25. Ratu Elisa
Elisa berlari melintasi aula, menuruni tangga gerbang depan dan menuju teras. Tangannya refleks menyangga si mahkota, ternyata benda itu berat juga.
Halaman depan porak-poranda. Beberapa pot bunga pecah, kursi-kursi para tamu ditunggangbalikkan, sejumlah petugas keamanan terkapar tak sadarkan di tanah. Sebuah truk tahanan terparkir miring di tengah-tengah lapangan, nyaris terguling. Sepertinya itu truk yang digunakan oleh Samantha dan komplotannya untuk menerobos masuk. Beberapa tamu berlarian kalang kabut, yang lain bersembunyi ketakutan di balik pilar-pilar. Letusan pistol menggema di mana-mana.
Elisa melihat Edward sudah menyeret Janesse hingga hampir melewati gerbang depan. Tak jauh dari mereka, George dan selusin pengawal sedang bertarung melawan para mafia yang mengepung mereka.
"Beri jalan!" Edward berteriak. "Beri jalan!"
"ELISA!"
Rasa lega mengalir di tubuh Elisa seperti air dingin. "EUGENE!"
Cowok itu sedang tiarap di balik sebuah pilar. "Ya ampun, aku cemas setengah mati!" Dia meremas lengan Elisa. "Kau baik-baik saja?"
"Ya," kata Eugene tersengal. "Aku sedang di ruang ganti, menunggu kereta yang akan menjemputku ketika tiba-tiba Edward dan segerombolan penjahat yang menyamar sebagai pelayan menyeruak masuk dan menangkapku. Jumlah mereka banyak sekali! Edward memaksa bertukar kostum denganku. Tapi tiba-tiba tadi mereka melepaskanku begitu saja. Apa yang terjadi?" Eugene tampak berantakan, rambutnya acak-acakan, wajahnya tergores-gores dan dia masih memakai setelan yang tadi pagi dipakai Edward sebelum bertukar busana dengannya. "Aku baru mau masuk ke aula tapi mendengar suara tembakan di dalam. Lalu aku melihat Edward bergegas keluar sambil menyeret Janesse. Demi Tuhan, mengapa kau memakai mahkota? "
"Aku minta maaf, Eugene. Samantha menembak Ratu Raquelle dan ayahmu. Mark ada di sini, dan dia berusaha menolong tetapi tak berdaya."
Eugene menatap ke dalam aula dengan nanar. "Aku harus menolong ayah."
"Alfred bersama mereka. Mereka akan baik-baik saja," Elisa menariknya kembali. "Kita harus membantu George mengklaim kembali tahtanya!"
"Apa?"
"Nanti saja penjelasannya. Kita harus mencegah Edward kabur!"
"Oke. Sembunyi di sini!" Eugene menarik Elisa untuk bergabung dengannya. Di belakang Eugene, Jo dan Kitty turut meringkuk. Keduanya memegang pistol.
"Elisa!" Kitty menghambur memeluknya. "Ya Tuhan, aku nyaris mati muda karena kau!" Tatapannya jatuh pada mahkota ratu yang dipakai Elisa, dan si lady's maid mengumpat keras-keras. Jo melompat kaget dan ikutan mengumpat ketika menatap mahkota itu. "Mengapa kau pakai mahkota?"
"Ratu Raquelle baru saja menyerahkan jabatannya padaku," kata Elisa, menyudahi kebingungan ketiga orang itu tentang mahkotanya. "Dengar, kita harus menghentikan Edward. Tapi aku harus memberitahu pengawal untuk menolong Andrea dulu. Dia yang menyerbu markas para penculikku dan—"
"Kami sudah menolong Pangeran Casiraghi," jawab Kitty.
"Bagaimana dengan Weepee?"
"Weepee? Sejak kapan kau peduli pada anjing itu?"
"Dia serigala, bukan anjing. Dia yang membaui darah di sepatu yang kulempar keluar dan berhasil melacak tempat persembunyian para penjahat itu!"
"Mereka sudah aman," kata Jo putus asa. "Tapi kita terpojok di sini!"
"Elisa, sekarang kau bisa memerintah para pengawal!" seru Kitty tiba-tiba. "Sebagai Ratu Calondria, kau berhak menggunakan seluruh aset negara untuk melindungi rakyat, apalagi dalam situasi gawat seperti ini!"
