8. Elevator Nomor Dua Puluh Satu


Keesokan harinya, Elisa dan Eugene mengunjungi perkebunan teh Calondria ditemani Janesse. George tidak ikut karena harus bertemu Duta Besar Belgia. Perkebunan itu terletak di sebuah kota bernama Willsright dan asri sekali, suatu pemandangan yang menyejukkan mata. Teh memang merupakan komoditas unggulan di Calondria, hal itu sesuai dengan iklim hangat Calondria yang terletak di dekat Laut Mediterania. Para ahli botani Calondria telah berhasil mengembangkan produk teh berkualitas sehingga salah satu sumber pemasukan terbesar untuk negara ini.

Dari Willsright, mereka kembali ke ibukota Obsycus dan mengunjungi Universitas Calondria, satu-satunya perguruan tinggi di negara itu. Jurusan terfavorit di kampus itu adalah botani. Para pelajar dari seluruh Eropa datang ke Calondria untuk mempelajari teknik budidaya spesies tanaman tropis. Dari obrolan tingkat tinggi dengan sang rektor, mereka tahu kalau Calondria sedang berusaha mengembangkan lada dan cengkih, dua jenis rempah-rempah super yang memunculkan pelayaran samudra di kalangan bangsa-bangsa Eropa beberapa abad yang lalu.

Selanjutnya Janesse mengantar Eugene dan Elisa untuk mampir ke Galabrielle, kota terbesar kedua di Calondria setelah Obsycus. Mereka disambut langsung oleh Francis Alpine, Valion daerah itu. Valion Alpine adalah pria kurus bertampang bangsawan yang dari luar kelihatan galak, tapi ternyata sangat ramah diajak mengobrol. Dia sempat menyinggung Edward dan menyatakan kelegaannya setelah tahu bahwa Edward bukanlah satu-satunya pangeran yang dimiliki Calondria. Mendengar ini, Eugene merona.


Acara jalan-jalan ini tampaknya lumayan berhasil membuat Eugene rileks, meski reaksi orang-orang yang pertama kali melihatnya adalah terkejut lalu geram karena mengira dia Edward yang kabur dari penjara. Dengan telaten Janesse terus-menerus mengenalkan Eugene dan tak kenal lelah meyakinkan orang-orang bahwa kembaran Eugene masih terkurung dengan aman di selnya. Elisa berharap dengan dikenalnya Eugene oleh rakyat Calondria, mereka mau menerimanya sebagai pangeran—terlepas dari apa yang dilakukan Edward lima tahun lalu.

Mereka baru kembali ke istana menjelang malam. Elisa yang sudah kelelahan ingin langsung kembali ke kamar. Dia tahu elevator ekspres yang menuju kamarnya langsung dari Pretory Hall.

Sambil menunggu pintu elevator ekspresnya terbuka, perhatian Elisa jatuh pada elevator di sebelahnya. Elevator ini tak pernah disebut-sebut oleh siapa pun. Pelat nomornya bertuliskan dua puluh satu. Bagi Elisa ini mencurigakan, karena elevator itu letaknya di lantai dasar, tepat bersebelahan dengan elevator nomor sepuluh yang menuju kamarnya di lantai dua. Untuk menuju gudang bawah tanah, para pelayan menggunakan tangga, sementara para penghuni istana memakai elevator yang terletak di belakang.

Jadi, ke mana elevator nomor dua puluh satu pergi?

Elisa pernah menanyai Kitty tentang elevator itu, tapi lady's maid-nya itu hanya mengangkat bahu. Kitty tidak melarang Elisa menaiki elevator itu, jadi dia menganggap ke mana pun elevator itu pergi, tujuan akhirnya bukanlah sesuatu yang terlarang atau berbahaya.

Karena penasaran, Elisa memutuskan untuk mencobanya.   

Hanya ada satu tombol di elevator itu, tanpa penunjuk arah. Ketika tombol itu ditekan, elevator mulai bergerak; bukan naik, tetapi turun ke bawah.

Rupanya elevator itu hanya turun satu lantai, karena tak berapa lama setelah meluncur, pintunya langsung berdenting terbuka. Tidak ada penunjuk lantai. Koridor di seberang pintu sangat berbeda dengan lantai istana lainnya. Di sini gelap dan pengap. Ada jendela-jendela sempit seperti layaknya di ruang bawah tanah, tetapi semuanya ditutupi tirai abu-abu yang begitu kusam seolah-olah tak pernah dicuci bertahun-tahun. Hanya beberapa yang tersibak kecil, membiarkan cahaya redup menerobos masuk. Lampu-lampunya belum dinyalakan. Tidak ada pelayan yang mondar-mandir. Beberapa patung dada menyeramkan yang berjejer di sepanjang koridor adalah satu-satunya dekorasi di tempat ini.

