6. Sebuah Rencana Sempurna
Royal Chamber letaknya tepat di atas Tea Hall. Ketika memasukinya, Elisa merasa seperti sedang berada di sebuah ruang teater yang megah. Di seberang ruangan, ada sebuah panggung yang letaknya menjorok ke bawah, dan berderet-deret kursi berjok beludru merah.
George duduk di salah satu kursi di baris atas.
"Elisa!" George berdiri, suaranya bergema di seisi ruangan. "Terima kasih sudah mau datang. Silakan masuk."
"Selamat sore, George." Elisa menghampiri cowok itu. "Kitty bilang kau ingin bertemu denganku. Ada apa?"
George menepuk kursi di sebelahnya, sebuah tindakan yang dianggap Elisa sebagai permintaan – atau mungkin perintah – untuk duduk. Elisa duduk di kursi itu.
"Ada hal yang ingin kubicarakan," kata George lambat-lambat.
"Apa Eugene diundang juga?"
"Tidak. Aku ingin berbicara denganmu."
Sang raja ingin berbicara denganku? "Baiklah."
"Aku ingin bertanya padamu apa yang sebetulnya terjadi pada Eugene selama sepuluh tahun belakangan ini," kata George.
Elisa mencelus. Apa yang akan dikatakannya? Apa Eugene keberatan jika dia memberitahu George? "Kurasa sebaiknya kau bertanya langsung pada Eugene."
"Kondisinya rapuh sekali," kata George prihatin. "Aku tak mau memaksanya. Dia pasti terpukul melihat ibunya yang sudah berubah. Tak banyak yang kuketahui tentang kehidupan Lady Samantha di Prancis. Apa Eugene pernah bercerita soal keluarganya padamu?"
"Dia tak pernah banyak bercerita tentang mereka," kata Elisa yakin. "Dia baru memberitahuku dua hari sebelum kami berangkat ke sini. Eugene tahu dia punya keluarga, tetapi merahasiakannya selama ini karena tidak yakin mereka berada di mana. Aku tidak tahu kalau selama ini dia diam-diam berusaha mencari keluarganya."
"Mencari informasi tentang Calondria di Prancis sama dengan mencari jarum di tumpukan jerami," George mengangguk-angguk paham. "Prancis masih dendam pada Calondria sehingga pemerintahnya menyimpan informasi tentang negara ini rapat-rapat. Bahkan sebagian penduduk Marseilles di perbatasan masih menganggap Larsgard adalah wilayah mereka." Sang raja berhenti sebentar. "Apa Eugene pernah menyinggung masa lalunya sebelum masuk ke panti asuhan?"
Tidak. Tak banyak. "Setahuku, keluarga Eugene menjalani hidup yang sungguh sulit di Paris."
George merenung. Dia bersedekap lalu berkata tanpa menatap Elisa. "Ayahku pernah bercerita bahwa hidup Lady Samantha dan keluargannya memang sulit di Prancis. Tapi bibiku itu selalu menolak jika diajak pindah kemari. Aku tak pernah tahu alasannya sampai dia melakukan kudeta itu. Kurasa Lady Samantha iri pada ayahku."
Kudeta itu, ya. Elisa menahan lidahnya. Aku tidak tahu banyak tentang kejadian itu. Aku tak mau berkomentar terlalu jauh, karena itu menyangkut keluarga Eugene.
Tapi Elisa yakin George tulus sekali ingin membantu Eugene. Ini bukan tentang aku, atau George. Ini tentang Eugene. Melihat sikap George yang begitu terbuka, Elisa jadi yakin untuk memberitahunya sesuatu. Aku punya dugaan. Bisa saja aku salah, tetapi George layak diberitahu.
"George, kedatangan Eugene ke panti asuhan kami sepuluh tahun yang lalu tepat bersamaan dengan kedatangan Lady Samantha kemari."
George terperangah. Lalu dia memicing sambil memijit-mijit dagunya. "Lady Samantha tidak datang kemari untuk meminta kami melacak Eugene. Dia bahkan tidak menyebut-nyebut soal Eugene atau pun suaminya. Dia hanya bercerita kalau hubungannya dengan Mark sedang tidak begitu baik. Lagipula minta tolong pada kami tak ada gunanya. Kami tak bisa banyak membantu jika peristiwa itu terjadi di Prancis."
Ini aneh, pikir Elisa. "Eugene yakin keluarganya berusaha mencari dia."
"Mungkin mereka memang mencarinya. Bagaimana dengan ayahnya, Mark L'alcquerine? Apa Eugene mencarinya juga?"
"Ya. Dia tak yakin di mana ayahnya berada sekarang, tapi dia mendapat informasi kalau Mark mungkin kabur ke Australia," kata Elisa. "Apa kau pernah bertemu ayah Eugene, George?"
