10. Si Tetangga Sebelah
George marah besar soal insiden di pusat kota itu.
Kitty dan Jo dihukum habis-habisan karena dianggap lalai menunaikan tugas. Elisa tidak tahu apa vonis yang diberikan pada kedua pelayan itu, tapi mereka tidak kembali ke kamarnya maupun kamar Eugene tadi malam. Ketika Kitty muncul keesokan paginya untuk membangunkan Elisa, ada kantong tebal menggelayut di bawah matanya, dan dia sangat letih sampai-sampai tak sanggup mengangkat nampan sarapan. Dia menolak mengatakan apa-apa dan memohon dengan sangat agar Elisa tidak ke mana-mana seharian itu. Menurut bisik-bisik dari Sabrina, Alfred menghukum Kitty dan Jo untuk menggosok seluruh perangkat perak di Tea Hall yang jumlahnya ada empat ratus buah dengan tangan.
Eugene dan Elisa juga kena damprat, tapi tidak separah Kitty dan Jo. Alfred mengambil alih tugas "marah-marah" ini dari George dan dia mampu menahan diri. Mereka diwanti-wanti untuk tidak keluar dari istana tanpa pengawalan lagi. Eugene hanya diam manggut-manggut ketika dimarahi. Rupanya dia belum menyadari apa akibatnya menjadi kembaran orang paling dibenci nomor satu di Calondria.
Hari ini Eugene ke penjara lagi. Elisa masih trauma bepergian seorang diri, jadi dia hanya mondar-mandir di kamarnya sepanjang pagi dan baru keluar selewat makan siang.
Pikirannya melayang pada Eugene. Dia ngeri membayangkan Eugene betul-betul akan tinggal di Calondria seperti yang diinginkan George, karena banyak orang yang tidak suka padanya. George harus mengenalkan Eugene pada penduduk Calondria secara resmi agar semua orang tahu. Walau begitu, Elisa yakin banyak orang yang akan sangsi mendengar cerita Eugene soal masa lalunya. Saudara kembar yang sengaja dipisahkan dari kecil? Penculikan berbuntut kudeta? Ibu yang gila kuasa? Ayah yang tidak bertanggung jawab? Bagi Elisa, semuanya terlalu bombastis untuk negara kecil seukuran Calondria.
Elisa turun ke bawah untuk mencari udara segar. Dia berjalan setengah melamun ke arah koridor yang menuju taman indoor, sambil masih memikirkan Eugene.
Tiba-tiba terdengar bunyi derap langkah. Kedengarannya seperti seekor binatang. Rusa? pikir Elisa.Tidak, mana mungkin ada binatang liar masuk ke istana.
Suara derap itu mendekat. Elisa menoleh. Seekor anjing berbulu seputih salju sedang berlari ke arahnya. Dari kejauhan, anjing itu kelihatannya kecil, tapi ketika dia semakin dekat, Elisa sadar anjing itu berukuran lebih besar dari anjing paling besar yang pernah dilihatnya. Nyaris sebesar anak kuda, anjing itu mendatanginya dengan penuh semangat. Tali lehernya mengelepak liar tanpa ada yang memegangi.
BUK!
"AAAARGGHH!"
Bola bulu raksasa itu menerjang Elisa sehingga dia terjengkang ke lantai. Rasanya seperti ditabrak motor. Sepasang mata kuning besar menatapnya. Sebuah moncong yang tajam dan berair mengendus-endus wajahnya.
"Pergi! Pergi! Lepaskan aku! Shuh!"
Anjing itu menekankan kaki depannya yang kuat ke dada Elisa.
"Tidak, tidak! Jangan gigit aku! Jangan gigit aku!"
Taring depan si anjing sudah berjarak tiga senti dari leher Elisa. Dia bersiap merasakan lehernya dicabik ketika tiba-tiba anjing itu berdengking dan terlontar mundur.
"Maaf soal Weepee, Santionesse..."
Ada yang menarik lengannya. Elisa menepis tarikan itu dan menoleh. Seorang cowok jangkung berambut cokelat gelap dan berwajah kotak menatapnya. Dia nyengir lebar.
"Itu anjingmu?" tanya Elisa sambil menunjuk si anjing raksasa. Monster itu sekarang sedang berputar-putar mengitari kakinya dan cowok itu.