"Baiklah," kata Elisa tidak jelas. Menggunakan aset negara? AKU? "Pertama-tama kita perlu, umm... menutup akses keluar masuk perbatasan. Ya, itu dia! Jo, hubungi Angkatan Darat dan tutup semua akses keluar masuk. Jangan biarkan Edward dan komplotannya melarikan diri!"
"Saya mengerti, Quinze Celestine," Jo berbalik masuk ke dalam aula.
Elisa nyaris tersedak karena dipanggil Quinze Celestine, tetapi dia cepat-cepat menguasai diri. "Kitty, hubungi rumah sakit dan bantu Alfred merawat mereka yang terluka di dalam. Minta bantuan untuk mengevakuasi para tamu yang lain. Kita tak ingin ada lebih banyak korban."
Kitty mengangguk paham. "Ini," dia menjejalkan pistolnya pada Eugene. "Kalian membutuhkan ini. Aku sudah mengokangnya. Tinggal arahkan, dan tembak."
Eugene menatap pistol itu seolah benda itu bom. Sesaat dia tampak ragu-ragu, tapi jeritan Janesse menyadarkannya. "Baiklah. Ayo!"
Eugene merayap maju, melompat hati-hati dari pilar satu ke pilar yang lain. Elisa mengikuti di belakangnya, jantungnya terasa mau melompat keluar. Edward dan Janesse sudah dekat sekali dengan gerbang depan. Sebuah van berderum muncul tepat di depan pagar, pintu bagasinya terbuka, siap menyambut Edward.
"Tutup gerbangnya!" Elisa berteriak sekeras-kerasnya. "Jangan biarkan mereka kabur!"
Beberapa pengawal mendengar teriakannya. Mereka menatap Elisa dengan bingung, lalu seperti Kitty dan Jo tadi, mereka melihat mahkota itu.
Eugene mengarahkan pistolnya pada Edward dan berteriak. "STOP!"
Salah satu pengawal menekan tombol pintu, gerbang luar istana mulai menutup secara otomatis. Edward berkedip kebingungan melihat saudara kembarnya yang sedang mengacungkan pistol padanya. Lalu dia tertawa.
"Kau tak akan berani!" teriaknya sambil terbahak liar. "Kau pengecut!"
DHUAR!
Eugene baru saja menembak kaki salah satu anggota komplotan Edward. Pria itu berteriak dan melompat-lompat sejenak seperti orang-orangan sawah yang mendadak hidup, sebelum jatuh ke tanah. "Lepaskan Janesse, Edward! Turuti kata-kataku, dan aku tak akan menembakmu!"
"Kau..." Edward melotot, bibirnya bergetar. "Kau tidak akan menembakku!"
Eugene mengokang pistolnya lagi. Elisa tak pernah melihat Eugene seserius itu. "Aku akan melakukannya, Edward."
"Kau kembaranku!" seru Edward meremehkan. "Kau tak akan tega!"
"Kau memang kembaranku," kata Eugene mantap. Matanya berkilat penuh tekad. "Tapi aku bukan kau. Dan kau salah menilaiku selama ini."
DHUAAAR!
Telinga Elisa berdenging dan dia otomatis tiarap untuk melindungi diri. Ada beberapa ledakan yang terjadi sekaligus. Sebuah helikopter muncul di langit seperti sihir dan membombardir van yang terparkir di depan halaman. Edward menjerit ketakutan, Janesse terlepas dari genggamannya. George meneriakkan sesuatu tapi tak terdengar akibat bunyi ledakan itu. Lady Samantha jatuh tersungkur dan di sampingnya, Reginald Lambert tertawa puas sambil mengayunkan pistolnya yang berasap sebelum roboh ke tanah.
"Elisa...."
Perlu beberapa detik bagi Elisa untuk kembali sadar sepenuhnya. Di depannya, Eugene berbaring dekat kursi-kursi yang telah terbalik, mulutnya mengeluarkan darah.
"Eugene!" Tubuh Elisa langsung dingin seketika. Dia merangkak mendekati sahabatnya itu. Dada Eugene robek akibat terjangan sesuatu. "Kau... kau...."
"Tertembak," kata Eugene lirih. Dia batuk keras beberapa kali, darah terpercik keluar dari mulutnya dengan mengerikan. "Dengar, aku mau bilang sesuatu...."
