16. Andrea


Pikiran Elisa melayang-layang saat menyusuri koridor. Tangannya yang menggenggam erat ponsel mulai berkeringat sedikit. Semua kemewahan ini mulai terasa... normal.

Kemarin Yvonne meneleponnya, menanyakan kapan Elisa akan pulang. Ketika Elisa mengabari temannya itu tentang situasinya yang serba canggung di istana, Yvonne terdiam. Selama lima belas menit penjelasan yang diulang-ulang, Yvonne akhirnya menerima fakta bahwa cowok favoritnya adalah pangeran salah satu kerajaan kecil di Eropa. Mendengar kabar mengejutkan itu, Yvonne malah semakin memuja Eugene. Ia bertanya soal kemungkinan datang ke Calondria untuk menyaksikan penobatan Eugene dengan nada penuh harap.

Mungkin Yvonne bisa datang, pikir Elisa. Bagaimanapun, kalau nanti Eugene jadi tinggal di Calondria, penobatan itu adalah satu-satunya kesempatan terakhir Yvonne untuk mengungkapkan perasaannya, kan?

Saat melewati kamar Eugene, Elisa melihat pintu kamarnya terbuka sedikit. Apa Eugene ada di dalam? Elisa mengetuk pintu kamar Eugene dan menunggu. Mungkin dia juga ingin bertemu Andrea.

Tak ada jawaban.

Elisa mengetuk sekali lagi. "Eugene? Kau ada di dalam?"

Masih tak ada jawaban.

Eugene tidak akan keberatan jika aku menyelinap. Elisa mendorong pintu hingga terbuka semakin lebar. Eugene sudah masuk ke apartemenku di Paris, menjelajahinya lebih tepat, dan bahkan tahu di mana aku menyimpan tabungan rahasiaku. Jadi ini tidak masuk hitungan.

Kamar Eugene kosong. Jo tidak kelihatan di mana-mana. Pintu kamar mandi Eugene terbuka sedikit.

"Elisa?"

Tiba-tiba Eugene keluar dari kamar mandi, bertelanjang dada dan hanya berbalut handuk.

Wajah Elisa langsung panas seketika. Ini tidak mungkin terjadi untuk kedua kalinya! "Maaf, Eugene. Aku tadi mengetuk, dan tak ada jawaban. Jadi kupikir...."

"Aku sedang di kamar mandi," kata Eugene santai. Air menetes pelan dari rambutnya yang berantakan. "Kau mencariku?"

"Aku, ehm... sebaiknya kutunggu kau selesai berpakaian!"

Elisa kabur keluar secepat kilat, wajahnya sudah panas sekali. Sebentar lagi telinganya pasti berasap. Dia menarik napas dalam-dalam. Itu bukanlah sesuatu tidak boleh dilihat. Kaum Adam memang cukup arogan sehingga mereka tidak akan dikatai gila jika bertelanjang dada. Bukan salahku kalau Eugene tidak mengunci kamarnya. Lagipula aku sudah mengetuk. Bukan hanya sekali, tapi DUA KALI!

Semenit kemudian Eugene keluar dari kamar. Ia memakai kemeja lengan panjang warna abu-abu, celana panjang warna coklat tanah dan sepatu bot pendek. Cuacanya memang agak dingin.

"Jadi, ada perlu apa?"

"Sebetulnya bukan apa-apa," kata Elisa. Sekarang dia menyesal karena kepo. "Andrea sedang menungguku di Tea Hall. Dia ingin mengajakku ke pusat kota. Kupikir kau mau bergabung."

Eugene tidak langsung menjawab. Ia balas menatap Elisa, iris mata biru elektrinya melebar. Elisa bisa melihat bayangannya yang terpantul di mata Eugene. Lalu bayangannya tampak membesar. Rupanya Eugene mendekatinya.

"Eugene," tegur Elisa. "Kau sakit?"

 "Aku baik-baik saja." Eugene mengerjap-ngerjap lalu tersenyum. "Umm, tidak, kurasa aku tidak bisa bergabung dengan kalian. Aku mau ke... rumah sakit."

"Kau mau kutemani?" tawar Elisa, mendadak merasa bersalah. Itulah tujuan Eugene mengajakku ke Calondria, bukannya malah jalan-jalan dengan Pangeran Monaco! "Aku tak lama lagi di sini, lho..."