"Bukan anjing." Cowok itu tersenyum gugup. "Weepee campuran anjing dan serigala. Delapan puluh persen serigala, lebih tepatnya."
Elisa mengamati lagi monster raksasa itu. Bisa jadi. Ia terlalu besar untuk ukuran seekor anjing. Rasanya makhluk itu sanggup melahap seorang anak kecil.
"Dari mana kau mendapatkan mahkluk itu?"
"Ayahku menghadiahkannya. Hadiah ulang tahun ketujuh."
Tiba-tiba Elisa merasa ada yang menjerat betisnya. Cowok itu memekik panik. Dia terlontar maju. Tarikan yang mengikat betis Elisa juga memaksanya untuk maju dengan sendirinya ke arah cowok itu.
BUK!
Anjing terkutuk!
"Maaf! Aduh, Weepee! Kau nakal sekali!"
Elisa menggeliat berusaha melepaskan diri karena cowok asing itu kini menempel rapat-rapat di pipinya. Rupanya selagi mereka berkenalan, Weepee berputar-putar di antara kaki mereka, melilitkan tali lehernya lalu dengan sengaja menariknya. Upaya mereka untuk membebaskan diri dipersulit karena Weepe terus-terusan berputar, tak peduli berkali-kali cowok itu memarahinya.
Elisa tak tahan lagi. "Bagaimana mungkin kau tidak bisa mengontrol anjingmu?" bentaknya, sambil memukul membabi buta. "Lepaskan aku!"
"Dia separuh serigala, separuh anjing, Santionesse."
"Siapa yang peduli? Suruh dia berhenti sekarang!"
Mereka berjuang selama dua menit, bergeliat-geliut dengan seru sampai benar-benar terbebas. Tali kekang Weepee yang ketat mengiris betis Elisa sedikit dan dia jatuh terduduk di lantai. Saking kesalnya, Elisa melempar sepatu kirinya hingga mengenai Weepee. Serigala itu mendengking dan berderap kabur entah ke mana. Cowok itu membiarkan talinya lepas. Lagi.
"Tak biasanya Weepee gusar begini," kata cowok itu sambil mencoba membantu Elisa berdiri.
"Kau tak bisa melepas serigala begitu saja di istana ini!" Elisa menepis uluran tangan itu. "Dia bisa melukai seseorang!"
"Dia sudah sering berkunjung ke sini," bela cowok itu. "Biasanya dia manis sekali. Mungkin karena dia baru pertama kali bertemu Anda, Santionesse."
"Dia nyaris menggigitku!"
"Tidak. Dia hanya penasaran pada Anda."
Elisa meringis dan mengusap betisnya yang tergores berdarah.
"Anda terluka," kata cowok itu panik. "Izinkan saya mengantar Anda ke klinik."
"Andrea?"
George muncul di ujung koridor sambil nyengir lebar.
Cowok asing itu tersenyum. "Hei, George!"
George datang mendekat. "Kulihat kau sudah bertemu Elisa."
Sebentar, Elisa terhenyak. Apa cowok sialan ini baru saja memanggil George dengan George saja? Bukan Quinz Celestin?
"Aku betemu Weepee di koridor," kata George santai. "Dia lari ke dapur."
"George, kau tahu soal Weepee?" tanya Elisa gusar. "Bukankah seharusnya ada peraturan yang melarang binatang liar berkeliaran di istana? Aku hampir digigitnya!"
"Digigit?" tanya George. Dia tampak geli. "Oh, Elisa. Aku yakin ini hanya salah paham kecil. Omong-omong kau sudah berkenalan dengan Andrea?"
"Belum," jawab Elisa pendek. Dia kehilangan minat. Jadi namanya Andrea.
"Nah, Elisa..." cengiran George berubah menjadi tawa. "Perkenalkan, ini sahabatku. Andrea Jean-Phillipe Casiraghi, pangeran Monaco."
Telinga Elisa berdenging. Apa kata George barusan?
Cowok itu menjulurkan tangannya.
Pangeran Monaco? Elisa menelan ludah. Ya Tuhan... apa aku baru saja memukuli Pangeran Monaco?
Si pangeran Monaco tersenyum ramah. "Senang bertemu denganmu."
