2. Selamat Datang di Calondria
Di ujung rel ini hanya ada laut dan kita semua akan tercebur ke dalamnya.
Elisa mengamati deretan pepohonan yang seolah berlari di sepanjang rel, berusaha mengejar kereta yang dia tumpangi. Kepalanya sedikit pusing, mungkin akibat sergapan mendadak udara pegunungan yang begitu menyegarkan, begitu kontras dengan udara penuh polusi Paris. Dia menatap Eugene yang sedang tertidur. Kepalanya bersandar di dekat jendela, terantuk-antuk mengikuti irama gerak kereta.
Elisa mengecek tiketnya lagi. Marseilles ke Larsgard. Dia tahu soal Marseilles tapi belum pernah mendengar soal Larsgard. Menurut Eugene, itu adalah kota perbatasan Calondria dengan Prancis.
Semoga saja dia benar.
Pintu kabin diketuk. Si kondektur menjulurkan kepalanya di balik kaca.
"Sebentar lagi kita akan melewati perbatasan dan tiba di Stasiun Larsgard," katanya ramah. "Bisa saya cek paspor Anda berdua?"
Elisa mengeluarkan paspornya dan paspor Eugene yang disimpan bersama-sama dalam tas kecil miliknya. Ketika melihat warna sampul paspor itu, si kondektur langsung mengangguk.
"Prancis?"
"Ya."
"Silakan menikmati sisa perjalanan, kalau begitu."
"Anda tidak jadi memeriksa paspor kami?"
"Warga Prancis bisa berkunjung ke Calondria tanpa menggunakan paspor karena Prancis sudah menyambung kembali hubungan diplomatik dengan Calondria. Di stasiun kedatangan nanti, Anda berdua hanya perlu melapor ke bagian imigrasi." Si kondektur mengedip ramah. "Ini kunjungan pertama kali Anda ke Calondria, Madamoiselle?"
"Ya." Elisa menyimpan kembali paspor-paspor itu. "Apa Calondria ini..." Elisa memelankan suaranya. Dia tidak ingin Eugene terbangun. "Apa negara ini..." Dia tidak tahu bagaimana harus memulai.
"Benar-benar ada?" Si kondektur melanjutkan dengan geli. "Kedengarannya memang tidak nyata, tapi negara ini sungguh ada, Madamoiselle."
Ternyata bukan laut. "Bagaimana keadaaannya?"
"Ramah dan menyenangkan." Senyum si kondektur mengembang di wajahnya yang gemuk. "Perpaduan antara romantisme Prancis dan keramahtamahan Italia. Wilayahnya kira-kira dua kali ukuran Luksemburg dan punya sepuluh kota. Saya yakin Anda akan menyukainya."
Jadi negara ini betul-betul ada! Senang rasanya mendengar Calondria dari orang lain, bukan dari Eugene saja. "Terima kasih."
"Ano la'treiz," kata si kondektur. "Itu bahasa Camish untuk 'terima kasih'."
"Ano la'treiz," ulang Elisa. Kedengaran sangat Prancis. "Apa Anda orang Calondria, monsieur?"
"Bukan. Saya penduduk Prancis," jawab si kondektur. "Nah, tak lama lagi kita akan tiba. Saya sarankan Anda bersiap-siap."
Sepuluh menit kemudian, kereta akhirnya berhenti di sebuah stasiun. Elisa membangunkan Eugene yang rupanya masih enggan untuk beranjak dan menyeretnya ke dalam gedung stasiun. Mereka mengantre di bagian imigrasi (antreannya tidak panjang). Para petugas hanya melirik sekilas isi paspor mereka lalu mengangguk, menyilakan mereka lewat.
Karena tidak membawa barang bawaan yang banyak, Elisa dan Eugene memutuskan untuk langsung menuju penginapan yang sudah mereka pesan sebelumnya. Tak tampak banyak gedung-gedung atau pemandangan khas kota metropolitan di Larsgard, suasananya lebih mirip daerah pedesaan. Agak mirip seperti desa-desa kecil di Swiss yang sering Elisa lihat di internet. Si kondektur benar, pikirnya.
Banyak yang memandangi mereka di stasiun. Seorang pria di kios koran bahkan tak henti-henti melongok pada mereka. Elisa meminta Eugene mengecek penampilannya tapi Eugene meyakinkannya bahwa penampilannya baik-baik saja. Semuanya kelihatan normal.
Jadi mengapa mereka terus-terusan memandangi kami?
"Mungkin mereka jarang bertemu turis," kata Eugene menenangkan.
Dari stasiun, mereka berencana naik taksi menuju penginapan. Eugene baru saja akan menghampiri sebuah taksi, ketika tiba-tiba sebuah limusin berhenti tepat di depan mereka.
"Wah sepertinya Calondria kedatangan seorang selebriti," bisik Eugene.
Atau mungkin juga seorang pangeran, pikir Elisa getir. Dia hanya diam saja.
Pintu limusin itu terbuka. Seorang laki-laki dalam setelan hitam gemerlap melangkah keluar. Wajahnya kaku dan lagaknya terhormat. Dia mengenakan kacamata bergagang tunggal. Ketika melihat pria itu, orang-orang di ruang tunggu terkejut, beberapa bahkan menunduk dengan hormat.