Alis George bertaut, tampaknya dia sedang berpikir keras. "Mark L'alcquerine hanya sekali datang ke Calondria, pada hari kelahiranku. Sejak saat itu dia tak pernah muncul lagi di sini. Kata ibuku, mungkin dia malu menyadari keadaan keluarga istrinya yang sebenarnya. Tapi ayahku curiga Lady Samantha melarang suaminya ke sini."
Masa lalu yang pelik, pikir Elisa. Dia dan George terdiam, dua-duanya kebingungan.
Aku hanya ingin yang terbaik untuk Eugene, batin Elisa. Aku bahagia kalau dia bahagia.
"Elisa, aku perlu bantuanmu," kata George. "Aku menyesal atas apa yang telah terjadi pada Eugene dan ingin membantunya. Aku ingin dia tinggal di sini, bersama keluarganya. Menurutku sudah seharusnya seperti itu. Apa yang dilakukan Lady Samantha dan Edward memang mengacaukan hubungan kekeluargaan kami tapi selain Edward, Eugene adalah satu-satunya sepupu yang kupunya. Ini akan jadi masa yang sulit bagi Eugene. Tapi dia punya kau, sahabatnya. Maukah kau mendampinginya di masa-masa sulit ini? Setidaknya sampai dia terbiasa."
Terbiasa dengan apa? Dengan segala kemegahan ini? Elisa tak yakin Eugene mau tinggal di sini. Eugene sudah memberitahunya. Mereka akan kembali ke Prancis. Tapi kalau tinggal di sini, Eugene bisa bersama dengan keluarganya. Kalau itu membuatnya bahagia, apa aku punya hak untuk menariknya ke Paris?
Elisa tahu dia tak punya pilihan. Seperti kata George, aku sahabat Eugene. Dia mengandalkanku.
Dia menegakkan punggung dan berkata yakin, "Aku mengerti."
George tersenyum dan menjulurkan tangannya. Mereka bersalaman. "Terima kasih. Sekarang aku paham mengapa Eugene mengajakmu. Kau baik sekali."
Kuharap aku tidak mengecewakan siapa pun. Elisa balas tersenyum.
Interkom yang terletak di meja kecil di atas podium menyala. George bangkit dan menjawabnya.
Suara Alfred menggema keras. "Waktunya makan malam, Quinz Celestin!"
"Oke Alfred. Aku akan tiba tiga menit lagi."
"Oke adalah kata yang digunakan oleh orang-orang barbar, dan sama sekali tidak digunakan di dalam Istana Calondria!" sembur Alfred marah.
"Baiklah Alfred. Aku tidak akan menggunakan kata itu lagi." George menatap Elisa dan memutar matanya dengan lelah. "Apa Janesse sudah kembali dari kunjungan ke Belanda?"
"Quinze Celestine sudah tiba di ruang makan," kata Alfred ketus. "Anda punya enam puluh detik!"
Lalu interkom dimatikan.
George mengangkat bahu. "Seperti yang sudah kau dengar, Alfred siap menghajarku jika aku terlambat. Jadi mari kita ke ruang makan!"
...
Akhirnya Elisa paham mengapa Kitty sangat disiplin soal waktu. Rupanya dialah yang sering terlambat. Tadi malam, Elisa memergoki Alfred menegur Kitty yang baru muncul selewat tengah malam. Entah apa yang dilakukan wanita itu semalaman.
Akibatnya, pagi ini Elisa bangun lebih dulu dari pelayan pribadinya. Meski sudah pukul delapan pagi, wanita itu belum tampak di kamar. Elisa memutuskan untuk mampir ke kamar Eugene. Kemarin Eugene bertemu lagi dengan keluarganya di penjara dan Elisa tidak ikut karena itu pertemuan pribadi yang sengaja diatur khusus oleh George. Kata Alfred, Lady Samantha dan Edward diizinkan kelular dari sel mereka yang mirip akuarium itu. Elisa jadi penasaran bagaimana pertemuan berlangsung. Semoga Eugene merasa lebih baik.
Dia tidak tahu dimana letak kamar Eugene, dan kesulitan menemukannya. Ruangan di istana itu ada banyak sekali. Elisa sudah separuh jalan menuju Royal Chamber, ketika akhirnya sadar bahwa dia sudah dua kali melewati patung kuda perunggu di tepi koridor.
"Selamat pagi, Santionesse Harris." Seorang pelayan melintas di sampingnya lalu berhenti sejenak. "Saya Sabrina. Anda mencari sesuatu?"
"Selamat pagi, Sabrina," balas Elisa penuh syukur. Untung kau menyapaku! Aku sudah hampir gila tersesat di istana ini! "Apa kau tahu di mana kamar Eugene? Sudah setengah jam aku mencari-cari, tetapi belum ketemu juga."
"Celestin ada di D'artagnan Room, di kaki Menara Timur," kata Sabrina lancar. "Anda bisa naik elevator nomor enam belas yang ada di depan Royal Chamber. Mari ikut saya."
Pantas saja!