"Tidak apa-apa, Elisa. Andrea menunggumu."

"Apa sudah ada berita soal ayahmu?"

"George masih melakukan pencarian. Janesse yakin ayahku akan segera ditemukan, apalagi karena sekarang Prime Celestine juga terus-terusan mendesak. George bilang jika pria itu betul-betul ayahku, dia bisa tinggal di Calondria."

"Aku senang sekali mendengarnya," Elisa tersenyum. Bukankah ini akhir bahagia yang diinginkan Eugene? "Omong-omong, kemarin Yvonne menelepon." Tidak, sialan. Jangan menangis di sini! "Madam Selena mencariku."

"Apa dia mencariku juga? Kurasa aku harus memberitahunya soal..." Eugene kelihatan serba salah. "Semua ini."

"Dia pasti mengerti. Aku sudah memberitahu Yvonne," kata Elisa, pura-pura mengucak matanya dengan lagak mengantuk supaya Eugene tidak melihat bahwa dia sudah berkaca-kaca memikirkan perpisahan. "Tak lama lagi Madam Selena juga akan tahu. Kitty memberitahuku Alfred ingin menyiarkan acara pelantikanmu."

"Menyiarkan?"

"Ya. Di televisi lokal dan di YouTube juga. Kurasa mereka akan memberi tayangan itu judul yang dramatis, seperti 'Pangeran Yang Hilang,' atau sesuatu sejenis itu."

"Pangeran yang hilang..." Eugene memejamkan mata, kelihatan nelangsa sekali. "Kau tahu kan Elisa. Semua ini..."

"Aku tahu," potong Elisa. Aku juga tak mau. "Kita sudah membahas ini Eugene. Mereka keluargamu. Sudah seharusnya seperti itu."

Eugene hanya diam saja. Dia menatap Elisa, mata biru elektriknya yang luar biasa itu melebar seperti pusaran galaksi dan Elisa kembali merasakan sensasi aneh seperti tercebur di bak berisi air es. Sesaat tampaknya Eugene ingin mengungkapkan sesuatu, tapi dia hanya tertunduk

"Andrea menunggumu."

"Baiklah. Sampai bertemu, Eugene."

Elisa meninggalkan Eugene yang termenung di depan pintu kamarnya dan melanjutkan perjalanan menuju Tea Hall. Kepalanya mendadak pening. Kenapa Eugene tidak mengatakan apa-apa? Elisa paham bahwa Eugene jarang mengungkapkan perasaanya, dia jenis cowok yang dari luar kelihatan cool, tetapi sebetulnya sungguh perasa. Sejujurnya Elisa mengharapkan respon yang lebih dramatis—lebih dari sekedar permintaan maaf. Kami saling mengenal selama sepuluh tahun dan sekarang terancam berpisah selamanya. Memikirkan ini membuat dada Elisa sesak. Apa hanya aku yang bersedih karena perpisahan ini?

Sesampainya di Tea Hall, Elisa melihat Andrea Casiraghi sudah menunggunya.

"Halo," kata si pangeran Monaco sambil nyengir lebar. Dia memakai setelan abu-abu dan jas hitam yang pas betul dengan ukuran tubuh.

"Maaf membuatmu menunggu," balas Elisa. Dia duduk di sofa dekat Andrea karena pening di kepalanya menghebat. "Andrea, maaf, tapi apa bisa kalau kita jalan-jalan di sekitar sini saja?"

"Kau sakit?" tanya Andrea. Tangannya terjulur hendak memegang Elisa, tapi rupanya dia masih bisa menahan diri. "Kau kelihatan pucat."

"Aku tak apa-apa." Hanya sakit hati.

"Ada danau kecil di samping istana ini. Bagaimana kalau kita ke sana saja?"

Elisa mengangguk. Mereka keluar istana untuk menuju danau, sambil melewati taman yang berubah merah dan cokelat akibat musim gugur. Penjaga pintu mengangguk pelan pada Andrea ketika mereka lewat, seolah dia seorang teman lama.

Dari kejauhan, air danau yang biru gelap beriak-riak ditiup angin semilir. Andrea menuntun Elisa duduk di salah satu gazebo yang paling dekat dengan tepian danau.

"Aku selalu ingin tahu apa ada ikan di danau ini," kata Andrea tiba-tiba.

