! Anda suka memasak rupanya!"). Elisa membeli satu kilo kelopak bunga yang menurut Mardi adalah produk terlaris di tokonya. Dia akan menaburkan kelopak bunga itu di bak mandinya besok pagi dan menikmati mandi bunga, bukan karena khasiatnya tapi karena penasaran.
Mereka membawanya ke meja kasir.
"Anda berdua dari Prancis?" kata Mardi, jari-jarinya sibuk menari di mesin kasir.
"Benar," jawab Eugene.
"Anda berdua menginap di mana?"
"Eh. Anu..." Eugene menatap Elisa. Mereka tidak mungkin mengaku mereka menginap di istana. "Sebuah hotel. Dekat stasiun kereta. Kami lupa namanya."
Mardi memasukkan barang belanjaan Eugene dan Elisa masing-masing dalam sebuah kantong kertas. Elisa membayarnya dengan Euro. Ketika mereka akan meninggalkan toko, Mardi memberhentikan mereka.
"Saya rasa saya mengenal Anda," katanya, menunjuk Eugene.
Eugene nyengir gelisah. "Benarkah?"
"Ya. Saya tak mungkin lupa! Anda—"
"Anda melihat teman saya ini di majalah!" potong Elisa cepat-cepat.
Mardi tercengang. "Majalah?"
"Teman saya ini model pakaian," kata Elisa lancar. Ditariknya salah satu majalah dan dilambaikannya pada Mardi. "Anda pasti pernah melihatnya di salah satu majalah-majalah ini."
Mardi terbata-bata. "Saya rasa saya—"
"Valentino, ya kan Luke?"
"Eh... Calvin Klein."
"Nah, terima kasih sudah melayani kami, Mardi." Elisa menarik Eugene keluar. "Selamat sore. Masih banyak yang ingin kami kunjungi."
Mereka cepat-cepat meninggalkan toko suvenir itu dan pemiliknya yang masih ternganga tak percaya. Ketika sudah agak jauh, Eugene tertawa lega.
"Nyaris saja! Syukurlah kau sigap sekali, Elisa."
"Ya, kau beruntung," kata Elisa. "Dan sekarang namamu Luke. Kau turis Prancis dan tidak kenal sama sekali dengan Edward L'alcquerine dan apa yang dilakukannya di negara ini waktu itu."
"Dan aku seorang model pakaian," kata Eugene pada dirinya sendiri. "Tapi apa orang-orang akan percaya jika aku bilang seperti itu?"
"Tentu saja!" Elisa mulai sebal. "Tinggimu seratus delapan puluh lima senti, beratmu enam puluh lima kilogram, rambutmu pirang tembaga, dan matamu biru elektrik. Tentu saja tak akan ada yang akan meragukanmu!"
Mereka meneruskan perjalanan dan berbelok memasuki Rue du Thievanny. Toko pertama yang mereka temui di sudut adalah kedai es krim. Mereka berhenti dan langsung memesan dua porsi ukuran raksasa. Eugene yakin dia harus jauh-jauh dari es krim seandainya dia diterima menjadi model Calvin Klein, jadi lebih baik makan sepuasnya sekarang.
Semburat ungu gelap mulai naik dari kaki langit. Seharusnya sebentar lagi mereka kembali ke istana, tapi tempat itu mulai berubah dari sebuah jalan kecil yang sepi menjadi deretan toko-toko yang cantik dan terang. Eugene menjilati es krimnya sambil menarik-narik Elisa menghampiri setiap etalase toko, seolah ingin membeli semuanya.
Elisa mengeluarkan ponselnya dan menjepret beberapa foto. Saat berhenti di depan toko sepatu, seorang gadis berwajah bulat menghampirinya. Dia menunjuk Eugene.
"Gute noir, Santionesse. Que ma cureé la pictura del santion, la?"
Elisa langsung cemas. "Katakan tidak padanya, Eugene!"
Eugene menatap gadis itu dan berkata sopan. "Maaf, saya tidak mengerti."
Bukannya kecewa, gadis itu malah tampak senang. Sambil melonjak-lonjak, dia berteriak kepada teman-temannya yang sedang duduk di depan sebuah restoran. "Vicia turés! Vicia turés! Friase, lui t'est le Celestin!"
Celestin. Jantung Elisa langsung meluncur turun ke dasar perutnya. Aku tahu arti kata itu!