"Jangan bicara dulu, Eugene!" Elisa merobek roknya dan menekan dada Eugene. Bahkan setelah ditimpa kain seperti ini pun, Elisa bisa merasakan bahwa luka tembak itu dalam dan parah. "Pengawal! Tolong kami! TOLONG!"
"Elisa...."
"Eugene, kau terluka parah. Hemat tenagamu. Jangan bicara."
"Rambutmu selalu wangi..." Eugene bergumam tak jelas, tangannya terjulur menyentuh rambut Elisa.
"Aku tahu..." jawab Elisa. Sempat-sempatnya Eugene menggodaku! Pelupuk mata Elisa mulai terasa panas. "Jangan bicara lagi, kumohon."
"Aku ingin kau tahu satu hal..." Mata Eugene melebar, warna biru elektriknya mulai memudar. "Aku tahu ini saat yang tidak tepat, dan kau mungkin lebih memilih Andrea...."
Andrea? "Tidak, Eugene. Kau salah paham. Kami hanya bersahabat."
"Berarti aku masih punya kesempatan," kata Eugene sambil tertawa kecil. Melihatnya masih sanggup tertawa dengan kondisi seperti itu terasa sureal. Mau tak mau Elisa ikut tertawa.
"Hei, Eugene..." Elisa mengelus pipi Eugene. "Boleh aku minta sesuatu?"
Eugene menatapnya, dia merasa masuk ke dalam mesin fotokopi akibat tatapan mata biru elektrik itu. "Apa?"
"Bertahanlah, oke?" kata Elisa sambil meraih tangan Eugene dan meremasnya. "Berjanjilah untuk tetap bernapas."
Eugene mengangguk kecil dan tersenyum. "Aku janji."
Dengan susah payah Elisa mengerahkan tenaganya untuk memeluk Eugene. Ada tangan-tangan yang menyentuh Eugene, Elisa melihat Jo dan Kitty sudah kembali dan membantunya. Mereka membawa selusin paramedis, semuanya memakai seragam putih dan kelihatan siap.
Di halaman kini ada bukan hanya satu helikopter, tapi dua. Dari helikopter kedua yang berbendera Monaco, Andrea Casiraghi turun tertatih-tatih dibantu tongkat berjalan dan ditemani Weepee si serigala besar berbulu seputih salju. Dia menatap Elisa dari kejauhan dan tersenyum, rambutnya yang pirang berkibar tertiup angin. Para petugas keamanan gabungan Calondria dan Monaco sudah mengepung Edward, Lady Samantha dan sisa-sisa anggota komplotan mereka dalam sebuah lingkaran kecil berlapis. George sedang memeluk Janesse yang kini bebas, keduanya tampak terpukul tapi bahagia.
"Elisa," panggil George. "Mereka menunggu perintahmu."
"Perintahku?" kata Elisa bingung.
"Quinze Celestine," Janesse mengangguk. "Apa yang akan kau lakukan?"
Edward mendongak menatap Elisa dan terbelalak. "Tidak..." katanya. "Elisa, kau tidak paham. Aku hanya ingin–"
Elisa menarik napas. "Cukup, Edward!" Kehangatan mulai membanjir masuk kembali ke dalam tubuhnya dan tekanan mahkota di kepalanya terasa sedikit lebih ringan. Dia sudah punya ide apa yang akan dilakukannya pada orang tak berbelas kasih semacam Edward dan Lady Samantha. "Penjara tak sanggup menggoyahkanmu. Maka kupikir sebaiknya kau...."
Elisa tak sempat meneruskan kalimatnya. Edward telah melesat ke arah seorang pengawal dan merampas pistol yang dipegang pengawal itu. George melompat mundur. Para petugas lain segera mendekat ke Edward, lingkaran itu kini semakin rapat. Edward memutar-mutar pistol itu di tangannya, memandanginya seolah itu berlian yang berkilauan. Tatapannya berganti-ganti antara George, lalu pistol itu.
"Jangan lakukan itu, Edward!" Samantha berteriak memohon pada putra sulungnya. "Letakkan pistol itu! Kita bisa memulainya dari awal lagi!"
Edward menyandarkan pistol itu di pelipisnya. Si raja palsu tertawa kecil, ekspresinya mengeras. Dia lalu menatap Elisa, pandangannya penuh kebencian, sinar matanya dengki dan tak berperikemanusiaan, begitu berbeda dengan Eugene.
"Kalian tidak akan mengalahkanku!"
Edward menarik pelatuknya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top