"Menurutmu?"

"Pasti ada sejenis ikan air tawar. Aku sudah sering kemari, tapi tak pernah tahu soal itu."

Mereka menatap danau, menikmati aroma air yang segar dan angin yang lembut.

"Kau ingin kupesankan teh?" tanya Elisa. Dia canggung kalau hanya berdiam diri seperti ini.

"Tidak apa-apa," kata Andrea kalem. Dia tersenyum, dan baru kali ini Elisa menyadarinya: senyum si Pangeran Monaco agak kekanak-kanakan. "Nah, apa kau mau cerita padaku?"

"Soal apa?"

"Masalahmu."

"Dari mana kau tahu?"

"Aku bisa membaca pikiran," kata Andrea kocak. "Bercanda, kok. Aku mengamatimu. Kau tidak seceria waktu itu."

Jeli sekali. "Ya, aku memikirkan Eugene."

"Ah."

"Aku... entahlah. Mungkin aku terlalu memusingkan dia."

"Kau memikirkan perpisahan dengan Eugene," kata Andrea bijaksana. "Kalian sahabat dekat, aku paham perasaanmu."

Elisa terkesiap. Ternyata Andrea lebih jeli dari dugaannya. "Istana ini memberi ilusi seolah aku pantas tinggal di dalamnya," katanya, teringat insiden salah tempat saat menyambut Ratu Raquelle beberapa hari lalu dan perasaannya saat menelusuri koridor-koridor istana. "Seolah aku salah satu anggota kerajaan. Padahal aku hanya seorang operator telepon. Eugene memang aslinya adalah seorang pangeran yang tanpa disadarinya bekerja sebagai operator telepon. Aku dan dia jelas-jelas berbeda."

Andrea diam. Dia menatap jauh ke arah danau, bulu matanya yang lentik membuat matanya terlihat sayu. Rambutnya yang tebal teracak-acak sedikit.

"Aku tak keberatan berteman denganmu," kata Andrea setelah hening cukup lama.

"Aku rakyat jelata, Yang Mulia."

"Dan aku hanyalah seorang laki-laki dengan title yang kepanjangan di belakang namaku."

"Kau Pangeran Monaco."

"Hei, kau pernah mengecek Google Map? Kerajaanku bahkan nyaris tak terlihat di peta."

Andrea memalingkan wajah menatap Elisa, dan tersenyum kecil karena leluconnya sendiri. Elisa membalas senyuman itu. Meski angin bertiup dingin, ada perasaan hangat yang mulai merambat di jari-jari tangannya.

"Kau baik sekali, Andrea."

"Terima kasih."

"Maaf jika aku kedengaran lancang," kata Andrea. "Tapi aku penasaran sekali. Bagaimana perasaanmu terhadap Eugene?"

"Kami bersahabat," jawab Elisa segera. Andrea bukan orang pertama yang bertanya seperti itu. Meski baru dua kali bertemu Andrea, entah mengapa Elisa merasa dekat dengan cowok itu sehingga bebas bercerita padanya. "Aku dan Eugene tak terpisahkan. Maksudku..." seminggu lagi. "Dulu kami tak terpisahkan."

Andrea memutar-mutar daun kering yang jatuh di pahanya. "Bukan itu maksudku."

"Kami tidak berpacaran."

"Aku tahu. Hanya saja, menurutku kau tidak merasa seperti itu terhadap Eugene."

"Dari mana kau dapat pemikiran seperti itu?"

Sesaat Andrea kelihatan bersalah seperti baru tertangkap basah, tetapi dia mengusap rambutnya dan berkata dengan tenang. "Kan sudah kubilang. Aku memperhatikanmu."

"Maaf, tapi kau salah," Elisa tertawa. "Jangan tersinggung, ya."

"Kalau kau menganggap Eugene hanya sebagai sahabat, kau tak akan sesedih ini," sahut Andrea. "Kau menganggapnya lebih."

"Bagaikan saudara," kata Elisa. Kata-kata Andrea mulai bergema di kepalanya. Menganggap Eugene lebih... "Kami tumbuh bersama-sama dari kecil."

"Ayolah," kata Andrea, sedikit membujuk. "Kau tak perlu membohongi perasaanmu."