Dua detik kemudian, gerombolan gadis-gadis itu menghampiri Eugene sambil bersorak-sorak. Kehebohan yang mereka timbulkan membuat beberapa orang lain bermunculan dari dalam toko-toko dan menunjuk-nunjuk Eugene. Ekspresi mereka terkejut, bingung, dan sebagian ada yang marah. Lalu mereka mulai berbisik-bisik. Ponsel-ponsel terangkat, kamera-kamera dibidik ke arah Eugene.
Seorang pria mengacungkan telunjuknya dan berseru lantang. "Edward!"
"Eugene..." Elisa menelan ludah. "Kita harus segera pergi dari sini!"
"Aku setuju," kata Eugene pucat pasi. "Tapi bagaimana caranya?"
"Sini, ikut aku!"
Elisa menggandeng tangan Eugene dan menariknya kembali ke Rue du Aeruxan. Kumpulan manusia mulai bertambah banyak. Mereka mengekor Eugene sambil berseru-seru. Gadis-gadis pemuja Eugene memimpin barisan, mereka mengacung-acungkan ponsel sambil tak henti-henti memekik girang dalam bahasa Camish.
Sebuah cangkir melayang dan mendarat berserakan tepat di depan Eugene, mencipratinya dengan sisa-sisa kopi. Sekeping pecahan terlontar ke arah Eugene, menggores dagunya. Tak berapa lama, benda-benda lain mulai berterbangan ke arah Eugene dan Elisa. Mereka menjadi bulan-bulanan penduduk. Sebutir telur sukses mendarat di bahu Elisa, meluberi pakaiannya.
"Mereka mulai tak terkendali!" Eugene melotot. "Kita harus menelepon istana!"
"Ponselku tak menggunakan operator sini," pekik Elisa. Kerumunan itu mulai mendesak mereka berdua. "Kita harus mencari telepon umum!"
"Aku lihat satu tadi di seberang toko suvenir!"
Eugene menarik Elisa ke arah toko suvenir. Orang-orang dalam kerumunan itu mengikuti mereka dengan gemas. Elisa melihat sebuah boks telepon warna hitam tepat di seberang toko Mardi. Dia menepuk lengan Eugene dan lari berderap ke arah boks telepon. Kaki Eugene yang panjang membawanya sampai lebih dulu.
Seorang pria sedang memakai telepon umum itu, tangannya teracung sambil marah-marah tak keruan. Ketika melihat Eugene dan Elisa, dia mengangkat telapak tangannya, menolak keluar.
Elisa menendang pintu hingga terbuka. "Tolong minggir sebentar, monsieur!"
"Senorita! Anda tidak bisa begitu. Aku sedang berbicara dengan—"
"Anda kenal siapa dia?" Elisa menunjuk Eugene dengan jempolnya. "Edward L'alcquerine. Penjahat nomor satu di Calondria. Dia baru saja melarikan diri dari penjara. Aku menangkapnya. Aku harus menghubungi polisi!"
Pria itu memutar matanya, tatapannya separo cemas dan separuhnya lagi tak percaya bahwa cowok dengan tampang seperti Eugene ternyata kriminal kelas kakap. Akhirnya dia menyerah. Elisa menyambar gagang telapon dan menekan nomor operator.
"Gute noir. Anda tersambung dengan operator Calondria."
"Tolong segera sambungkan dengan istana!"
Beberapa butir telur pecah menghantam boks telepon.
"Istana?" sahut si operator. "Ada perlu apa?"
"Ini Elisa Harris. Beritahu Kitty Cosette kalau aku dan Eugene sedang mengalami masalah di Rue du Aeruxan. Tolong kirimkan pengawal!"
"Apa maksud Anda, Santionesse? Kami tak bisa menelepon begitu saja ke istana dan memberitahukan—"
Seorang pria maju ke arah boks telepon sambil mengayun-ayunkan tongkat golf.
"Saya tidak main-main!" bentak Elisa geram. Telepon itu berdengung sedikit. "Datang dan lihatlah sendiri. Kami menunggu di boks telepon di seberang toko suvenir Coloraspasse!"
Tak sampai sepuluh menit, dua lusin tentara berkuda berderap menuju pusat kota sambil mengawal sebuah limusin berlambang kerajaan. Kitty dan Jo melompat keluar dan bergegas menyelamatkan dua orang yang sudah terkepung oleh massa di dalam boks telepon, keduanya pucat pasi dan nyaris pingsan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top