Apa lantai ini tidak dipakai?

Tempat ini tak mungkin penginapan pelayan, karena mereka tidur di sebuah rumah terpisah di bagian belakang istana, dekat garasi. Bukan juga ruang penyimpanan anggur atau bahan pangan, karena Elisa tidak menjumpai rak-rak kayu di situ. 

Rasa penasaran Elisa tergelitik. Koridor itu berbelok ke kiri. Itu satu-satunya jalan, jadi Elisa menyusurinya. Ada sebuah pintu yang terbuka sedikit di ujungnya.

"Selamat malam."

"AAAARRRGH!" 

Elisa menjerit. Ada yang menyapanya. Dia hampir meninju si pemberi salam itu.

Dari balik pintu, muncul seorang wanita. Bukan hanya suaranya yang begitu lirih sehingga terkesan mistis yang membuat Elisa terkejut, tetapi busana yang dipakainya. Jika selera mode Kitty membuatnya tampak mirip pelacur, busana wanita ini membuatnya tampak seolah baru pulang dari pesta kaum okultisme. Sosok asing itu mengenakan gaun panjang warna hitam, selendang ungu berkelap-kelip, dan tutup kepala keemasan yang dilengkapi dengan rantai-rantai berkilau. Selusin kalung manik-manik yang tergantung di lehernya bergemerincing nyaring ketika dia bergerak menghampiri Elisa. Umurnya sekitar lima puluhan.

Wanita itu mengangkat wajahnya. Elisa dapat melihat matanya yang kelabu, seperti berkabut.

"Anda tersesat?" tanya si wanita asing.

"Tidak," jawab Elisa cepat-cepat. Wanita itu membuatnya takut. "Maaf. Saya tidak bermaksud—"

"Anda sengaja datang kemari," potong wanita itu.

"Dari mana Anda tahu?"

Tiba-tiba wanita itu menjulurkan tangannya yang kurus seperti kerangka. Elisa refleks melompat mundur.

"Tidak apa-apa," wanita itu tersenyum. "Saya tidak akan menyakiti Anda. Saya ingin mengajak Anda ke dalam, Santionesse. Penerangan di sini kurang baik."

"Mengapa tidak nyalakan saja lampu-lampunya?"

"Saya lebih suka begini," kata wanita itu misterius. Dia mundur ke arah pintu dan mendorongnya sehingga terbuka lebih lebar. Sebuah ruang duduk mungil yang nyaman mengintip dari situ. Ada perapian yang menyala, meski sekarang musim panas.

"Sebaiknya saya kembali saja," tolak Elisa. Tempat ini mengerikan. Lagipula Elisa tidak tahu siapa wanita misterius ini. Dandanannya yang seperti penyihir gipsi membuatnya ragu.

"Saya sudah menyeduh teh," kata wanita itu sayup-sayup.

"Saya—" Tunggu sebentar. "Dari mana Anda tahu saya akan datang?"

"Cepat atau lambat toh Anda pasti akan bertemu saya," kata wanita itu sambil mengangkat bahu. "Jadi tak ada salahnya bersiap-siap. Benar, kan?"

Elisa diam saja. Haruskah aku mengucapkan terima kasih?

"Apa Anda datang seorang diri?" tanya wanita itu.

Tiba-tiba terdengar denting elevator disusul suara langkah-langkah tergesa dari koridor. Kitty Cossete si lady's maid muncul dari balik koridor, hari ini dia memakai bikini hitam dan celana panjang robek di sana sini. Ia mendelik dan terengah-engah.

"Aku mencarimu ke seluruh istana!" bentaknya galak. "Aku menanyai semua orang! Aku bahkan berdoa agar bisa menemukanmu, padahal Tuhan membenciku! Dari mana saja kau?"

"Kostum yang bagus!" Pilihan busana Kitty selalu menyolok. "Bukankah itu seperti yang dikenakan Halle Berry sewaktu memerankan Catwom—"

"AKU SERIUS!" gelegar Kitty histeris. "Mereka sudah menunggumu untuk makan malam. George sudah kembali dan aku bisa dicecar habis-habisan karena tak tahu kau di mana! Sebagai tamu istana, kau wajib hadir di ruang makan sebelum Quinz Celestin tiba."

"Aku baru mau balik kok," kata Elisa sopan. "Aku tak bermaksud kabur."

"Protokol istana mengharuskan seorang lady's maid untuk tahu di mana tuannya sepanjang waktu. Kau harus memberitahuku ke mana kau—"

Kitty berhenti mendadak. Dia menatap si wanita gipsi dan terbelalak.