"Aku serius, Andrea," kata Elisa lembut. Dia tak ingin si Pangeran Monaco merasa digurui. Tapi memang rasanya Andrea terlalu cepat menilai hubungannya dengan Eugene. "Aku dan Eugene lebih dekat dari yang kau bayangkan, tetapi tidak ada unsur, ehm... romance."

"Aku tahu," kata Andrea nyengir. "Semua orang bisa melihat itu: kalian sangat dekat. Tapi pertanyaannya adalah, apakah Eugene mengganggap kau sedekat yang kau kira?"

Elisa memutuskan untuk tidak menjawab. Pertanyaan Andrea seperti tamparan baginya. Apa Andrea benar?  Apa aku betul-betul telah membohongi perasaanku pada Eugene? Apa hanya aku yang menganggap Eugene sebagai sahabat dekat, sedekat keluarga? Apa perasaan Eugene terhadapku berubah karena dia telah menemukan keluarganya?

"Sebetulnya aku tidak tahu apa yang kurasakan soal Eugene," Elisa mengaku, lebih kepada dirinya sendiri. "Kami sangat dekat. Sebelum datang kemari, aku tak pernah membayangkan bahwa kami akan berpisah. Tapi sekarang dia sudah menemukan keluarganya. Darah lebih kental dari air."

Andrea mendekati semenanjung kayu kecil di pinggiran danau dan duduk di ujungnya. Dia melipat kakinya dan memejamkan mata, seolah sedang mencoba melebur dengan danau itu.

"Kadang-kadang itu bisa terjadi," gumamnya pelan.

"Apa?"

"Menyukai sahabatmu sendiri."

Elisa diam saja. Dia terlalu takut untuk mengonfirmasi pertanyaan itu.

"Jelas sekali bagiku," lanjut Andrea tak sabar. Matanya melebar seolah dia sudah paham. "Kau suka pada Eugene, Elisa. Kau harus memberitahunya."

"Aku tak mungkin melakukan itu," elak Elisa. Dia memiringkan kakinya di samping Andrea, berhati-hati supaya roknya tidak tersingkap oleh angin. "Lagipula apa yang harus kukatakan padanya? Dia sudah tahu apa yang kurasakan. Dia bisa membaca pikiranku."

"Begini saja. Aku punya rencana," kata Andrea. "Ada jamuan makan malam tiga hari lagi. Di jamuan itu, Eugene akan diperkenalkan pada para Commes dan pejabat negara lainnya sebelum dia dilantik. Kurasa kau bisa memberitahunya saat itu apa yang betul-betul kau rasakan. Jika Eugene berubah pikiran, dia bisa membatalkan pelantikannya dan kembali bersamamu ke Prancis."

"Dia tidak akan melakukan itu," tolak Elisa. "Dia terlalu menghargai George dan Janesse. Lagipula mereka adalah keluarga yang selama ini dicarinya."

"Lakukan saja," desak Andrea, setengah memaksa. "Setidaknya kau akan tahu apa yang dirasakan Eugene terhadapmu. Percayalah padaku."

Elisa menatap Andrea dalam-dalam. Si pangeran balas tersenyum kepadanya. Andrea kelihatan tulus sekali.

"Terima kasih, Andrea," puji Elisa sungguh-sungguh. "Kau baik sekali."

Senyum Andrea melebar dan Elisa menangkap sebersit rasa gundah di wajah cowok itu, suatu emosi yang tak pernah dilihatnya sebelumnya.

"Kau juga sangat baik, Elisa," kata Andrea. Suaranya sedikit bergetar. "Meski aku baru mengenalmu beberapa hari, tapi aku merasa kau begitu hidup. Kau amat berbeda dengan gadis-gadis bangsawan lain yang sering kutemui. Mereka kaku dan penuh kepalsuan. Kau tidak begitu."

Rasa panas merambat dari tengkuk Elisa hingga ke pipinya. Dia hanya bisa tersenyum mendengar sanjungan itu.

"Mungkin karena aku rakyat jelata?"

Andrea mengangkat bahunya dengan canggung. "Dan kau sangat setia pada Eugene." Dia mengalihkan pandangannya ke danau yang biru gelap dan rasa sendu di wajahnya itu menguat, seperti riak permukaan air yang tertiup angin. "Kuharap kesetiaanmu tak mengecewakanmu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top