Elisa membuka mulut untuk bicara, tapi tak ada suara yang keluar. Pembuluh darah di wajahnya berkedut-kedut saking banyaknya darah yang mengalir di sana. Dia ingin menghilang ke dalam tembok.
"Andrea, ini Elisa Harris..." George mengambil alih. "Santionesse Harris adalah teman dari Eugene dari Prancis yang kuceritakan padamu minggu lalu."
"Oho!" kata Andrea. "Gadis-gadis Prancis memang terkenal galak dan—"
George berdeham keras. Andrea langsung diam.
"Saya minta maaf karena sudah membuat Madamoiselle Harris ketakutan," kata Andrea lagi, kali ini kedengaran sangat santun. "Saya harap Anda baik-baik saja."
"Saya..." Elisa menarik napas. Tidak. Aku mau pingsan. "Permisi Yang Mulia. Saya harus kembali ke kamar."
"Elisa, aku baru mau mengajakmu berkuda," cegah George. "Eugene sudah kembali dan dia ingin kau ikut juga. Aku sengaja mengundang Andrea kemari hari ini untuk bergabung bersama kita."
"Tapi..." Elisa berusaha mencari-cari alasan. Setelah aku memukulinya, aku tidak segila itu untuk pergi berkuda dengannya, kan? "Aku tidak bisa berkuda."
"Gampang sekali kok," kata George, jelas-jelas kurang sensitif. "Lagipula kuda-kuda Faranvareza sangat penurut. Kau tak akan kesulitan."
"Kurasa gaun ini tak cocok dipakai untuk berkuda," kata Elisa ngotot, menunjuk gaunnya yang penuh liur.
"Saya berharap Anda bisa bergabung dengan kami," dukung Andrea manis.
George mengangguk. "Kami akan menunggumu di depan Tea Hall."
Elisa kembali ke kamarnya dengan perasaan jungkir balik. Tega betul George menjebakku seperti ini! Kitty bertanya mengapa Elisa cemberut, tetapi dia tidak menjawab. Di lemari pakaiannya sudah tersedia busana untuk berkuda. Dipakainya busana itu, lalu turun ke Tea Hall tempat Andrea dan George sudah menunggu.
Di samping penginapan pelayan, ada sebuah istal penuh kuda. Ada yang cokelat, abu-abu dan putih. Ada yang gondrong, pendiam dan yang lincah mengais-ngais jerami.
Eugene menunggu di istal. Dia sedang mengusap-usap seekor kuda putih susu besar sekali yang sepertinya sanggup membalikkan sebuah mobil dalam sekali tendang.
"Hei, Elisa!"
"Halo Eugene." Elisa mendekatinya, sengaja menjauh dari George dan Andrea yang sedang membicarakan kuda. "Aku tak tahu kau bisa berkuda."
"Nah, sekarang kita punya kesempatan untuk mencoba, kan?" kata Eugene riang. "Kau kenapa? Kok cemberut begitu?"
Elisa menceritakan apa yang dilakukan Weepee padanya.
"Dia itu sedang melakukan kunjungan kenegaraan kemari atau apa?" tanya Eugene agak galak sambil mengerling ke Andrea.
"George mengundangnya untuk berkuda hari ini."
Andrea menghampiri mereka. Si pangeran telah melepas jasnya dan mengenakan sepatu bot hitam. George mengenalkannya pada Eugene dan disambut dengan sopan. Elisa menebak Andrea terkejut bertemu Eugene—pasti sesaat dia mengira sedang melihat Edward.
George membuka pagar pembatas kuda di depan mereka dan mengiringnya keluar. "Ada yang ingin mencoba menunggangi Blaze?"
"Kurasa Madamoiselle Harris akan cocok sekali dengan Blaze. Dan jika Anda belum paham soal berkuda..." Andrea menambahkan buru-buru. "Saya dengan senang hati akan mengajarinya."
"Sebaiknya saya berkuda dengan Eugene saja," tolak Elisa halus.
"Lho, kau kan tahu aku nggak bisa berkuda!" kata Eugene.
Elisa langsung memelototi Eugene. Kenapa dia bisa sepolos itu?