"Kitty Cosette," sapa si wanita gipsi ramah. Dia merentangkan tangannya lagi, menyilakan Kitty untuk ikut mampir ke ruang duduknya. "Sudah lama sekali sejak kau berkunjung ke ruang bawah tananku. Empat tahun yang lalu, eh?"

"Kurang lebih," jawab Kitty gusar. "Hai Craz. Kau kelihatan... ehm, sehat."

"Cahaya matahari merusak kulit," kata wanita bernama Craz itu sambil mengerling ke tirai-tirai yang tertutup. "Aku baru menyeduh teh. Kau mau bergabung?"

"Uh. Aku kepingin sekali, tapi... maaf," tolak Kitty sambil berjengit sedikit. "Ditunggu George."

"Quinz Celestin tak akan keberatan," kata Craz, suaranya masih sayup-sayup seolah dia berbicara dari balik tembok. "Tehnya masih panas. Teh melati, kesukaanku."

"Kau tahu, bukan George-lah masalahnya," kata Kitty lesu.

Craz mengangguk paham. Kalung-kalungnya bergemerincing. "Peraturan."

"Tuh kan. Kau sudah tahu," kata Kitty dengan gaya oke-masalahnya-sudah-jelas. "Baiklah, kami pergi dulu."

"Baiklah kalau begitu." Craz mengatupkan kedua tangannya di depan perutnya lalu menunduk sopan. "Sampai bertemu lagi, Santionesse Harris."

Kitty menyeret Elisa kembali ke elevator dan memencet tombolnya keras-keras. Pintu elevator tertutup dan bergerak naik.

"Siapa sih wanita itu?" tanya Elisa. "Mengapa kau tidak memberitahuku bahwa dia tinggal di bawah tanah sewaktu aku bertanya soal elevator nomor dua puluh satu?"

"Dia tak waras, Elisa." Kitty bergidik. "Kami memanggilnya Craz—crazy, sinting."

"Dia bilang kau pernah mengunjunginya empat tahun yang lalu?"

"Sudah kubilang, wanita itu gila. Seharusnya kau tak usah repot-repot meladeninya," kata Kitty. Mereka berderap menuju Dining Hall ketika tiba di lantai dasar.

"Dia kelihatan cukup normal bagiku."

"Apa tinggal di bawah tanah sepanjang waktu termasuk waras?"

"Mungkin dia menderita penyakit kulit aneh," kata Elisa menebak-nebak. "Kulitnya pucat sekali. Kenapa dia tak pernah naik ke atas?"

"Karena seperti yang sudah kubilang, dia sinting," jawab Kitty sebal. "Craz akan tetap di ruangannya sepanjang waktu. Dan tidak, dia sama sekali tidak berpenyakit atau sejenisnya."

Jawaban Kitty tidak memuaskan Elisa. Keberadaan Craz yang misterius memunculkan tanda tanya. Apa yang dilakukan wanita itu di bawah tanah? Mengapa dia tak pernah bergabung bersama anggota kerajaan yang lain? Kitty tampaknya tahu lebih banyak tentang Craz, tapi tak bersedia berbagi informasi.

"Aku akan bertanya soal Craz pada George," kata Elisa pada dirinya sendiri.

Kitty terbahak. "Dia sudah tinggal di bawah tanah sejak sebelum George lahir dan tak ada yang berani mengusiknya. Bahkan sekalipun ada hantu di ruang bawah tanah itu, mereka juga tak berani macam-macam dengan Craz."

"Kalau begitu..." Elisa terpikir sesuatu. "Mungkin kapan-kapan aku dan Eugene bisa mengajaknya minum teh di tepi danau."

"Astaga!" Kitty menghentikan Elisa tepat di depan patung kuda perunggu dan menariknya ke tepi. "Kenapa kau penasaran sekali, sih?"

"Aku hanya ingin tahu."

"Craz tidak mengatakan hal yang aneh-aneh padamu, kan?"

"Tidak juga. Sepertinya dia sudah menduga aku akan datang. Mungkin dia mendengar denting elevator. Dia..." Elisa teringat sesuatu. "Dia bertanya apa aku datang seorang diri."

Mata Kitty membesar. "Dia mencari Eugene?"

"Aku yakin dia sudah mendengar soal kemunculan Eugene. Semua orang ingin bertemu Eugene untuk melihat seberapa miripnya dia dengan Edward."

Tapi raut wajah Kitty kelihatan serius. Dia merenung sejenak dan menjentik-jentikan kukunya yang dipoles merah.

"Aku tak tahu apa maunya Craz," kata Kitty. Alisnya berkerut. "Tapi kalau kau ingin tahu soal dia, sebaiknya kau bertanya pada Prime Celestine."

"Prime Celestine?" tanya Elisa.

"Ibu George," jawab Kitty. "Ratu Emeritus Calondria." 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top