Di belakang si pria berkacamata, ada dua puluh pria-pria tegap dalam setelan serba hitam yang seragam. Kabel mencuat keluar dari telinga mereka.
"Elisa," bisik Eugene. "Siapa mereka?"
"Aku tidak tahu," Elisa mengalihkan tatapannya dari kelompok berpenampilan elit itu. "Tapi semoga saja mereka tidak mencari kita."
Rombongan itu bergerak menghampiri mereka. Si pria parlente berdeham dan membungkuk dengan kaku, seolah-olah tulang punggungnya terbuat dari kawat. Dia melepas kacamata tunggalnya lalu memandangi Eugene dari atas ke bawah, agak tidak yakin.
"Selamat siang, Monsieur L'alcquerine. Selamat datang di Calondria," katanya. Suaranya berat dan beraksen ningrat. "Saya Alfred, perdana menteri Calondria."
Elisa terperangah. Seorang perdana menteri?
"Kami tidak tahu apa-apa," kata Eugene dengan suara bergetar. Rupanya dia sama ketakutannya dengan Elisa. "Kami baru sampai di sini. Kami bahkan tidak tahu kalau Calon–"
Si perdana menteri mengangkat tangannya. Semua orang langsung hening, termasuk Eugene. "Quinz Celestin mengutus saya untuk menjemput Anda untuk bertemu dengannya istana. Beliau sudah menunggu."
"Quinz Celestin?"
"George Sebastian Robert, Raja Calondria."
"Dan Anda menjemput saya untuk ke..." Eugene gelagapan. "Umm... istana?"
"Ya. Sekarang juga."
"Terima kasih, eh... Monsieur." Eugene berkedip-kedip gugup. "Tapi kami bukan siapa-siapa, kami hanya, umm... turis."
"Tentu saja Anda berdua bukan turis biasa," Alfred tersenyum. Senyumnya tidak membuat Elisa lega. "Quinz Celestin mengatakan bahwa Anda adalah sepupunya sendiri."
Bisik-bisik mulai merambat ke sana-kemari di halaman depan itu, menjalar bersemangat seperti kebakaran. Elisa menempel ke bahu Eugene dan berbisik pelan sekali. "Kok mereka tahu?"
"Jangan tanya aku."
"Anda membeli tiket kereta kemari dan melapor di imigrasi," kata Alfred sabar. "Petugas kami mengenali nama Anda."
"Nama saya?"
"L'alcquerine. Sebetulnya selama ini kami hanya mengenal dua L'alcquerine saja. Jadi kedatangan Anda betul-betul sangat... mengejutkan."
Ini aneh, pikir Elisa. Dia menatap Eugene. "Apa tak ada seorang pun yang tahu soal keberadaanmu di negara ini sebelumnya?"
"Sepertinya begitu," jawab Eugene tidak yakin.
Alfred berdeham lagi, kali ini lebih keras dan mendesak. "Anda berdua sudah ditunggu di istana. Quinz Celestin akan menjelaskan semuanya, dia sangat ingin bertemu Anda." Salah satu pria-pria tegap itu membuka pintu limusin. "Dan Quinz Celestin nyaris tidak pernah menerima penolakan."
"Kurasa..." Eugene melirik Elisa memelas. "Kita tak bisa menolak."
"Kau seorang pangeran, kunjunganmu kemari dijemput oleh seorang perdana menteri, dan sekarang kita akan bertemu raja?" todong Elisa. Eugene sudah berbohong soal keluarganya, bisa saja kali ini dia sudah menyiapkan semua penyambutan ini sebagai kejutan.
"Elisa, jika menurutmu aku tahu soal semua ini sejak semula, apa mungkin aku menghabiskan sepuluh tahun di panti asuhan bersamamu?"
Rupanya dia benar-benar tidak tahu. Elisa mendesah pasrah. Ditatapnya limusin hitam mengilap yang kelihatan mewah itu. Si perdana menteri masih menunggu dengan sabar.
"Apa teman saya boleh ikut?" tanya Eugene takut-takut.
"Tentu," senyum Alfred mengembang. "Anda dan pasangan Anda akan tinggal—"
"Ah, kami bukan pasangan," tukas Elisa cepat-cepat. Alfred bukan orang pertama yang menyangka dia dan Eugene berpacaran.
"Hanya... ehm, sahabat karib," timpal Eugene.
"Baiklah kalau begitu," gumam Alfred pendek, kelihatan agak kecewa. "Tidak masalah. Apa pun permintaan Anda, Celestin."
Elisa menatap sahabatnya melangkah ragu-ragu memasuki limusin. Dia menarik napas untuk menenangkan diri. Ini hanya akan jadi pertemuan basa-basi semata. Tak perlu khawatir. Seorang pengawal membukakan pintu bagi Elisa di sisi lain limusin dan dia bisa merasakan jantungnya meluncur turun hingga ke dasar perutnya. Dan apa pula artinya Celestin?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top