15. Kejujuran dan Kebenaran


Pria itu menatap sekelilingnya. Ini daerah baru baginya.

Tempat itu kumuh dan kotor. Sederet toko-toko tua yang telah lama ditinggalkan, diam menunggu berapa lama lagi mereka mampu bertahan. Lampu-lampu jalan yang berjejer di pinggiran jalan setapak itu bersinar ogah-ogahan, beberapa bahkan berderik memprotes dan tak sedikit yang memajukan jam tidur. Tempat sampah dengan jumlah di atas normal bergerombol di sudut-sudut, isinya mengonggok bukan main banyaknya dan menawarkan aroma busuk secara gratis bahkan kepada yang tak mau. Kadang-kadang angin yang nakal membawa serpihan-serpihan kayu dan seng dari bangunan-bangunan bobrok yang bersempitan di pojok itu, menerbangkannya ke sana-kemari.

Sebuah kereta gipsi diparkir di sebuah lahan kosong dekat situ. Beberapa orang duduk berhimpitan mengelilingi api. Gumaman dan obrolan kecil menghiasi kumpulan janggal itu. Tawa keras nan lantang tak jarang menyela.

"OI!"

Pria itu tercekat.

"Siapa di sana?"

Salah seorang anggota kelompok di dekat api unggun itu memanggilnya. Dia adalah laki-laki besar bertato yang sepertinya pemimpin kelompok itu. Kepala-kepala menoleh ingin tahu ke arahnya.

"Kau baik-baik saja?"

Apa yang harus kulakukan? Pria itu menelan ludah. Apakah aku akan tertangkap lagi? Dia mengamati kelompok itu. Tidak, mereka bukan polisi.

"Perlihatkan dirimu!"

Aku tak boleh tertangkap lagi. Dalam dua detik, dia membuat keputusan. Lebih baik menyatakan diri sebelum terciduk. "Boleh aku bergabung?"

Kelompok itu bergumam dalam bahasa asing. Lalu... "Kemarilah!"

Pria itu menyeret langkahnya menuju salah satu pojok kosong dekat api unggun. "Apa yang kalian lakukan di sini?"

Si berewok mengamati pria itu lekat-lekat. Lalu akhirnya dia tertawa keras-keras. Seluruh anggota kelompoknya juga ikut tertawa terbahak-bahak sampai terbungkuk-bungkuk. "Lelucon bagus. Mana kelompokmu?"

Apa yang sebenarnya dilakukan orang-orang ini? "Mereka masih dalam perjalanan," kata pria itu, mencoba mengikuti ke mana arah pembicaraan ini. "Aku tertidur di taman."

"Sayang sekali," kata si berewok. "Kau bersama kelompok Dobrev, ya?"

Pria itu mengangguk. Sepertinya orang-orang ini sedang merencanakan sesuatu. Aku harus terus mengajak mereka bicara. "Kapan kita akan mulai?"

"Kita kan harus menunggu perintah dari si Bos dulu. Lagipula terowongan itu tak akan ke mana-mana," kata si berewok agak bingung. "Kau lucu sekali. Siapa sih namamu?"

"Si Kelabu." Nama yang mereka berikan padaku di penjara.

"Seperti Gandalf? Si penyihir sakti itu?"

"Mungkin lebih seperti... bayangan."

Tatapan si berewok berubah curiga. Lalu dia tertawa keras-keras lagi, diikuti teman-teman sekelompoknya. "Aku suka kau, Kelabu! Mari minum bersama!"

Jaket-jaket tebal terkesiap, botol-botol minuman keras rahasia muncul, disusul gelas-gelas kaleng yang bocel di sana-sini. Kelompok itu melanjutkan obrolan mereka seolah-olah si Kelabu seorang teman lama. Tak ada yang menginterogasinya lagi, jadi dia juga tak perlu repot-repot bertanya balik.

Namun ingatan si Kelabu melayang pada keluarganya.

Dulu sekali, pada malam-malam yang dingin seperti ini, dia bersama istri dan kedua anaknya suka berkumpul di depan perapian yang hangat. Mereka mengobrol, sama seperti yang dilakukan teman-teman baru si Kelabu ini. Putra sulungnya kurang begitu suka mengobrol, begitu juga istrinya. Tapi si bungsu selalu bersemangat. Kedua kakak beradik itu memang punya sifat yang bertolak belakang. Kata orang-orang, sifat si sulung mirip seperti ibunya, sementara si bungsu menyerupai si Kelabu.

Aku ingin melihat mereka, pikir si Kelabu sedih. Dia sudah melihat si bungsu, meski hanya sekilas. Putranya itu jangkung dan tampan sekali, si Kelabu sampai pangling melihatnya. Dia tak perlu bertanya-tanya bagaimana rupa si sulung, karena kedua putranya kembar identik.

Mungkin aku seharusnya tidak melarikan diri, pikir si Kelabu. Sekarang, sendirian di antara orang-orang asing ini, dia agak menyesali perbuatannya. Mereka tak mungkin memulangkanku. Raquelle yang mengajakku kemari. Lagipula urusanku sudah selesai di Paris. Seharusnya aku bisa minta tolong pada George.