"Blaze tidak akan menerjang Anda atau menjatuhkan Anda, madamoiselle. Dan sekarang..." Andrea mengambil pelana dan memasangnya di punggung Blaze. "Saya akan memegang tali kendalinya."
Elisa menimbang-nimbang. Andrea itu tampak tulus sekali. Matanya yang cokelat penuh penyesalan. Oke, aku mendramatisir. Andrea kelihatan tidak berbahaya. Dan lumayan ganteng, sejujurnya.
"Baiklah."
Andrea melompat ke punggung Blaze seolah kuda itu hanya setinggi undakan kecil dan menjulurkan tangannya pada Elisa. Elisa naik ke atas tangga beranak tiga di samping Blaze dan memanjat ke punggung si kuda. Saat dia duduk di depan Andrea, punggungnya bersentuhan dengan dada si pangeran. Andrea menggerakan tali kekang Blaze dan mengarahkan kuda itu keluar istal.
"Nah, Madamoiselle Harris...."
Beribu pertanyaan bermunculan di benak Elisa. Apa Andrea marah padaku? Apa dia hanya berpura-pura bersikap gentleman di depan George? "Tolong panggil aku Elisa saja, Yang Mulia."
"Baiklah. Dan kau akan memanggilku Andrea," kata Andrea santai. "Jadi Elisa, trik utama berkuda adalah menjaga gerakan tubuhmu agar seirama langkah kuda supaya tidak tergelincir atau merosot dari pelana."
Elisa tidak sepenuhnya memikirkan trik berkuda. Tangan Andrea yang mengapit pinggulnya karena memegang tali kekang membuatnya kesulitan berpikir. Peristiwa ini mungkin saja kelihatan seperti sebuah adegan dalam film-film romantis, tapi tidak semenyenangkan perkiraannya.
Mereka mulai berkeliling. Andrea memacu Blaze dan kuda itu mulai berderap semakin cepat, melewati perumahan pelayan, garasi, lalu menuju gerbang depan.
"Kita tak boleh keluar tanpa pengawalan."
"Kenapa? Kau kan bukan anak kecil."
"Bukan begitu. Hanya saja, banyak yang belum mengenal Eugene."
"Eugene tidak ikut," kata Andrea. "Dia masih di istal. Kau kan bersamaku. Apa kau gugup?"
"Tidak," jawab Elisa cepat-cepat. Dia mengerling hati-hati melewati pundak Andrea agar pipi mereka tidak bertabrakan, untuk mengecek. Ternyata Eugene memang tidak mengikuti mereka. Pikiran Elisa bekerja cepat. Dia harus mengobrol untuk mencairkan suasana canggung ini.
"Bagaimana rasanya menjadi pangeran?"
"Menyenangkan," jawab Andrea riang. "Bagaimana rasanya berpacaran dengan seorang pangeran?"
"Aku dan Eugene tidak berpacaran."
"Maaf. Kupikir—"
"Kami bersahabat."
Mereka diam sejenak. Elisa tak nyaman berada begitu dekat dengan cowok asing. Tak bisa dipungkiri, dia cemas sekali sekaligus malu. "Apa kau sering mampir kemari?"
"Calondria seperti rumah kedua bagiku. George dan aku berteman sejak kecil. Ketika Ratu Raquelle melahirkan George, tiga bulan kemudian aku juga dilahirkan. Ibu kami bersahabat. Selain itu, Monaco dan Calondria bertetangga. Dari banyak aspek, kami mirip sekali."
Alasan yang bagus, pikir Elisa. Cara bicara Andrea yang santai dan ramah membuatnya sedikit lebih tenang. Dia memang mirip George. Mereka berbeda dengan bayangan Elisa tentang keluarga bangsawan.
"Ini pertama kalinya kau ke Calondria, Elisa?"
"Betul," jawab Elisa. "Apa ini yang kalian para kaum bangsawan lakukan di waktu luang? Berkuda, memanah, menulis puisi, dan bermain harpa?"
"Tidak selalu," Andrea tersenyum geli. "Puisi karyaku jelek sekali. Aku tak punya bakat sastra. Dan aku tak bisa main harpa. Ya ampun, dari mana kau dapat pemikiran seperti itu?"
"Film," jawab Elisa jujur. "Aku mendapat kesan kalian punya banyak sekali waktu luang."