Elisa mengikuti Sabrina menuju Royal Chamber. Di depan Royal Chamber terdapat dua elevator, salah satunya bernomor enam belas. Sabrina memencet tombol elevator, dan menyilakan Elisa untuk masuk.
"Ada berapa ruangan di istana ini, Sabrina?"
"Sembilan puluh, Santionesse. Itu sudah termasuk kamar tidur pelayan dan ruang penyimpanan anggur di bawah tanah."
Pantas saja aku kebingungan! "Dan kau hafal elevator mana menuju ke mana?"
"Tentu saja. Pada minggu pertama kami di sini, kami diberi denah istana. Minggu berikutnya kami sudah harus hafal seluruh denah itu," kata Sabrina bangga. Tepat ketika dia berhenti bicara, elevator terbuka. "Kita sudah sampai. Silakan, Santionesse."
Elisa mengucapkan terima kasih pada Sabrina dan melangkah keluar.
Dia tiba di sebuah koridor luas dengan langit-langit yang tinggi sekali. Ada sebuah tangga batu yang melingkar-lingkar menjulang menuju puncak menara, dan beberapa ruangan di sebelah kiri. Elisa menebak ruangan yang paling besar dan terletak di tengah adalah kamar Eugene.
Dia mengetuk pintunya.
Seorang laki-laki kecil membuka pintunya. Dia Jo, pelayan pribadi Eugene. Tangannya memegang setumpuk pakaian. Elisa sudah bertemu dengannya dalam kunjungan perdana mereka ke penjara.
"Gute primar, Santionese Harris," sapa Jo sopan. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Selamat pagi," sahut Elisa. "Saya mencari Eugene. Apa benar ini kamarnya?"
"Celestin sudah tidak di sini lagi. Maksud saya, dia sudah pindah."
Wah! Dia kan baru dua hari di kamar ini! "Ke mana Eugene pindah?"
"Lantai satu, Princess Charlotte Suite, di samping Tea Hall," kata Jo sambil menunjuk elevator. "Mari ikut saya."
Mereka turun kembali, menggunakan elevator nomor enam belas.
"Apa semua ruangan di istana ini punya nama, Jo?" tanya Elisa ingin tahu.
"Ya, Santionesse. Itu untuk memudahkan kami melayani Anda semua," kata Jo. "Kamar Celestin Eugene saat ini adalah milik Celestine Charlotte Garramond, nenek buyut dari Quinz Celestin dan Celestin Eugene juga. Beliau adalah cucu dari Synthania Thievanny, salah satu pendiri Kerajaan Calondria."
Ah, aku hampir lupa. Eugene memang keturunan bangsawan. Mendengar ini, Elisa jadi tertarik mencari tahu tentang sejarah Calondria. Aku akan mengunjungi perpustakaan nanti malam!
Mereka telah sampai. Princess Charlotte Suite, kamar yang sekarang dipakai Eugene sepertinya lebih besar ukurannya dari kamar tidur biasa, bahkan jauh lebih besar dari kamar Elisa. Menurut perkiraan Elisa, suite itu hampir sebesar Tea Hall sendiri. Pintunya tertutup, dan tidak ada yang menjawab ketika Elisa mengetuknya. Dia memberanikan diri membuka pintunya.
Eugene muncul mengenakan jubah mandi. Rambutnya basah dan mukanya merah sekali.
"Elisa? Apa yang kau lakukan di sini?" Jubah mandinya terkesiap sedikit, memperlihatkan sebidang kulitnya yang mulus.
"Itu, umm, sebenarnya... aku..." Elisa, apa yang terjadi padamu? Kenapa kau jadi gagap begini? "Maksudku, apa kau baik-baik saja?"
Eugene melongo. "Apa?"
"Maksudku, aku ingin mengecek keadaanmu," jawab Elisa cepat-cepat. "Kau kelihatan sedih sekali kemarin."
"Aku baik-baik saja," kata Eugene tulus. "Jo memberitahuku kalau George mengajakmu ngobrol kemarin. Apa yang kalian bicarakan?"
Jo menatap Eugene dengan ngeri dan menggeleng-geleng ketakutan.
Pasti Kitty memberitahu Jo soal pertemuan rahasia itu, piker Elisa. Tidak, aku tak boleh memberitahu Eugene. George mempercayakanku untuk membuat Eugene merasa betah tinggal di istana ini. Dan aku sudah berjanji untuk menolongnya.
"Elisa, kau tidak apa-apa?" kata Eugene lagi. Tangannya terjulur menyentuh lengan Elisa. Rasanya dingin sekali, sampai Elisa terkejut. "Kau tampak pucat."
"Aku tidak apa-apa," kata Elisa gugup. Seluruh ototnya terasa membeku. Aku bukan sedang berbicara dengan Eugene. Di istana ini, dia seorang pangeran. "Cuaca di luar sedang cerah. Apa kau mau jalan-jalan keluar sambil mengobrol?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top