Apa aku terlalu takut untuk bertemu keluargaku sendiri?

Si berewok menawarinya wiski lagi seolah punya pasokan tak terbatas. Si Kelabu menolak dengan enggan. Pikirannya kembali ke masa kini. Aku harus tetap sadar jika ingin mengorek lebih jauh apa yang direncanakan orang-orang ini.

Tiba-tiba dia mendengar sesuatu.

Ada gerakan kecil di sudut gang.

Berkeliaran selama lima tahun di jalanan membuat si Kelabu tahu bahwa gerakan kecil itu bukan dilakukan oleh kucing atau binatang apa pun. Sesuatu yang lebih besar. Sekejap dia melihat siluet manusia berkelebat di dinding yang hampir roboh. Langkah-langkahnya senyap, jelas orang itu sudah menguasai seni menyelinap dalam gelap.

Ada orang di sini.

"Aah..." desis si berewok. "Akhirnya kau datang!"

Seorang pria kurus bertudung keluar dari balik bayang-bayang. Si Kelabu belum pernah melihat wajahnya. "Aku membawa pesan dari Bos," katanya.

Kelompok itu bangkit berdiri dan mengelilingi si pria bertudung.

"Kemungkinan besar minggu depan mereka akan melakukannya. Si tamu sudah mulai nyaman di sini. Harinya kapan belum bisa dipastikan. Tapi kita harus mulai bekerja."

"Bagaimana dengan temannya?" tanya si berewok.

"Gadis itu akan jadi bagian dari rencana," kata si pria bertudung. "Tapi Bos sendiri yang akan mengurusnya, jadi kalian tak perlu khawatir. Apa kalian sudah membawa peralatan?"

Si berewok menarik keluar beberapa peralatan dari dalam kereta.

Napas si Kelabu tercekat.

"Bagus sekali," kata si pria bertudung. "Bos pasti terkesan."

Cahaya api unggun menyinari keberadaan lusinan pistol, senapan, granat, pisau potong besar, dan beberapa kapak. Di sebuah karung kecil ada seperangkat alat elektronik yang si Kelabu yakini sebagai pemicu ledak.

Si pria bertudung mengangguk-angguk puas. Dia mengeluarkan ponselnya dan mulai mengambil foto. "Berapa jumlah kalian?"

"Semuanya enam puluh orang," kata si berewok. "Sembilan puluh yang lainnya sedang dalam perjalanan. Mereka akan datang sedikit-sedikit sampai di hari H nanti."

"Bos senang sekali," kata si pria bertudung sambil menatap ponselnya. Sepertinya dia sedang berkomunikasi dengan sang Bos lewat ponsel. "Dia meminta kalian untuk segera memasang peralatan di jalan itu."

Jalan itu... si Kelabu tertegun. Apakah jalan yang dimaksud ini...

"Memasang peralatan itu tak akan makan waktu lama. Kau tahu kan kalau kami ahlinya," desis si berewok, kedengaran agak tersinggung. "Tapi ada satu masalah. Bagaimana dengan si sinting di ujung jalan itu? Bisa-bisa dia memergoki kita. Dia tinggal di bawah tanah sepanjang waktu."

Si Kelabu bergidik. Sekonyong-konyong dia tahu jalan apa yang dimaksud orang-orang ini. Dan siapa yang akan jadi korban.

"Kalian boleh habisi dia. Bos tak ingin dia mengacau lagi seperti empat tahun lalu. Buat seperti kecelakaan. Habisi di tempat."

"Hei..." panggil salah satu anggota kelompok. "Andre menelepon. Mereka sudah sampai di perbatasan!"

"Bagus sekali!" jawab si pria bertudung. "Aku akan kasih tahu Bos. Mulai bekerja sekarang! Lalu tunggu tandanya!"

Saat kelompok itu mulai bekerja dan menggali, tak ada satu pun yang menyadari bahwa si Kelabu sudah menghilang dari situ.


...


Elisa mondar-mandir di kamarnya.

Seminggu lagi Eugene akan dinobatkan menjadi pangeran.

Elisa berusaha mengusir pikiran jahil yang mengatakan saat itu akan jadi hari kiamat, bahwa banyak hal akan berakhir, dan banyak hal yang akan dimulai pula. Tapi tidak begitu berhasil.

Kitty meliriknya diam-diam, tapi buru-buru kembali menekuni iPad-nya ketika Elisa memergokinya. Kitty memutuskan untuk lebih banyak diam belakangan ini. Elisa menganggap tindakan itu sebagai inisiatifnya untuk memberi ruang. Lady's maid-nya itu tahu kalau Elisa masih belum sreg soal Eugene yang akan tinggal di Calondria. Di satu sisi, Elisa menghargai niat Kitty, tapi di sisi lain dia merasa tidak dipedulikan.

Telepon di kamar Elisa berdering.

Kitty mengangkatnya. "Pangeran Andrea Casiraghi dari Monaco."

"Kau kedengaran seperti Alfred."

"Sudah tugasku sebagai lady's maid..."