"Kata siapa? Sepertinya kau tertarik sekali soal kehidupan kerajaan, ya?"
"Aku hanya rakyat jelata. Aku tak pernah tinggal di istana sebelumnya. Tentu saja aku bertanya-tanya bagaimana rasanya menjadi seorang anggota kerajaan."
"Dan apa kesimpulanmu?"
"Kalian terlalu banyak menghamburkan uang."
Andrea terbahak-bahak. Dia menepuk pundak Blaze, menghentikan langkah si kuda. "Dari mana Anda mendapat kesimpulan itu, Madamoiselle?"
"Kemeja ini misalnya," kata Elisa, menarik kemeja yang dipakainya. "Kata lady's maid-ku harganya tiga ribu Euro. Ada satu lemari penuh berisi yang sejenis ini di kamarku. Tidak semua orang memakai pakaian seharga tiga ribu Euro setiap hari. Di lemari Eugene, ada mantel yang harganya sama dengan gajinya selama tiga bulan!"
Andrea tertawa lagi. "Nah, kurasa kau keliru. Kami juga bekerja, kok. Malahan seringkali kami bekerja lebih giat dari rakyat biasa. Aku anak tertua dan berada di garis tahta, jadi aku punya segudang kegiatan setiap harinya—di jadwalku, dalam sehari aku bisa bertemu dengan dua puluh orang yang berbeda. Waktu senggang kami sedikit sekali. Ibuku, Putri Caroline, adalah Putri Mahkota. Aku nyaris tak pernah melihatnya berleha-leha. Saking sibuknya, untuk bertemu dengan ibuku sendiri saja aku harus buat janji dulu. Dan soal pakaian, kami tidak selalu membelinya. Banyak yang merupakan hadiah."
"Hadiah?"
"Ya. Ulang tahun dan sebagainya." Andra mengangkat bahu. "Aku tak pernah minta hadiah, sih. Banyak yang merasa wajib memberiku hadiah karena... kau tahu, lah. Tidak sopan bagi kami untuk menolak hadiah-hadiah ini."
Hadiah seharga tiga ribu euro? Keren sekali. "Bagaimana dengan pakaianmu yang ini?" Elisa menunjuk kemeja sutra yang dipakai Andrea. "Apa itu juga pemberian?"
"Ya. Dari Jean-Paul."
"Jean-Paul?"
"Gaultier."
Jean-Paul Gaultier. Perancang busana kondang Prancis. Yang biasa mendesain baju untuk Madonna! Elisa tertawa kering. Tentu saja Andrea bisa memanggil Gaultier dengan nama depan! "Mengapa dia menghadiahimu kemeja itu?"
"Sebenarnya yang ini bukan hadiah. Waktu itu Jean-Paul akan merilis lini busana musim semi bertema kerajaan. Dia memintaku menjadi salah satu modelnya."
"Kau jadi model pakaian?"
Andrea terkekeh malu.
Seharusnya Elisa tak perlu terkejut. Andrea memang jangkung dan mempesona. Bahkan kalau dipikir-pikir lagi, rasanya setiap anggota kerajaan yang Elisa tahu rupawan.
"Apa kau suka menjadi model?"
"Aku tak melakukan itu sebagai pekerjaan, kau tahu. Lebih seperti formalitas saja. Maksudku, Jean-Paul mengenal ibuku, jadi tak sopan menolak permintaannya..." Andrea melakukan gerakan seolah ada pisau yang sedang menyayat lehernya. "Dua minggu sebelum pemotretan itu, aku tak makan apa-apa. Tapi aku terlalu sopan untuk protes. Edward sih senang."
Elisa terhenyak. "Kau mengenal Edward?"
"Kami tidak dekat. Waktu itu George juga ditawari Gaultier, tapi dia menolak. Edward yang menggantikannya. Dia lebih mudah didekati untuk urusan komersil dibanding George. Edward sangat menyukai pekerjaan itu."
Elisa memberitahu Andrea soal kejadian di Rue du Thievanny kemarin, dan bagaimana dia meminta Eugene berpura-pura berprofesi sebagai model pakaian jika ada yang bertanya. Ternyata itu pilihan yang tepat, karena kakak kembar identik Eugene juga model pakaian.
"Eugene bisa jadi model pakaian kalau dia mau," kata Andrea, ikutan geli mendengar kejadian kemarin. "Aku punya kenalan yang bisa membantu."
"Ceritakan lagi padaku soal Edward," kata Elisa. "Seperti apa orangnya?"
Andrea melompat turun dan menuntun Blaze mengitari danau. "Dia agak dingin. Kami jarang bicara karena dia pendiam. Edward bisa disangka pemalu, tapi sebetulnya tidak begitu. Kau sudah tahu apa yang dilakukannya bersama Lady Samantha. Edward tipe pemikir, bukan seperti George yang periang." Andrea diam, membiarkan Blaze mengais-ngais. "Apa Eugene juga seperti itu?"
"Tidak. Eugene periang sekali. Dan amat canggung."
"Kudengar saudara kembar memang punya sifat yang berlawanan."
"Sebelum kami diserang, ada segerombolan gadis-gadis yang ingin berfoto dengan Eugene. Sepertinya mereka penggemar Edward. Ini membuatku bingung. Mereka memuja Edward, tapi sekaligus ingin menghajarnya. Aneh sekali."
Andrea tersenyum paham dan mengangguk kecil. "No comment."
"Aku ingin tahu pendapatmu," desak Elisa. "Ayolah!"
"Baiklah," jawab Andrea sambil mendesah. "Ini hanya pendapatku saja, jadi belum tentu benar. Edward memang dipuja sekaligus dibenci. Edward tipikal pangeran ideal. Dia tahu cara berpakaian yang pantas di publik dan sangat mempesona, bertolak belakang dengan George yang semrawut dan cuek. Akibatnya, Edward amat disenangi. Dia adalah sosok pangeran yang sebenarnya di mata rakyat Calondria, bukan George. Kemudian Edward mencoba menggulingkan Raja Robert lewat kudeta itu, sehingga mengubah seratus delapan puluh derajat penilaian orang-orang terhadapnya. Kurasa sebagian besar rakyat Calondria masih syok mengingat kejadian itu. Mereka tak menyangka Edward, pangeran berkuda putih mereka, bisa sejahat itu. Mereka jelas tak bisa memaafkan perbuatannya, namun di sisi lain masih tak sanggup lepas dari pesonanya."
"Kedengarannya seperti seorang sosiopat," kata Elisa.
Andrea menggeleng-geleng kecil, tidak menyahut. Lalu dia menunjuk ke seberang danau. "Lihat, itu George dan Eugene menyusul."
Mereka bergabung dengan Eugene dan George lalu melanjutkan berkuda, memutari kompleks istana. Ternyata Andrea cowok yang lucu dan menyenangkan. Dia suka berseloroh tanpa tedeng aling-aling. Kata Andrea, akibat lamanya dia tinggal di New York sewaktu kuliah, dia jadi agak Amerika: suka bicara apa adanya.
Ketika mereka lewat di depan rumah kaca, Blaze mulai risau karena mendengar bunyi mesin pemotong rumput. Elisa membelai kuda itu, mencoba menenangkannya, tapi Blaze malah semakin kehilangan kendali. Dibantu beberapa petugas kebun, Andrea dan George mencoba menenangkannya. Ketika kuda itu akhirnya tenang, Andrea menurunkan Elisa kembali dan mereka makan siang bersama di taman. Menu hari itu stik domba.
"Elisa, aku ingin mengundangmu ke Monaco," kata Andrea. "Monaco memang kecil, tapi tak kalah menyenangkan dibanding Calondria. Aku akan mengajakmu berkeliling. Kau pernah ke kasino? Kami punya banyak. Eugene, kau juga boleh ikut."
"Kami tak mungkin bisa langsung mendatangimu di istana, kan?" kata Eugene setengah bercanda. "Para pengawalmu pasti tak akan percaya."
"Di Monaco kami punya chateau, bukan istana," kata Andrea. "Tidak seluas Faranvareza dan kami tidak begitu formal. Silakan datang kapan saja, aku yakin kalian akan menikmatinya. Selama kau membawa Elisa Harris bersamamu, aku yakin tak akan ada yang bisa menghalangi kalian untuk menemuiku."
Andrea menatap Elisa, matanya melebar penuh arti.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top