"Oke, oke. Aku cuma bertanya." 

Tingkah Kitty selalu membuat Elisa bingung. Diraihnya gagang telepon itu. "Halo?"

"Hai!" Suara riang Andrea Casiraghi menyapanya dari seberang. "Aku tidak mengganggumu kan? Kau sedang apa?"

"Aku hanya, umm... mondar-mandir," jawab Elisa jujur. Dia ingin berbohong tapi entah mengapa gagal. "Kau sendiri sedang apa?"

"Menunggu," jawab Andrea misterius. "Kenapa kau mondar-mandir di kamar? Kau mencari sesuatu?"

Kitty menyelinap keluar diam-diam.

"Aku memikirkan Eugene. Seminggu lagi dia akan resmi dinobatkan sebagai pangeran, lho. Kurasa George sudah memberitahumu. Apa kau akan datang ke acara penobatan?"

"Tentu saja. Aku termasuk tamu kenegaraan lho," kata Andrea. "Kau tak harus langsung kembali ke Paris, kan? Kurasa George tak keberatan kau tinggal di Faranvareza sebentar lagi."

"Aku tak mau menyalahgunakan keramahtamahan George," kata Elisa. "Maksudku, saat ini statusku adalah tamu di istana ini, bukan penghuni tetap. Apalagi anggota kerajaan. Suasananya pasti canggung sekali kalau aku berlama-lama di sini. Kurasa bosku tak bisa memperpanjang cuti kerjaku lagi."

"Bagaimana kalau kau ke Monaco saja?" tawar Andrea. "Kau akan jadi tamu kehormatanku. Kau bisa tinggal selama yang kau mau."

"Tapi—"

"Ayolah. Ini kedua kalinya aku menawarimu, lho."

"Aku tak tahu apa Eugene juga mau ikut."

"Dia boleh ikut kok. Sayangnya..." Andrea sepertinya memikirkan sesuatu. "Setelah dia dilantik, agendanya akan cukup padat. George akan mengajaknya berkeliling Calondria dan mengenalkannya pada para Valione. Eugene harus tetap di Calondria untuk sementara waktu, setidaknya sampai penduduk Calondria paham bahwa dia bukanlah Edward. Selain itu sebagai pangeran dia akan diberi tugas, seperti meresmikan gedung, membuka pameran, mewakili tahta Calondria untuk urusan luar negeri, atau yang semacam itu."

Kedengarannya lebih sibuk dari operator telepon. Elisa merosot sedikit di kursinya. Mudah-mudahan Eugene menikmati pekerjaan barunya.

"Kau tak apa-apa, Elisa?"

"Ya," jawab Elisa. Kali ini dia sukses berbohong. Dia tidak baik-baik saja. Ada suatu perasaan ganjil yang mengganjal dadanya—dia tidak tahu perasaan apa itu.

"Mondar-mandir sendirian tak akan membuatmu merasa lebih baik," kata Andrea, sedikit menggoda. "Bagaimana kalau jalan-jalan sedikit di sore yang cerah ini? Kurasa kau butuh udara segar."

"Setuju," sambut Elisa. Toh dia memang tak punya kegiatan apa-apa seharian ini. "Sebaiknya aku pergi ke mana?"

"Hari ini aku ingin berjalan-jalan sebentar ke pusat kota," jawab Andrea. "Maukah kau menemaniku?"

"Kau kan ada di Monaco," kata Elisa bingung. "Lagipula, aku tak diizinkan berjalan-jalan sendirian lagi di pusat kota sejak insiden itu."

"Kata siapa? Aku sedang menunggumu dari tadi di Tea Hall," kata Andrea geli. "Maaf baru memberitahu. Dan kau akan baik-baik saja tanpa Eugene. Mereka tak akan berani menyentuhmu."

Perasaan ganjil di diri Elisa berubah mendengar Andrea sedang menunggunya. Dia merasa lebih baik. "Kau betul-betul penuh kejutan, Yang Mulia."

"Terima kasih, Madmoiselle Harris."

"Aku akan menemuimu dalam lima menit." Sebentar. Aku hanya memakai gaun tidur! "Maksudku, sepuluh menit."

"Tak masalah. Sampai bertemu di Tea Hall!"

Elisa menyerbu lemari pakaiannya. Dia mencomot sweter biru Prada yang sudah lama ingin dipakainya tapi tak pernah kesampaian, rok pensil motif tartan Burberry, serta sepasang sepatu bot Manolo Blahnik. Tak lupa sebuah kacamata hitam besar dari Gucci untuk berjaga-jaga seandainya terjadi hal-hal aneh lagi.

Sebelum keluar kamar, Elisa mengecek bayangannya di cermin sekali lagi. Wajahnya kelihatan muram akibat banyak pikiran. Sweter biru itu berhasil mencerahkan penampilannya sedikit, tetapi dia tetap kelihatan sendu.

Tidak, aku tak bisa bertemu Andrea seperti ini. Ditariknya bibirnya sedikit, mencoba tersenyum. Oke, sepertinya lipstik Estée Lauder benar-benar hebat. 


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top